Laman

Rabu, 14 September 2011

Arab Saudi Eksekutor Kebijakan AS di Timur Tengah



Gelombang kebangkitan Islam di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara berimbas pada kerajaan Arab Saudi, baik di sektor dalam negeri maupun politik luar negeri. Kendala ini telah memaksa keluarga Al Saud menjadi tangan kanan Amerika untuk menghadapi kebangkitan rakyat dan berusaha keras menyimpangkan setiap kebangkitan yang ada. Tapi hal ini bukan berarti menafikan peran Arab Saudi yang sejak dahulu menjadi sekutu asli Amerika di kawasan. Sejak lama Amerika memberikan peran Arab Saudi sebagai saudara tua para raja di negara-negara sekitar Teluk Persia dan para diktator di sana.

Kebangkitan Islam yang terjadi di Timteng telah membuat kerajaan Arab Saudi berpikir keras mencegahnya menular ke negaranya. Untuk sebagai saudara tua, Arab Saudi terus berpikir untuk mencari solusi dari masalah yang ada. Peran pertama yang dimainkannya adalah memberikan tempat bagi pelarian mantan diktator Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali. Namun untuk mencitrakan dirinya mendukung rakyat Tunisia dan menurunkan tensi kemarahan mereka, Arab Saudi mensyaratkan akan menerima Ben Ali bila ia meninggalkan aktivitas politik.
Hal menarik dari pemberian suaka politik oleh pihak Arab Saudi kepada Ben Ali dilakukan saat pendukung Eropa Ben Ali tidak bersedia memberikan suaka politik kepadanya. Negara-negara Eropa sangat berhati-hati dalam menyikapi ini dan mencemaskan reaksi rakyat Tunisia bila mereka melakukannya. Tapi tidak demikian dengan Arab Saudi. Akhirnya, Ben Ali, mantan diktator Tunisia kembali ke pelukan saudara tuanya Arab Saudi.
Menarik mencermati sikap Arab Saudi terhadap transformasi yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Bila di Tunisia para penguasa Arab Saudi terkesan tidak ambil peduli, namun tidak demikian ketika terjadi kebangkitan rakyat di Mesir. Arab Saudi secara transparan memberikan dukungannya kepada rezim Hosni Mubarak dan menentang sikap rakyat yang ingin menumbangkan kekuasaan Mubarak. Mesir memang berbeda dengan Tunisia. Negara Mesir punya peran dan posisi khusus di dunia Arab. Hosni Mubarak yang dikenal sebagai kepala negara yang senantiasa mengikuti kebijakan AS di Timur Tengah dan pemimpin kelompok moderat Arab punya peran utama dalam perimbangan politik di kawasan dalam menghadapi front Muqawama.
Arab Saudi dalam transformasi Mesir akhirnya memilih berada di dekat Mesir. Karena lengsernya Mobarak sama artinya semakin melemahnya kelompok negara-negara moderat Arab di Timur Tengah. Dengan alasan ini, keluarga Al Saud tetap bersikeras mendukung Hosni Mubarak hingga saat ini. Padahal bila dicermati, Amerika sebagai sekutu asli Mubarak pun tidak memberikan dukungan seperti yang dilakukan Arab Saudi. Amerika justru menuntut lengsernya Mubarak.
Berbarengan dengan lengsernya Hosni Mubarak, berarti dimulainya tahapan ketiga kebijakan Arab Saudi menghadapi transformasi Timur Tengah. Sebuah tahapan dimana Arab Saudi fokus untuk mencegah menjalarnya gelombang protes luas ke negaranya dengan memanfaatkan sektor keuangan dan keamanan. Pasca tumbangnya Mubarak di Mesir dan dimulainya kebangkitan besar di Bahrain, Yaman dan Libya, rakyat Arab Saudi mengeluarkan seruan agar semua ikut dalam Hari Kemarahan pada 11 Maret.
Para aktivis politik melakukan langkah luar biasa dengan membentuk partai politik. Karena selama ini pembentukan partai politik dilarang di negara ini. Mereka yang melakukan aksi ini kebanyakan ditangkap dan ditumpas gerakannya oleh pemerintah. Sikap keras pemerintah menumpas aksi-aksi demonstrasi di Arab Saudi mengakibatkan sejumlah aktivis politik cedera di Hari Kemarahan 11 Maret. Dan yang tidak boleh dilupakan, Arab Saudi masih punya senjata andalan yang tidak dimiliki oleh rezim Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir. Penguasa Arab Saudi punya cadangan kekayaan ratusan miliar dolar yang berasal dari minyak.
Raja Abdullah yang telah berusia 87 tahun dan lebih sering sakit-sakitan, sebelum terjadi aksi protes di negaranya selama tiga bulan berada di Amerika untuk mengobati penyakitnya. Raja Abdullah memberikan janji akan menggelontorkan bantuan 35 miliar dolar kepada seluruh kalangan masyarakat. Bantuan ini mencakup 15 persen kenaikan gaji pegawai negeri, memberi kesempatan para tahanan untuk dapat membayar utang-utangnya, bantuan dana kepada para mahasiswa dan pengangguran, membangun satu setengah juta rumah tinggal dengan harga murah dan meningkatkan anggaran polisi syariat.
Penguasa Arab Saudi pada pandangan pertama mengira pasca penumpasan aksi demo rakyat pada Hari Kemarahan 11 Maret, rakyat Arab Saudi akan diam. Terlebih lagi mereka telah mengalokasikan dana sebesar itu untuk membantu rakyat. Tapi beberapa hari setelah Hari Kemarahan, pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tiba di Bahrain untuk menumpas aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat Bahrain terhadap pemerintahnya. Tiga pekan setelahnya Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) memutuskan penyelesaian guna meredam krisis yang terjadi di Yaman.
Arab Saudi bagi penguasa Bahrain, Al Khalifa bukan saja sebagai saudara tua, tapi menjadi ayah angkat keluarga kerajaan Bahrain. Hampir setiap acara di Arab Saudi, bisa dipastikan Raja Bahrain ikut di dalamnya dan berada di sisi Raja Arab Saudi. Bahkan baru-baru ini anak laki-laki Raja Bahrain menikah dengan putri Raja Abdullah yang membuat hubungan keluarga di antara kedua raja ini semakin erat. Dengan melihat posisi penting dan strategis Bahrain bagi Amerika, Gedung Putih juga mendukung campur tangan penguasa Arab Saudi menumpas kebangkitan rakyat Bahrain. Belum lagi armada kelima Amerika yang berada di Bahrain. Artinya, bila terjadi perubahan di Bahrain, maka hal itu akan membahayakan posisi militer Amerika di Teluk Persia dan Laut Oman.
Penguasa Arab Saudi sangat pro aktif dalam menyikapi kebangkitan rakyat Yaman. Arab Saudi melihat Yaman sebagai negara penting dan sangat strategis. Sejatinya posisi geografis Yaman dan bentuk hubungannya dengan Arab Saudi pada tahun-tahun lalu sangat mempengaruhi keamanan nasional Arab Saudi. Yaman menempati posisi utama negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia. Oleh karenanya, Arab Saudi pro aktif dan ikut terlibat secara langsung pada seluruh krisis dan transformasi yang terjadi di Yaman.
Dimulainya kebangkitan luas rakyat Yaman berbarengan dengan lengsernya Mubarak di Mesir. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan Riyadh. Lengsernya Hosni Mubarak berarti Arab Saudi telah kehilangan sekutu utamanya di Timur Tengah. Saudi sekarang merasa ada bahaya yang siap mengancam dari selatan dan khawatir kebangkitan rakyat di Mesir menyebar ke negaranya.
Pasca aksi penumpasan yang dilakukan di Bahrain, Arab Saudi kembali berinisiatif dalam kerangka Dewan Kerjasama Teluk Persia untuk mempertahankan rezim Ali Abdullah Saleh dengan mengusulkan agar ia mengundurkan diri. Dengan cara ini, Arab Saudi berharap dapat menyimpangkan kebangkitan rakyat Yaman dari tujuan aslinya. Akhirnya, Ali Abdullah Saleh cedera berat akibat serangan roket ke gedung kepresidenan Yaman dan diterbangkan ke Arab Saudi guna mendapat perawatan medis. Tapi keluarnya Ali Abdullah Saleh dari Yaman tidak membuat rakyat Yaman mundur dari tuntutannya. Mereka tetap bersikeras agar Yaman menerapkan sistem demokrasi. Demonstrasi jutaan warga Yaman pekan lalu membuktikan kegagalan upaya yang dilakukan Arab Saudi untuk mengontrol kebangkitan rakyat Yaman.
Menghadapi kebangkitan Islam di Timur Tengah ada dua sikap yang ditunjukkan oleh penguasa Arab Saudi. Pertama, reaksi yang ditujukan terhadap krisis Mesir dan usaha keras agar protes tidak meluas ke Saudi. Kedua, mengambil langkah pro aktif menghadapi kebangkitan Islam di negara-negara tetangganya. Intervensi Arab Saudi di Bahrain, inisiatif mengontrol Yaman lewat P-GCC dan mengusulkan keanggotaan Yordania dan Maroko di Dewan Kerjasama Teluk Persia merupakan strategi Saudi menghadapi kebangkitan Islam.
Transformasi berlangsung cepat di Timur Tengah dan munculnya kondisi yang memungkinkan membentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat menggantikan sistem penindasan telah mengubah konstelasi politik Timur Tengah. Dampak dari perubahan ini, para penguasa Arab Saudi sudah tidak lagi memiliki posisi yang sama seperti dahulu. Di sisi lain, Arab Saudi sudah tidak bisa mengandalkan dolar yang berasal dari minyak untuk mempertahankan posisinya di kawasan sebagai saudara tua dan eksekutor kebijakan Amerika. (IRIB/SL/MF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar