Hertasning Ichlas | Koordinator Aliansi Solidaritas Kasus Sampang
Namanya Tajul Muluk, usia 39 tahun, ustad berpaham Syiah dan aktivis sosial yang terkenal baik dan berperangai lembut. Putra kyai terpandang ini kemudian disesatkan dan dikriminalisasi karena keyakinannya di kampungnya sendiri, Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang.
Semula, ia dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka sepak terjang Tajul. Solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang, demi kepentingan ratusan pengikut Syiah dan murid pesantrennya. Lebih lagi, ia melakukan itu demi ketentraman kampungnya.
Tiba-tiba, pada 29 Desember 2011, di tempat pengucilannya, Tajul tersentak. Pesantren, mushala, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudarasaudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya, seraya berteriak ingin membunuh, di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.
Kejadian ini mengagetkan warga kampungnya dan warga Omben umumnya yang sebagian besar tak tahu menahu dan selama ini menganggap Tajul pribadi yang baik dan dekat dengan warga. Lebih lagi, kejadian itu mengagetkan dunia, terutama ratusan juta Muslim Syiah yang merasa melihat dirinya sendiri dalam penindasan itu.
Pembakaran itu mengungsikan 350-an warga Muslim Syiah lebih dua pekan ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumahnya dijarah habis. Mungkin itu “hukuman” atas keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu bertindak.
Saat pengungsi hendak pulang ke rumah, dengan perasaan separuh terusir, mereka bersitegang dengan aparat dan pemerintah daerah yang tak bisa menjamin keamanan, bahkan cenderung menyalahkan mereka. Saat di rumah, mereka menyaksikan alat-alat produksinya: harta benda, hewan ternak, cangkul, arit, parang, raib dijarah. Aktivitas mereka kerap diintimidasi lebih keras lagi. Sebagian buruh dipecat majikan karena keyakinannya. Meski sudah pulang kampung, namun “kampung” itu kini sudah kehilangan kebebasannya, terutama untuk mencari nafkah.
Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut mereka “korban”. Seraya menyaksikan, hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato provokatif mereka yang ingin mengobarkan kebencian dan kekerasan atas nama agama.
Seyogianya kita menyaksikan negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas dan keras demi memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh kekejian dan kebiadaban manusia beragama terhadap kaum minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Negara hanya bersedia jadi penonton.
Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggeraknya, negara memilih menahan dan mengkriminalisasi korban Tajul Muluk dengan dalih penodaan agama 156a KUHP dan atau perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di Pengadilan Negeri (PN) Sampang. Seluruh proses hukum, mulai dari penahanan, P-21, pelimpahan berkas, dan persidangan pertama (24/04) berlangsung sangat cepat, kurang dari sepekan. Saking cepatnya, sampai-sampai jelas terlihat banyak keganjilan dan cacat dalam prosedur pelaksanaannya.
Langkah serba-cepat itu didukung keluarnya fatwa sesat terhadap ajaran Tajul oleh Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra). Juga keputusan mendadak BakorPakem Sampang bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan, dan karenanya dilarang. Kendati kita tahu, tak ada fatwa dan secarik pun surat penyesatan Syiah yang dirilis MUI, bahkan oleh majelis ulama dunia ihwal Syiah.
Temuan kami mengatakan, lagi-lagi sangat banyak tekanan terhadap kepolisian dan kejaksaan yang dilancarkan Bupati Sampang, Kepala Bakesbangpol, dan Plt Kementrian Agama Sampang terkait kasus ini. Berkali-kali pula didapatkan lewat keterangan kuasa hukum Tajul, Bupati Sampang Noer Tjahya menjadikan sentimen kebencian pada Tajul dan ajaran Syiah sebagai bagian dari kampanye politiknya jelang Pemilukada Sampang akhir tahun ini.
Pihak pembela Tajul berupaya memohon pemindahan lokasi persidangan dari PN Sampang ke tempat lain pada Mahkamah Agung (MA). Alasannya kasus persidangan seperti ini berpotensi besar menimbulkan kekerasan dan mengakibatkan proses persidangan tidak bebas dan adil karena berada di bawah tekanan. Tapi alasan itu ditolak lantaran MA hanya mengabulkan pemindahan jika ada permohonan dari kejaksaan dan kepolisian. Padahal kita tahu persis, kepolisian dan kejaksaan justru menjadi pihak yang bermasalah dalam kasus ini.
Persidangan kedua Tajul akan berlangsung dengan segala intimidasi terhadap warga Syiah Sampang. Kasus sensitif ini akan kembali menjadi ujian bagi negara. Apakah negara akan membiarkan suatu kelompok yang ingin eksis sendirian dengan pahamnya melakukan apa pun dengan caranya sendiri, termasuk memberangus dan memecah-belah Indonesia. Karena, jika negara hanya ingin jadi penonton, yang kemudian terjadi adalah penindasan, konflik yang konstan, dan, mungkin, pembantaian.
(Tabloid Mingguan Prioritas)
Namanya Tajul Muluk, usia 39 tahun, ustad berpaham Syiah dan aktivis sosial yang terkenal baik dan berperangai lembut. Putra kyai terpandang ini kemudian disesatkan dan dikriminalisasi karena keyakinannya di kampungnya sendiri, Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang.
Semula, ia dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka sepak terjang Tajul. Solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang, demi kepentingan ratusan pengikut Syiah dan murid pesantrennya. Lebih lagi, ia melakukan itu demi ketentraman kampungnya.
Tiba-tiba, pada 29 Desember 2011, di tempat pengucilannya, Tajul tersentak. Pesantren, mushala, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudarasaudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya, seraya berteriak ingin membunuh, di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.
Kejadian ini mengagetkan warga kampungnya dan warga Omben umumnya yang sebagian besar tak tahu menahu dan selama ini menganggap Tajul pribadi yang baik dan dekat dengan warga. Lebih lagi, kejadian itu mengagetkan dunia, terutama ratusan juta Muslim Syiah yang merasa melihat dirinya sendiri dalam penindasan itu.
Pembakaran itu mengungsikan 350-an warga Muslim Syiah lebih dua pekan ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumahnya dijarah habis. Mungkin itu “hukuman” atas keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu bertindak.
Saat pengungsi hendak pulang ke rumah, dengan perasaan separuh terusir, mereka bersitegang dengan aparat dan pemerintah daerah yang tak bisa menjamin keamanan, bahkan cenderung menyalahkan mereka. Saat di rumah, mereka menyaksikan alat-alat produksinya: harta benda, hewan ternak, cangkul, arit, parang, raib dijarah. Aktivitas mereka kerap diintimidasi lebih keras lagi. Sebagian buruh dipecat majikan karena keyakinannya. Meski sudah pulang kampung, namun “kampung” itu kini sudah kehilangan kebebasannya, terutama untuk mencari nafkah.
Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut mereka “korban”. Seraya menyaksikan, hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato provokatif mereka yang ingin mengobarkan kebencian dan kekerasan atas nama agama.
Seyogianya kita menyaksikan negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas dan keras demi memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh kekejian dan kebiadaban manusia beragama terhadap kaum minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Negara hanya bersedia jadi penonton.
Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggeraknya, negara memilih menahan dan mengkriminalisasi korban Tajul Muluk dengan dalih penodaan agama 156a KUHP dan atau perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di Pengadilan Negeri (PN) Sampang. Seluruh proses hukum, mulai dari penahanan, P-21, pelimpahan berkas, dan persidangan pertama (24/04) berlangsung sangat cepat, kurang dari sepekan. Saking cepatnya, sampai-sampai jelas terlihat banyak keganjilan dan cacat dalam prosedur pelaksanaannya.
Langkah serba-cepat itu didukung keluarnya fatwa sesat terhadap ajaran Tajul oleh Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra). Juga keputusan mendadak BakorPakem Sampang bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan, dan karenanya dilarang. Kendati kita tahu, tak ada fatwa dan secarik pun surat penyesatan Syiah yang dirilis MUI, bahkan oleh majelis ulama dunia ihwal Syiah.
Temuan kami mengatakan, lagi-lagi sangat banyak tekanan terhadap kepolisian dan kejaksaan yang dilancarkan Bupati Sampang, Kepala Bakesbangpol, dan Plt Kementrian Agama Sampang terkait kasus ini. Berkali-kali pula didapatkan lewat keterangan kuasa hukum Tajul, Bupati Sampang Noer Tjahya menjadikan sentimen kebencian pada Tajul dan ajaran Syiah sebagai bagian dari kampanye politiknya jelang Pemilukada Sampang akhir tahun ini.
Pihak pembela Tajul berupaya memohon pemindahan lokasi persidangan dari PN Sampang ke tempat lain pada Mahkamah Agung (MA). Alasannya kasus persidangan seperti ini berpotensi besar menimbulkan kekerasan dan mengakibatkan proses persidangan tidak bebas dan adil karena berada di bawah tekanan. Tapi alasan itu ditolak lantaran MA hanya mengabulkan pemindahan jika ada permohonan dari kejaksaan dan kepolisian. Padahal kita tahu persis, kepolisian dan kejaksaan justru menjadi pihak yang bermasalah dalam kasus ini.
Persidangan kedua Tajul akan berlangsung dengan segala intimidasi terhadap warga Syiah Sampang. Kasus sensitif ini akan kembali menjadi ujian bagi negara. Apakah negara akan membiarkan suatu kelompok yang ingin eksis sendirian dengan pahamnya melakukan apa pun dengan caranya sendiri, termasuk memberangus dan memecah-belah Indonesia. Karena, jika negara hanya ingin jadi penonton, yang kemudian terjadi adalah penindasan, konflik yang konstan, dan, mungkin, pembantaian.
(Tabloid Mingguan Prioritas)