Sahabat Badar Yang Munafik Atau Yang Tidak Sempurna Imannya?
Percayakah anda jika ada sahabat Badar dikatakan munafik atau dikatakan tidak sempurna imannya?. Jika orang syiah yang mengatakannya maka orang syiah tersebut pasti akan dikatakan telah menghina sahabat tetapi bagaimana kalau kitab shahih yang mengatakannya. Sudah jelas nashibi akan bersilat lidah untuk melindungi aib sahabat. Sebelumnya silakan lihat riwayat berikut
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الزُّبَيْرَ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ خَاصَمَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجٍ مِنْ الْحَرَّةِ كَانَا يَسْقِيَانِ بِهِ كِلَاهُمَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْزُّبَيْرِ اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ آنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ اسْقِ ثُمَّ احْبِسْ حَتَّى يَبْلُغَ الْجَدْرَ فَاسْتَوْعَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَئِذٍ حَقَّهُ لِلْزُّبَيْرِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ ذَلِكَ أَشَارَ عَلَى الزُّبَيْرِ بِرَأْيٍ سَعَةٍ لَهُ وَلِلْأَنْصَارِيِّ فَلَمَّا أَحْفَظَ الْأَنْصَارِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْعَى لِلْزُّبَيْرِ حَقَّهُ فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ قَالَ عُرْوَةُ قَالَ الزُّبَيْرُ وَاللَّهِ مَا أَحْسِبُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ إِلَّا فِي ذَلِكَ {فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} الْآيَةَ
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin Zubair bahwa Zubair menceritakan bahwa ia pernah berselisih dengan salah seorang dari kaum Anshar yang pernah ikut perang Badar kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang saluran air dari Al Harrah dimana keduanya sama-sama menyiram kebun mereka dengannya. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada Zubair “siramlah wahai Zubair kemudian alirkan kepada tetanggamu”. Maka orang Anshar itu marah dan berkata “wahai Rasulullah ia putra bibimu”. Maka wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berubah kemudian berkata kepada Zubair “siramlah kemudian tahanlah air hingga memenuhi kebun”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memutuskan untuk memenuhi hak Zubair padahal sebelumnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keluasan ketika orang Anshar itu tidak menerima maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memutuskan hak Zubair sesuai dengan hukum yang semestinya. Urwah berkata Zubair berkata demi Allah tidaklah aku mengira ayat ini turun melainkan untuk perkara ini “maka demi Tuhanmu mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan” [Shahih Bukhari 3/187 no 2708]
Hadis shahih Bukhari di atas menyebutkan bahwa salah seorang sahabat Badar berselisih dengan Zubair atas suatu perkara. Ketika perkara ini dihadapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Beliau memutuskan dengan keputusan yang baik untuk kedua belah pihak tetapi sahabat Badar tersebut marah dengan keputusan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan menuduh Beliau bersikap tidak adil karena Zubair adalah sepupu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sikap sahabat Badar ini membuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menetapkan keputusan sesuai hukum yang memang merupakan hak Zubair. Kemudian turunlah ayat berikut [An Nisa’ ayat 65]
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya [QS An Nisaa : 65]
Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari ketika menjelaskan hadis ini, ia menukil bahwa sebagian orang berkata bahwa yang berselisih dengan Zubair adalah orang munafik, sebagian yang lain berkata orang tersebut adalah sahabat Nabi. Ibnu Hajar merajihkan bahwa ia adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang ikut dalam perang Badar. Sehingga ketika menafsirkan lafaz “laa yu’minun” atau tidak beriman, Ibnu Hajar mengutip Ibnu At Tiin yang berkata “jika benar orang tersebut adalah sahabat Badar maka makna perkataan “tidak beriman” adalah tidak sempurna imannya” wallahu ‘alam” [Fath Al Bari 5/36]
Sebenarnya Apa susahnya dikatakan bahwa orang yang berselisih dengan Zubair adalah sahabat Badar yang munafik. Sepertinya Ibnu Hajar beranggapan bahwa sahabat Badar tidak mungkin ada yang munafik sehingga ia berusaha menolak pendapat ini. Bahkan dengan pengingkaran ini mereka menyimpangkan lafaz “tidak beriman” menjadi “tidak sempurna imannya” karena lafaz “tidak beriman” biasanya tertuju pada orang kafir atau munafik. Sahabat dalam hadis di atas telah menunjukkan kesalahan yang fatal. Penolakannya terhadap keputusan Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dengan menampakkan kemarahan dan menuduh Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak adil adalah bentuk kemunafikan. Padahal apa yang ditetapkan oleh Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] termasuk kebaikan dan kelapangan yang diberikan Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] untuknya.
.
.
Terdapat bukti yang menguatkan hal ini yaitu jika diperhatikan ternyata An Nisaa’ ayat 65 ini termasuk dalam deretan ayat yang ditujukan pada kaum munafik. Silakan lihat ayat-ayat berikut
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُوداً
فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَاناً وَتَوْفِيقاً
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغاً
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُواْ مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلٌ مِّنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka “Marilah kamu [tunduk] kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan [QS An Nisaa’ : 59-66]
Pada An Nisaa’ ayat 59 Allah SWT menyeru kepada orang-orang yang beriman agar taat kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan Ulil Amri, disini orang-orang beriman dinyatakan dengan kata ganti “kamu”. Kemudian pada An Nisaa’ ayat 60 Allah menyebutkan Orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Untuk selanjutnya orang-orang inilah yang diseru dengan kata ganti “mereka”. Pada ayat 61 tampak jelas kalau mereka adalah orang-orang munafik. Pada ayat 63 Allah menyatakan bahwa “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka” dan memerintahkan agar berpaling dari mereka. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa mereka adalah orang-orang munafik. Sampai pada ayat yang terakhir 66 dimana berbunyi Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”. Lafaz seperti ini jelas ditujukan pada orang-orang munafik dan bukan untuk orang-orang beriman
Jadi Al Qur’an dengan jelas menyebutkan kalau “mereka” yang disebutkan dalam An Nisaa’ ayat 60-66 adalah orang-orang munafik maka lafaz “tidak beriman” pada An Nisaa’ ayat 65 jelas berarti memang tidak beriman dan mereka disana adalah orang munafik. Hadis shahih menyebutkan kalau An Nisaa’ ayat 65 turun berkaitan dengan sahabat Badar yang berselisih dengan Zubair padahal zahir ayat Al Qur’an menunjukkan kalau ayat tersebut tertuju pada orang-orang munafik maka bukankah ini menjadi bukti kalau terdapat sahabat Badar yang munafik.
.
.
Terdapat petunjuk lain yang menguatkan kalau orang yang berselisih dengan Zubair adalah munafik. Dalam Tafsir Ath Thabari 8/521-522 no 9913 kisah tersebut diriwayatkan dengan sanad dari Ya’qub dari Ismail bin Ibrahim dari ‘Abdurrahman bin Ishaq dari Az Zuhriy dari Urwah kemudian menyebutkan kisah tersebut dimana orang Anshar itu berkata
اعْدِلْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، وَإِنْ كَانَ ابْنُ عَمَّتِكَ
Wahai Nabi Allah berlaku adillah, apa karena ia putra bibimu
Perkataan seperti ini memang seperti perkataan orang-orang munafik. Sukar dibayangkan kalau orang-orang yang beriman menuduh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak berlaku adil.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ ، وَفِي ثَوْبِ بِلَالٍ فِضَّةٌ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِي النَّاسَ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ ، قَالَ : ” وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ ، فَقَالَ : مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّي أَقْتُلُ أَصْحَابِي ، إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ، لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ ، يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ “
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Muhajir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Laits dari Yahya bin Sa’id dari Abu Zubair dari Jabir bin ‘Abdullah yang berkata “seseorang datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Ji’ranah setelah pulang dari perang Hunain. Ketika itu dalam pakaian Bilal terdapat perak maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membagikannya kepada manusia. Orang tersebut berkata “wahai Muhammad berlaku adillah?”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “celaka engkau, siapa yang bisa berlaku adil jika aku dikatakan tidak berlaku adil? Sungguh celaka dan rugi jika aku tidak berbuat adil. Umar berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] izinkanlah aku membunuh munafik ini”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “aku berlindung kepada Allah dari pembicaraan orang-orang bahwa aku membunuh sahabatku sendiri, sesungguhnya orang ini dan para sahabatnya suka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka, mereka keluar darinya seperti anak panah yang lepas dari busurnya” [Shahih Muslim 2/740 no 1063]
Perkataan orang yang dikatakan “munafik” oleh Umar di atas adalah sama persis dengan apa yang dikatakan oleh sahabat Badar. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari ucapan Umar yang menyatakan ia munafik tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mencegah Umar membunuhnya agar tidak timbul fitnah dari orang-orang bahwa Nabi membunuh sahabatnya sendiri.
Bukan berarti kami mengatakan kalau orang dalam hadis shahih Muslim itu adalah orang yang sama dengan sahabat Badar yang berselisih dengan Zubair. Qarinah yang kami maksudkan adalah dari perkataan keduanya yang sama dan mengandung tuduhan tidak adil kepada Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Perkataan ini dan respon Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] yang marah membuat Umar yakin kalau orang tersebut munafik dan Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak mengingkari perkataan Umar.
Dapat dimengerti mengapa banyak yang menolak ada sahabat Badar yang munafik, disebabkan karena begitu besarnya keutamaan orang-orang yang ikut dalam perang Badar [sebagaimana yang tertera dalam hadis shahih]. Tetapi fakta riwayat memang menunjukkan ada orang munafik yang juga ikut perang Badar maka sudah jelas maksud keutamaan tersebut hanya tertuju pada ahli Badar yang memang berniat membela Allah SWT dan Rasul-Nya bukan untuk orang munafik. Kami pernah menunjukkan bahwa salah seorang sahabat yaitu Mu’attib bin Qusyair yang ikut dalam perang Badar adalah seorang munafik.
Seandainya kita memperhatikan kitab-kitab hadis maka perkara seperti ini tidaklah musykil. Banyak hadis shahih yang menyatakan keutamaan kaum anshar seolah-olah itu berlaku untuk seluruh kaum Anshar tanpa terkecuali tetapi fakta riwayat menunjukkan hal yang berbeda. Terdapat sebagian riwayat menyatakan ada sebagian sahabat Anshar yang munafik maka ini menjadi penjelas bahwa keutamaan kaum Anshar tidak bersifat mutlak keseluruhan tanpa pengecualian. Orang anshar yang munafik dikecualikan dari keutamaan kaum Anshar yang disebutkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar