TUNTUNAN
FIKIH PRAKTIS IBADAH PUASA
BERDASARKAN
FATWA : MARJA’ AYATULLAHIL – ‘UDZMA SAYYID ALI KHAMENE’I
H
Poin-poin
bahasan:
· Makna
Puasa
· Jenis-jenis
Puasa
· Puasa-puasa
Wajib
· Syarat-syarat
Wajib Puasa
· Syarat-syarat
Keabsahan Puasa
Penjelasan:
1. Makna Puasa
Yang
dimaksud dengan puasa dalam syariat suci Islam adalah manusia menghindarkan
diri dari makan, minum dan melakukan hal-hal lainnya – yang akan dibahas secara
mendetail nantinya- dalam keseluruhan hari (dimulai dari terbitnya fajar hingga
maghrib) dengan niat untuk melaksanakan perintah Allah swt. (Istifta’ dari
Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 1)
Perhatian:
1. Tolok ukur syar’i berkaitan dengan dimulainya waktu puasa adalah
terbitnya fajar sadiq (fajar
sejati), bukan fajar kazdib (fajar
palsu/terbitnya matahari=ptj), dan mendeteksi hal ini adalah tugas mukallaf. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
351)
2. Berkenaan dengan penentuan terbitnya fajar sadiq (waktu wajibnya imsak untuk melakukan puasa) tidak
ada perbedaan antara malam sebelumnya merupakan malam yang terang bulan ataukah
malam-malam yang lainnya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 354)
3. Sepatutnya para mukmin yang terhormat–semoga mereka mendapat
perlindungan dari Allah swt – untuk memperhatikan ihtiyath dalam
masalah waktu imsak puasa,
dengan melakukan imsak puasa
bersamaan dengan dimulainya azdan yang disiarkan oleh media massa. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 362)
4. Kapan saja pelaku puasa mendapatkan kemantapan bahwa azan telah
dimulai sejak masuknya waktu, maka diperbolehkan baginya untuk berbuka puasa
begitu azdan dimulai, dan tidak ada kewajiban baginya untuk bersabar hingga
azdan selesai. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 360)
2. Jenis-jenis Puasa
Dari satu
pendapat, puasa terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a. Puasa-puasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan.
b. Puasa-puasa mustahab, seperti puasa bulan Rajab dan Sya’ban.
c. Puasa-puasa makruh, seperti puasa pada hari Asyura (tanggal 10
Muharam).
d. Puasa-puasa haram, seperti puasa pada idul Fitri dan (awal bulan
Syawal) dan Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah)
(Ajwibah
al-Istifta’at, no. 731, 751, 755 dan 757, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 2)
Perhatian:
1. Seseorang yang mengetahui bahwa puasa akan menimbulkan bahaya
baginya atau khawatir akan menimbulkan bahaya bagiya, maka dia harus
meninggalkan puasanya dan apabila dia tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah
bahkan menjadi haram, baik keyakinan dan kekhawatirannya tersebut muncul dari
pengalamannya sendiri, dari perkataan dokter yang bisa dipercaya, ataupun
karena alasan yang logis (bisa diterima oleh orang-orang yang berakal).
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 751, 753 dan 755)
2. Tolok ukur dalam menentukan bahwa berpuasa akan menimbulkan sakit,
memperparah sakit, atau seseorang tidak mampu melakukannya, berada dalam
penilaian pelaku puasa itu sendiri. Oleh karena itu apabila dokter mengatakan
bahwa berpuasa membahayakannya sementara pengalamannya mengatakan tidak
berbahaya baginya, maka dia wajib untuk berpuasa, demikian juga apabila dokter
mengatakan bahwa berpuasa tidak akan membahayakannya akan tetapi dia mengetahui
bahwa berpuasa akan membahayakannya atau khawatir akan membahayakannya, maka
dia tidak boleh berpuasa. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 753)
3. Apabila seseorang berkeyakinan bahwa puasa tidak akan membahayakannya
sehingga dia berpuasa namun setelah itu dia menyadari bahwa puasa
membahayakannya, maka dia harus meng-qadha puasa yang telah dilakukannya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 751)
4. Para dokter yang melarang pasiennya untuk berpuasa karena alasan
adanya bahaya, perkataan mereka akan dapat menjadi alasan ketika perkataannya
meyakinkan dan tidak menimbulkan kekhawatiran akan bahaya, dan jika selain yang
demikian, maka perkataannya tidak dapat dipercaya. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
748, 754, 755 dan 823)
3. Puasa-puasa Wajib
Terdiri
dari:
a. Puasa bulan Ramadhan.
b. Puasa qadha.
c. Puasa kaffarah.
d. Puasa qadha ayah dan
ibu.
e. Puasa mustahab yang menjadi wajib karena nazar, janji dan sumpah.
f. Puasa hari ketiga dari hari-hari I’tikaf[1], dan
g. Puasa pengganti qurban dalam haji tamattu’.
(Ajwibah
al-Istifta’at, no. 731, 732, 733, 734, 744, 750, 754, 833)
4. Syarat-syarat wajib
puasa
a. Baligh.
b. Berakal.
c. Memiliki kemampuan.
d. Tidak dalam keadaan tak sadar.
e. Tidak dalam perjalanan (bukan musafir).
f. Tidak adanya bahaya berpuasa.
g. Tidak adanya kesulitan untuk berpuasa.
Perhatian:
a. Puasa diwajibkan atas orang-orang yang memenuhi persyaratan di
atas. Oleh karena itu, puasa tidak diwajibkan atas: anak yang belum mencapai
masa balighnya, orang gila, orang yang pingsan atau tak sadarkan diri, orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa, musafir (orang
yang tengah melakukan perjalanan), wanita haid dan nifas, orang yang jika
berpuasa akan membahayakan atau menyulitkannya. (Penjelasan yang lebih
terperinci akan diketengahkan pada pelajaran-pelajaran selanjutnya). (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 357, 732, 735, 736, 739, 742, 745, 747, 748, 749, 751, 752,
753, 754, 755, 756, dan 757)
b. Seseorang tidak boleh membatalkan puasanya hanya karena kondisi
tubuhnya yang lemah, akan tetapi apabila kondisinya sedemikian lemah sehingga
ia tidak mampu atau sangat sulit menanggungnya, maka dia diperbolehkan untuk
membatalkan puasanya, demikian juga apabila terdapat bahaya atau kekhawatiran
akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu seorang anak putri yang telah mencapai
usia baligh–usia baligh anak putri berdasarkan pendapat masyhur adalah
selesainya sembilan tahun qamari- wajib untuk berpuasa dan tidak ada kebolehan
untuk meninggalkannya hanya karena sulit atau lemahnya kondisi tubuh. Tentu
saja, jika hal ini akan membahayakan mereka dan menahannya merupakan suatu hal
yang sangat sulit bagi mereka, maka mereka bisa membatalkan puasanya. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 731, 732, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 24)
5. Syarat-syarat
Keabsahan Puasa
Terdiri
dari:
a. Islam.
b. Beriman.
c. Berakal.
d. Tidak dalam keadaan pingsan atau tak sadar.
e. Tidak dalam perjalanan.
f. Tidak dalam keadaan haid dan nifas.
g. Tidak ada bahaya.
h. Terdapatnya niat.
i. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa.
j. Tidak memiliki puasa wajib (tentunya ini merupakan syarat bagi
mereka yang ingin melakukan puasa mustahab).
Perhatian:
Puasa
yang dilakukan oleh seseorang akan menjadi sah ketika dia telah memenuhi
seluruh persyaratan di atas. Oleh karena itu puasa yang dilakukan oleh orang
kafir, syiah selain dua belas imam (menurut pendapat masyhur), orang gila, tak
sadarkan diri atau pingsan, dalam keadaan musafir, haid
dan nifas, puasa yang membahayakan bagi pelakunya, tidak berniat, atau
melakukan salah satu dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan sengaja,
demikian juga puasa mustahab yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki puasa
wajib, keseluruhannya dihukumi tidak sah. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 738, 740,
742, 743, 746, 751, 752, 753, 755, 757, 758, 772, 773, 774, 824, dan 633)
PUASA (2)
Niat Puasa
6. Niat Puasa
1. Makna dan
Pentingnya Niat
Sebagaimana
ibadah-ibadah lainnya puasa harus pula dibarengi dengan niat, dengan artian
bahwa apa yang dilakukan oleh manusia dengan menghindarkan diri dari makan,
minum dan seluruh hal-hal yang membatalkan puasa adalah karena untuk
melaksanakan perintah dari Allah swt, dan yang demikian ini baginya telah
mencukupi dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengucapkannya dengan lisan.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 3)
2. Waktu untuk Niat
a. Waktu untuk melakukan niat puasa-puasa mustahab dimulai dari awal
malam hingga ketika waktu ke maghrib tinggal tersisa seukuran niat.
b. Waktu untuk melakukan niat puasa-puasa wajib yang tertentu
waktunya, seperti puasa bulan Ramadhan:
1. Hingga sebelum terbitnya fajar: dihukumi sah.
2. Hingga sebelum zawal (tergelincirnya matahari): jika karena
sengaja, maka tidak sah. Akan tetapi apabila karena lupa atau tidak ada
informasi mengenainya, berdasarkan ihtiyath
wajib dia harus berniat puasa dan berpuasa, setelah itu dia juga harus
melakukan qadhanya.
3. Setelah zawal, tidak mencukupi.
b. Waktu untuk melakukan niat pada puasa-puasa wajib yang tak
tertentu waktunya, seperti puasa qadhabulan
Ramadhan:
1. Hingga sebelum terbitnya zawal: benar.
2. Setelah zawal: tidak sah.
Penjelasan:
1. Karena mulainya puasa adalah dari awal fajar, maka niat juga harus
dilakukan pada saat itu dan dilarang mengakhirkannya, dan akan lebih baik
apabila melakukannya sebelum fajar tiba. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 4)
2. Apabila pada awal malam seseorang telah berniat untuk melakukan
puasa pada keesokan harinya, akan tetapi kemudian dia tertidur dan tidak
terbangun hingga sebelum azdan Subuh, atau disibukkan dengan sesuatu hingga
tidak mengetahui tibanya Subuh dan setelah itu dia baru menyadarinya, maka
puasa yang dia lakukan dihukumi benar. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 5)
3. Seseorang yang pada bulan Ramadhan ketika hampir tiba azdan Subuh
sengaja tidak melakukan niat puasa, apabila dia melakukan niatnya pada
pertengahan hari, maka puasanya batal namun pada saat yang sama dia harus
menghindarkan diri dari segala sesatu yang membatalkan puasa hingga maghrib dan
setelah bulan Ramadhan, dia juga dikenai kewajiban untuk meng-qadha-nya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 6)
4. Seseorang yang pada bulan Ramadhan tidak melakukan niatnya untuk
berpuasa karena lupa atau karena tidak ada informasi, lalu pada pertengahan
hari dia menyadarinya sedangkan dia telah melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa, maka puasanya pada hari itu batal akan tetapi hingga maghrib dia harus
menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Namun jika dia
belum melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya hingga saat
menyadarinya, jika hal itu terjadi setelah Dzuhur, maka puasanya batal, dan
jika terjadi sebelum Dzuhur, maka berdasarkan ihtiyath
wajib dia harus melakukan niat puasa dan berpuasa, dan nantinya dia
mempunyai kewajiban untuk meng-qadha puasanya pada hari itu. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 7)
5. Apabila seseorang belum melakukan niatnya untuk puasa wajib selain
bulan Ramadhan-seperti puasa kafarah atau puasa qadha- hingga
mendekati Dzuhur, dan hingga saat itu dia juga belum melakukan hal-hal yang
dapat membatalkan puasa, maka dia dapat melakukan niatnya dan puasanya sah.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah
6. Puasa mustahab dapat diniatkan kapan saja ketika seseorang ingin
berpuasa, dan puasanya sah, dengan syarat dia belum melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 9)
7. Seseorang yang mempunyai kewajiban untuk melakukan puasa qadha Ramadhan tidak bisa melakukan
puasa mustahab, meskipun niatnya untuk puasa mustahab ini dia lakukan ketika
waktu untuk niat puasa wajib telah lewat (yaitu setelah Dzuhur). Namun apabila
dia lupa mengenai hal itu sehingga dia melakukan puasa mustahab kemudian baru
teringat pada pertengahan harinya (baik sebelum atau setelah Dzuhur), maka
puasa mustahabnya tetap batal, namun jika hal ini terjadi sebelum Dzuhur maka
dia bisa meniatkan puasa qadha Ramadhan
dan puasanya dihukumi benar. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 743, dan Istifta’ dari
Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 10)
Perhatian:
a. Seseorang yang mempunyai tanggungan puasa qadha bulan Ramadhan, apabila dia
melakukan puasa dengan niat mustahab, maka puasa tersebut tidak dapat menggantikan
puasa qadha yang
menjadi tanggungannya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 816)
b. Seseorang yang tidak mengetahui memiliki tanggungan qadha puasa ataukah tidak, jika dia
berpuasa dengan niat apa yang secara syar’i menjadi tugasnya, baik puasa qadha atau puasa mustahab dan pada
hakikatnya dia memiliki tanggungan puasa qadha, maka
puasa tersebut akan terhitung sebagai puasaqadha.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 815)
8. Apabila seseorang yang sakit telah sembuh dari sakitnya pada
pertengahan hari bulan Ramadhan, tidak ada kewajiban baginya untuk melakukan
niat puasa dan berpuasa pada hari itu, akan tetapi apabila kesembuhannya
terjadi sebelum Dzuhur dan dia juga belum melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa, maka ihtiyath mustahab baginya
untuk berniat puasa dan melakukan puasanya hari itu dan setelah bulan Ramadhan
dia juga harus meng-qadha puasanya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 11)
3. Niat pada Yaum
as-syak (hari ragu)
Hari
dimana manusia ragu antara hari terakhir bulan Sya’ban atau awal bulan Ramadhan
(yang disebut juga dengan yaum as-syak) tidak ada kewajiban untuk berpuasa di
dalamnya, dan apabila seseorang hendak melakukan puasa pada hari itu, dia tidak
bisa meniatkannya sebagai puasa bulan Ramadhan, melainkan dengan niat puasa
mustahab akhir Sya’ban, puasa qadha dan
sebagainya. Jika kemudian diketahui bahwa hari itu ternyata merupakan awal
bulan Ramadhan, maka tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qadhapuasanya hari itu, dan jika pada pertengahan hari dia mengetahui
bahwa hari itu merupakan awal bulan Ramadhan, maka sejak saat itu juga wajib
baginya untuk berniat puasa Ramadhan. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 12 dan 13)
4. Kontinyu dalam Niat
1. Wajib hukumnya ketika berpuasa untuk memiliki niat yang tidak
terputus dan kontinyu.
2. Hal-hal yang membatalkan kekontinyuan niat:
a. Niat untuk memutuskan puasa (yaitu pada pertengahan hari berpaling
dari niatnya untuk berpuasa sedemikian hingga tidak berniat untuk melanjutkan
puasanya), maka puasanya batal dan berniat kembali untuk melanjutkan puasa,
tidak ada manfaatnya.
b. Ragu dalam melanjutkan puasa (yaitu belum mengambil keputusan
untuk membatalkan puasa) dan
c. niat yang jelas (yaitu telah memutuskan untuk melakukan hal-hal
yang bisa membatalkan puasa akan tetapi belum melakukannya), dimana pada dua
keadaan terakhir ihtiyath wajib baginya
untuk menyelesaikan puasa dan setelah itu harus melakukan qadha-nya.
(Ajwibah
al-Istifta’at, no. 785, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 14)
Perhatian:
Apa yang
telah kami katakan di atas adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa wajib
yang tertentu waktunya -seperti puasa bulan Ramadhan dan puasa karena nazdar yang tertentu waktunya dan
sepertinya-, akan tetapi pada puasa-puasa mustahab dan puasa-puasa wajib ghairi mu’ayyan (yang kewajibanya tidak
bergantung pada hari tertentu), apabila seseorang mengambil keputusan untuk
memutuskan puasanya akan tetapi belum melakukan hal-hal yang dapat membatalkan
puasa, setelah itu berniat kembali sebelum Dzuhur – dan pada puasa mustahab
hingga ghurub- maka puasanya dihukumi sah. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 14 dan 15)
PUASA (3)
Hal-hal yang Membatalkan Puasa (Mufthirat)
7. Mufthirat
Hal-hal yang
membatalkan puasa:
a. Makan dan minum.
b. Jima’ (bersetubuh).
c. Istimna’ (onani atau masturbasi)
d. Berbohong dengan mengatasnamakan Allah, Rasul saw dan para
Ma’sumin as (berdasarkan ihtiyath wajib).
e. Sampainya debu tebal ke tenggorokan (berdasarkan ihtiyath wajib).
f. Memasukkan seluruh kepala ke dalam air (berdasarkan ihtiyath wajib).
g. Tetap dalam keadaan janabah, haid dan nifas hingga azdan Subuh.
h. Imalah (memasukkan cairan) ke dalam
tubuh.
i. Muntah dengan sengaja.
(Istifta’
dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 10)
Perhatian:
Hal-hal
yang membatalkan puasa disebut juga dengan mufthirat
Penjelasan 1: Makan dan minum.
1. Apabila pelaku puasa secara sengaja memakan atau meminum sesuatu,
maka puasanya akan menjadi batal, baik sesuatu tersebut berupa makanan dan
minuman biasa atau bukan makanan dan minuman, seperti kertas, kain dan
sepertinya, dan baik sedikit maupun banyak, seperti setetes air atau sepotong
kecil roti. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 17)
2. Apabila pelaku puasa sengaja menelan apa yang tertinggal di
sela-sela giginya maka puasanya batal, akan tetapi jika dia tidak mengetahui
adanya makanan yang tertinggal di sela-sela giginya atau dia tidak mengetahui
sampainya makanan tersebut ke tenggorokan, atau tertelan secara tidak
disengaja, maka puasanya tidak akan batal. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 764, dan
Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 18)
3. Makan dan minum yang dilakukan secara tak disengaja atau karena
lupa, tidak akan membatalkan puasa dan tidak ada perbedaan antara puasa wajib
ataukah puasa mustahab. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 764, 797, dan Istifta’ dari
Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 23)
4. Menelan ludah tidak membatalkan puasa. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 19)
5. Ihtiyath wajib bagi para pelaku puasa untuk
menghindarkan diri dari pemakaian suntikan-suntikan penguat, pengganti makanan
atau suntikan-suntikan yang dimasukkan melalui urat nadi, demikian juga dengan
infus-infus, akan tetapi suntikan obat pada otot atau untuk bius demikian juga
menaruh obat pada luka dan jahitan, tidaklah bermasalah. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 785, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 14)
6. Ihtiyath wajib bagi pelaku puasa untuk
menghindari obat-obatan yang memabukkan yang bisa terserap melalui hidung atau
di bawah lidah. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 21)
7. Jika pada saat makan seseorang menyadari bahwa waktu telah Subuh
maka dia harus mengeluarkan makanan yang ada di mulutnya dan apabila sengaja
menelannya, maka puasanya menjadi batal (dan kewajiban atas orang-orang yang
membatalkan puasa dengan sengaja akan dijelaskan pada pelajaran-pelajaran
berikutnya). (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 22)
8. Menelan dahak dan ingus yang belum sampai ke daerah rongga mulut
tidaklah membatalkan puasa, akan tetapi apabila telah sampai di daerah rongga
mulut, ihtiyath wajib untuk
tidak menelannya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 799)
9. Jika pada saat berpuasa (bulan Ramadhan) seseorang harus
mengkonsumsi pil untuk penyembuhan tekanan darah, maka hal tersebut tidaklah
bermasalah, akan tetapi dengan menelan pil tersebut berarti puasanya mejadi
batal (menelan pil meskipun untuk penyembuhan, tetap dikatakan sebagai
aktifitas makan). (Ajwibah al-Istifta’at, no768 dan 769)
10. Darah yang keluar dari gusi, selama tidak ditelan, tidak akan
membatalkan puasa, dan jika darah tersebut bercampur dengan air liur dan
terserap ke dalamnya maka ia akan dihukumi suci sehingga tidak menjadi masalah
untuk menelannya serta tidak akan membatalkan puasa, demikian juga apabila dia
ragu terhadap adanya darah yang bersama dalam air liur, tidak ada masalah untuk
menelannya serta tidak akan mengganggu keabsahan puasa. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 763 dan 765)
Perhatian:
Sekedar
keluar darah dari mulut tidak akan membatalkan puasa, akan tetapi wajib untuk
menghindari sampainya darah tersebut ke kerongkongan.
Penjelasan 2: Jima’ (bersetubuh).
1. Bersetubuh akan membatalkan puasa meskipun dari persetubuhan ini
tidak keluar mani. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 759)
2. Apabila seseorang lupa bahwa dirinya tengah berpuasa sehingga
melakukan persetubuhan, maka puasanya tidak akan batal, akan tetapi begitu dia
teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, dia harus segera keluar dari persetubuhannya
tersebut, dan jika tidak demikian maka puasanya menjadi batal. (Istifta’ dari
Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 26)
Penjelasan 3: Istimna’ (masturbasi)
1. Jika pelaku puasa sengaja melakukan sesuatu sehingga mengeluarkan
mani, maka puasanya batal. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 27)
2. Ihtilam (keluarnya mani dalam keadaan tidur) pada siang hari,
tidak akan membatalkan puasa. Dan jika pelaku puasa mengetahui apabila tidur
pada siang hari akan mengalami ihtilam, tidak ada kewajiban pula baginya untuk
menghindari tidur. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 28)
3. Apabila pelaku puasa terbangun dari tidur dalam keadaan
mengeluarkan mani, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mencegahnya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 29)
Penjelasan 4: Berbohong dengan mengatasnamakan Allah, Rasul
saw dan Ma’sumin as
1. Berbohong dengan mengatasnamakan Allah, Rasul saw dan para
Ma’sumin as, berdasarkan ihtiyath wajibakan
menyebabkan batalnya puasa, meskipun setelah itu dia bertaubat dan mengatakan
bahwa dia telah berbohong. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 30)
2. Menukilkan hadits yang tercantum dalam kitab-kitab dan seseorang
tidak mengetahuinya bahwa hal itu merupakan kebohongan, tidaklah bermasalah,
meskipun berdasarkan ihtiyath (mustahab)
hendaknya dia menukilkannya dengan menisbatkan pada kitab-kitab tersebut.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 31)
Penjelasan 5: Sampainya debu tebal ke tenggorokan
(berdasarkan ihtiyath wajib)
1. Berdasrkan ihtiyath wajib, pelaku
puasa tidak bisa menelan debu tebal, seperti debu yang muncul ketika menyapu
tanah, akan tetapi hanya sekedar masuknya debu ke dalam rongga mulut dan hidung
tanpa memasuki tenggorokan, tidak akan membatalkan puasa. Akan tetapi asap
rokok dan tembakau lainnya, berdasarkan ihtiyath
wajib akan membatalkan puasa. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 800, dan
Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 32)
2. Apabila pelaku puasa menderita penyakit sesak nafas dan dia
menggunakan spray obat dan menyemprotkannya ke dalam tenggorokannya, meskipun
terbuat dari gas dan bubuk, maka keabsahan puasanya berada dalam masalah, dan
jika berpuasa tanpa menggunakannya merupakan suatu hal yang tidak mungkin atau
sangat sulit, maka dia boleh menggunakannya akan tetapi ihtiyath (wajib) untuk tidak melakukan
hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa dan jika telah menghentikan
pemakaian, maka dia harus meng-qadha puasanya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 762)
Penjelasan 6: Memasukkan seluruh kepala ke dalam air
(berdasarkan ihtiyath wajib=tetap mengikuti fatwa yang diberikan atau
mengikuti fatwa mujtahid lain ).
1. Pelaku puasa yang tidak sengaja memasukkan seluruh kepalanya ke
dalam air, berdasarkan ihtiyath wajib puasanya
menjadi batal dan dia harus meng-qadhanya
kemudian. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 33)
2. Berkenaan dengan hukum pada masalah sebelumnya, tidak ada
perbedaan antara apakah ketika memasukkan kepala ke dalam air tubuhnya juga
berada di dalam air ataukah tubuhnya berada di luar air dan hanya kepalanya
saja yang berada di dalam air. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah
34)
3. Apabila pelaku puasa memasukkan setengah kepalanya ke dalam air,
lalu setelah keluar dia masukkan yang setengahnya lagi, maka hal yang demikian
ini tidak akan membatalkan puasa. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 35)
4. Apabila seluruh kepala berada di dalam air akan tetapi ada
sebagian rambutnya yang berada di luar air, hal ini tetap akan membatalkan
puasa. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 36)
5. Apabila seseorang ragu apakah keseluruhan kepalanya telah masuk ke
dalam air ataukah tidak, maka puasanya tetap sah. (Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 37)
6. Apabila pelaku puasa jatuh tanpa sengaja ke dalam air dan seluruh
kepalanya terendam air, maka puasanya tidak batal akan tetapi dia harus segera
mengeluarkan kepalanya dari dalam air. Demikian juga apabila dia lupa tengah
berpuasa lalu memasukkan kepalanya ke dalam air, puasanya tidak akan batal akan
tetapi begitu teringat dia harus segera mengeluarkan kepalanya. (Istifta’ dari
Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 38)
7. Seseorang yang dengan mengenakan pakaian khusus (seperti pakaian
penyelam) lalu menyelam ke dalam air dan tubuhnya tidak terbasahi oleh air,
jika pakaiannya tersebut melekat pada tubuhnya, maka puasanya bermasalah
(mahallul isykal) dan
berdasarkan ihtiyath wajib dia harus
meng-qadha-nya.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 741)
8. Menuangkan air ke atas kepala dengan menggunakan ember dan sepertinya,
tidak akan mempengaruhi keabsahan puasa. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 765)
Penjelasan 7: Tetap dalam keadaan janabah, haid dan nifas hingga
azdan Subuh.
1. Seseorang yang terpaksa janabah pada malam bulan Ramadhan, maka
dia harus mandi hingga sebelum Subuh, dan jika sengaja tidak mandi hingga saat
itu, maka puasanya batal. Hukum ini pun berlaku pada puasa qadha Ramadhan. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 39)
Perhatian:
a. Apabila seseorang junub pada malam bulan Ramadhan dan tidak mandi hingga
Subuh tanpa sengaja, seperti misalnya dia mengalami junub dalam keadaan tidur
dan tidurnya berlanjut hingga setelah azdan Subuh, maka puasanya benar.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 40)
b. Kebatalan puasa dikarenakan tetapnya dalam keadaan janabah hanya
khusus berlaku untuk puasa bulan Ramadhan dan qadhanya, dan
hal ini tidak berlaku pada puasa-puasa lainnya, terutama puasa mustahab.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 774)
2. Apabila seseorang yang junub pada bulan Ramadhan lupa melakukan mandi
janabahnya pada malam hingga terbitnya fajar/Subuh masih dalam keadaan janabah,
maka puasanya batal dan ihtiyath (wajib)
hukum ini juga berlaku pada puasa qadha bulan
Ramadhan, akan tetapi hal ini tidak akan membatalkan puasa-puasa yang lain.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 783)
3. Jika seseorang berpuasa beberapa hari dalam keadaan janabah dan
dia tidak mengetahui bahwa kesucian merupakan syarat bagi keabsahan puasa, maka
puasa yang dia lakukan selama beberapa hari ini batal dan dia harus meng-qadha-nya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 773)
4. Apabila seseorang di bulan Ramadhan mandi dengan air yang najis
lalu setelah beberapa hari kemudian dia menyadari bahwa air yang dia gunakan
adalah najis, maka puasanya dihukumi benar. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 780)
5. Seseorang yang pada malam Ramadhan mempunyai kewajiban untuk
mandi, apabila dia tidak mampu untuk mandi karena sempitnya waktu atau air
membahayakan baginya, maka dia harus bertayamum untuk menggantikan mandinya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 42)
Perhatian:
a. Seseorang yang kewajibannya adalah bertayamum, diperbolehkan
baginya untuk menjunubkan dirinya secara sengaja pada malam-malam bulan
Ramadhan, dengan syarat, setelah junub dia memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan tayamum. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 776)
b. Jika sebelum azdan subuh seseorang melakukan mandi janabah atau
melakukan tayamum sebagai pengganti mandi tersebut, maka puasanya benar,
meskipun setelah azdan Subuh dia mengeluarkan mani tanpa dia kehendaki.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 781)
6. Jika seseorang yang tengah berpuasa mengalami junub dalam
tidurnya, maka hal ini tidak akan membatalkan puasanya, oleh karena itu jika
dia tidur sebelum atau setelah azdan Subuh dan terbangun setelah azdan, maka
janabah ini tidak akan mengganggu keabsahan puasanya hari itu. Tentunya dia
tetap wajib mandi untuk shalatnya dan dia dapat mengakhirkan mandinya hingga
waktu shalat. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 782 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 43)
Perhatian:
Apabila
pelaku puasa pada bulan Ramadhan atau pada hari-hari puasa lainnya mengalami
junub dalam keadaan tidur, maka setelah terbangun tidak ada kewajiban baginya
untuk segera mandi. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 44)
7. Seseorang yang junub dalam keadaan bangun atau terbangun setelah
mengalami junub dalam tidur, dan dia mengetahui bahwa jika tidur, hingga
sebelum azdan Subuh dia tidak akan terbangun untuk mandi, maka tidak ada
kebolehan baginya untuk tidur sebelum mandi, dan jika dia tetap tidur dan tidak
mandi hingga sebelum azdan, maka puasanya batal, akan tetapi apabila dia
berasumsi bisa bangun sebelum adzan Subuh untuk mandi dan dia juga memiliki
niat untuk mandi akan tetapi tidak terbangun, maka puasanya benar, akan tetapi
jika dia kembali tidur untuk kedua kalinya dan tidak terbangun hingga Subuh,
maka dia harus meng-qadha puasanya hari itu dan berdasarkan ihtiyath
mustahab dianjurkan pula untuk membayar kaffarah.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 778 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah
41)
Perhatian:
Jika pada
malam bulan Ramadhan sebelum fajar seseorang ragu tentang dia mengalami ihtilam (junub dalam keadaan tidur)
ataukah tidak namun dia tidak memperdulikan keraguannya dan kembali tidur, lalu
setelah azdan Subuh dia terbangun dan menyadari bahwa dia telah mengalami ihtilam sebelum terbit fajar, jika
setelah bangun pertama dia tidak melihat adanya bekas-bekas ihtilam pada dirinya melainkan hanya
berasumsi saja namun tidak menemukan sesuatu dan dia tidur hingga setelah azdan
Subuh, maka puasanya benar, meskipun setelah itu dia mengetahui dengan jelas
bahwa ihtilam-nya
berkaitan dengan sebelum azdan Subuh. Demikian juga apabila sebelum azdan Subuh
dia tidak menyadari dirinya telah mengalami ihtilam sehingga
dia kembali tidur dan terbangun setelah azdan Subuh lalu menyadari bahwa dia
telah ihtilam sebelum
azdan Subuh, maka puasanya benar. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 777 dan 779)
8. Wanita yang telah suci dari kebiasaan bulanan (haid) dan harus
mandi, demikian juga wanita yang telah suci dari nifas (pendarahan setelah
melahirkan) dan wajib atasnya untuk mandi, jika mereka menunda mandinya hingga
azdan Subuh bulan Ramadhan, maka puasanya dihukumi batal. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 45)
9. Wanita yang berpuasa apabila pada pertengahan hari melihat darah
haid atau nifas maka puasanya menjadi batal, meskipun hal ini terjadi menjelang
Maghrib. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 740)
Perhatian:
Jika
seorang wanita melihat darah haid ketika tengah berpuasa untuk nazdar yang tertentu waktunya, maka
puasanya batal dan dia harus meng-qadhanya
setelah suci. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 824)
Penjelasan 8: Imalah (memasukkan cairan) ke dalam tubuh.
1. Imalah dengan sesuatu yang cair, meskipun karena terpaksa dan
untuk penyembuhan, akan membatalkan puasa. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 47)
2. Obat-obatan tertentu yang biasanya digunakan untuk penyembuhan
sebagian dari penyakit-penyakit wanita yang dimasukkan ke dalam tubuh, tidak
akan mengganggu keabsahan puasa. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 766)
Penjelasan 9: Muntah dengan sengaja.
1. Apabila pelaku puasa sengaja muntah, meskipun dia melakukan hal
ini karena terpaksa, sakit, dan sebagainya, maka puasanya akan menjadi batal,
akan tetapi jika dia muntah tanpa sengaja dan tanpa dia kehendaki, maka hal ini
tidaklah bermasalah. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 48)
2. Apabila bersamaan dengan saat bersendawa keluar sesuatu dari dalam
mulut, maka sesuatu tersebut wajib untuk dikeluarkan, namun apabila tertelan
secara tak sengaja, maka puasanya tetap dihukumi benar. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 49)
Beberapa poin berkenaan dengan hal-hal yang membatalkan puasa
1. Apabila pelaku puasa secara sengaja melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa maka puasanya akan menjadi batal dan jika bukan karena
kesengajaan, seperti kakinya terpeleset sehingga jatuh ke dalam air, memakan
sesuatu karena lupa, atau sesuatu dituangkan dengan paksa ke dalam mulutnya,
maka puasanya tidak akan batal, dan dalam kasus ini tidak ada perbedaan antara
puasa wajib, puasa mustahab, puasa bulan Ramadhan ataupun puasa-puasa
selainnya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 735, 797, 822, dan Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 50)
Perhatian:
Jika
pelaku puasa membatalkan puasanya sendiri dengan paksaan dari selainnya (dengan
kata lain, dipaksa untuk berbuka, seperti misalnya dengan mengatakan kepadanya
jika kamu tidak makan maka aku akan mengambil harta atau nyawamu, dan dia makan
dengan menggunakan tangannya sendiri untuk menghindari bahaya tersebut) maka
puasanya batal. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 797)
2. Apabila pelaku puasa secara tidak sengaja melakukan salah satu
dari hal-hal yang membatalkan puasa, dan setelah itu karena menyangka puasanya
telah batal lalu untuk kedua kalinya dia melakukan salah satu hal-hal yang
membatalkan puasa dengan sengaja, maka puasanya batal. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 52)
3. Jika seseorang ragu telah melakukan hal-hal yang membatalkan puasa
ataukah belum, misalnya apakah dia telah menelan debu tebal yang masuk ke dalam
rongga mulutnya ataukah belum, atau apakah dia telah menelan air yang dia
masukkan ke dalam mulut ataukah tidak, maka puasanya dihukumi benar. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 828)
PUASA (5)
Kaffarah
8. Kaffarah Berbuka
Puasa Secara Sengaja pada Puasa Bulan Ramadhan
1. Kewajiban Kaffarah dan
Hal-hal yang Berkenaan dengannya
a. Apabila pada puasa bulan Ramadhan seseorang melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa dengan sengaja, berkehendak, dan tanpa adanya halangan
syar’i, maka selain puasanya menjadi batal dan diwajibkan untuk meng-qadha-nya, dia juga dikenai kewajiban untuk membayar kaffarah, baik pada saat melakukan mufthir ini dia memiliki pengetahuan
tentang kaffarah ataupun
tidak. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 750, 822, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 53)
Perhatian:
a. Apabila seseorang yang karena adanya sebuah halangan lalu
berasumsi bahwa puasa bulan Ramadhan tidak wajib atasnya dan karenanya dia
tidak berpuasa, kemudian setelah itu diketahui ternyata puasa wajib atasnya,
maka selain harus meng-qadha puasanya, dia juga dikenai kewajiban untuk membayar kaffarah(karena, sekedar berasumsi
terhadap ketiadaan wajib puasa pada bulan Ramadhan bukan merupakan alasan yang
mencukupi untuk melakukan ifthar). Namun
jika ifthar (berbuka
puasa)-nya tersebut dikarenakan takut atau kekhawatiran akan bahaya dan
kekhawatirannya juga dapat diterima secara logis maka pada yang demikian ini
tidak terdapat kaffarah,
meskipun dia tetap wajib untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkannya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 735)
b. Apabila seseorang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa
dikarenakan ketiadaan informasi akan hukum syar’i, seperti tidak mengetahui
bahwa memasukkan kepala ke dalam air akan membatalkan puasa dan dia memasukkan
kepalanya ke dalam air, maka puasanya batal dan dia harus meng-qadhanya, namun tidak ada kewajiban untuk membayar kaffarah. Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 55)
c. Apabila seseorang melakukan sesuatu yang dia ketahui sebagai perbuatan
haram akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut dapat membatalkan
puasa, maka selain dia harus meng-qadha puasanya, berdasarkan ihtiyath
wajib, dia juga dikenai kewajiban untuk membayar kaffarah. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
792)
d. Apabila seseorang diperbolehkan atau diwajibkan untuk membatalkan
puasanya karena suatu alasan, seperti dipaksa untuk melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa atau berenang di dalam air untuk menyelamatkan seseorang yang
tenggelam, maka dalam keadaan ini tidak ada kewajiban baginya untuk membayar kaffarah, akan tetapi dia tetap harus
meng-qadha puasanya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 56)
e. Jika terdapat sesuatu dari dalam perut yang memasuki rongga mulut,
maka dilarang untuk menelannya, dan jika menelannya secara sengaja, maka qadha dan kaffarah akan menjadi wajib atasnya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 65)
f. Apabila seseorang melakukan ifthar (berbuka) karena perkataan orang lain yang mengatakan telah Maghrib dan dia
tidak mempercayai perkataannya tersebut, setelah itu dia mengetahui ternyata
belum Maghrib, maka dia wajib untuk meng-qadha dan membayar kaffarah.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 67)
g. Jika seseorang yang tengah berpuasa di bulan Ramadhan bersetubuh
dengan istrinya yang juga tengah berpuasa, dan sang istri juga rela dengan hal
itu, maka masing-masing mereka dikenai hukum melakukanifthar (berbuka) secara sengaja, dengan demikian, selain mereka wajib
untuk meng-qadha puasanya masin g-masing mereka juga wajib untuk membayar kaffarah. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
770)
2. Ukuran Kaffarah dan
Cara Pembayarannya
1. Dalam agama Islam, kaffarah yang
harus dibayar karena melakukan ifthar (berbuka
puasa) secara sengaja pada bulan Ramadhan adalah salah satu dari tiga hal
berikut:
a. Membebaskan satu orang budak.
b. Berpuasa selam dua bulan (enam puluh hari)
c. Memberi makan pada enam puluh fakir.
(Ajwibah
al-Istifta’at, no. 784, 814 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah
57)
Perhatian:
a. Dikarenakan pada saat ini tidak terdapat budak yang dapat
dibebaskan, maka mukallaf harus
melakukan salah satu dari dua hal yang lain. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 57)
b. Dalam kaitannya dengan ukuran kaffarah, tidak
ada perbedaan apakah pelaku puasa membatalkan puasanya dengan sesuatu yang
halal ataukah haram, seperti zina, masturbasi, atau makan dan minum dengan
sesuatu yang haram, meskipun berdasarkan ihtiyath
mustahab dalam ifthar (berbuka)
dengan sesuatu yang haram dianjurkan untuk membayar kaffarah majemuk yaitu selain dia harus
membebaskan seorang budak, dia juga harus berpuasa selama dua bulan dan memberi
makan enam puluh orang fakir. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 784, 785 dan Istifta’
dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 63)
c. Jika tidak ada satupun dari ketiga hal di atas yang memungkinkan
untuk dia lakukan, maka mukallafharus
memberikan makanan kepada fakir seberapapun dia mampu dan ihtiyath mustahab untuk beristighfar pula, dan
jika dia sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memberi makanan kepada
fakir, maka cukup baginya untuk beristighfar, yaitu mengucapkan “استغفر الله” (aku
memohon ampun dari Tuhanku) dengan lisan dan hati. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
811, 812 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 59)
d. Seseorang yang kewajibannya adalah membaca istighfar karena tidak
adanya kemampuan untuk berpuasa dan memberikan makanan kepada para fakir,
apabila nantinya dia memiliki kemampuan untuk berpuasa atau memberi makan
kepada fakir, maka tidak ada lagi kewajiaban baginya untuk melakukan hal
tersebut, meskipun hal ini sesuai dengan ihtiyath
mustahab. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 812 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 60)
2. Seseorang yang hendak melakukan dua bulan puasa kaffarah dari puasa bulan Ramadhan, maka
dia wajib melakukan puasanya selama satu bulan penuh secara terus menerus
ditambah dengan minimal satu hari dari bulan kedua, dan tidak menjadi masalah
jika sisanya dia lakukan secara tidak terus menerus. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 61)
3. Wanita yang hendak melakukan enam puluh hari puasa kaffarah namun pada pertengahannya
mendapatkan period atau sejenisnya, maka dia bisa melanjutkan puasa-puasanya
tersebut setelah dirinya suci, dan dia tidak dikenai kewajiban untuk mengulangnya
dari awal. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 62)
4. Pemberian makanan kepada para fakir dapat dilakukan dengan dua
cara: pertama, memberikan makanan yang siap santap kepada mereka, atau cara
yang kedua, memberikan gandum, tepung, beras atau bahan makanan lainnya dengan
ukuran 750 gram untuk setiap orangnya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 58)
5. Seseorang yang hendak membayar kaffarahnya
dengan memberi makanan kepada enam puluh orang fakir (dengan cara yang telah kami
sebutkan di atas) apabila dia tidak mampu mendapatkan enam puluh orang fakir,
dia tidak dapat memberikan jatah dua orang atau lebih kepada satu orang,
melainkan wajib baginya memberikan kepada keseluruhan dari enam puluh orang
tersebut dengan masing-masingnya satu saham. Tentu saja dia dapat memberikan
saham untuk satu keluarga kepada satu orang fakir lalu dimanfaatkan oleh
mereka. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 71)
Perhatian:
Dalam
masalah kefakiran, tidak ada perbedaan antara besar, kecil, laki-laki ataupun
wanita. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 71)
3. Hukum-hukum Kaffarah
1. Apabila pelaku puasa dalam satu hari melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa secara berulang kali, maka dia hanya dikenai kewajiban untuk
membayar satu kaffarah. Memang
jika hal yang dia lakukan adalah persetubuhan atau masturbasi, maka berdasarkan ihtiyath wajib dia harus membayarkaffarahnya sebanyak dia melakukan persetubuhan atau masturbasi. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 794 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 64)
2. Seseorang yang membatalkan puasanya secara sengaja, jika setelah
itu dia pergi melakukan perjalanan (safar),
kewajibannya untuk membayar kaffarah tetap
tidak akan gugur darinya. Oleh karena itu, apabila seseorang terbangun dari
tidur dalam keadaan janabah dan dia mengetahui tentang kejunuban dirinya namun
dia tidak melakukan tayamum ataupun mandi hingga sebelum fajar lalu dia
memutuskan bahwa setelah terbit fajar dia akan melakukan sebuah perjalanan
untuk melarikan diri dari puasa, dan dia pun telah melakukan hal ini, maka
hanya dengan keputusannya pada malam hari untuk melakukan perjalanan pada
keesokannya tidaklah cukup untuk menggugurkan kewajibannya membayar kaffarah. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
775 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 68)
3. Seseorang yang telah dikenai kewajiban untuk membayar kaffarah, tidak ada keharusan baginya
untuk membayar kaffarah-nya
dengan segera, akan tetapi tidak ada juga kebolehan baginya untuk menundanya
sehingga dikatakan telah meremehkan dalam melaksanakan kewajiban. (Istifta’
dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 69)
4. Kaffarah wajib, jika belum juga dibayar
hingga selang beberapa tahun, tidak akan ada sesuatu yang bertambah atasnya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 70)
5. Berkaitan dengan kaffarah puasa,
tidak ada kewajiban untuk melaksanakan secara tertib antara puasakaffarah dengan
puasa qadha. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
807)
PUASA (6)
Poin-poin bahasan:
· Kaffarah karena Ifthar (berbuka)
pada puasa Qadha Ramadhan
· Kaffarah yang Ditunda
· Fidyah
9. Kaffarah karena
Berbuka pada Puasa Qadha Ramadhan
1. Menjadi
Wajibnya kaffarah dan hal-hal yang berkenaan dengannya
Seseorang
yang tengah melakukan puasa qadha Ramadhan
tidak diperbolehkan membatalkan puasanya setelah Dhuhur, dan jika sengaja
melakukan hal ini, maka dia harus membayar kaffarah.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 805)
Perhatian:
1. Seseorang yang melakukan puasa qadha bulan
Ramadhan, dia bisa melakukan ifthar (berbuka)
sebelum Dhuhur, dengan syarat waktu untuk melakukan puasa qadha tidaklah sempit, akan tetapi
jika waktu telah sempit, misalnya seseorang memiliki tanggungan untuk membayar
5 hari puasa qadha sedangkan
waktu yang tersisa hingga bulan Ramadhan pun tidak lebih dari 5 hari, maka
dalam keadaan ini berdasarkanihtiyath
wajib, tidak ada kebolehan baginya untuk melakukan ifthar (berbuka) sebelum Dhuhur
(demikian juga ifthar setelah Dhuhur), meskipun jika dia berbuka tidak akan
dikenai kaffarah.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 805 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 87)
2. Apabila seseorang disewa untuk melakukan puasa qadha bulan Ramadhan dan dia
melakukan iftharsetelah
tergelincirnya matahari (zawal), maka tidak ada kewajiban baginya untuk
membayar kaffarah.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 809)
2. Ukuran kaffarah
Kaffarah untuk ifthar ketika tengah melakukan puasa qadha bulan Ramadhan adalah
memberikan makanan kepada sepuluh orang fakir dan jika tidak mampu, wajib
baginya untuk melakukan puasa selama tiga hari. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 805
dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 72)
10. Kaffarah Ta’khir (menunda)
1. Menjadi
wajibnya kaffarah dan hal-hal yang berkenaan dengannya
a. Seseorang yang tidak melakukan puasa Ramadhan karena suatu halangan
dan dia tidak meng-qadhapuasanya
hingga Ramadhan berikutnya karena meremehkannya dan tanpa adanya alasan, maka
selain dia tetap wajib meng-qadha puasanya dia juga wajib membayar kaffarah untuk
tiap-tiap harinya. Akan tetapi apabila seseorang mengakhirkan qadha puasa Ramadhannya karena
halangan menerus yang menjadi penghalang baginya untuk berpuasa, seperti
misalnya melakukan perjalanan hingga Ramadhan berikutnya, maka cukup baginya
untuk melaksanakan qadha puasa
yang telah ditinggalkannya dan tidak ada kewajiban baginya untuk membayar kaffarah, meskipun ihtiyath mustahab untuk menggabung keduanya,
yaitu meng-qadha puasanya dan juga membayar kaffarah.
Sedangkan untuk orang-orang yang menderita suatu penyakit, akan terdapat
penjelasan lebih lanjut nantinya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 736, 803, 810,
dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 89 dan 90)
Perhatian:
1. Kaffarah karena menunda qadha puasa hingga Ramadhan tahun
berikutnya tetap tidak bisa gugur meskipun hal itu terjadi karena ketidaktahuan
seseorang akan menjadi wajibnya kaffarah tersebut.
Oleh karena itu, apabila seseorang mengakhirkan qadha puasanya
hingga sebelum bulan Ramadhan tahun berikutnya karena ketidaktahuannya terhadap
kewajiban untuk melakukan qadha puasa,
maka untuk tiap-tiap harinya dia wajib membayar kaffarah ta’khir (menunda).
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 813)
2. Kaffarah ta’khir (menunda) qadha puasa bulan Ramadhan -meskipun
ditunda hingga sekian tahun- hanya wajib dilakukan satu kali, dan dengan
berlalunya beberapa tahun tidak akan bisa menggandakannya, oleh karena itu
apabila seseorang menunda qadha puasa
bulan Ramadhannya hingga beberapa tahun, maka dia harus meng-qadha-nya dan untuk tiap-tiap harinya membayarkan satu kaffarah ta’khir.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 803 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 91)
2. Ukuran Kaffarah
Ukuran kaffarah ta’khir adalah
sejumlah satu mud makanan yang harus
diberikan kepada fakir. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 92)
Perhatian:
Seseorang
yang untuk setiap harinya harus memberikan satu mud makanan, maka dia bisa
memberikankaffarah beberapa harinya kepada satu orang fakir. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 92)
11. Fidyah
1. Hal-hal yang
Berkenaan dengan Fidyah
Fidyah akan
berlaku pada kelompok berikut:
a. Laki-laki dan wanita tua yang puasa sangat menyusahkan bagi
mereka.
b. Seseorang yang memiliki penyakit istisqa’ yaitu
selalu kehausan dan puasa merupakan sebuah hal yang sangat menyusahkan baginya.
c. Wanita hamil yang telah dekat dengan waktu melahirkan dan puasa
akan membahayakan kandungannya.
d. Wanita menyusui yang produksi asinya hanya sedikit sehingga jika
melakukan puasa akan membahayakan anak yang dia susui.
e. Seseorang yang sakit dan puasa akan membahayakannya dan penyakitnya
akan berlanjut hingga Ramadhan tahun berikutnya.
Penjelasan:
a. Wanita hamil yang khawatir dengan berpuasa akan membahayakan janin
yang dikandungnya, maka wajib baginya untuk berbuka lalu untuk setiap harinya
dia harus memberikan fidyah sedangkan qadhapuasanya harus dia lakukan nantinya. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
803 dan 806)
b. Wanita menyusui yang khawatir dengan berpuasa akan menimbulkan
bahaya bagi bayinya karena kurangnya produksi asi atau asinya akan kering
karenanya, maka dia harus melakukan ifthar (berbuka)
dan untuk setiap harinya membayar fidyah,
sedangkan qadha puasa,
harus dia lakukan nantinya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 747)
c. Orang sakit yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan karena
penyakitnya dan penyakitnya berlanjut hingga Ramadhan tahun berikutnya, maka
tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qadha puasa-puasa yang ditinggalkannya, hanya saja dia harus membayar fidyah untuk tiap-tiap harinya.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 749, 752, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 88)
Perhatian:
1. Wanita yang dimaafkan dari puasa karena penyakitnya dan dia tidak
memiliki kemampuan pula untuk meng-qadha-nya
hingga Ramadhan tahun berikutnya karena penyakitnya yang berlanjut, wajib
baginya untuk membayar fidyah, dan tidak
ada sesuatu yang menjadi tanggungan suaminya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 804)
2. Wanita yang mengandung dalam dua tahun berturut-turut dan dia
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan alasan syar’i, maka kewajibannya
hanyalah melakukan qadha. Namun
bila dia melakukan iftharkarena
kekhawatiran akan bahaya bagi janin atau anaknya, maka selain dia harus meng-qadha puasanya
dia juga harus membayar fidyah dan jika
dia menunda qadhanya
setelah bulan Ramadhan hingga bulan Ramadhan tahun berikutnya tanpa alasan
syar’i maka selain dia harus meng-qadha,
membayar fidyah, dia
juga harus membayar kaffarah menunda qadha puasa. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 806)
2. Ukuran Fidyah
Ukuran fidyah sama sebagaimana ukuran kaffarah ta’khir yaitu
satu mud makanan yang harus diberikan kepada fakir. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
747, 752, dan 806)
Satu poin berkenaan dengan Kaffarah
Jika
seseorang bernadzar akan melakukan puasa pada hari tertentu, dan dia tidak
melakukannya pada hari itu karena sengaja atau dia sengaja membatalkan
puasanya, maka dia harus membayar kaffarah.
Perhatian:
Kaffarah nadzar tak lain
adalah kaffarah sumpah
yang akan dibahas pada tempatnya secara tersendiri. (Istifta’ dari Kantor
Rahbar, Bab Puasa, masalah 66)
PUASA (7)
Poin-poin bahasan:
· Puasa-puasa yang wajib di-qadha (diganti),
akan tetapi tidak wajib kaffarah
· Hukum-hukum meng-qadha dan mengganti puasa
· Hukum-hukum puasa qadha bagi ayah dan ibu
· Dan hukum-hukum puasa musafir (orang yang
melakukan safar)
Penjelasan:
12. Puasa-puasa yang
Wajib Qadha akan tetapi Tidak Wajib Kaffarah
1. Seseorang yang tidak berniat puasa pada hari di bulan Ramadhan,
atau melakukan puasa karena riya, akan tetapi tidak melakukan satupun hal-hal
yang bisa membatalkan puasa, dia tetap wajib untuk meng-qadha dan
mengganti puasanya khusus hari itu, akan tetapi tidak ada kewajiban baginya
untuk membayar dan memberikan kaffarah.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 73)
2. Seseorang yang pada bulan Ramadhan lupa melakukan mandi janabah
dan dia melakukan puasanya selama beberapa hari dengan keadaan janabahnya
tersebut, maka wajib baginya untuk meng-qadhapuasanya
sebanyak hari tersebut. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 74)
3. Jika pada dini hari bulan Ramadhan, seseorang melakukan hal-hal
yang bisa membatalkan puasanya tanpa terlebih dahulu mencari informasi waktu
telah Subuh ataukah belum, kemudian jelas bahwa waktu itu telah Subuh, maka dia
harus meng-qadha puasanya hari itu, akan tetapi jika dia telah mencari informasi
dan dia mengetahui bahwa waktu belum Subuh sehingga dia memakan sesuatu dan
setelah itu mengetahui ternyata telah Subuh, maka tidak ada kewajiban baginya
untuk meng-qadha puasanya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 91)
4. Apabila pada bulan Ramadhan seseorang yakin terhadap telah tibanya
waktu Maghrib dikarenakan udara yang gelap, atau seseorang -yang secara syar’i
kabarnya bisa dipercaya- memberitakan bahwa waktu Maghrib telah tiba sehingga
dia berbuka karenanya, namun kemudian jelas baginya ternyata pada saat itu
Maghrib belum tiba, maka wajib baginya untuk meng-qadha puasanya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 76)
5. Apabila dikarenakan pengaruh awan seseorang menyangka bahwa waktu
Maghrib telah tiba kemudian dia berbuka, setelah itu menjadi jelas baginya
bahwa waktu Maghrib belum tiba, maka tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qadha puasanya.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 77)
6. Pada waktu sahur bulan Ramadhan selama seseorang belum yakin bahwa
fajar telah terbit, maka dia bisa melakukan hal-hal yang bisa membatalkan
puasa, akan tetapi apabila kemudian jelas ternyata saat itu telah Subuh, maka
hukumnya sebagaimana yang terdapat pada masalah 3 (tidak ada kewajiban baginya
untuk meng-qadha puasanya).
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 78)
7. Pada bulan Ramadhan selama seseorang belum yakin bahwa waktu
Maghrib telah tiba, dia tidak boleh melakukan ifthar (berbuka),
dan apabila dia melakukan ifthar dengan
keyakinan telah Maghrib namun setelah itu diketahui ternyata belum, maka
hukumnya sebagaiman yang telah dikatakan pada masalah 4 dan 5.
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 79)
8. Apabila seseorang yang tengah berpuasa berkumur pada saat wudhu
–dimana hal ini merupakan salah satu hal yang dimustahabkan- lalu air tertelan
ke dalam tanpa dia sadari, maka puasanya benar dan tidak ada kewajiban untuk
meng-qadhanya. Akan
tetapi apabila dia melakukan hal ini bukan untuk berwudhu melainkan untuk
mencari kesejukan dan sepertinya, dan secara tak sadar airnya tertelan ke
dalam, maka dia harus meng-qadha puasanya hari itu. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 80)
13. Hukum-hukum
puasa qadha
1. Seseorang yang selama beberapa hari berada dalam keadaan tak sadar
atau koma dan meninggalkan puasa wajibnya, maka tidak ada kewajiban baginya
untuk meng-qadha puasanya tersebut. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,
masalah 81)
2. Seseorang yang meninggalkan puasa karena mabuk, misalnya tidak
melakukan niat untuk berpuasa karena mabuk, meskipun dia melakukan imsak pada keseluruhan hari, di tetap
dikenai kewajiban untuk meng-qadha puasa yang telah dia tinggalkan. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 82)
3. Seseorang yang melakukan niat untuk berpuasa akan tetapi setelah
itu dia mabuk dan seluruh hari atau sebagian darinya dia lalui dalam keadaan
mabuk, berdasarkan ihtiyath wajib dia harus
meng-qadhapuasanya
hari itu, khususnya jika mabuk yang dialaminya adalah mabuk dalam tingkatan
yang dahsyat sehingga menyebabkan hilangnya akal. (Istifta’ dari Kantor Rahbar,
Bab Puasa, masalah 83)
Perhatian:
Pada
masalah ini dan masalah sebelumnya tidak ada perbedaan antara apakah pemakaian
bahan yang memabukkan merupakan hal yang haram baginya atau karena alasan
penyakit atau ketiadaan informasi terhadap masalah, ataupun bahan yang
memabukkan tersebut sebenarnya halal. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 83)
4. Hari-hari di mana wanita tidak berpuasa karena haid atau
melahirkan, maka puasa-puasanya tersebut harus dia qadha setelah
bulan Ramadhan. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 84)
5. Seseorang yang tidak melakukan puasa Ramadhan beberapa hari karena
suatu halangan dan dia tidak mengetahui berapa jumlahnya, misalnya dia tidak
mengetahui apakah dia pergi melakukan perjalanan pada hari ke dua puluh lima
bulan Ramadhan sehingga misalnya jumlah hari dimana dia meninggalkan puasa
adalah enam hari, ataukah pada hari ke dua puluh enam sehingga dia hanya
meninggalkan puasanya selama lima hari, maka dia bisa mengqadha puasanya
dengan jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi apabila dia mengetahui mulainya
halangan (misalnya safar)
misalnya dia mengetahui bahwa dia pergisafar pada hari ke lima akan tetapi dia tidak mengetahui apakah dia
kembali pada malam ke sepuluh (sehingga dia meninggalkan puasanya selama lima hari)
ataukah malam ke sebelas (sehingga dia meninggalkan puasanya selama enam hari),
maka dalam keadaan ini ihtiyath wajib dia harus
mengqadhadalam
jumlah yang lebih besar. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 86)
6. Apabila seseorang memiliki qadha puasa
dari beberapa bulan Ramadhan, maka tidak ada masalah apabila dia menqadha puasanya
yang manapun terlebih dahulu akan tetapi apabila waktu qadha untuk Ramadhan terakhir telah
sempit, misalnya dia mempunyai qadha lima hari
dari Ramadhan terakhir dan waktu yang tersisa hingga Ramadhan berikutnya
tinggal lima hari, dalam keadaan ini ihtiyath
wajib untuk mengqadha puasa Ramadhan yang terakhir. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab
Puasa, masalah 86)
7. Seseorang yang tengah melakukan puasa qadha Ramadhan bisa melakukan ifthar sebelum Dhuhur dengan syarat
waktu untuk qadha tidak
sempit akan tetapi dia tidak bisa melakukan hal ini setelah Dhuhur. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 805)
8. Jika seseorang tidak berpuasa Ramadhan karena sakit dan
penyakitnya berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikutnya maka tidak ada
kewajiban baginya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya akan tetapi apabila dikarenakan
halangan lainnya (misalnya karena melakukan perjalanan) dan halangannya
berlanjut hingga tahun berikutnya maka dia wajib untuk mengqadha puasa-puasa
Ramadhan yang tidak dilakukannya, demikian juga apabila karena alasan sakit
sehingga dia tidak melakukan puasa kemudian setelah penyakitnya sembuh muncul
halangan lainnya seperti karena melakukan perjalanan. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 736, 749, 752 dan 810)
Satu poin berkenaan dengan qadha Puasa
Ketidakmampuan
untuk melakukan puasa dan puasa qadha hanya
dikarenakan kelemahan fisik dan ketidakmampuannya tidak akan menggugurkan
kewajibannya untuk melakukan qadha-nya,
oleh karena itu, seorang putri yang telah sampai pada usia taklif dan karena
kelemahan jasmaninya tidak mampu berpuasa dan hingga bulan Ramadhan tahun
berikutnya belum melaksanakan qadha puasanya
dia tetap wajib untuk mengqadha puasa-puasa yang ditinggalkannya, demikian juga bagi seseorang
yang tidak berpuasa selama beberapa tahun dan telah bertaubat, kembali ke jalan
Allah dan memutuskan untuk menggantinya maka dia wajib untuk mengqadha puasa-puasa
yang ditinggalkannya dan apabila tidak mampu, maka qadha puasa ini tetap tidak akan
gugur darinya dan akan tetap berada dalam tanggungannya. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 736, 749, 752, 810, dan 811)
14. Hukum-hukum
Puasa Qadha untuk Ayah dan Ibu
1. Apabila ayah dan -berdasarkan ihtiyath
wajib- ibu tidak melakukan puasa karena halangan selain safaratau sebelumnya mampu mengqadha akan tetapi belum mengqadhanya, maka
setelah mereka berdua meninggal dunia, wajib atas putra tertua untuk mengqadha puasa-puasa
yang mereka tinggalkan tersebut, baik dia sendiri yang melakukan puasa-puasa
tersebut ataupun dengan menyewa orang lain untuk meng-qadha-kannya. Sedangkan untuk puasa-puasa yang tidak mereka lakukan
karena perjalanan, tetap wajib hukumnya untuk meng-qadha-kannya meskipun pada saat itu mereka (kedua orangtuanya) tidak
mendapatkan kesempatan dan kemungkinan untuk meng-qadha-nya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 93)
2. Puasa-puasa yang tidak dilakukan oleh ayah dan ibu secara sengaja,
berdasarkan ihtiyath wajib harus di-qadha-kan oleh
putra tertua, baik dengan melakukannya sendiri ataupun dengan menyewa orang
lain. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 92)
3. Berkaitan dengan shalat dan puasa qadha ayah dan
ibu, tidak ada pengutamaan antara puasa atau shalat, masing-masing dapat
dilakukan lebih awal atas lainnya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 537)
15. Hukum-hukum
Puasa Musafir
1. Seseorang yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan, pada
setiap perjalanan yang menyebabkan shalat menjadi qashr, maka
tidak ada kebolehan baginya untuk melakukan puasa, dan pada tempat dimana dia
harus melakukan shalatnya empat rakaat (secara utuh), seperti musafir yang berniat untuk tinggal di
suatu tempat selama sepuluh hari, atau perjalanan merupakan pekerjaannya, maka
wajib baginya untuk berpuasa (kecuali pada kasus-kasus yang terkecualikan).
(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 95)
2. Apabila pelaku puasa melakukan perjalanan setelah Dhuhur, maka dia
harus menyelesaikan puasanya, akan tetapi apabila dia melakukannya sebelum
Dhuhur maka puasanya akan menjadi batal, namun sebelum sampai pada batas tarakhkhush dia tidak boleh melakukan ifthar (berbuka), jika dia telah iftharsebelum itu (sebelum mencapai batas tarakhkhush maka
berdasarkan ihtiyath dia harus
membayar kaffarah(karena
alasan berbuka puasa secara sengaja pada puasa bulan Ramadhan). (Ajwibah
al-Istifta’at, no 798, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar)
3. Jika sebelum Dhuhur seorang musafir telah
sampai di wathan-nya atau
di tempat yang dia berniat tinggal selama sepuluh hari, sementara hingga saat
itu dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka dia harus
berpuasa, dan jika dia telah melakukannya berarti dia wajib untuk meng-qadha-nya setelah itu, akan tetapi apabila dia sampai di tempat
tujuannya setelah Dhuhur, maka dia tidak ada kebolehan baginya untuk melakukan
puasanya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 738)
4. Melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan adalah diperbolehkan
meskipun dengan niat untuk melarikan diri dari puasa Ramadhan. Tentunya akan
lebih baik apabila tidak pergi melakukan perjalanan, kecuali jika perjalanan
ini merupakan suatu hal yang baik atau sangat penting. (Ajwibah al-Istifta’at,
no 742, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 96)
Satu poin berkenaan dengan Puasa Musafir
Seorang musafir yang memutuskan melakukan I’tikaf di Masjidil Haram, apabila dia
berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di Mekkah Mukarramah atau bernadzar akan
melakukan puasa pada saat safar, maka
wajib atasnya setelah berpuasa selama dua hari untuk melengkapi puasa I’tikaf-nya menjadi tiga hari. Akan
tetapi apabila tidak berniat tinggal atau tidak memiliki nadzar untuk puasa di perjalanan, maka
puasanya di dalam perjalanan adalah tidak sah dan dengan ketidakabsahan puasa
berarti keabsahan I’tikaf pun akan
terganggu. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 833)
PUASA (8)
Poin-poin bahasan: Metode Menentukan Awal Bulan
· Lain-lain
Penjelasan:
16. Metode menentukan
Awal Bulan
Metode-metode
untuk menentukan awal bulan terdiri dari:
1. Ru’yah (melihat bulan) dari mukallaf itu sendiri.
2. Kesaksian dari dua orang adil.
3. Kemasyhuran yang merupakan manfaat ilmiah.
4. Berlalunya tiga puluh hari.
5. Hukum dari Hakim.
(Ajwibah
al-Istifta’at, no. 848)
Penjelasan:
1. Tolok
ukur dari penentuan awal bulan adalah hilal bulan
yang tenggelam setelah matahari terbenam, yang memungkinkan untuk dapat dilihat
sebelum tenggelamnya. Oleh karena itu hilal yang
tenggelam sebelum tenggelamnya matahari atau bersamaan dengan tenggelamnya
matahari dianggap tidak mencukupi. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 834)
Perhatian:
a. Tidak ada perbedaan antara ru’yah dengan
menggunakan peralatan dan ru’yah biasa,
keduanya bisa diakui kebenarannya. Tolok ukurnya adalah bahwa hal tersebut
dapat dikatakan sebagai perbuatan ru’yah(melihat).
Karenanya, hukum ru’yah dengan
mata (telanjang) dan ru’yah dengan
kacamata dan sebagainya adalah sama. Memang, pengambilan gambar hilal dengan menggunakan alat
komputer dan sarana-sarana semacamnya yang tidak dapat dipastikan sebagai
perbuatan ru’yah adalah
bermasalah (isykal).
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 835)
b. Istihlal (melihat hilal) secara sendirinya bukanlah merupakan kewajiban syar’i.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 847)
c. Hanya dengan kecil dan rendahnya hilal atau
besar dan tingginya dan sebagainya tidak dapat dianggap sebagai bukti malam
pertama atau kedua, akan tetapi apabila dengan hal tersebut mukallaf mendapatkan
keyakinan terhadap sesuatu maka dia harus bertindak sesuai dengan keyakinannya
dalam masalah ini. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 845 dan 846)
d. Awal bulan tidak bisa dibuktikan melalui kalender dan perhitungan
ilmiah para ahli perbintangan kecuali apabila perkataan mereka menimbulkan
keyakinan. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 834, 848)
2. Apabila pada sebuah kota telah dibuktikan awal bulan maka hal ini
dianggap mencukupi untuk kota-kota lain yang berdekatan dengannya, demikian
juga untuk kota-kota terpencil yang memiliki satu ufuk. Demikian juga apabila
di negara sebelah timur telah melihat bulan maka hal ini telah dianggap
mencukupi untuk orang-orang yang berada di sebelah barat dari kota tersebut
(misalnya awal bulan telah terbukti di kota Masyhad, tentu saja hal ini telah
mencukupi bagi orang-orang yang berada di kota Teheran, akan tetapi hanya
gambarnya saja tidaklah mencukupi. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 837, 838 dan 840)
Perhatian:
Yang
dimaksud dengan kesatuan ufuk adalah kota-kota yang berada dalam satu garis
bujur. Oleh karena itu apabila dua kota berada dalam satu garis bujur (yang
dimaksud garis bujur di sini adalah dalam istilah astronomi (perbintangan)
berarti mereka berada dalam satu ufuk. Secara global perbedaan antara ufuk dua
kota bisa menyebabkan hilal bisa dilihat di satu kota dan tidak bisa dilihat di
kota lainnya, oleh karena itulah sehingga ru’yah di kota sebelah barat tidak
cukup bagi para penduduk di kota sebelah timur yang masa terbenamnya matahari
berlangsung lebih cepat daripada barat, namun tidak demikian dengan sebaliknya.
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 837, 839, dan 840)
3. Hanya dengan terbuktinya kemunculan hilal bagi seorang hakim
tidaklah mencukupi untuk diikuti oleh orang lain selama hakim belum
memutuskannya, kecuali jika ia (selain hakim) memiliki keyakinan terhadap
kemunculan hilal. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 843)
Perhatian:
a. Apabila seseorang melihat hilal bulan dan mengetahui bahwa ru’yah
hilal untuk hakim syar’i di kota tempat tinggalnya tidak memungkinkan dari
segala sisi, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberitahukan ru’yah hilal
ini kepada hakim syar’i, kecuali jika dengan meninggalkan hal tersebut akan
menimbulkan dampak-dampak yang negative (mafsadah).
(Ajwibah al-Istifta’at, no. 842)
b. Jika hakim memutuskan (mengeluarkan hukum) bahwa besok adalah hari
raya dan hukum ini berlaku untuk seluruh penjuru negara maka hukum ini secara
syar’i berlaku untuk seluruh kota dalam satu negara. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 844)
c. Dalam mengikuti pengumuman ru’yah hilal melalui suatu
pemerintahan, tidak disyaratkan ke-Islam-annya pemerintahan tersebut, melainkan
tolok ukurnya dalam kasus ini adalah dihasilkannya kemantapan dan keyakinan yang
cukup terhadap ru’yah di wilayah tempat tinggal mukallaf. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 849)
d. Apabila hilal bulan tidak bisa dilihat dari suatu kota akan tetapi
televisi dan radio menyiarkan keadaan tersebut, jika hal ini mampu menghasilkan
keyakinan terhadap kemunculan hilal atau dikeluarkannya hukum tentang hilal
dari wali faqih, maka hal tersebut telah dianggap mencukupi dan tidak
memerlukan penelitian. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 836)
4. Apabila awal bulan tidak bisa dibuktikan melalui ru’yah hilal bahkan
di ufuk kota-kota berdekatan yang memiliki satu ufuk atau dari kesaksian dua
orang adil atau dari hukum hakim, maka mukallaf wajib
untuk melakukan ihtiyath hingga awal bulan terbukti. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 837)
5. Apabila awal bulan Ramadhan belum terbukti maka tidak ada
kewajiban untuk melakukan puasa, akan tetapi apabila kemudian terbukti bahwa
hari itu dimana dia tidak berpuasa merupakan awal bulan Ramadhan, maka dia
wajib untuk mengqadhanya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 846)
6. Hari dimana seseorang ragu merupakan hari terakhir bulan Ramadhan
ataukah awal bulan Syawal, maka dia wajib untuk berpuasa, akan tetapi apabila
pada pertengahan hari diketahui ternyata hari tersebut adalah awal bulan
Syawal, maka dia harus melakukan ifthar (berbuka),
meskipun telah mendekati Maghrib. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 846)
17. Lain-lain
1. Pada tempat dimana mayoritas masyarakatnya pada malam-malam bulan
Ramadhan terjaga untuk membaca Al-Qur’an, do’a, mengikuti ritual-ritual
keagamaan dan sepertinya, menyiarkan program-program khusus sahur-sahur pada
bulan ini melalui pengeras suara masjid supaya didengar oleh semuanya, tidaklah
bermasalah, akan tetapi apabila hal ini akan mengganggu tetangga masjid, maka
tidak diperbolehkan. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 831)
2. Membaca doa-doa khusus bulan Ramadhan yang termaktub dalam bentuk
doa-doa dari hari pertama hingga hari terakhir, apabila dilakukan dengan maksud
untuk mencari pahala, maka hal ini tidaklah bermasalah. (Ajwibah al-Istifta’at,
no. 831)
3. Jika seseorang tengah berpuasa mustahab maka tidak ada kewajiban
baginya untuk menyelesaikannya hingga akhir dan dia bisa berbuka kapan saja dia
inginkan, bahkan apabila ada orang lain yang mengundangnya makan, mustahab
baginya untuk memenuhi undangan tersebut lalu melakukan ifthar pada pertengahan hari. Makan
dalam undangan salah seorang saudara mukmin meskipun hal ini akan membatalkan
puasa akan tetapi tidak akan menghilangkan pahala puasanya. (Ajwibah
al-Istifta’at, no. 830)
4. Jika pelaku puasa telah melakukan ifthar pada saat
terbenamnya matahari di negaranya, kemudian dia melakukan perjalanan ke tempat
lain dimana saat itu matahari belum terbenam, maka puasanya tetap dianggap sah
dan di tempat tersebut sebelum matahari terbenam pun dia diperbolehkan
melakukan hal-hal yang bisa membatalkan puasa meskipun misalnya dia telah
melakukan ifthar di
negaranya sendiri ketika matahari telah terbenam. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
826)
5. Jika seseorang berpuasa dari awal bulan Ramadhan hingga hari ke
dua puluh tujuh di wathan-nya sendiri,
kemudian pada pagi hari ke dua puluh delapan dia melakukan perjalanan ke sebuah
kota yang seufuk dan tiba di sana pada hari ke dua puluh sembilan, lalu dia
menyadari ternyata di tempat tersebut hari raya telah diumumkan, jika
pengumuman hari raya pada hari ke dua puluh sembilan di tempat tersebut sesuai
dengan tata cara syar’i dan dilakukan dengan benar, maka dia tidak memiliki
kewajiban untuk mengqadha puasanya hari itu akan tetapi dengan kasus seperti
ini berarti dia telah meninggalkan satu hari puasa pada hari pertama awal
bulan, oleh karena itu dia wajib untuk mengqadha puasanya yang yakin telah dia
tinggalkan. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 825) [IM/IS]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar