Laman

Kamis, 19 Juli 2012

Peran Puasa



(Oleh: M.H. Fadhlullah)
           

Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. (QS. al-Baqarah: 183)


Puasa, Membangun Ketakwaan


            Puasa merupakan ibadah yang diwajibkan Allah Swt kepada seluruh hamba-hamba-Nya dalam setiap risalah para nabi-Nya. Sekaitan dengan kewajiban-kewajiban lainnya, terdapat banyak perbedaan antara satu nabi dengan nabi lainnya. Lain hal dengan puasa. Sebabnya, Allah Swt menginginkan manusia seluruhnya berpuasa agar terbangun ketakwaan. Dengan demikian, puasa itu sendiri merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt, mengingat dengan berpuasa, seseorang berarti mengikuti perintah-Nya. Ya, dengan berpuasa, seseorang pada dasarnya sedang mewujudkan ruh takwa dalam jiwanya, membangun akal takwa pada pemikirannya, dan membangun gerak takwa dalam kehidupannya. Dengan berpuasa, seseorang akan takut kepada Allah dan selalu mengontrol jiwanya dari pikiran-pikiran (negatif) dan perbuatan-perbuatan tertentu. Inilah yang diinginkan Islam dari peribadahan, di mana puasa menjadi gerbang pendahuluannya.  Islam bermaksud membentuk seseorang menjadi insan bertakwa, yang tidak memerlukan aturan penguasa tertentu (selain Allah). Lebih lagi, Islam mengingikan manusia merasakan kehadiran Allah Swt dalam jiwa dan seluruh kehidupannya, sehingga menjadikannya selalu mengintrospeksi—sebelum orang lain melakukannya, menghukum, mencegah, dan menundukkan dirinya sendiri agar tidak sampai melakukan kezaliman dan mengganggu orang lain.      


Perbekalan Puasa

            Ketakwaan merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Allah Swt menginginkan manusia mempersiapkan perbekalan saat hendak bertemu dengan-Nya. Itu agar mereka memperoleh keridhaan dan surga-Nya kelak: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan naik haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang engkau kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.(al-Baqarah: 197)
            Di ayat lain, Allah berfirman: Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan.(al-Hasyr: 18)
            Sebenarnya takwa merupakan bekal puasa dan sesuatu yang diinginkan Allah untuk dimanfaatkan manusia dalam kehidupannya. Ya, manusia diharapkan bertakwa dalam kehidupan masyarakat, politik, militer, dan lain-lain, serta dalam keadaan aman maupun peperangan. Bertakwa berarti mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Selama seseorang menjalankan syariat, mengikuti perintah, dan menjauhi larangan-Nya, maka ia dapat dikatakan sebagai orang bertakwa.
            Begitu pula, siapa yang berpuasa dan mampu meraih ketakwaan, berarti telah mampu menyelami makna puasa. Adapun orang yang berpuasa dan belum meraih ketakwaan, adalah orang yang sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saww, "Berapa banyak orang berpuasa dan tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Berapa banyak orang bangun di malam hari untuk ibadah, tidak mendapatkan apa-apa kecuali begadang saja." Karena itu, hendaklah kita mengintrospeksi diri ketika berpuasa agar mengetahui apa yang telah kita lakukan setiap harinya.
            Apakah kita dapat lebih mendekatkan diri pada Allah ketimbang menjauhkan dari-Nya? Apakah kita dapat lebih menjaga diri dalam berpegang teguh pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya ketimbang mengabaikannya? Introspeksilah diri kita setiap hari, agar diketahui apakah kita beraktivitas berdasarkan ketakwaan ataukah tidak? Periksalah jalinan hubungan kita dengan diri sendiri; apakah kita mampu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan atau tidak? Introspeksilah diri kita dalam kehidupan rumah tangga; apakah kita berlaku buruk terhadap istri kita dengan cara menguasainya secara berlebihan? Apakah kita telah berlaku buruk terhadap tetangga dan manusia lain yang ada di sekitar kita? Introspeksilah diri kita setiap hari agar mengetahui apakah kita sedang berjalan naik menuju Allah Swt atau bergerak turun ke arah setan?


Jenis-jenis Puasa

            Melalui puasa, Allah Swt ingin merealisasikan jenis ketakwaan tersebut dalam diri kita. Dalam hal ini, ibadah puasa dapat diklasifikasikan dalam berbagai jenis. Ada puasa material, yaitu mencegah diri dari makan-minum, berhubungan seksual, dan keinginan-keinginan lainnya. Pabila puasa seperti ini dijalankan, berarti seseorang telah menunaikan perintah berpuasa. Namun, ada jenis puasa lain, yakni, menjaga diri dari berkata dusta, menggunjing, mengadu domba, dan bergembira atas derita orang lain, serta menjaga diri dari menyakiti, menzalimi, dan memusuhi manusia lain. Puasa ini adalah puasa akhlaqi yang menjadikan kita mampu menjaga diri dalam ucapan, sebagaimana dalam hal makan dan minum. Dalam berpuasa jenis ini, kita akan menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah Swt dalam segala perbuatan kita. Itulah dua jenis puasa; puasa besar dan puasa kecil yang telah ditentukan Allah bagi umat manusia.
            Puasa kecil dijalankan di bulan suci Ramadhan.  Adapun puasa besar adalah puasa sepanjang hayat; untuk mencegah diri dari setiap hal yang diharamkan Allah, baik dalam ucapan, perbuatan, dan sikap. Puasa kecil merupakan pendahuluan dari puasa besar. Karenanya,  sepercik pengetahuan tentang jiwa yang diperoleh di bulan Ramadhan menjadi pendahuluan bagi peperangan besar melawan hawa nafsu.


Dalam Realitas Kehidupan

            Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa manusia yang membiasakan diri bergunjing, berbohong, dan sejenisnya sebenarnya tidaklah berpuasa. Ia telah menghilangkan makna dan ruh puasa. Sungguh ia tidak beroleh manfaat berpuasa. Begitulah, yang diinginkan adalah agar manusia menghidupkan puasa dalam jiwanya, dengan mencegah diri dari pikiran-pikiran, niat-niat, dan motif-motif buruk. Ini lantaran problem yang dihadapi manusia bersumber terutama dari semua itu. Pikiran membentuk sikap, sedangkan niat menyertai akitivitas kita dalam menjalin hubungan. Karenanya, jika kita ingin menjadi insan yang berpuasa, bertakwa, dan punya kedekatan dengan Allah, maka sebagaimana diinginkan Allah, tidak cukup jika anggota tubuh kita saja yang berpuasa (menjaga) dari keburukan, melakukan dosa, serta segenap hal yang diharamkan. Seyogianya pikiran, niat, dan perasaan kita pun berpuasa. Dalam pikirannya, manusia amat menginginkan kebaikan yang menyelamatkan dan mengokohkan hidupnya, serta membina kemampuannya. Adakalanya, manusia memikirkan hal-hal buruk yang memotifasi niatnya untuk berbuat keburukan. Misal, menyakiti, memusuhi, menzalimi, dan mengganggu orang lain, atau merampas hartanya. Orang-orang yang punya pikiran seperti ini harus tahu bahwa (seolah) Allah Swt telah berkata, "Hendaklah kalian puasakan pikiran kalian dari setiap pikiran-pikiran buruk. Biarkanlah pikiran kalian hidup dalam kebaikan." Allah Swt juga berkata kepada mereka, "Dalam pikiran-pikiran kalian tertanam keimanan dan kekufuran, serta keadilan dan kezaliman. Janganlah kalian menodai pikiran kalian dengan berpikir untuk menzalimi orang lain hanya lantaran masalah-masalah sepele serta dikarenakan itu berasal dari sumber yang tak dapat dipercaya."


Niat Puasa

            Sudah selayaknya kita memurnikan niat karena Allah Swt. Hendaklah kita berpuasa demi mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana halnya ibadah lain seperti shalat dan haji. Allah Swt ingin kita merenungkan hal ini; agar kira hidup dan bekerja dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya. Inilah kedudukan tertinggi di dunia dan akhirat. Semua itu merupakan hasil dari niat puasa, ibadah, dan kedekatan kepada Allah Swt: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(al-Ra'd: 11) Firman lainnya: Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(al-Anfâl 53)
            Rasulullah saww bersabda, "Setiap pekerjaan tergantung pada niat-niatnya, dan setiap orang tergantung dari apa yang diniatinya." Sesungguhnya Allah Swt membangkitkan manusia sesuai dengan niatnya  Dari sini kita diharuskan berpuasa secara fisik sekaligus akhlaki, pemikiran, ruh, perasaan, dan hati. Allah Swt menginginkan kita berpuasa dari mencintai musuh-Nya serta dari memusuhi para wali-Nya. Hendaklah kita mencintai orang-orang beriman serta membuka diri dari Allah Swt dalam kehidupan mereka. Dan hendaklah kita memusuhi musuh-musuh Allah dalam setiap ketetapan mereka (yang bertentangan) dengan-Nya yang dilakukan dengan sengaja. Hendaklah kita tidak berwilayah kecuali kepada orang–orang mukmin, dan tidak memusuhi kecuali pada orang-orang kafir yang congkak. Itulah puasa perasaan sebagaimana pula puasa akal dan jasad.
            Demikianlah puasa yang diinginkan Allah swt guna menyelesaikan pelbagai masalah dalam arung kehidupan. Dalam pada itu, kita dituntut untuk bertakwa kepada Allah agar memperoleh keridhaan-Nya serta merealisasikan tujuan penciptaan manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar