Imam Ja'far (as) berkata :
"Jangan mengagumi diri-diri kalian sendiri, terkadang kalian dapat tertipu oleh kekayaanmu dan kesehatan jasmanimu hingga kalian menganggap akan hidup selamanya. Kadang kamu tertipu oleh panjangnya umurmu , anak-anak mu juga kawan-kawanmu hingga kamu mengira akan diselamatkan oleh mereka,,,,
"Terkadang kamu tertipu oleh penyesalanmu yang kamu tunjukkan kepada orang-orang atas kekuranganmu dalam beribadah tetapi Allah Maha mengetahui yang sebaliknya didalam dirimu "
"Terkadang kamu mendorong dirimu untuk beribadah sementara dalam jiwa yang ingkar ,Tetapi Allah menginginkan Ketulusan. Terkadang kamu membayangkan sedang memohon kepadaNYA sementara kamu memohon kepada selainNYA"
"Terkadang kamu membayangkan bahwa kamu telah memberikan NASIHAT NASIHAT yang baik kepada orang lain sementara keinginanmu yang sesungguhnya adalah agar mereka MENGHORMATIMU"
"Terkadang kamu menyalahkan diri sendiri padahal ternyata tujuanmu adalah untuk memuji dirimu sendiri"
"Jika kamu puas dengan keadaanmu sekarang maka tak ada orang yang lebih menyedihkan dibandingkanmu dalam pengetahuan dan tindakan"
"SESUNGGUHNYA YANG TERJERUMUS DALAM KHAYALAN AKAN MENEMUI KEMALANGAN DIDUNIA INI DAN TERTIPU DI AKHIRAT DAN KAMU HANYA AKAN BANGKIT DARI KEGELAPAN KHAYAL DAN KEINGINAN BILA KAMU TULUS BERTAUBAT KEPADA-NYA YANG MAHA KUASA"
(Washiyat Imam Ja'far Shadiq, Syaikh Fadhlullah Haeri )
Imam Ja’far bersabda:
يَا عبدَ الأعلى … فَأَقْرَأْهُمْ السلام و رحمة الله و قل: قال لكم: رَحِمَ اللهُ عبْدًا اسْتَجَرَّ مَوَدَّةَ الناسِ إلى نفسِهِ و إلينا بِأَنْ يُظْهِرَ ما يَعْرِفُونَ و يَكُفَّ عنهُم ما يُنْكِرُونَ
“Hai Abdul A’lâ, sampaikan salam kepada mereka (syi’ahku) dan katakan kepada mereka bahwa Ja’far berkata kepada kalian, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang menarik kecintaan manusia kepada dirinya dan kepada kami dengan menampakkan apa-apa yang mereka kenal dan menahan dari menyampaikan apa-apa yang tidak mereka kenal.”[4]
Abu Shabâh al Kinani berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ja’far) as, ‘Di kota Kufah kami diperolok-olokkan karena (mengikuti tuan), kami diolok-olok ‘Ja’fariyah’. Maka Imam murka dan bersabda:
إنَّ أصحابَ جعفر مِنكُم لَقليلٌ، إنما أصحابُ جَعْفَر مَنْ اشْتَدَّ وَرَعُهُ و عَمِلَ لِخالِقِهِ
“Sesungguhnya pengikut Ja’far di antara kalian itu sedikit. Sesungguhnya pengikut Ja’far itu adalah orang yang besar kehati-hatiannya dan berbuat untuk akhiratnya.’”[5]
Bassâm berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah as bersabda:
إنَّ أَحَقَّ الناسِ بالورعِ آلُ محمدٍ و شِيْعَتُهُم
“Yang paling berhak bersikap wara’ adalah keluarga Muhammad dan Syi’ah mereka.[6]
شيعتُنا أهلُ الورعِ و الإجتهادِ، و أهلُ الوقارِ و الأمانَةِ، أهلُ الزهدِ و العبادَةِ. أصحابُ إحدَى و خمسونَ رَكْعَةً في اليومِ و
الليلَةِ، القائمونَ بالليلِ، الصائمونَ بالنهار، يَحِجُّونَ البيتَ… و يَجْتَنِبونَ كُلَّ مُحَرَّمٍ
“Syi’ah kami adalah ahli/penyandang wara’ dan bersungguh-sungguh dalam ibadah, pemilik ketenangan/keanggunan dan amanat, penyandang zuhud dan getol beribadah. Pelaksana shalat lima puluh satu rakaat dalam sehari semalam. Berdiri (mengisi malam dengan shalat) puasa di siang hari dan berangkat haji ke tanah suci dan mereka menjauhkan dri dari setiap yang haram.”[7]
و اللهِ ما شيعَةُ علي (عليه السلام) إلاَّ مَنْ عَفَّ بطنُهُ و فرْجُهُ، و عمل لِخالقِهِ، و رجَا ثوابَهُ، و خافَ عقابَهُ
“Demi Allah, tiada Syi’ah Ali as kecuali orang yang menjaga perutnya dan kemaluannya, berbuat demi Tuhannya, mengharap pahala-Nya dan takut dari siksa-Nya.”[8]
يا شِيْعَةَ آلِ محمَّدٍ، إنَهُ ليسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَملكْ نفسَهُ عندَ الغضَبِ، و لَمْ يُحسِنْ صُحْبَةَ مَن صحِبَهُ، و مرافَقَةَ مَن رافقَهُ، و مصالَحَةَ مَن صالَحَهُ
“Wahai Syi’ah Âli (keluarga) Muhammad, sesungguhnya bukan dari kami orang yang tidak menguasai nafsunya di saat marah, tidak berbaik persahabatan dengan orang yang ia temani, dan tidak berbaik kebersamaan dengan orang yang bermasa dengannya serta tidak berbaik shulh dengan orang yang berdamai dengannya.”[9]
ليسَ مِنْ شيعَتِنا مَنْ يكونُ فِيْ مِصْرَ، يكونُ فيْهِ آلآف و يكون في المصرِ أورَعُ منهُ
“Tidak termasuk dari Syi’ah kami seorang yang bertinggal di sebuah kota yang terdiri dari beribu-ribu masyarakat, sementara di kota itu ada seorang yang lebih wara’ darinya.”[10]
Kulaib ibn Mu’awiyah al Asadi berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ja’far) as bersabda:
و اللهِ إنَّكُمْ لَعلَى دينِ اللهِ و دينِ ملآئكَتِهِ فَأَعِيْنُونِيْ بورَعٍ و اجتهادٍ. عليكُمْ بصلاةِ الليلِ و اعبادَةِ، عليكم بالورعِ
“Demi Allah kalian benar-benar berada di atas agama Allah dan agama para malaikat-Nya, maka bantulah aku dengan wara’ dan kesungguh-sungguhan dalam ibadah. Hendaknya kalian konsisten shalat malam, beribadah. Hendaknya kalian konsisten berpegang dengan wara’.”[11]
شيعتُنا أهلُ الورعِ و الإجتهادِ ، و اهلُ الوفاء و الأمانةِ، و أهل الزهدِ و العبادةِ، أصحابُ إحدِىَ و خمسينَ ركعَةً في اليومِ
و الليلَةِ، و القَائِمُونَ باللَّيلِ، الصائِمونَ بالنهارِ ،يُزَكُّوْنَ أَموالَهُمْ ، و يَحِجُّوْنَ البيتَ و يَجْتَنِبُوْنَ كُلَّ مُحَرَّمٍ
“Syi’ah kami adalah ahli (penyandang) wara’, dan bersungguh-sungguhan dalam ibadah, ahli menepati janji dan amanat, ahli zuhud dan ibadah, ahli (pelaksanaan) salat lima puluh satu raka’at dalam sehari, bangun di malam hari, puasa di siang hari, menzakati hartanya, melaksanakan haji, dan menjauhkan diri dari setiap yang diharamkan.”[12]
_______________
[5] Al Bihar, 68/166.
[6] Bisyâratul Mushthafa, 17.
[7] Al Bihâr, 68/167.
[8] Ibid., 168.
[9] Ibid., 266.
[10] Ibid., 164.
[11] Bisyâratul Mushthafa, 55 dan 174, dan Al Bihâr, 68/87.
[12] Shifâtusy Syi’ah, 2 dan al Bihâr, 68/167 hadits 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar