Laman

Jumat, 20 Juli 2012

Hukum Berobat Perempuan ke Dokter Pria, Sekalipun Ada dokter Perempuan


Soal:Apa hukumnya seorang perempuan yang berobat ke dokter laki-laki, baik untuk radiologi, sonografi, suntik dan operasi, sementara ada dokter perempuan?

Jawab:

Imam Khomeini: Bila kondisi darurat, tidak masalah merujuk kepada dokter laki-laki. Bila tidak dalam kondisi darurat dan ada dokter perempuan, maka hukumnya tidak boleh.
(Istiftaat, jilid 3, hal 279, soal 84 dan 85)


Ayatullah Araki: Tidak masalah seorang dokter pria melihat atau memegang pasien perempuan non muhrim bila dalam kondisi darurat dengan syarat tidak ada dokter perempuan yang dapat mengobatinya.
(Al-Masail al-Wadhihah, jilid 2, hal 92, masalah 2455)

Ayatullah Behjat: Bila tidak sampai pada keadaan darurat, tidak dibolehkan seorang dokter pria melihat atau memegang pasien perempuan.
(Masail Jadid az Didgah-e Ulama va Maraje Taqlid, jilid 1, hal 183)
(Istiftaat, jilid 3, hal 180, dari soal 3961 dan 3964)

Ayatullah Tabrizi: Tidak masalah, bila dalam kondisi darurat dan sangat membutuhkan, seperti ketika tidak ada dokter perempuan atau dokter pria yang lebih ahli.
(Masail Jadid az Didgah-e Ulama va Maraje Taqlid, jilid 1, hal 184)

Ayatullah Khamenei:Tidak boleh bila pengobatan seorang dokter pria melazimkan melihat dan memegang yang haram, kecuali bila tidak mungkin untuk berobat ke dokter perempuan yang ahli.
(Ajwibah Istiftaat, hal 311, soal 1302)

Ayatullah Khu'i: Tidak boleh dalam kasus-kasus yang melazimkan memegang dan melihat yang haram, selama tidak sampai pada kondisi darurat.
(Taudhih al- Masail, hal 436 dari masalah 2450-2451)

Ayatullah Sistani: Tidak boleh bila pengobatan itu melazimkan pandangan dan pegangan yang haram, sementara ada dokter perempuan, kecuali bila tidak percaya bahwa dokter perempuan itu tidak melakukan tugasnya dengan benar.
(Masail Jadid az Didgah Ulama va Marja Taqlid, jilid 1, hal 184)

Ayatullah Zabiri Zanjani: Tidak masalah mengobati perempuan baik melihat maupun memegang bila pengobatan hanya bisa dilakukan oleh dokter non muhrim. Bila pengobatan dilakukan dengan memegang atau melihat tubuh pasien perempuan dan dokter pria tahu bahwa ada dokter perempuan yang mampu melakukan tugas ini, maka ia tidak boleh melakukan pengobatan itu.

Kesimpulannya, dalam kondisi seperti ini, seorang perempuan tidak boleh berobat pada dokter pria.
(Taudhih al-Masail, jilid 2, hal 208, masalah 2450)

Ayatullah Safi Golpaigani: Terkait dengan pertanyaan ini, bila ada bidan perempuan, maka merujuk ke dokter yang non muhrim tidak diperbolehkan.
(Masail Jadid az Didgah Ulama va Maraji Taqlid, jilid 1, hal 183)
(Hidayatul Ibad, jilid 2, hal 398, masalah 22)

Ayatullah Fazel Lankarani: Bila memungkinkan untuk merujuk ke bidan perempuan, maka tidak boleh berobat ke dokter pria. Hal ini bila melazimkan dokter pria melihat atau memegangnya.
(Masail Jadid az Didgah Ulama va Maraji Taqlid, jilid 1, hal 183)

Ayatullah Golpaigani: Dalam kasus-kasus yang melazimkan seorang dokter pria memegang atau melihat yang diharamkan, maka hukumnya tidak boleh bila tidak sampai pada kondisi darurat.
(Taudhih al-Masail, Dar al-Quran al-Karim, hal 143, dari masalah 2450 dan 2451)

Ayatullah Makarem Shirazi: Bila ada dokter perempuan dan pria yang cukup dan tidak ada kondisi darurat yang membuat seorang perempuan merujuk ke dokter pria atau sebaliknya yang melazimkan seorang dokter memegang atau melihat yang haram, maka hukumnya tidak boleh.
(Masail Jadid az Didgah Ulama va Maraji Taqlid, jilid 1, hal 184)

Ayatullah Nouri Hamedani: Dalam kasus-kasus yang melazimkan seorang dokter pria memegang atau melihat yang diharamkan, maka hukumnya tidak boleh bila tidak sampai pada kondisi darurat.
(Taudhih al-Masail, hal 482, masalah 2437 dan 2438)

Ayatullah Vahed Khorasani: Bila perempuan terpaksa merujuk ke dokter pria dan dokter juga terpaksa untuk melihat dan memegang tubuh perempuan itu, maka hukumnya boleh.
(Taudhih al-Masail, hal 667, masalah 2505) (IRIB Indonesia / SL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar