Laman

Rabu, 30 Mei 2012

Jejak Cinta Salman Al-Farisi

Sahabat Salman al-Farisi adalah satu di antara tokoh Islam yang dikenal sebagai intelektual berotak cemerlang dan berhati salju. Begitu tinggi kedudukan dan jasanya dalam sejarah perintisan Islam sehingga Nabi saw mengangkatnya sebagai anggota kehormatan dan bintang tamu keluarga beliau dengan sabdanya yang terkenal menjelang perang Khandaq (al-Ahzab), “Salman dari kami, Ahlulbait”.


Setelah Nabi Muhammad saw wafat, lelaki non Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Persia ini bersama sejumlah sahabat senior seperti Zubair bin Awwan, Miqdad bin al-Aswad dan Ammar bin Yasir melawan arus politik yang dominan dengan menyatakan Ali sebagai pemimpin pengganti Nabi.


Sejak saat itu Salman dikenal sebagai pendukung dan pengikut paling setia menantu Nabi itu. Pada masa-masa kepemimpinan tiga Khalifah, ia menghabiskan waktu dengan menimba ilmu di rumah Ali yang dikenal sebagai ‘gerbang pintu ilmu Nabi’ itu dan melakukan kegiatan dakwah di daerah-daerah terpencil Jazirah.


Hal inilah yang membuat penasaran sebagian sahabat. Suatu saat sebagian murid Ali berembuk demi mencaritahu rahasia kedudukan tinggi Salman. Salah seorang diantara mereka ditunjuk untuk melakukan misi mengintai dan menandingi prestasi Salman, terutama dalam kegiatan shalat jamaah dan majlis taklik Ali bin Abi Thalib.


Ia pun memulai misinya pada hari pertama. Saat azan subuh berkumandang, dia segera bangun dari tidur dan bergegas menuju masjid dengan harapan menjadi orang pertama yang berada di shaf belakang Amirul-Mukminin.


Saat memasuki area halaman masjid, hati berbunga karena ia hanya melihat satu jenis jejak kaki. “Ini pasti jejak kaki Ali dan Salman belum datang,” gumamnya dalam hati.


Betapa terkejut hatinya saat matanya menumbuk sosok Salman yang sedang duduk bersila di belakang sang Imam yang sedang sibuk berzikir. Ia benar-benar tidak habis pikir dan merasa kecolongan. Ia pun bertekad mengulangi misinya dalam acara shalat jamaah subuh esok.


Pada hari kedua, ia pun gagal melakukan misinya karena lagi-lagi Salman mendahuluinya. Meski sedih, ia tetap optimis akan berhasil mendahului Salman pada subuh hari ketiga. Untuk itu ia bertekad untuk berjaga malam dan tidak membiarkan kantuk menghampiri matanya.


Pada hari ketiga, beberapa saat azan subuh menyapa telinga warga, ia bergegas menuju masjid. Dengan langkah cepat dan dengan perasaan penuh keberhasilan dalam hati, ia memasuki gerbang masjid. Hanya ada satu jenis jejak bersambung di area masjid.


Tak apa yang tertangkap oleh matanya membuat pusing dan tak benar-benar tak percaya. Salman telah berada di shaf belakang Ali bin Abi Thalib.


Seusai melaksanakan shalat, ia merapat ke Salman dan bertanya dengan nada berbisik, “Salman, selama tiga hari aku mengikuti shalat jamaah ini dengan harapan bisa menjadi orang kedua setelah Ali yang memasuki masjid. Anehnya, meski aku hanya menemukan satu jejak kaki Ali, aku gagal mendahuluimu.”


Salman hanya tersenyum ringan mendengar pengakuannya.


“Aku masih heran karena hanya menemukan satu jejak kaki. Apakah kau memang tidur di masjid ini sejak malam sehingga jejak kakimu tidak terlihat?” tanyanya penasaran.


“Oh tidak, sahabatku. Aku segara bangun dari tidur saat hidungku menangkap aroma wangi Ali melintas di depan rumahku,” jawabnya pelan.


“Lalu, mengapa hanya ada satu jejak kaki?” tanya lagi dengan nada lebih kerasa.


“Oh soal jejak kaki itu, aku memang sejak semula ingin mengukuti Ali secara sempurna, termasuk menginjak kakiku di jejak kaki beliau,” sahut salman tenang.


Ia nyaris pingsan mendengar jawaban Salman. Saat itu juga ia mengakui bahwa dirinya tidak akan bisa menandingi lelaki dari Persia itu. Ia sangat mengagumi konsistensi dan totalitas salman dalam cintanya kepada Ali bin Abi Thalib, yang diyakininya sebagai duplikat Muhammad.


By : Muhsin Labib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar