Laman

Kamis, 12 Januari 2012

Al Quran dan Ahlul Bayt as


Ahlul Bait Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l’llâhu liyudzhiba ‘ankumu l’rijsa ahla l’bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”. Artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS. 33:33).


Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syak (keraguan)”. (Ma’ani l’Akhbar).
Sebagian muslim beranggapan bahwa tafsir ahlulbayt pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw. Penafsiran itu terjadi karena awal ayat ini memang ditujukan kepada istri-istri Nabi, yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”. Tafsir itu tidak benar karena kata ganti (personal pronoun atau dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbaitnya jelas berbeda; untuk istri-istri Nabi, kata gantinya mu’annats atau feminin, sedangkan untuk Ahlulbait kata gantinya mudzakkar atau maskulin.
Selain itu, penafsiran untuk istri-istri Nabi ini tidak bisa diterima karena penjelasannya bukan dari Rasulullah. Padahal, orang yang paling mengetahui tafsir ayat ini adalah Nabi saw sendiri. Dan Al-Quran juga telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firmanNya: “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl:44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl:64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS. 59:7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l’amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4:59).
Jika demikian, maka siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab ayat 33 ini menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Dalam hadis Sahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut:
Aisyah mengatakan: “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah, lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha’il Ahli bayt Nabiy; Al-Mustadrak ‘ala l’Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amir putra Abu Salamah–anak tiri Rasulullah–mengatakan: “Ketika ayat ini “innama yuridu l’llahu liyudzhiba ‘ankumu l’rijsa ahla l’bayt wa yuthahhirakum tathhira” diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain sedangkan Ali as berada di belakang beliau. Kemudian beliau mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa: “Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Ummu Salamah berkata: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Beliau bersabda: “Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l’Atsar 1:335; Usudu l’Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husaun, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah as selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya”. (HR Al-Turmudzi 2:29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab Sunni bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu sebenarnya bukanlah istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sekalipun ayat itu penulisannya digabungkan dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw. Alasannya, terkadang terselip di dalam Al-Quran itu beberapa ayat madaniyah atau makiyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat di atas dan tentu saja para ulama telah memaklumi hal tersebut.
Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya: Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan? Lalu turunlah ayat: “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husain)”.
Ayat di atas telah mewajibkan seluruh manusia khususnya kaum Muslim untuk mencintai dan mengikuti keluarga Nabi atau Ahlulbait. Dan kecintaan kepada mereka adalah dasar dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadis). Dan membenci mereka akan menjadilan seluruh amal kita sia-sia dan menyeret kita ke dalam neraka. Nabi saw bersabda: “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan puasa kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati), sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut: “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. (Kitab Al-Mustadrak Shahihayn 3:148).
Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk bermubahalah dengan para pendeta Nasranim yaitu: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamudan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf berkata: “Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan: ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka: ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: ‘Demi Allah wahai umat Nasrani, kalian tentu tahu bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang bermubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti akan binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian, maka tinggalkan orang ini dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husain dan menuntun Hasan dan Fatimah berjalan di belakang beliau sedangkan Ali berjalan di belakang Fatimah. Nabi bersabda: “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah!”. Saat melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat Kristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan. Oleh karena itu, tinggalkan mubahalah ini sebab kalian akan celaka dan nantinya takkan tersisa seorang Kristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata: “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda: “Jika kalian enggan bermubahalah, maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagaimana berlaku atas mereka (muslim yang lain).”
Surah Al-Maidah:55
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Maidah: 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syi’ah maupun Ahlussunnah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syi’ah serta pengakuan ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Surah Al-Maidah:67 dan ayat 3
Peristiwa Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan Nabi saw. Peristiwa ini terjadi sewaktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’. Peristiwa besar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari Madînah.
Pada tahun ke-10 H, Nabi saw bersama sekelompok besar dari sahabatnya pergi ke Mekah untuk menunaikan haji. Setelah menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke Madînah. Namun, ketika rombongan sampai di kawasan Râbigh, sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Maidah: 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti dan menyuruh mereka yang telah berlalu untuk kembali serta memerintahkan untuk menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zuhur. Hawa sangat panas sekali dan mimbar pun didirikan. Shalat Zhuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah semua berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 onta, dan dengan suara lantang beliau berpidato:
“Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya.
Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, kalian pun juga demikian. Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
Lalu mereka menjawab:
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan berupaya untuk menyampaikan misi yang anda emban. Semoga Allah swt memberi pahala kepadamu.”
Nabi saw melanjutkan:
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad adalah hamba sekaligus Nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?” Lalu mereka menjawab lagi: “Iya, kami bersaksi”.
Kemudian Nabi saw berkata:
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu, berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, “Apa kedua hal tersebut?”
Nabi saw menjawab:
“Pertama adalah kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlul Baytku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun. Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Al-Qur’an dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah sisi bawah tangan dari kedua pribadi yang agung itu dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata:
“Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
Mereka menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
Nabi saw berkata:
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan do’a:
“Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Setelah selesai dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang kembali dengan membawa wahyu: “Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…” (QS. 5: 3) dan pada saat itu Rasulullah bersabda, “Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imâmah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Koreksi Sanad Hadis
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syi’ah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syi’ah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H.), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H.). Dan masih banyak lagi. (Lihat: Allamah Amini, jilid ke-1 kitab al-Ghadîr hal. 152-157, beliau telah menyebutkan nama-nama ulama yang menulis kitab untuk mengomentari dan menganalisa hadis ini. Beliau juga menjelaskan metode yang digunakan oleh para penulis tersebut di dalam memaparkan penjelasannya.
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan sanad-Nya, kami bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini lebih jauh. Para penukil hadis ini adalah:
1. 110 sahabat.
2. 84 tâbi’în.
3. 56 ulama abad kedua.
4. 92 ulama abad ketiga.
5. 43 ulama abad keempat
6. 24 ulama abad kelima.
7. 20 ulama abad keenam.
8. 20 ulama abad ketujuh.
9. 19 ulama abad kedelapan.
10. 16 ulama abad kesembilan.
11. 14 ulama abad kesepuluh.
12. 12 ulama abad kesebelas.
13. 13 ulama abad keduabelas.
14. 12 ulama abad ketigabelas.
15. 19 ulama abad keempatbelas.
Para muhaddis atau ahli hadis Ahlussunnah yang menukil hadis ini diantaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-’Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad. Jumlah ini diambil dari buku Al-Ghadîr jilid pertama. Sedang pembahasan sanad hadis ini terdapat pada kitab-kitab tersendiri, di antaranya Ghâyatul Marâm, karya Allamah Sayyid Hasyim al-Bahrânî (wafat 1390), dan Al-’Aqabât, karya Sayyid Mir Hamid Husain Hindi (wafat 1306).
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh Nabi saw merupakan salah satu kejadian yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, maka dia takkan bisa menerima peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”. Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berarti aulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
1. Di pembukaan hadis Nabi saw bersabda, “Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu berdasar pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian di sini bahwa maulâ berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
2. Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”.Doa ini merupakan penjelasan atas kedudukan Imam Ali as dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
3. Rasulullah saw meminta penyaksian dari khalayak dan ungkapan “man kuntu …” dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Allah swt dan kerasulan. Sehingga nilai tersebut (yakni kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi, yakni penyaksian atas keesaan Allah dan kerasulan).
Selain konteks-konteks yang telah disebutkan ini, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu. (Sayyid Chairul Umam Jamalullail)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar