Wajah teduhnya bercahaya,
Bekas air wudu seakan tak kering dari kulitnya
Matanya menunduk penuh kerendahan-hati
seorang hamba Tuhan yang sempurna
Bibirnya bergerak terus melantunkan zikir
Dia tetap bekerja layaknya perempuan biasa
Tak pedulikan nasab mulianya
Bilal menitikkan airmata memandang putri Nabi
satu-satunya itu,
Bilal mencoba menawarkan tenaganya untuk membantunya
Senyum perempuan suci itu mengembang indah
“Tak perlu, Bilal, ini tak seberat menggilng gandum.”
Putranya, Husain kecil terus mengikutinya dari belakang
Tak lepas pandangannya memandang bundanya yang penuh cinta
Sesekali, Fathimah menoleh ke putra tercintanya,
“Hai pahlawan!” seru Fathimah lembut
“Hai bundaku kesayangan kakek!” balasnya
Dibelainya rambut putranya, dikecup keningnya,
Tak terasa airmata Fathimah menetes di wajah Husain kecil,
Husain kecil terkejut, sambil mengusap airmata suci itu
“Mengapa bunda menangis?”
Fathimah berhadap-tatap dengan putranya yang masih
melihat genangan airmata mengambang di pelupuk mata bundanya,
“Suatu waktu kita kan berpisah, anakku…”
“Mati? Bukankah itu hal biasa, Bunda?”
“Kematian seorang pahlawan sepertimu tak mungkin biasa, anakku..”
“Bukankah karenanya aku masuk surga, Bunda?”
“Tentu, anakku..”
“Bukankah kematian seorang pahlawan di medan perang sangat mulia, Bunda?”
“Tentu, anakku…” Fathimah menunduk menahan tangisnya.
“Tapi, kenapa Bunda malah bersedih?”
“Seorang pahlawan sepertimu berbeda, anakku…”
“Apa bedanya?”
“Engkau seorang pahlawan yang berjuang ketika kerusakan moral sudah sedemikian kritis, tapi pendukung sejatimu hanya sedikit, malah engkau dikhianati sebagian pengikutmu…inilah yang menyedihkan penduduk bumi dan langit.”
“Malaikat?”
“Ya”
“Mangapa mereka tidak menolongku, Bunda?”
“Engkau yang telah dewasa kelak kan menolak bantuan mereka seraya berkata: “Wahai para malaikat mulia, ini adalah perjuanganku, perjuangan manusia dan kemanusiaan, bukan perjuangan kalian para malaikat…Hebat bukan, apa yang engkau ucapkan kepada mereka?” Fathimah semakin tersedu.
Husain kecil mengangguk seolah mengerti apa yang diucapkan Bundanya.
Fathimah memeluknya.
Tangisnya tumpah ruah, Husain kecil mempererat pelukannya.
Tak lepas pandangannya memandang bundanya yang penuh cinta
Sesekali, Fathimah menoleh ke putra tercintanya,
“Hai pahlawan!” seru Fathimah lembut
“Hai bundaku kesayangan kakek!” balasnya
Dibelainya rambut putranya, dikecup keningnya,
Tak terasa airmata Fathimah menetes di wajah Husain kecil,
Husain kecil terkejut, sambil mengusap airmata suci itu
“Mengapa bunda menangis?”
Fathimah berhadap-tatap dengan putranya yang masih
melihat genangan airmata mengambang di pelupuk mata bundanya,
“Suatu waktu kita kan berpisah, anakku…”
“Mati? Bukankah itu hal biasa, Bunda?”
“Kematian seorang pahlawan sepertimu tak mungkin biasa, anakku..”
“Bukankah karenanya aku masuk surga, Bunda?”
“Tentu, anakku..”
“Bukankah kematian seorang pahlawan di medan perang sangat mulia, Bunda?”
“Tentu, anakku…” Fathimah menunduk menahan tangisnya.
“Tapi, kenapa Bunda malah bersedih?”
“Seorang pahlawan sepertimu berbeda, anakku…”
“Apa bedanya?”
“Engkau seorang pahlawan yang berjuang ketika kerusakan moral sudah sedemikian kritis, tapi pendukung sejatimu hanya sedikit, malah engkau dikhianati sebagian pengikutmu…inilah yang menyedihkan penduduk bumi dan langit.”
“Malaikat?”
“Ya”
“Mangapa mereka tidak menolongku, Bunda?”
“Engkau yang telah dewasa kelak kan menolak bantuan mereka seraya berkata: “Wahai para malaikat mulia, ini adalah perjuanganku, perjuangan manusia dan kemanusiaan, bukan perjuangan kalian para malaikat…Hebat bukan, apa yang engkau ucapkan kepada mereka?” Fathimah semakin tersedu.
Husain kecil mengangguk seolah mengerti apa yang diucapkan Bundanya.
Fathimah memeluknya.
Tangisnya tumpah ruah, Husain kecil mempererat pelukannya.
Salamun ‘alayka ya Husain…Salamun ‘alayka ya Fathimatuz Zahra
Salamun ‘alaykum ya Ahlal Baytar Rasulullah…
Isyfa’ lanaa ya habibinaa…
Salamun ‘alaykum ya Ahlal Baytar Rasulullah…
Isyfa’ lanaa ya habibinaa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar