Laman

Senin, 16 Januari 2012

BENARKAH NABI MANUSIA BIASA


Oleh: Umar Shahab

APAKAH Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubah-nya seperti kita-kita? Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan tunjangan ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?” Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalah-an, kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelang-garan. Oleh karena itu kelompok ini menuding para pemuja Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan pengkultusan yang tidak perlu. Benarkah demikian? Untuk itu kita harus melihatnya dari berbagai sisi.


Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, atau sebagai manusia yang luar biasa, yang tidak dapat disamakan dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun? Jika kita telusuri dengan seksama ayat-ayat yang menyinggung tentang Nabi saw atau malah riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandang-an kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan manusia biasa. Ia adalah manusia utama, “superman” yang telah berhasil melewati ting-kat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya. Katakanlah insân kamîl. Tapi me-ngapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai manusia biasa? Kita akan melihatnya.
Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Mu-hammad saw adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukannya di mata Allah sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak pemujaan kepada Nabi pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan me-miliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya.
Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai ke pembahasan ini setelah kita mele-wati pembahasan pertama dan kedua.  

Kedudukan Nabi dalam al-Quran

Seperti yang telah kita singgung di atas, kedu-dukan Nabi Muhammad saw  dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur. Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimili-ki Nabi. Berikut beberapa contoh keagungan Rasulu-llah sebagaimana dalam al-Quran.
Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata: 
Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan ber-iman padanya, membelanya dan mengam-bil janji setia dari kaumnya untuk melaku-kan hal yang sama.
  Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3: 81:
  Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Mu-hammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kali-an benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah ka-lian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.”
  Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Mu-hammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para peng-anut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya:
Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Ra-sul dari kalangan mereka sendiri (Muham-mad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesung-guhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijak-sana (QS. 2:129).
Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw se-belum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah mencip-takan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan:
  Rasulullah saw bersabda:
  Allah telah mencip-takanku dalam wu-jud nur yang berse-mayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum men-ciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru ber-pisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib.
  Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfir-man:
  Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219).
  Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manu-sia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33:
  Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.
  Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud de-ngan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri.
Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.

Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertu-tur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan se-muanya semata-mata adalah wahyu yang di-wahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).
  Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terda-pat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang di-bawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarang-nya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:
  Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki (QS. 72: 26-27).
  Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.
Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).
Kesembilan, siapa saja yang berhadapan de-ngan Nabi Muhammad saw maka berhadapan dengan Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya. Firman Allah (QS. 9:61). Pada kesempatan lain, Allah bahkan mengancam ke-dua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah, karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampai-kannya kepada mereka. Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang akan menghadapi mereka (QS. 66:4).
Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepa-danya (QS. 33:56). Arti shala-wat Allah kepada Nabi ada-lah penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; sha-lawat malaikat adalah per-mohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shala-wat orang-orang beriman.
Kesebelas, orang-orang beriman diperintah-kan untuk tidak memperla-kukan Rasulullah sebagai-mana perlakuan mereka ter-hadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul ha-rus dengan suara yang pe-lan, tidak boleh teriak-teri-ak, karena hal itu akan meng-hapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
Kedua belas, Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenang-kan hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pe-ngabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umat-nya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya.
Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai pe-rantara (wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bah-kan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa.
Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengam-pun dan Maha Pengasih (QS. 4:64).
  Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat membaca riwa-yat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tat-kala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permo-honannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebe-saran Muhammad, aku mohon ampun  pada-Mu kiranya Eng-kau ampuni dosaku.”
Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad pa-dahal Aku belum mencipta-kannya?”
Adam berkata, “Tu-hanku, ketika Engkau cipta-kan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengang-katkan kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau ti-dak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Eng-kau cintai.”
Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Mu-hammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bu-kan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakan-mu.”
  Nabi Sebagai Manusia Biasa
Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah diper-siapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperin-tahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagai-nya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manu-sia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagai-mana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Mu-hammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkelu-arga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum mu-syrikin terhadap Na-bi saw bahwa ia bu-kan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya ti-dak mengulangi ke-salahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa yang meng-anggapnya sebagai Tuhan.
Akan tetapi ketika kita mengata-kan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia wafat. Sama sekali tidak demikian. Kesu-cian, keterpeliharaan dari dosa, maksum, hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan ber-hubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah per-kara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah maqam Insan Kamil. Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga unsur lain-nya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manu-sia lebih tinggi dari makhluk manapun, termasuk mala-ikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mencoba melang-kahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muham-mad telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani.
Kesalahan terbesar pihak yang menolak meng-akui kebesaran Nabi Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharam-kan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Melihat se-orang hanya dari di-mensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu hanya ma-nusia seperti mere-ka, orang-orang kafir menolak meng-akuinya sebagai nabi atau rasul.
  Dan tidaklah menghalangi orang-orang (ka-fir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengalaskan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94).
  Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimani-nya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Sikap kepada Nabi
Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya te-lah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukan-nya, selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya.  Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepadanya telah memutus hu-bungan silaturrahmi dengannya.
Pada ayat tawassul kita bahkan diperi-ngatkan Allah jika ingin dosa-dosa kita diam-puni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan per-mohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkannya lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah.
  Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4).
  Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri? Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau.
  Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57).
  Sebagai penutup renungkan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata:
  Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk ke-pada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang ke-luar dari sini kecuali kebenaran.” Camkan!

Sumber: RausyanFikr's Site

Tidak ada komentar:

Posting Komentar