“Al-Islam” pada ayat “Inna al-Din ‘IndaLlah al-Islam” terkadang ditakwilkan bermakna “berserah diri di hadapan Tuhan” dimana Islam di sini disebut dengan nama derivatnya (yang bermakna berserah diri), tolong Anda jelaskan masalah ini?
Islam secara leksikal bermakna totalitas penyerahan diri (taslim) tanpa reserved dan tedeng aling-aling di hadapan Tuhan. Agama merupakan penjelas segala harapan Tuhan terhadap manusia dalam bidang pemikiran, kondisi, perilaku personal dan sosial, dan juga bentuk hubungan manusia dengan dirinya, orang lain dan Tuhan.
Dengan demikian, keharusan penerimaan setiap agama – pada setiap masa yang dibawa oleh nabi pada masa tersebut – adalah totalitas penyerahan diri di hadapan agama tersebut, dimana dengan datangnya agama baru (yang menandaskan ajaran baru) para hamba bertugas, berdasarkan ajaran agama yang lama dan keniscayaannya, menerima agama baru dan berserah diri di hadapannya. Karena itu dapat dikatakan bahwa, sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, seluruh nabi As adalah mubaligh (penyampai) satu agama (Islam) dimana perbedaan syariat-syariat pada penuntasan dan pengurangan para nabi sebelumnya dan setelahnya berada di pundaknya, tanpa memandang adanya perbedaan di antara para nabi tersebut, kendati keutamaan dan kedudukan di hadapan Allah Swt berbeda-beda bagi setiap hamba, sebagaimana hal ini disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya telah Kami utamakan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan kami berikan Zabur kepada Dawud.” (Qs. Al-Isra [17]:55); “Rasul-rasul itu Kami lebih utamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berbicara (langsung) dengannya dan sebagian yang lain Allah meninggikannya beberapa derajat.”(Qs. Al-Baqarah [2]:253) agama lama tidak dapat berhatan seiring dengan datangnya agama baru.
Dengan memperhatikan matlab-matlab di atas, ketika para nabi dan syariat-syariatnya berakhir melalui Nabi Saw dan “agama Islam”, maka agama ini merupakan agama global dan perennial. Apabila ada seseorang memandang dirinya sebagai orang yang beragama, patuh dan berserah diri secara totalitas kepada Tuhan, apakah ia Yahudi atau Kristen atau orang musyrik, ia harus menerima “agama Muhammad Saw,” sehingga agamanya mendapatkan keridhaan Tuhan dan diterima di sisi-Nya. Dan di hadapan segala pemikiran, kondisi, perbuatan baiknya akan dihitung dan mendapatkan kedudukan di surga!
Karena itu setelah pengutusan (bi’tsat) Rasulullah Saw dan sempurnanya agama Islam, maka tiada agama lagi yang diterima di sisi Allah dan mendapatkan ganjaran dari-Nya.
Berserah diri (taslim) di hadapan Tuhan memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda:
1. Berserah diri secara takwini seluruh eksisten dan entitas termasuk manusia, di hadapan Tuhan: Artinya makna penciptaan, pergantian dan perubahan takwini pada seluruh entitas tersebut, kualitas, jenisnya dan pada akhirnya kematiannya seluruhnya tidak diserahkan kepada mereka dan seluruhnya secara deterministik berserah diri (taslim) di hadapan takdir, penciptaan, pengaturan, penguasaan dan pengelolaan-Nya.[1] Artinya bahwa bahkan orang-orang yang menentang dan kaum musyrikin, kuffar dan kaum munafik, dalam penyerahan diri secara tawkini ini, berserah diri secara totalitas di hadapan-Nya dan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk membangkangnya.[2]
2. Islam bermakna bahwa fitrah manusia apabila tidak berada di bawah pelbagai pengajaran dan tarbiyah yang salah, ia adalah sosok yang senantiasa mencari Tuhan, tunduk dan berserah diri secara totalitas di hadapan Sang Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur, Penguasa Mutlak. Dan tentu saja ia memiliki kecendrungan terhadap tauhid dan menjauh diri penyimpangan dan kemusyrikan. Islam ini adalah sebuah batin yang mengantarkan Ibrahim As kepada malakut langit-langit dan berseru dari kedalaman jiwa dan hati: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keimanan yang murni dan tulus kepada-Nya, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. Al-An’am [6]:79)
3. Islam bermakna berserah diri di hadapan agama – yaitu titah dan larangan Ilahi dalam bidang pemikiran, pelbagai kondisi dan pelbagai perbuatan – tanpa reserved dan diskriminasi di antara ajaran-ajaran, maarif, amalan dan akhlak Ilahi, dengan mengerjakan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.
“Taslim” ini adalah keniscayaan klaim “keberagamaan”. Artinya apabila ada seseorang yang benar-benar memandang dirinya sebagai orang yang beragama dan committed terhadap agama Ilahi, maka ia harus berserah diri di hadapan segala titah dan larangan Ilahi, walau keduanya bertentangan dengan tabiat dan kecendrungannya.[3]
Dengan demikian, apabila nabi yang menjadi kecintaannya menganjurkan bahwa setelah beberapa lama ia harus meninggalkan syariatnya, (ajaran lama nabi tersebut) mengamalkan syariat dan mengikuti nabi baru yang datang selepasnya, apabila ia merupakan pengikut sejati nabinya, maka dengan datangnya nabi setelahnya ia memiliki tugas dan kewajiban untuk melepaskan syariat yang lama tersebut dan mengamalkan syariat baru yang dibawa oleh nabi baru.
Sebagaimana apabila Yahudi benar-benar merupakan pengikut Musa As, maka ia harus menjadi pengikut Isa As setelah kedatangannya dan pada masa itu tidak lagi dijumpai agama Yahudi. Demikian juga apabila orang-orang Nasrani benar-benar merupakan pengikut Isa As, maka mereka harus menunaikan perintah Isa As untuk mengikuti nabi yang diutus setelahnya, yaitu Muhammad bin Abdillah Saw dan menarik diri dari agama yang menyimpang dan benar-benar menjadi seorang muslim (yang berserah diri).
4. “Islam” adalah syariat paling pamungkas, paling sempurna, dan syariat Ilahi paling lengkap yang menganulir seluruh syariat sebelumnnya dan setelahnya tidak akan ada syariat yang akan menganulirnya.[4] Dengan demikian, dengan diutusnya Rasulullah Saw dan disempurnakanya agama ini, maka tiada agama dan syariat yang akan diterima dari siapa pun, karena tidak akan syariat baru yang mendapatkan keridhaan Allah Swt.
Lantaran iman kepada Nabi Saw dan berserah diri di hadapan agama ini, meniscayakan iman dan pembenaran terhadap pelbagai syariat dan nabi yang lain dan juga iman dan pembenaran terhadap pelengkap dan penyempurna pelbagai syariat dan nabi tersebut (hukum-hukum, maarif baru dan terkini), akan tetapi iman terhadap syariat-syariat lainnya adalah iman terhadap agama yang tidak dapat menjawab seluruh kebutuhan dan tuntutan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara sempurna dan tuntas. Oleh itu, agama dan syariat tersebut adalah agama yang tidak sempurna dan tidak benar. Agama-agama tersebut tidak dapat menjadi agama-agama yang mendapatkan keridhaan Tuhan dan diterima oleh-Nya dan pelbagai konsekuensinya untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran! Khususnya agama-agama yang telah menyimpang dan telah menjauhkan dirinya dari rel kebenaran![5]
“Al-Islam” pada ayat yang dimaksud dengan perhatian ekstra dapat disimpulkan dari keempat makna yang disampaikan di atas. Karena manusia secara takwini harus memilih jalannya sendiri dan mengkonstruksi nasibnya sendiri-sendiri dengan menerima agama Islam. Memberikan jawaban positif atas seruan fitrahnya lantaran agama ini sejalan dan selaras dengan fitrah dan akal sehat manusia. Menerima agama ini, bermakna membenarkan agama-agama dan nabi-nabi lainnya (yang telah usai masa berlakunya). Memandang bahwa mereka adalah para nabi Ilahi dan penyebar agama Ilahi yang benar serta pemandu manusia kepada kesempurnaan dan bukan agama yang menyimpang yang mereka bawa sendiri, hal ini akan menjadi lahan untuk menunjukkan agama paling sempurna dan paling lengkap dimana selain Islam tidak akan dapat dijumpai pada agama lainnya.
Dengan demikian, dengan mengikuti dan memeluk agama ini bermakna berserah diri secara totalitas di hadapan Tuhan dan meninggalkan jalan-jalan yang berpencar (subul mutafarraqah) dari jalan lurus Ilahi.[6]
Nah sekarang untuk menerima agama ini memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda:
1. Menerima Islam secara lahir dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima secara lahir segala perintah Ilah yang boleh jadi tidak sejalan dengan keyakinan dan iman sebelumnya. Yaitu dengan menerapkan amalan seorang muslim pada dirinya seperti hukum-hukum nikah, hukum transaksi, kesucian badan, pakaian, kehormatan jiwa dan harta dan seterusnya.[7]
2. Konsekuensi Islam adalah iman dalam hati, yakin dan membenarkan serta berserah diri terhadap seluruh maarif Ilahi, menerima dengan sepenuh hati kendati pada tingkatan tertentu disertai dengan kesalahan dalam tataran praktik atau keraguan dalam mengamalkannya,[8] atau melakukan sebuah perbuatan yang dibenci dalam hati.
3. Konsekuensi Islam adalah kerelaan hati, iman terhadap agama dan Nabi Saw dan Tuhan, yang mengharuskan kekhusyuan dan ketundukan seluruh anggota lahir dan batin manusia di hadapan Tuhan dan Nabi Saw serta para imam As, dan perintah serta larangannya. Tanpa adanya kebencian atau keengganan dalam melakukan hal tersebut.[9] dalam kondisi seperti ini, seorang hamba memandang dirinya sebagai milik Allah Swt dan memandang Allah Swt sebagai pemilik dirinya seutuhnya, keridhaan-Nya sebagai keridaannya, menerima apa yang menjadi kerelaan Tuhan sebagai kerelaannya.
4. Berserah diri di hadapan Tuhan, adalah sebuah penyerahan yang tidak memandang dirinya sebagai pemilik kemandirian dan kehendak, sedemikian sehingga ia tidak berkehendak kecuali untuk menunaikan perintah Tuhan, seluruh kecintaan, kebencian, suka dan duka adalah untuk mencari keridhaan Tuhan. Apa pun caranya. Bagaimanapun jalannya. Sehingga ia mencapai makam para wali Allah yang tidak merasa takut juga tidak ada perasaan duka menyelimuti mereka. Ia tidak menyesal atas masa lalu juga tidak menangisi apa yang terlepas dari tangannya.[10] Ia tidak merasa gentar terhadap masa depannya;[11] lantaran ia telah mencapai makam ithmi’nan (kemantapan hati) dan hanya menantikan seruan labbaik (kupenuhi panggilanmu) atas panggilan Tuhan dan sampai pada tingkatan perjumpaan (liqâ) dengan Allah Swt.[12] Dan di jalan ini apa pun yang terjadi maka ia akan bergembira meski kejadian getir Karbala hadir dalam hidupnya!
Dengan demikian, Islam sejati adalah keseluruhan dari tingkatan yang disebutkan di sini[13] karena itu, “Islam Nabi Muhammad Saw” tidak dapat dibandingkan dengan siapa pun, sebagaimana “Islam para Imam Pemberi petunjuk As” juga demikian adanya, tidak dapat dibandingkan dengan “Islam orang lain”. Meski pelbagai petunjuk dan bukti, indikasi atas klaim ini melebihi dari apa yang diungkap di sini secara selintasan. Oleh itu, bagi mereka yang tertarik dan gemar mencari kebenaran, kami persilahkan Anda untuk menelusurinya pada kitab-kitab sejarah dan sirah tentang kehidupan mereka!
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa berserah diri secara totalitas di hadapan Tuhan meniscayakan penerimaan agama Islam. Dan menerima agama Islam meniscayakan penyerahan diri secara totalitas di hadapan Tuhan. Elegansi yang tertimbun dari kalimat dan ungkapan ini dan setiap makna meniscayakan yang lain dan tidak terpisah dari satu dengan yang lainnya.
Dari sisi lainnya, lantaran agama ini sempurna dengan “wilâyah” – yaitu pengangkatan Imam Ali As sebagai imam di Ghadir Khum,[14] orang yang mengingkari wilayah bermakna tidak berserah diri secara totalitas di hadapan perintah Tuhan. Tidak berserah diri secara totalitas di hadapan perintah Tuhan bermakna bahwa ia tidak menerima Islam sejati (agama secara sempurna), bersikap diskriminatif dalam menjalan syariat – yaitu mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian – sementara Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling darinya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya), dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) yang berkata, “Kami mendengarkan”, padahal mereka tidak mendengarkan. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan seandainya Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. Dan takutlah terhadap sebuah fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu saja. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. Dan ingatlah ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi; kamu takut orang-orang akan menculikmu. Lalu Allah melindungimu dan menjadikan kamu kuat dengan pertolongan-Nya, serta memberikan kepadamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasulullah dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (bahwa perbuatan ini adalah dosa besar).” (Qs. Al-Anfal [8]:20-27) dan juga sebagaimana firman-Nya, “Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi mendidih yang menghanguskan wajah. Alangkah buruknya minuman itu dan alangkah jeleknya tempat istirahat itu.” (Qs. Al-Kahf [18]:29)
Tiada keraguan bahwa “Itrah dan al-Qur’an” merupakan dua amanah yang amat berharga yang diperintahkan Rasulullah Saw kepada kita untuk berpegang teguh kepada keduanya hingga hari Kiamat, lantaran hadis masyhur tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diterima oleh Sunni dan Syiah. Oleh karena itu, Islam tanpa wilayah bukanlah Islam sejati dan tidak menjadi obyek keridhaan Tuhan.[]
Daftar Pustaka:
1. Asrâr al-‘Aqâid, Mirza Abu Thalib Syirazi, Maktab al-Islam, cetakan pertama, 1377, Qum, seluruh kitab dan tafsir tentang ayat-ayat yang dibahas.
2. Al-Mizân, Muhammad Husain Thabthabai, jil. 1, hal. 300-308, jil. 7, hal. 342-347, jil. 3, hal. 120-123dan 331-339, Intisyarat-e Islam.
3. Kanz al-Daqâiq, Muhammad bin Muhammad Ridha Qumi Masyhadi, jil. 4, hal 123, 442 dan jil. 3, hal. 56-58, Muassasah Thab’e wa Nasyr Wizarat-e Irsyad, cetakan pertama, 1411, Teheran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar