Laman

Rabu, 20 Juli 2011

Apakah Abu Hurairah bukan Sahabat Nabi?


Beranikah dari sekarang ini saudara-saudara kita Ahlusunah meninggalkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai konsekuensi mereka terhadap penghormatan kepada Ummul Mukminin Aisyah dan Khalifah Umar dan Ali? Beranikah dari sekarang saudara-saudara Ahlusunah menyatakan bahwa dua kitab Bukhari dan Muslim tidak lagi disebut sebagai kitab Shahih karena terdapat ratusan riwayat Abu Hurairah, sebagai bukti ketaatan mereka terhadap Ummul Mukminin Aisyah, Khalifah kedua (Umar bin Khatab) dan keempat (Ali bin Abi Thalib)? Mungkinkah saudara Ahlusunah menyatakan bahwa Umar bin Khatab sebagai Khalifaturrasyidiin yang wajib ditaati, tetapi di sisi lain tetap mengambil riwayat-riwayat dari orang (spt Abu Hurairah) yang telah divonis sebagai pembohong, bahkan dilarang untuk meriwayatkan hadis oleh sahabat Umar?

Apakah Abu Hurairah bukan Sahabat Nabi? 
Abu Hurairah sebagai sosok terkemuka di jajaran perawi hadis Ahlussunah yang meriwayatkan tidak kurang dari lima ribu hadis yang bisa dilihat dalam kitab-kitab standart mereka. Imam Bukhari sendiri menukil tidak kurang dari empat ratus hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Di sini kita akan lihat, siapakah sosok Abu Hurairah?

Bukankah Abu Hurairah yang dikatakan oleh khalifah pertama (Umar bin Khatab) sebagai musuh Allah dengan ucapannya: “Wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, engkau telah mencuri harta Allah”? (ya ‘aduwallah wa ‘aduwa kitabihi saraqta maalallah). (Lihat: at-Tabaqot al-Kubra Jil:4 Hal:335, Siar a’alam an-Nubala’ Jil:2 Hal:612) Lantas kenapa musuh Allah -menurut versi khalifah kedua Ahlusunnah ini- masih dipakai dan dipercaya oleh Imam Bukhari dalam periwayatan hadis? Apakah Imam Bukhari tidak percaya lagi terhadap Umar bin Khatab, atau bahkan meremehkan anjuran-anjuran seorang khalifaurrasyidiin? Bukankah Umar adalah sahabat dan khalifah Rasul yang harus diikuti?

Bukankah Abu Hurairah adalah pribadi yang terkenal dikalangan sahabat sebagai manusia yang tidak dapat dipercaya (baca: pembohong). Hal ini sebagaimana yang telah dinukil dari beberapa sahabat tentang dia, semisal: Ummul mukminin Aisyah, Umar bin Khatab, Marwan bin Hakam, Ali bin Abi Thalib…dsb. Sampai-sampai ummul mukminin Aisyah pernah mengatakan: “Apakah gerangan hadis-hadis yang telah engkau sampaikan atas nama Nabi ini? Bukankah apa yang telah engkau dengar juga sebagaimana yang telah kami dengar? Dan bukankah yang telah engkau lihat juga telah kami lihat?” (Lihat: Siar a’lam an-Nubala’ Jil:2 Hal:604/612/613, at-Tabaqot al-Kubra Jil:4 Hal:335) Pertanyaannya sama, apakah imam Bukhari dan Muslim sudah tidak percaya lagi terhadap istri Rasul yang bergelar ummulmukminin serta sahabat-sahabat besar Rasul di atas tadi? Sehingga dari situlah Ibnu Abil Hadid yang bermazhab muktazilah dalam Syarh Nahjul Balaghah menukil ungkapan beberapa ulama Ahlussunah semisal Abu Hanifah yang menyatakan: “Semua sahabat adil kecuali Abu Hurairah, Anas bin Malik…” (Syarh Nahjul Balaghah, Jil:4 Hal:69). Atau menukil ungkapan Jahidh dari kitabnya yang terkenal “at-Tauhid”, yang menyatakan: “Abu Hurairah adalah pribadi yang tidak dapat dapat dipercaya dalam masalah periwayatan (hadis) dari Rasulullah…sebagaimana Ali tidak mempercayainya, bahkan mencelanya. hal serupa juga yang dilakukan oleh Umar dan Aisyah (terhadap Abu Hurairah)” (Syarh Nahjul Balaghah, Jil:20 Hal:31). Apakah Imam Bukhari mengaku sebagai orang yang lebih mulia dari Umar, Aisyah dan Ali sehingga ia tetap mempercayai Abu Hurairah dalam periwayatan hadis, dan meremehkan pendapat mereka dengan tidak mengindahkan penilaian mereka terhadap Abu Hurairah? Bukankah menurut mayoritas Ahlusunnah menyatakan bahwa para sahabat layak -bahkan wajib- untuk diikuti, sebagai Salaf Saleh?

Bukankah Abu Hurairah juga terkenal sebagai periwayat hadis-hadis yang merendahkan martabat para nabi Allah? Sebagai contoh, hadis yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim as pernah berbohong sebanyak tiga kali;“Ibrahim tiada pernah berbohong kecuali sebanyak tiga kali” (Shahih Bukhari Jil:4 Hal:112). Atau hadis tentang peristiwa nabi Musa berlari dalam keadaan bugil dihadapan Bani Israil sehingga nampak kemaluannya oleh mereka, itu beliau lakukan hanya bertujuan untuk menangkal sangkaan buruk mereka terhadap beliau. (Shahih Bukhari Jil:4 Hal:126 dan pada bab Bad’u al-Khalq Jil:2 Hal:247)…dsb, yang semuanya merupakan kisah-kisah penghinaan atas pribadi para nabi Allah. Dari situlah akhirnya Fakhru ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabir menyatakan: “tiada layak dihukumi pribadi yang berbohong atas nama para nabi kecuali dengan sebutan Zindiq”. Dalam kesempatan lain ia menyatakan: “Menyatakan bohong atas perawi hadis tadi (yaitu: Abu Hurairah) lebih tidak berbeban ketimbang menyandarkannya (kebohongan) pada khalil ar-Rahman (yaitu: Ibrahim as)”. (Lihat: at-Tafsir al-Kabir Jil:22 Hal:186 dan Jil:26 Hal:148) Apakah hanya karena riwayat-riwayat bohong itu terdapat pada kitab shahih Bukhari sehingga kita dipaksa turut serta mendeskriditkan dan menginjak-injak kehormatan para nabi Allah, demi menjaga kesakralan kitab karya Imam Bukhari sebagai kitab Shahih, paling Shahihnya kitab pasca al-Quran?

Bukankah Ibrahim an-Nakha’I pernah menyatakan: “Golongan kita (ashabuna) mereka meninggalkan hadis yang datang dari Abu Hurairah”? Atau pada kesempatan lain ia pernah menyatakan: “Mereka tiada mengambil riwayat dari Abu Hurairah kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan sorga dan neraka saja”. (Lihat: Siar a’alam an-Nubala’ Jil:2 Hal:609, Tarikh Ibn Asakir Jil:19 Hal:122)

Bukankah Fakhru ar-Razi dalam kitab al-Matholib al-Aliyah menukil ungkapan pribadi-pribadi yang memiliki hubungan dekat dengan Rasul sebagai bukti atas kebohongan Abu Hurairah? Fakhru ar-Razi mengatakan:“Banyak dari kalangan sahabat mencela Abu Hurairah, kita sebutkan contohnya; Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang di pagi hari bangun dalam keadaan jinabahmaka hendaknya tidak berpuasa”. Lantas mereka (para sahabat) mengeceknya kembali kepada dua istri Rasul Aisyah dan Ummu Salamah, mereka berdua mengatakan: “Hal itu (peristiwa itu) pernah dialami oleh Nabi, namun beliau tetap berpuasa”. Mereka berdua (istri-istri Nabi) lebih mengetahui (apa yang diperbuat oleh Nabi)…”. (al-Matholib al-Aliyah Jil:9 Hal:205). Dalam kesempatan lain, Fakhru ar-Razi juga menukil kejadian yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib. Sewaktu Abu Hurairah meriwayatkan satu hadis dengan mengucapkan: “Kekasihku (Rasulullah saw) telah berbicara kepadaku…”, lantas Ali berkata: “Sejak kapan beliau menjadi kekasihmu?” (al-Matholib al-Aliyah Jil:9 Hal:205)

Dan masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan oleh Abu Hurairah -yang tidak mungkin kita ungkap secara keseluruhan di sini- sehingga dari situ menyebabkan banyak sahabat, dan ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in meragukan kejujurannya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan Umar bin Khatab sendiri sempat mengancamnya jika ia (Abu Hurairah) sampai meriwayatkan hadis. (Lihat: Tadzkirat al-Huffadz Jil:1 Hal:7, Akhbar al-Madinah al-Munawwarah karya Ibnu Syaibah Jil:3 Hal:800, Jaami’ bayan al-‘Ilm karya Ibnu Abdul Bar Jil:2 Hal:121)

Jika kitab Shohih Bukhari -yang dinyatakan kitab yang semua isinya dijamin kesahihannya dan secara mutlak tidak bisa dikritisi dan diganggu gugat- beberapa hadisnya diisi oleh pembohong semisal Abu Hurairah -sebagaimana diakui oleh para sahabat dan beberapa ulama Ahlussunah sendiri- lantas, apakah mungkin yang keluar dari pembohong pasti dijamin kesahihannya? Pertanyaan serupa juga bisa ditujukan kepada kitab Shahih karya Imam Muslim yang bertitel sama dengan sahih Bukhari, juga kitab-kitab standart Ahlusunah lain yang di dalamnya terdapat riwayat Abu Hurairah…jika jawabannya negative, maka apakah kita masih layak menyebut kitab Bukhari dan Muslim sebagai kitab Shahih? Ingat, jika dipaksakan jawabannya positif, niscaya akan terjadi paradoksi dalam pikiran manusia yang berakal sehat. Beranikah dari sekarang ini saudara-saudara kita Ahlusunah meninggalkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai konsekuensi mereka terhadap penghormatan kepada Ummul Mukminin Aisyah dan Khalifah Umar dan Ali? Beranikah dari sekarang saudara-saudara Ahlusunah menyatakan bahwa dua kitab Bukhari dan Muslim tidak lagi disebut sebagai kitab Shahih karena terdapat ratusan riwayat Abu Hurairah, sebagai bukti ketaatan mereka terhadap Ummul Mukminin Aisyah, Khalifah kedua (Umar bin Khatab) dan keempat (Ali bin Abi Thalib)? Mungkinkah mengatakan Umar bin Khatab sebagai Khalifah yang wajib ditaati akan tetapi di sisi lain tetap mengambil riwayat-riwayat dari orang (spt Abu Hurairah) yang telah divonis sebagai pembohong, bahkan dilarang untuk meriwayatkan hadis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar