By Ali Ridho Bin Yahya
Siapa yang tidak mengenal pribadi Rasulullah saww, seluruh umat Islam sepakat bahwa beliau adalah sosok manusia yang paling mulia di muka bumi ini. Beliau adalah basyar lâ kâ al-basyar ( manusia akan tetapi bukan seperti manusia biasanya). Penyempurna agama Islam dan juga sebagai insan al-kâmil yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Sehingga segala perkataan, perbuatan dan ketetapannya kita jadikan sebagai pedoman hidup dan kita jadikan sebagai salah satu tinjauan dasar hukum. Tidak ada kontroversi antar berbagai kelompok dalam Islam atas tanggapannya tentang kemuliaan beliau. Dalam Al-Qur’ân Allâh senantiasa selalu memuji beliau dalam ayat-ayatnya yang agung. Lantas bagaimana tentang ayat-ayat dalam surah ‘Abasa yang agaknya terkesan memojokkan Nabi Muhammad saww atas tindakannya? Apakah benar pribadi Rasulullah seperti itu? Atas dasar menambah pengetahuan kita semua, maka tulisan ini berusaha ingin meneliti kronologi dan tinjauan-tinjauan dari statemen tersebut, serta juga memaparkannya dengan obyektif atas beberapa pendapat mufassir.
Asbâb al-Nuzûl Surah ‘Abasa (1-10)
عبس و تولى , أن جاءه الآ عمى , وما يدرك لعله يزكى , أو يذكر فتنفعه الذكرى , أما من استغنى , فأنت له تصدى , وما عليك ألا يزكى , وأما من جاءك يسعى , وهو يخشى , فأنت له تلهى
(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) Karena Telah datang seorang buta kepadanya (3) Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (6) Maka kamu melayaninya. (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) Sedang ia takut kepada (Allah). (10) Maka kamu mengabaikannya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allâh: “عبس و تولى” turun berkenaan dengan ‘Abdullah ibn Ummî Maktûm yang buta yang datang kepada Rasulullah saww, sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya Rasulullah”. Pada waktu itu Rasulullah saww sedang memberikan dakwah dan menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah saww berpaling daripadanya (‘Abdullah ibn Ummî Maktûm) dan tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian Ibn Ummî Maktûm berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah saww: “Tidak”. Maka ayat ini turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saww.
Adanya pemahaman tersebut pada ayat ini berdasarkan kitab Shahih Turmudzi, yang disebutkan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas adalah Nabi saww, kurang lebih redaksinya seperti di bawah ini:
Diriwayatkan dari Sa’îd ibn Yahyâ ibn Sa’îd Al-Umawî, dari ayahku, dari Hisyâm ibn ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah ibn Zubeir) dari ‘âisyah ra. berkata: Diturunkan tentang Ibn Ummî Maktûm Al-A’mâ, dia (Ibn Ummî Maktûm) mendatangi Rasulullah saww. seraya berkata: “Berilah aku petunjuk!” saat itu Rasulullah saww sedang bersama pembesar musyrikin, lalu Rasulullah saww berpaling darinya (Ibn Ummî Maktûm) dan menghadap pada yang lain (pembesar musyrikin). Kemudian Ibn Ummî Maktûm bertanya: “Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?” Rasulullah saww menjawab: “Tidak.” Maka dalam peristiwa ini turunlah surah ‘Abasa.
Prof. Dr. Quraisy Syihab (Tafsir Al-Mishbâh)
عبس و تولى , أن جاءه الآ عمى
“Dia bermuka masam dan berpalimg, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra.”
Ayat di atas dan ayat berikut (sampai ayat sepuluh atau enam belas) menurut banyak ulama turun menyangkut sikap Nabi kepada sahabat beliau ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm, ketika Nabi Muhammad saww sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah, atau salah seorang tokoh utamanya yaitu Al-Walîd Ibn Al-Mugîrah. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam. Saat itulah datang ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu serta merta menyela pembicaraan Nabi saww memohon agar diajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allâh kepada Nabi saww. ini menurut riwayat, diucapkan berkali-kali. Sikap ‘Abdullah ini tidak berkenan di hati Nabi saww, namun beliau tidak menegur apalagi menghardiknya, hanya saja nampak pada air muka beliau rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas untuk menegur beliau.
Penggunaan kata عبس dalam bentuk persona ketiga, tidak secara langsung menunjuk Nabi saww, mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allâh pun dalam mendidik Nabi-Nya tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut Al-Biqâ’i mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu, sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. Penyebutan kata الآ عمى mengisyaratkan bahwa ‘Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk mentoleransinya. Al-Wâhidî meriwayatkan (tanpa menyebut sanad perawinya), bahwa setelah peristiwa ini, bila ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm datang, Nabi saww menyambutnya dengan ucapan: Selamat datang wahai siapa yang aku ditegur karena ia oleh Tuhanku.
وما يدرك لعله يزكى , أو يذكر فتنفعه الذكر
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui—boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”
Kata “يزكى” asalnya adalah (يتزكى) tetapi huruf ت diganti dengan huruf زdan di idgham-kan ini menurut Al-Biqâ‘î untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wujud walau tidak terlalu mantap.
أما من استغنى , فأنت له تصدى , وما عليك يزكى , وأما من جاءك يسعى , وهو يخشى , فأنت له تلهى
“Adapun orang yang merasa tidak butuh, Maka engkau terhadapnya melayani. Padahal tiada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut kepada (Allah), Maka engkau terhadapnya mengabaikan.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan sikap beliau kepada tokoh kaum musyrikin yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan: adapun orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak atau kedudukan sosial serta pengetahuan – maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allâh, engkau terhadapnya saja – bukan kepada sang tunanetra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Menurut Quraish Shihab adanay sikap seperti ini kepada diri Rasul karena terdorong oleh rasa takut beliau bahwa jangan sampai dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itu teguran dilanjutkan dengan menyatakan: Engkau – wahai Nabi agung – melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia yakni yang engkau layani itu tidak membersihkan diri, yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apapun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allâh, maka sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.
Kata (استغنى) terambil dari kata (غني) yakni tidak butuh. Huruf س pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allâh serta petunjuk Nabi Muhammad saww karena kekayaan, pengetahuan dan kedudukan sosialnya. Sedangkan kata (تصدى) terambil dari kata (صدى) yaitu gema (yakni suara yang memantul). Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak berhenti kecuali kalau orang itu berhenti, sebagaimana gema suara dan pantulannya akan terus terdengar sampai terhentinya suara itu. Dan kata (تلهى) terambil dari kata (لهى - يلهى) yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain.
Prof. Dr. Quraisy Syihab memberikan komentar bahwa apa yang dilakukan Nabi saww dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah suatu sikap yang sangat terpuji dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Menurutnya, jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke-ruang-nya bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan.
Ustad Husein Al-Habsyî (Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam)
Ustad Husein Al-Habsyî yang banyak meluangkan umurnya untuk berkiprah dalam dunia Islam sehingga telah banyak menghasilkan karya-karya cemerlang juga turut memberikan komentar tentang ayat ‘Abasa ini, pendapatnya terkesan berbeda dengan pendapat pada umumya yang mengatakan bahwa Rasul mendapat teguran dalam ayat ini. Dan sebelum menelaah lebih jauh atas ayat-ayat tersebut, beliau melakukan penyelidikan terhadap hadîts yang dijadikan bukti sebab turunnya ayat ‘Abasa. Dan dari hasil penyelidikan tersebut adalah:
a) Kitab hadîts Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim tidak meriwayatkannya, jadi hadîts ini tidak muttafaq alaih/disepakati.
b) Terdapat beberapa perawi yang ganjil yakni:
1. Yahyâ ibn Sa’îd
Yang merupakan seorang penulis sejarah hidup Rasul saww, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak begitu mengandalkannya karena ia bukan termasuk Ahli Hadîts.
2. ‘Urwah ibn Zubeir
Dia termasuk nashîbî, nashîbî adalah pembenci keluarga Rasul, dengan demikian menurut Ibn Hajar Al-Atsqalanî bahwa riwayat orang yang nashîbî dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
3. Hisyâm ibn ‘Urwah
Menanggapi Hisyâm ibn ‘Urwah ini, Ibn Hajar Al-Atsqalanî menganggapnya sebagai Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya), dengan demikian riwayatnya tidak dapat dipercaya.
4. ‘Aisyah Ummul Mu’minin
Kalau kita lihat kembali bahwa ayat tersebut adalah ayat makkiyah, sedangkan Ummul Mu’mini ‘âisyah ra. masih kecil. Sehingga kita ragukan dari mana beliau mendengar hadîts tersebut.
Beliau juga mengatakan bahwa adanya tiga struktur sosial dalam sejarah yang berkaitan dengan turunnya surah ‘Abasa ini. Pertama yakni Nabi Muhammad saw yang merupakan penghulu para rasul yang suci. Kedua, Ibn Ummî Maktûm,yang berstatuskan seorang sahabat miskin lagi buta. Dan Al-Walîd ibn Al-Mughîrah seorang kafir Quraisy kaya bersama kawan-kawannya.
Sutrktur sosial yang pertama adalah barisan para Nabi as. Struktur ini di yakni dalam Al-Qur’ân digambarkan sebagai manusia-manusia yang selalu tampil di panggung sejarah apabila manusia telah lupa terhadap eksistensi dirinya sendiri dan mengesampingkan Tuhan-nya, manakala arah dan orientasi hidupnya berada dalam ideologi-ideologi yang bersifat materialis-individualis. Di situlah agama telah berubah maknanya, seharusnya apa yang semangatnya berasal dari Rasul pembawa risalah Tuhan yang membawa dan menimbulkan perubahan-perubahan terhadap kehidupan manusia.
Adapun struktur sosial kedua, yang diwakili oleh Ibn Ummî Maktûm. Ia adalah symbol kaum yang menanggung beban berat setiap harinya, yang mengisi ukiran peristiwa sejarah berupa dengan penderitaan dan ketertindasan, dan yang kehilangan hak-hak hidup sebagai manusia yang tersisa di dalam masyarakat. Ciri khas struktur sosial ini adalah beriman kepada Allâh dan Rasûl-Nya serta segala yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Ibn Ummî Maktûm dalam episode ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang-orang lemah, fuqarâ’ wa al-masâkîn yang penuh dengan ketulusan hidup di jalan Allah SWT. Struktur sosial inilah yang selalu hidup didekat para Nabi as.
Dan yang ketiga, adalah Al-Walîd ibn Al-Mughîrah, yakni kaum tiran yang selalu menginginkan kekuasaan demi kepentingan individual dan material semata.kelompok ini selalu mengadakan penekanan, penindasan dan berbagai ragam kejahatan sampai yang paling halus sampai yang terang-terangan.. demi mencapai tujuan mereka, tidak jarang mereka menggunakan agama yang kebenarannya telah mereka putar-balikkan. Kelompok ini adalah mereka yang cenderung merusak pondasi-pondasi agama dan orang-orang yang selalu gigih untuk menginginkan lenyapnya risalah Tuhan.
Menurut Ijma’ kaum muslimin bahwa Nabi saww diwajibkan untuk menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia serta memperagakannya dengan ishmah yang sepenuhnya. Kalau Kaum Wahâbî mengatakan bahwa Nabi saww ma’shum hanya dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’ân saja, maka bagaimana pendapat mereka tentang ke-ma’shum-an beliau dalam mewujudkannya? Kalau dia ma’shum dalam mewujudkannya, mungkinkah ia bertentangan dengan isi Al-Qur’ân? Kalau tidak, maka dia bisa salah dalam mewujudkannya, termasuk dalam hukum-hukum?
Tak seorangpun muslim meragukan bahwa ayat Al-Qur’ân turun kepada Nabi saww, namun juga tak seorang muslim pun berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Qur’ân turun karena tingkah laku Nabi saww. boleh jadi Al-Qur’ân turun untuk teguran bagi umat manusia. Dengan kata lain Al-Qur’ân turun bukan untuk Nabi, tapi turun kepada Nabi untuk manusia dengan membawa kebenaran. Sebagaimana firman Allâh Surah Al-Zumar ayat 41:
انا أنزلنا عليك الكتاب للناس بالحق فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فانها يضل عليه وما أنت عليهم بوكيل
Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk Maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.
Seperti yang diketahui oleh seluruh umat bahwa antara satu ayat atas ayat lainnya itu saling memperkuat dan saling mendukung, akan tetapi mayoritas dari kita memaknai bahwa surah ‘Abasa ini turun atas teguran kepada Rasulullah saww. sehingga memberikan penilaian kepada kita bahwa adanya suatu bentuk kesalahan yang telah dilakukan beliau. Seharusnya, seorang muslim harus gembira dengan pendapat yang menjauhkan Nabi-nya dari perbuatan orang sombong dan kafir, tidak malah meradang-radang dan bersitegang untuk mecemoohkan Nabi Muhammad saww.
Sekali lagi, kenapa justru manusia yang berakhlak agung itu harus dianggap bermuka masam? Dari mana keharusan seperti itu? Ini bertentangan dengan logika. Logika mengatakan, bahwa pribadi orang yang berwatak agung dan suri teladan tidak mengkin bermuka masam. Bagaimana bisa Nabi dikatakan bermuka masam terhadap salah seorang sahabatnya yang lemah (mustad’‘af), di saat yang sama beliau saww beramah-tamah dengan golongan-golongan kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Rasul baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan?
Suatu catatan yang penting sebagai tambahan dalam penolakan kita bahwa Nabi bermuka masam, yaitu dengan adanya suatu ayat yang direkam dalam Al-Qur’ân dari rangkaian wasiat Luqmân kepada putranya dalam suah Al-Luqmân ayat 18:
و لا تصعر خدك للناس ولا تمشى فى الأرض مرحا ان الله لا يحب كل مختال فخور
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Jadi kesimpulannya Ustad Husein Al-Habsyî tidak sependapat dikatakan bahwa ayat ini adalah teguran untuk Nabi, dikarenakan riwayat yang meragukan, dan juga kontradiksi atas sikap-sikap Nabi yang terpuji di dalam Al-Qur’ân, singkat kata menurutnya bagaimana mungkin seorang mu’min yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh Nabi saww? sedang orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya.
Karena berbagai macam kejanggalan dan keraguan yang ada pada riwayat tersebut, maka beliau mengadakan rekonstruksi terhadap tafsir surah ‘Abasa seperti dibawah ini:
عبس و تولى
1. Dia (Al-Walîd) bermuka masam dan berpaling,
أن جاءه الآ عمى
2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya (Nabi)
وما يدرك لعله يزكى
3. Tahukah kamu (hai Al-Walîd) barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
أو يذكر فتنفعه الذكرى
4. Atau dia (Ibn Ummî Maktûm) (ingin) mendapatkan pengajaran (yang didengar dari lidah Rasulullah saww dalam majlis kalian hai benggolan kafir Quraisy), lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
أما من استغنى
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (semacam Abu Jahal dan benggolan-benggolan Quraisy lainnya)
فأنت له تصدى
6. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
وما عليك ألا يزكى
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu (hai Al-Walîd) kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
وأما من جاءك يسعى
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu (ke malismu hai Al-Walîd) dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu dari Nabi)
وهو يخشى
9. Sedang ia takut kepada (Allah)
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
Setelah kita melihat dan memperhatikan pendapat yang dipaparkan oleh dua penafsir tersebut, maka kita dapat memberikan pengamatan bahwa mereka memiliki sudut pandang yang berbeda. Prof. Dr. Quraisy Shihab melihat ayat ini berdasarkan kemuliaan yang dimiliki Nabi, yang mana beliau tidak akan diberikan kesempatan lama untuk mengetahui kesalahannya, karena Allah senantiasa akan langsung menegurnya jika beliau berbuat salah. Selain itu berdasarkan derajat mulia yang dimiliki Nabi sebagai Habîb Allah, maka sudah barang pasti akan halus sekali teguran Allah kepadanya.
Sedangkan Ustad Husein Al-Habsyi tidak berfikir demikian, selain dikarenakan sumber-sumber yang meragukan, beliau juga melihat dari segi figur Rasulullah yang menjadi percontohan bagi umat manusia seluruh dunia. Sebagai model percontohan yang dituntut sempurna, maka sudah pasti tidak boleh cacat sedikitpun. Bagaikan Al-Qur’ân yang diyakini sempurna oleh seluruh umat Islam, maka secara otomatis penyampai-nya dan pemberi contohnya haruslah sempurna layaknya Al-Qur’ân yang menjadi bagian dari akhlaknya. Sehingga tidak masuk akal sekali jika Rasul yang dikenal sebagai uswah al-hasanah, ra’ûf, rahîm melakukan perbuatan amoral seperti itu.
Akan tetapi, terlepas dari pendapat mereka berdua, kita dapat menemukan jawaban dari menelaah sisi susunan ayat tersebut dalam ayat 6 dan ayat 10.
فأنت له تصدى
5. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
Kata تصدى yang artinya kamu melayani, dan kata تلهى yang artinya kamu mengabaikan dalam ayat di atas mengindikasikan bentuk perlakuan yang dilakukan seorang yang bermuka masam dalam forum tersebut. Jenis dari dua kata kerja tersebut dalam Ilmu Nahwudikategorikan sebagai fi’il mudhori’ yang merupakan kata kerja aktif yang disifati berlaku pada masa sekarang dan juga berlaku pada masa seterusnya. Kalau Rasul yang diyakini bermuka masam, maka bagaimana mungkin ia dikatakan sebagai seorang yang حريص/harîs (yang mempunyai kepeduliaan yang sangat terhadap kaumnya) dalam ayat lainnya? Sungguh tidak dapat diterima bahwa Rasul kita bertindak seperti ini, lantas setelah itu mendapatkan pujian-pujian dalam ayat-ayat setelahnya.
Wallah a’lam bi al-shawâb
REFERENSI
KH. Nurcholis MA. Asbabun Nuzul. Pustaka Anda. Surabaya. Pustaka Anda 1997
Prof. Dr. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbâh. Vol 15.
Husein Al-Habsyi. Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam. Al-Kautsar. Malang. 1992.
Siapa yang tidak mengenal pribadi Rasulullah saww, seluruh umat Islam sepakat bahwa beliau adalah sosok manusia yang paling mulia di muka bumi ini. Beliau adalah basyar lâ kâ al-basyar ( manusia akan tetapi bukan seperti manusia biasanya). Penyempurna agama Islam dan juga sebagai insan al-kâmil yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Sehingga segala perkataan, perbuatan dan ketetapannya kita jadikan sebagai pedoman hidup dan kita jadikan sebagai salah satu tinjauan dasar hukum. Tidak ada kontroversi antar berbagai kelompok dalam Islam atas tanggapannya tentang kemuliaan beliau. Dalam Al-Qur’ân Allâh senantiasa selalu memuji beliau dalam ayat-ayatnya yang agung. Lantas bagaimana tentang ayat-ayat dalam surah ‘Abasa yang agaknya terkesan memojokkan Nabi Muhammad saww atas tindakannya? Apakah benar pribadi Rasulullah seperti itu? Atas dasar menambah pengetahuan kita semua, maka tulisan ini berusaha ingin meneliti kronologi dan tinjauan-tinjauan dari statemen tersebut, serta juga memaparkannya dengan obyektif atas beberapa pendapat mufassir.
Asbâb al-Nuzûl Surah ‘Abasa (1-10)
عبس و تولى , أن جاءه الآ عمى , وما يدرك لعله يزكى , أو يذكر فتنفعه الذكرى , أما من استغنى , فأنت له تصدى , وما عليك ألا يزكى , وأما من جاءك يسعى , وهو يخشى , فأنت له تلهى
(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) Karena Telah datang seorang buta kepadanya (3) Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (6) Maka kamu melayaninya. (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) Sedang ia takut kepada (Allah). (10) Maka kamu mengabaikannya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allâh: “عبس و تولى” turun berkenaan dengan ‘Abdullah ibn Ummî Maktûm yang buta yang datang kepada Rasulullah saww, sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya Rasulullah”. Pada waktu itu Rasulullah saww sedang memberikan dakwah dan menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah saww berpaling daripadanya (‘Abdullah ibn Ummî Maktûm) dan tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian Ibn Ummî Maktûm berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah saww: “Tidak”. Maka ayat ini turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saww.
Adanya pemahaman tersebut pada ayat ini berdasarkan kitab Shahih Turmudzi, yang disebutkan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas adalah Nabi saww, kurang lebih redaksinya seperti di bawah ini:
Diriwayatkan dari Sa’îd ibn Yahyâ ibn Sa’îd Al-Umawî, dari ayahku, dari Hisyâm ibn ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah ibn Zubeir) dari ‘âisyah ra. berkata: Diturunkan tentang Ibn Ummî Maktûm Al-A’mâ, dia (Ibn Ummî Maktûm) mendatangi Rasulullah saww. seraya berkata: “Berilah aku petunjuk!” saat itu Rasulullah saww sedang bersama pembesar musyrikin, lalu Rasulullah saww berpaling darinya (Ibn Ummî Maktûm) dan menghadap pada yang lain (pembesar musyrikin). Kemudian Ibn Ummî Maktûm bertanya: “Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?” Rasulullah saww menjawab: “Tidak.” Maka dalam peristiwa ini turunlah surah ‘Abasa.
Prof. Dr. Quraisy Syihab (Tafsir Al-Mishbâh)
عبس و تولى , أن جاءه الآ عمى
“Dia bermuka masam dan berpalimg, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra.”
Ayat di atas dan ayat berikut (sampai ayat sepuluh atau enam belas) menurut banyak ulama turun menyangkut sikap Nabi kepada sahabat beliau ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm, ketika Nabi Muhammad saww sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah, atau salah seorang tokoh utamanya yaitu Al-Walîd Ibn Al-Mugîrah. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam. Saat itulah datang ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu serta merta menyela pembicaraan Nabi saww memohon agar diajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allâh kepada Nabi saww. ini menurut riwayat, diucapkan berkali-kali. Sikap ‘Abdullah ini tidak berkenan di hati Nabi saww, namun beliau tidak menegur apalagi menghardiknya, hanya saja nampak pada air muka beliau rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas untuk menegur beliau.
Penggunaan kata عبس dalam bentuk persona ketiga, tidak secara langsung menunjuk Nabi saww, mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allâh pun dalam mendidik Nabi-Nya tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut Al-Biqâ’i mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu, sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. Penyebutan kata الآ عمى mengisyaratkan bahwa ‘Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk mentoleransinya. Al-Wâhidî meriwayatkan (tanpa menyebut sanad perawinya), bahwa setelah peristiwa ini, bila ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm datang, Nabi saww menyambutnya dengan ucapan: Selamat datang wahai siapa yang aku ditegur karena ia oleh Tuhanku.
وما يدرك لعله يزكى , أو يذكر فتنفعه الذكر
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui—boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”
Kata “يزكى” asalnya adalah (يتزكى) tetapi huruf ت diganti dengan huruf زdan di idgham-kan ini menurut Al-Biqâ‘î untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wujud walau tidak terlalu mantap.
أما من استغنى , فأنت له تصدى , وما عليك يزكى , وأما من جاءك يسعى , وهو يخشى , فأنت له تلهى
“Adapun orang yang merasa tidak butuh, Maka engkau terhadapnya melayani. Padahal tiada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut kepada (Allah), Maka engkau terhadapnya mengabaikan.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan sikap beliau kepada tokoh kaum musyrikin yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan: adapun orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak atau kedudukan sosial serta pengetahuan – maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allâh, engkau terhadapnya saja – bukan kepada sang tunanetra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Menurut Quraish Shihab adanay sikap seperti ini kepada diri Rasul karena terdorong oleh rasa takut beliau bahwa jangan sampai dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itu teguran dilanjutkan dengan menyatakan: Engkau – wahai Nabi agung – melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia yakni yang engkau layani itu tidak membersihkan diri, yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apapun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allâh, maka sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.
Kata (استغنى) terambil dari kata (غني) yakni tidak butuh. Huruf س pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allâh serta petunjuk Nabi Muhammad saww karena kekayaan, pengetahuan dan kedudukan sosialnya. Sedangkan kata (تصدى) terambil dari kata (صدى) yaitu gema (yakni suara yang memantul). Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak berhenti kecuali kalau orang itu berhenti, sebagaimana gema suara dan pantulannya akan terus terdengar sampai terhentinya suara itu. Dan kata (تلهى) terambil dari kata (لهى - يلهى) yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain.
Prof. Dr. Quraisy Syihab memberikan komentar bahwa apa yang dilakukan Nabi saww dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah suatu sikap yang sangat terpuji dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Menurutnya, jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke-ruang-nya bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan.
Ustad Husein Al-Habsyî (Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam)
Ustad Husein Al-Habsyî yang banyak meluangkan umurnya untuk berkiprah dalam dunia Islam sehingga telah banyak menghasilkan karya-karya cemerlang juga turut memberikan komentar tentang ayat ‘Abasa ini, pendapatnya terkesan berbeda dengan pendapat pada umumya yang mengatakan bahwa Rasul mendapat teguran dalam ayat ini. Dan sebelum menelaah lebih jauh atas ayat-ayat tersebut, beliau melakukan penyelidikan terhadap hadîts yang dijadikan bukti sebab turunnya ayat ‘Abasa. Dan dari hasil penyelidikan tersebut adalah:
a) Kitab hadîts Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim tidak meriwayatkannya, jadi hadîts ini tidak muttafaq alaih/disepakati.
b) Terdapat beberapa perawi yang ganjil yakni:
1. Yahyâ ibn Sa’îd
Yang merupakan seorang penulis sejarah hidup Rasul saww, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak begitu mengandalkannya karena ia bukan termasuk Ahli Hadîts.
2. ‘Urwah ibn Zubeir
Dia termasuk nashîbî, nashîbî adalah pembenci keluarga Rasul, dengan demikian menurut Ibn Hajar Al-Atsqalanî bahwa riwayat orang yang nashîbî dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
3. Hisyâm ibn ‘Urwah
Menanggapi Hisyâm ibn ‘Urwah ini, Ibn Hajar Al-Atsqalanî menganggapnya sebagai Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya), dengan demikian riwayatnya tidak dapat dipercaya.
4. ‘Aisyah Ummul Mu’minin
Kalau kita lihat kembali bahwa ayat tersebut adalah ayat makkiyah, sedangkan Ummul Mu’mini ‘âisyah ra. masih kecil. Sehingga kita ragukan dari mana beliau mendengar hadîts tersebut.
Beliau juga mengatakan bahwa adanya tiga struktur sosial dalam sejarah yang berkaitan dengan turunnya surah ‘Abasa ini. Pertama yakni Nabi Muhammad saw yang merupakan penghulu para rasul yang suci. Kedua, Ibn Ummî Maktûm,yang berstatuskan seorang sahabat miskin lagi buta. Dan Al-Walîd ibn Al-Mughîrah seorang kafir Quraisy kaya bersama kawan-kawannya.
Sutrktur sosial yang pertama adalah barisan para Nabi as. Struktur ini di yakni dalam Al-Qur’ân digambarkan sebagai manusia-manusia yang selalu tampil di panggung sejarah apabila manusia telah lupa terhadap eksistensi dirinya sendiri dan mengesampingkan Tuhan-nya, manakala arah dan orientasi hidupnya berada dalam ideologi-ideologi yang bersifat materialis-individualis. Di situlah agama telah berubah maknanya, seharusnya apa yang semangatnya berasal dari Rasul pembawa risalah Tuhan yang membawa dan menimbulkan perubahan-perubahan terhadap kehidupan manusia.
Adapun struktur sosial kedua, yang diwakili oleh Ibn Ummî Maktûm. Ia adalah symbol kaum yang menanggung beban berat setiap harinya, yang mengisi ukiran peristiwa sejarah berupa dengan penderitaan dan ketertindasan, dan yang kehilangan hak-hak hidup sebagai manusia yang tersisa di dalam masyarakat. Ciri khas struktur sosial ini adalah beriman kepada Allâh dan Rasûl-Nya serta segala yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Ibn Ummî Maktûm dalam episode ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang-orang lemah, fuqarâ’ wa al-masâkîn yang penuh dengan ketulusan hidup di jalan Allah SWT. Struktur sosial inilah yang selalu hidup didekat para Nabi as.
Dan yang ketiga, adalah Al-Walîd ibn Al-Mughîrah, yakni kaum tiran yang selalu menginginkan kekuasaan demi kepentingan individual dan material semata.kelompok ini selalu mengadakan penekanan, penindasan dan berbagai ragam kejahatan sampai yang paling halus sampai yang terang-terangan.. demi mencapai tujuan mereka, tidak jarang mereka menggunakan agama yang kebenarannya telah mereka putar-balikkan. Kelompok ini adalah mereka yang cenderung merusak pondasi-pondasi agama dan orang-orang yang selalu gigih untuk menginginkan lenyapnya risalah Tuhan.
Menurut Ijma’ kaum muslimin bahwa Nabi saww diwajibkan untuk menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia serta memperagakannya dengan ishmah yang sepenuhnya. Kalau Kaum Wahâbî mengatakan bahwa Nabi saww ma’shum hanya dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’ân saja, maka bagaimana pendapat mereka tentang ke-ma’shum-an beliau dalam mewujudkannya? Kalau dia ma’shum dalam mewujudkannya, mungkinkah ia bertentangan dengan isi Al-Qur’ân? Kalau tidak, maka dia bisa salah dalam mewujudkannya, termasuk dalam hukum-hukum?
Tak seorangpun muslim meragukan bahwa ayat Al-Qur’ân turun kepada Nabi saww, namun juga tak seorang muslim pun berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Qur’ân turun karena tingkah laku Nabi saww. boleh jadi Al-Qur’ân turun untuk teguran bagi umat manusia. Dengan kata lain Al-Qur’ân turun bukan untuk Nabi, tapi turun kepada Nabi untuk manusia dengan membawa kebenaran. Sebagaimana firman Allâh Surah Al-Zumar ayat 41:
انا أنزلنا عليك الكتاب للناس بالحق فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فانها يضل عليه وما أنت عليهم بوكيل
Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk Maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.
Seperti yang diketahui oleh seluruh umat bahwa antara satu ayat atas ayat lainnya itu saling memperkuat dan saling mendukung, akan tetapi mayoritas dari kita memaknai bahwa surah ‘Abasa ini turun atas teguran kepada Rasulullah saww. sehingga memberikan penilaian kepada kita bahwa adanya suatu bentuk kesalahan yang telah dilakukan beliau. Seharusnya, seorang muslim harus gembira dengan pendapat yang menjauhkan Nabi-nya dari perbuatan orang sombong dan kafir, tidak malah meradang-radang dan bersitegang untuk mecemoohkan Nabi Muhammad saww.
Sekali lagi, kenapa justru manusia yang berakhlak agung itu harus dianggap bermuka masam? Dari mana keharusan seperti itu? Ini bertentangan dengan logika. Logika mengatakan, bahwa pribadi orang yang berwatak agung dan suri teladan tidak mengkin bermuka masam. Bagaimana bisa Nabi dikatakan bermuka masam terhadap salah seorang sahabatnya yang lemah (mustad’‘af), di saat yang sama beliau saww beramah-tamah dengan golongan-golongan kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Rasul baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan?
Suatu catatan yang penting sebagai tambahan dalam penolakan kita bahwa Nabi bermuka masam, yaitu dengan adanya suatu ayat yang direkam dalam Al-Qur’ân dari rangkaian wasiat Luqmân kepada putranya dalam suah Al-Luqmân ayat 18:
و لا تصعر خدك للناس ولا تمشى فى الأرض مرحا ان الله لا يحب كل مختال فخور
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Jadi kesimpulannya Ustad Husein Al-Habsyî tidak sependapat dikatakan bahwa ayat ini adalah teguran untuk Nabi, dikarenakan riwayat yang meragukan, dan juga kontradiksi atas sikap-sikap Nabi yang terpuji di dalam Al-Qur’ân, singkat kata menurutnya bagaimana mungkin seorang mu’min yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh Nabi saww? sedang orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya.
Karena berbagai macam kejanggalan dan keraguan yang ada pada riwayat tersebut, maka beliau mengadakan rekonstruksi terhadap tafsir surah ‘Abasa seperti dibawah ini:
عبس و تولى
1. Dia (Al-Walîd) bermuka masam dan berpaling,
أن جاءه الآ عمى
2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya (Nabi)
وما يدرك لعله يزكى
3. Tahukah kamu (hai Al-Walîd) barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
أو يذكر فتنفعه الذكرى
4. Atau dia (Ibn Ummî Maktûm) (ingin) mendapatkan pengajaran (yang didengar dari lidah Rasulullah saww dalam majlis kalian hai benggolan kafir Quraisy), lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
أما من استغنى
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (semacam Abu Jahal dan benggolan-benggolan Quraisy lainnya)
فأنت له تصدى
6. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
وما عليك ألا يزكى
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu (hai Al-Walîd) kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
وأما من جاءك يسعى
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu (ke malismu hai Al-Walîd) dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu dari Nabi)
وهو يخشى
9. Sedang ia takut kepada (Allah)
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
Setelah kita melihat dan memperhatikan pendapat yang dipaparkan oleh dua penafsir tersebut, maka kita dapat memberikan pengamatan bahwa mereka memiliki sudut pandang yang berbeda. Prof. Dr. Quraisy Shihab melihat ayat ini berdasarkan kemuliaan yang dimiliki Nabi, yang mana beliau tidak akan diberikan kesempatan lama untuk mengetahui kesalahannya, karena Allah senantiasa akan langsung menegurnya jika beliau berbuat salah. Selain itu berdasarkan derajat mulia yang dimiliki Nabi sebagai Habîb Allah, maka sudah barang pasti akan halus sekali teguran Allah kepadanya.
Sedangkan Ustad Husein Al-Habsyi tidak berfikir demikian, selain dikarenakan sumber-sumber yang meragukan, beliau juga melihat dari segi figur Rasulullah yang menjadi percontohan bagi umat manusia seluruh dunia. Sebagai model percontohan yang dituntut sempurna, maka sudah pasti tidak boleh cacat sedikitpun. Bagaikan Al-Qur’ân yang diyakini sempurna oleh seluruh umat Islam, maka secara otomatis penyampai-nya dan pemberi contohnya haruslah sempurna layaknya Al-Qur’ân yang menjadi bagian dari akhlaknya. Sehingga tidak masuk akal sekali jika Rasul yang dikenal sebagai uswah al-hasanah, ra’ûf, rahîm melakukan perbuatan amoral seperti itu.
Akan tetapi, terlepas dari pendapat mereka berdua, kita dapat menemukan jawaban dari menelaah sisi susunan ayat tersebut dalam ayat 6 dan ayat 10.
فأنت له تصدى
5. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
Kata تصدى yang artinya kamu melayani, dan kata تلهى yang artinya kamu mengabaikan dalam ayat di atas mengindikasikan bentuk perlakuan yang dilakukan seorang yang bermuka masam dalam forum tersebut. Jenis dari dua kata kerja tersebut dalam Ilmu Nahwudikategorikan sebagai fi’il mudhori’ yang merupakan kata kerja aktif yang disifati berlaku pada masa sekarang dan juga berlaku pada masa seterusnya. Kalau Rasul yang diyakini bermuka masam, maka bagaimana mungkin ia dikatakan sebagai seorang yang حريص/harîs (yang mempunyai kepeduliaan yang sangat terhadap kaumnya) dalam ayat lainnya? Sungguh tidak dapat diterima bahwa Rasul kita bertindak seperti ini, lantas setelah itu mendapatkan pujian-pujian dalam ayat-ayat setelahnya.
Wallah a’lam bi al-shawâb
REFERENSI
KH. Nurcholis MA. Asbabun Nuzul. Pustaka Anda. Surabaya. Pustaka Anda 1997
Prof. Dr. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbâh. Vol 15.
Husein Al-Habsyi. Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam. Al-Kautsar. Malang. 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar