Sebentar lagi Idul Adha, atau Idul Kurban.
Hari besar umat Islam ini dirayakan untuk mengingat kisah Ibrahim yang berencana untuk menyembelih anaknya, dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Namun, rencana menyembelih anaknya ini digagalkan oleh Allah: sang anak selamat, tidak jadi dikorbankan. Alih-alih, korban manusia itu diganti dengan korban biri-biri. Si hewan disembelih, lalu dagingnya dibagi-bagikan ke orang-orang yang membutuhkan, terutama fakir miskin. Hikmahnya jelas: untuk mendekatkan diri kepada Allah (ber-taqarrub, dengan ber-qurban), kita harus menolong sesama manusia.
Hari besar umat Islam ini dirayakan untuk mengingat kisah Ibrahim yang berencana untuk menyembelih anaknya, dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Namun, rencana menyembelih anaknya ini digagalkan oleh Allah: sang anak selamat, tidak jadi dikorbankan. Alih-alih, korban manusia itu diganti dengan korban biri-biri. Si hewan disembelih, lalu dagingnya dibagi-bagikan ke orang-orang yang membutuhkan, terutama fakir miskin. Hikmahnya jelas: untuk mendekatkan diri kepada Allah (ber-taqarrub, dengan ber-qurban), kita harus menolong sesama manusia.
Namun, kisah ini bisa mengganggu hati nurani: apakah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu menyuruh seorang ayah untuk menyembelih anak kandungnya sendiri, semata-mata untuk menguji kesetiaan hambaNya itu?
Saya sulit untuk menerima bahwa Tuhan menyuruh seorang bapak untuk menyembelih anaknya sendiri, dengan tangannya sendiri. Dan, berbeda dengan versi ceritanya dalam Bibel, dalam Al-Quran memang tidak disebutkan adanya perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Ibrahim “hanya” bermimpi menyembelih anaknya, lalu meminta pendapat ke sang anak, yang lalu dijawab oleh sang anak: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
Setelah membaca sana-sini, menurut saya peristiwa “penyembelihan anak yang lalu diganti dengan biri-biri” ini merupakan sebuah kritik dari agama monoteistik terhadap agama2 primitif yang masih mempraktikkan pengorbanan manusia. Tuhan “menggagalkan rencana mengorbankan anak manusia lalu menggantinya dengan kambing”, untuk mengajari manusia, bahwa ibadah (pengabdian) kepada Tuhan bukanlah dilakukan dengan menumpahkan darah/nyawa manusia, apalagi darah/nyawa anak sendiri, tapi justru dengan membantu sesama: memberi makan fakir-miskin (disimbolkan dengan memotong kambing lalu dagingnya dibagi-bagikan ke sesama). Memberi makan adalah simbol menjaga, memelihara, dan menghargai kehidupan manusia. Bukan menghilangkan nyawa manusia.
Sebab, manusialah yang butuh makan dan pengorbanan. Tuhan tidak butuh apa-apa dari manusia. Ini adalah kritik yg sangat revolusioner dari agama monoteis kepada agama primitif yang masih mempraktikkan pengorbanan manusia untuk menyenangkan Tuhan: pengabdian kepada Tuhan hendaklah dibuktikan dan diwujudkan dengan cara mengabdi pada sesama, bukan dengan mengorbankan sesama. Dimulai dengan Allahu akbar (meyakini Tuhan sebagai yg lebih besar dari semua), lalu diakhiri dengan salam (menyebarkan kedamaian/keselamatan) kepada lingkungan. Hasil akhir dari pengagungan kepada Allah haruslah salam: kedamaian, keselamatan, kesejahteraan.
Di berbagai peradaban dan agama kuno, praktik pengorbanan manusia lazim dilakukan pada masanya: mengorbankan anak, pendeta, perempuan, manusia, dengan disembelih, diterjunkan ke jurang, atau dihanyutkan ke sungai/laut. Di skandinavia kuno, pendeta dikorbankan. Di mesir kuno, gadis cantik ditenggelamkan ke sungai Nil. Di peradaban Aztec, manusia disembelih di atas altar. Semua demi menyenangkan dewa-dewi.
(Bahkan dalam teologi Paulus, anak-Tuhan sendiri juga dikorbankan, supaya Bapak-Tuhan mau/bisa mengampuni dosa-dosa manusia. Tapi, pesan revolusioner dari doktrin penebusan dalam agama Kristen ini adalah bahwa justru Tuhan sendiri rela mengorbankan diri demi manusia; maka sudah selayaknya jika manusia rela berkorban demi sesama. Jadi, ada pesan kritik sosial yang juga kuat dari teologi penebusan Kristen ini, sekalipun teologi ini tentu tidak diterima oleh kalangan Muslim karena bertentangan dengan iman Islam, yakni bahwa setiap orang menanggung dosanya sendiri, dan bahwa Tuhan bisa langsung mengampuni dosa, tanpa perlu mengorbankan Diri-Nya sendiri).
Kritik terhadap praktik pengorbanan manusia ini dilakukan dengan cara menceritakan kisah yang mengandung pelajaran untuk direnungkan manusia, bahwa Tuhan memang tidak butuh darah dan daging korban dari manusia. Agama yang sejati bukanlah demi menyenangkan Tuhan (Tuhan tentu tidak merasa bosan sehingga butuh untuk disenang-senangkan oleh manusia!), tapi agar kita semakin takwa (sadar diri): “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS 22:37).
Lalu, bagaimana dengan pemahaman bahwa “perintah” Tuhan untuk menyembelih anak Ibrahim ini merupakan ujian keimanan dan keikhlasan oleh Allah terhadap Nabi Ibrahim?
Kalau membaca kisah penyembelihan ini melalui redaksi Bibel, perintah menyembelih Ishak ditulis sebagai perintah Tuhan kepada Abraham. (Dalam versi Bibel, yang rencananya akan disembelih adalah Ishak, anak ke-2 Ibrahim; bukan Ismail, anak pertamanya). Redaksinya menggunakan kalimat langsung dari Tuhan kepada Abraham:
<> (Kejadian 22:2)
Dalam Al-Quran, tidak ada perintah langsung seperti ini, yakni bahwa Tuhan berfirman agar Ibrahim menyembelih/mengorbankan anaknya. Alih-alih, seperti ini:
<> QS [37: 102]
Dalam kisah Al-Quran ini, Ibrahim as hanyalah diberi mimpi. Lalu, Ismail as menafsirkan mimpi ayahnya itu sebagai perintah Tuhan. Sebagai anak yang baik dan saleh, tentu Ismail menurut, karena menurut pemahamannya, mimpi ayahnya itu adalah perintah Tuhan. Sang ayah juga menafsirkan mimpi ini sebagai perintah. Ulama-ulama juga berkata bahwa mimpi yang dialami oleh para nabi merupakan wahyu.
Namun, jika kita baca kalimat itu, kita sama sekali tidak menemukan kalimat perintah eksplisit dari Allah kepada Ibrahim. Hanya disebutkan bahwa Ibrahim melihat dalam mimpi, bahwa ia telah menyembelih anaknya, lalu meminta pendapat anaknya tentang hal itu.
Maka, fungsi ujian keimanan terhadap Ibrahim dan Ismail tetap berlaku, dan terbukti mereka lulus. Namun, menurut hemat saya, dari paparan Al-Quran di atas, kita tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa Allah telah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail, anaknya. Karena redaksi kalimat perintah yang semacam itu memang tidak ditemukan di dalam Al-Quran. Maka, yang lebih mungkin adalah bahwa mimpi itu memang sengaja dihadirkan oleh Allah kepada Ibrahim, untuk didiskusikan dengan anaknya, dan pada saat-saat terakhir ketika mimpi (yang mereka pahami sebagai perintah Allah) itu nyaris mereka praktikkan, berfirmanlah Tuhan dengan menggunakan medium wahyu yang lebih jelas, untuk membatalkan rencana penyembelihan anak itu, sebagai kritik bagi praktik pengorbanan manusia yang masih berlaku pada saat itu.
Dan, ini adalah suatu tonggak yang penting dalam sejarah keberagamaan manusia, dimana manusia sejak saat itu sadar untuk tidak lagi mengorbankan manusia lain untuk menyenangkan Tuhan, tapi mengorbankan binatang demi memberi makan manusia yang lapar. Dan, inilah yang diharapkan Tuhan, agar manusia saling berkorban demi kesejahteraan bersama. Berbagi kasih, berbagi hidup, menjadi rahmat bagi semua.
Wallahu a’lam.
Ilham D. Sannang
Ilham D. Sannang
(Dalam versi Al-Quran ini, yang mendapat ujian adalah sang bapak sekaligus sang anak, karena keduanya mendiskusikan hal ini, lalu sama-sama sepakat. Di dalam ayat sebelumnya, juga disebutkan bahwa sang anak sudah cukup umur [untuk berpikir sendiri]. Dalam versi Bibel, diskusi antara ayah-anak ini tidak terjadi, karena sang anak baru diberitahu akan dikorbankan oleh sang ayah setelah mereka sudah sampai di tempat pengorbanan itu; Kejadian 22:1-13.]).
Note :
Judul Asli : Apakah Allah menyuruh seorang ayah menyembelih anaknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar