(Oleh:
M.H. Fadhlullah)
Perjamuan Allah Swt
Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.(al-Baqarah: 183) Ketika menyambut bulan penuh berkah ini, kita
harus mempersiapkan diri secara spiritual. Itu agar kita merasa—sebagaimana
disebutkan dalam khutbah Nabi saww—bahwa kita sedang berada dalam perperjamuan
Allah Swt. Ya, kita harus mencari keuntungan dari perjamuan ini yang berupa
ampunan, keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan rezeki dari Allah Swt, yang pada
gilirannya menjadikan manusia beserta akal, hati, jiwa, dan hidupnya, dekat
dengan Tuhannya.
Kita sangat membutuhkan kedekatan
dengan Allah Swt. Sebab ketika memikirkan keberadaan diri, kita menyadari bahwa
Dia-lah yang telah menganugrahkannya kepada kita: Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki
kepada kamu dari langit dan bumi?(al-Fathîr: 3) Dan pabila kita hendak
memikirkan seluruh gerakan kita dalam hidup, kita tahu bahwa semua itu berasal
dari nikmat Allah Swt. Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).(al-Nahl: 53) Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat
Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.(al-Nahl: 18)
Kebaikan Dibalas Keburukan
Kita tahu bahwa kehidupan dengan
berbagai nikmatnya berasal dari Allah dan berada dalam lingkup
pemeliharaan-Nya. Bahkan Allah Swt tetap menganugrahkan kenikmatan pada kita
sekalipun kita bermaksiat dan menjauhkan diri dari kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan-Nya. Inilah yang diungkapkan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain dalam
doa Abu Hamzah al-Tsimali, "Engkau menanamkan cinta pada kami dan kami
membalas-Mu dengan berbuat dosa-dosa." "Kebaikan-Mu turun pada kami
dan kejahatan kami naikkan pada-Mu." Allah Swt memberi kita makanan,
minuman, dan tempat tinggal, sementara kita menggunjing, mengadu domba,
berzinah, memakan harta secara batil, dan menyebarkan fitnah. Dalam doa Abu
Hamzah disebutkan, "Malaikat mulia (pencatat amal perbuatan) senantiasa
datang kepada-Mu setiap hari dengan membawa amal buruk (kami)." Merekalah
para malaikat yang memberikan laporan amal perbuatan kita. "Hal itu tidak
menghalangi-Mu meliputi kami dengan nikmat-nikmat-Mu dan Engkau muliakan kami
dengan anugrah-anugrah-Mu. Mahasuci Engkau, sungguh Engkau Mahabijak,
Mahaagung, Mahamulia. Engkau Pencipta dan tempat kembali."
Cinta Allah
Kita sudah tahu bahwa segala hal
yang kita miliki di alam mahaluas ini dan apa yang ada pada diri kita berasal
dari Allah Swt, Sang Pencipta. Mahasucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.(al-Mu'minûn: 14) Segala sesuatu di alam
ini, seperti air, udara, sel-sel, dan organ tubuh manusia, semata-mata adalah
ciptaan Allah Swt. Apakah mungkin kita merasa tidak butuh kepada Tuhan yang
telah menganugrahkan kehidupan pada alam semesta dan manusia?
Kita bergantung
pada Allah
Kita
bergantung pada Allah Swt dengan segenap keberadaan kita, termasuk di saat
kematian menjelang atau sewaktu berdiri di hadapan-Nya. Ini mengharuskan kita
menjalin hubungan yang kokoh dengan Allah Swt. Bagaimana kita bisa mengokohkan
hubungan dengan orang lain berdasarkan kepentingan-kepentingan, sementara kita
tidak menjalin hubungan yang erat dengan Allah Swt dan memupuk cinta
kepada-Nya, padahal kita sangat butuh dekat dengan-Nya?
Inilah yang diungkapkan Rasulullah
saww tatkala menyerahkan panji peperangan kepada Amirul Mukiminin Ali bin Abi
Thalib dalam Perang Khaibar, "Esok hari aku benar-benar akan memberikan
panji perang kepada seorang lelaki yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya,
serta dicintai Allah Swt dan Rasul-Nya." Inilah cinta timbal-balik antara
kedua belah pihak. Pertanyaannya, bagaimana cara kita meraih cinta ini?
Allah Swt menjelaskan persoalan
penting ini dalam al-Quran al-Karim melalui lisan Nabi-Nya: Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada
dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan
Allah dan (segolongan) lain kafir.(آli Imrân: 13) Karena Rasulullah
saww menjelaskan ini dari sisi Allah Swt, maka barangsiapa mematuhinya, berarti
telah mematuhi Allah. Mengikuti Rasul merupakan bukti kecintaan terhadap Allah,
karena Dia mencintai orang-orang yang bertaubat (sesungguhnya Allah Swt
mencintai hamba yang terjatuh dalam dosa dan kemudian bertaubat). Dan Allah Swt
tidak mencintai orang-orang yang berkhianat, berdusta, dan munafik.
Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang benar dan membenci
orang-orang jahat atau zalim. Apakah masuk akal; Anda mencintai Allah sementara
Anda berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi?
Koreksi Diri
Kezaliman bukan bermakna penguasaan.
Kezaliman adalah mengambil dan merampas hak orang yang memiliki hak atas Anda.
Dan kezaliman terjadi dalam perbuatan melampaui batas terhadap orang-orang
lemah di hadapan Anda. Persoalan-persoalan ini membutuhkan koreksi dan
instrospeksi diri. Sebab kita sering melupakan diri sendiri. Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Barangsiapa menyibukkan diri dengan aib
orang lain, niscaya lupa dengan aibnya sendiri." Dalam diri kita terdapat
hawa nafsu yang menggiring pada keburukan. Kita tidak pernah memikirkan dan
merenungi diri kita sendiri demi mempertanyakan titik kelemahan dan kelebihan
jiwa kita. Seyogianya kita acap bertanya pada diri sendiri. Berapa kali aku
berdusta, menggunjing, berbuat aniaya, mencela, dan seterusnya? Seyogianya kita
menjadi teman diri kita sendiri. Temanmu adalah siapa yang menyertaimu, bukan
siapa yang membenarkanmu. Kita harus menahan dirinya dari melakukan hal-hal
yang berbahaya, serta membimbingnya menuju apa-apa yang bermanfaat baginya.
Katakan pada diri kita, "Wahai jiwa, apa yang dilarang Allah akan merusak
hidup manusia di dunia dan di akhirat. Adapun apa yang dititahkan Allah akan
memperbaiki hidup manusia di dunia dan di akhirat." Berpikirlah dengan
cara ini dan jadilah tamu Allah Swt. Ini agar kita berbuat ikhlas semata-mata
karena Allah Swt dalam semua urusan. Mengoreksi diri bukanlah pekerjaan mudah.
Sebab itu meniscayakan gerak dari alam syahwat dan perasaan. Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhanya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).(al-Nâzi'ât: 40-41) Ya, manusia
harus diajak memahami dirinya sendiri, mengkoreksinya, mengadilinya, dan
memeranginya (jadikan dirimu musuh yang kamu perangi, karena dalam dirimu
terdapat hawa nafsu yang memerintahkan pada keburukan, kecuali yang dirahmati
Tuhanku).
Bulan Allah Swt,
Amal, dan Ketaatan
Wahai
kecintaanku! Bulan ini adalah bulan besar berkala. Di bulan ini, kita
diharuskan berniaga dengan Allah Swt. Berdaganglah dengan Allah dengan
perdagangan yang menguntungkan. Apakah ada di antara kita yang ingin dirugikan
dalam perniagaannya? Lalu mengapa kita tidak melakukan perdagangan itu demi
memperoleh keselamatan dari siksa nan pedih? Mengapa pula kita tidak berjalan
di atas landasan ketaatan kepada Allah Swt? Dengan taat, dunia akan menyertai
serta mengajak kita menuju alam kubur yang tak seorang pun dapat dijadikan
sahabat untuk bermaksiat kepada Allah Swt. Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.(al-Rahmân: 26-27)
Jika
Allah Swt menjadi tujuan serta arah langkah kita, maka hendaklah kita tidak
ditundukkan hawa nafsu atau berjalan di belakang orang yang bermaksiat
kepada-Nya, yaitu orang zalim atau pelaku kriminal lainnya. Renungkanlah
ungkapan Rasulullah yang diabadikan al-Quran: Katakanlah, "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar
(hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.'(al-An'âm: 15) Siapakah kita
di hadapan seruan tersebut yang menggambarkan keagungan pengetahuan Rasulullah
terhadap-Nya serta ketaatan beliau pada-Nya?
Rasulullah
saww adalah sosok hamba yang taat kepada Allah Swt. Dan kemulian para nabi,
juga para imam, terletak pada ketaatan kapada-Nya. Allah Swt adalah pencipta
mereka semua yang menjadi hamba-hamba-Nya. Karenanya, tak ada kekerabatan
antara Allah Swt dengan para nabi dan wali-Nya. Mereka adalah para insan yang
telah membumbung naik menuju arah-Nya serta mendekatkan diri dengan taat
kepada-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Allah Swt menjelaskan hal ini dalam al-Quran: (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-angan kalian yang kosong, dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya
selain dari Allah.(al-Nisâ': 123) Dalam riwayat disebutkan bahwa di ahir
hayatnya, Nabi saww berkhutbah di hadapan manusia seraya bersabda, "Wahai manusia! Janganlah berangan-angan bagi
yang berangan-angan dan janganlah mengaku-ngaku bagi yang mengaku-ngaku!
Sesungguhnya tak ada yang menyelamatkan (seseorang) kecuali amalnya yang
disertai (karunia) rahmat. Maka seandainya aku bermaksiat, niscaya aku akan
binasa." Alkisah, disebutkan bahwa tatkala beliau sedang duduk dalam
keadaan ihtidhâr (sakratul maut),
serta dikelilingi sanak-kerabatnya seperti Abbas bin Abdul Muthalib (pamannya),
Shafiyyah binti Abdul Muthalib (bibinya), Fathimah al-Zahra (putri
terkasihnya), dan lainnya, beliau menoleh ke arah mereka seraya bersabda,
"Wahai Bani Abdul Manâf! Kerjakanlah
apa yang telah Allah perintahkan kepada kalian! Sesungguhnya aku tidak dapat
memenuhi apapun yang kalian butuhkan dari Allah Swt. Wahai Abbas bin Abdul
Muthalib, wahai paman Rasulullah! Tunaikanlah apa yang telah diperintahkan
Allah padamu! Sesungguhnya aku tak dapat memenuhi apapun yang engkau butuhkan
dari Allah. Wahai Shafiyyah binti Abdul Muthalib, wahai bibi Rasulullah!
Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah padamu! Sesungguhnya aku tak
dapat memenuhi apapun yang engkau butuhkan dari Allah. Wahai Fathimah binti
Muhammad! Lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah padamu! Sesungguhnya
aku tak dapat memenuhi apapun yang engkau butuhkan dari Allah."
Barangkali
seseorang menanyakan perihal syafaat bagi manusia sebagaimana yang diungkapkan
al-Quran: ... dan mereka tiada memberi
syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu
berhati-hati karena takut kepada-Nya.(al-Anbiyâ' 28) jelas, syafaat hanya
diperoleh orang-orang tertentu saja. Dan Ahlul Bait (Nabi) tidak memberi
syafaat kecuali pada orang-orang yang mengikuti jalan hidup, perangai, dan
perbuatan mereka (Ahlul Bait Nabi saww).
Hendaknya
kita mengosongkan pikiran kita di bulan mulia ini dari apa-apa yang tidak
diridhai Allah Swt, serta membukakakan kehidupan, hati, dan akal kita terhadap
sesuatu yang diridhai Allah Swt serta membawa kebaikan bagi jiwa kita.
Hendaklah kita berpuasa dengan sepenuh hati, akal, dan ruh, serta meraih
ketakwaan kepada Allah Swt yang menjadi tiang penyangga puasa dan tujuan luhur
yang melindungi kepribadian seorang muslim. Puasa semacam itulah yang
diinginkan Allah untuk dijadikan hiasan agama Islam serta sarana meneggakkan
yang haq: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas diri kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.(al-Baqarah 183). Inilah misi puasa;
ketakwaan, ibadah, dan amal saleh.