Suatu waktu, saya ikut pada salah satu acara duka Hadhrat Zahra Salamullah ‘alaiha, saya mendengar beberapa hal dari pengkidung yang menyisakan selaksa pertanyaan di benak saya. Pengkidung itu berkata, “Hadhrat Zahra Sa pada akhir-akhir usianya memanggil anak-anaknya untuk bersiap-siap berziarah pada pusara datuk mereka, Rasulullah Saw dan bunda Zahra berdoa di tempat itu. Bunda Zahra berdoa di tempat itu, tatkala anak-anaknya menengadahkan tangannya ke langit, memohon kematian kepada Allah Swt yang membuat anak-anaknya kaget dan bersedih hati.”
Saya tidak dapat menerima beberapa poin di bawah ini :
Hadhrat Zahra Sa sebagai teladan terbaik pada seluruh tingkatan hidup bagi para wanita Syiah, meski banyak menghadapi persoalan namun apa maknanya memohon kematian ini? Beliau meninggal (syahid) pada usia muda, hal ini pada kecenderungan anak muda khususnya pada masa balig menjadi faktor penyebab meningkatnya putus asa atau kematian (bunuh diri) lantaran tidak terpenuhinya pelbagai harapan dalam memecahkan pelbagai masalah yang dihadapi. Kehidupan merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia. Manusia harus senantiasa bersyukur kepada Allah Swt atas anugerah besar ini. Memohon kematian pada usia muda itu, nikmat hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia, itu pun sebagai teladan unggul bagi manusia, apa maknanya?
Pada literatur-literatur standar tidak disebutkan bahwa Hadhrat Fatimah Zahra mengambil tangan anak-anaknya dan memohon mati di atas pusara Rasulullah Saw. Akan tetapi, pada sebagian kitab, doa memohon kematian disandarkan kepada Hadhrat Fatimah Zahra Sa. Dalam khotbahnya yang panjang karena protes akibat dirampasnya tanah Fadak, Hadhrat Fatimah Sa memohon mati dan bersabda, “Duhai sekiranya pada detik-detik seperti ini aku mati.”
Memohon kematian dari Allah Swt boleh jadi disebabkan oleh beberapa alasan. Apabila alasannya karena lelah dan kalah dalam berkonfrontasi dengan selaksa problem keseharian atau karena kelemahan manusia tentu saja hal ini merupakan sebuah hal yang tercela dan tidak terpuji.
Akan tetapi apabila alasannya adalah iman yang kuat, kerinduan dan cinta yang tak terbahasakan kepada Tuhan, sedemikian sehingga pecinta tidak kuasa lagi membendung kerinduan jauh dari Sang Kekasih dan sampainya sang pecinta kepada Sang Kinasih merupakan cita dan harapannya tentu saja memohon kematian seperti ini terpuji.
Tidak terdapat dalam literatur-literatur standar yang menjelaskan bahwa Hadhrat Zahra mengambil tangan anaknya dan memohon kematian di atas pusara Rasulullah Saw. Akan tetapi, pada sebagian kitab, terdapat doa memohon kematian disandarkan kepada Hadhrat Fatimah Zahra Sa ketika beliau menyampaikan sebuah khotbah yang panjang terkait protesnya terhadap perampasan tanah Fadak. Dalam khotbah tersebut, Hadhrat Fatimah Sa memohon mati dan bersabda, “Duhai sekiranya pada detik-detik seperti ini aku mati.”[1] Namun demikian, situasi dan kondisi pada masa itu harus diperhatikan. Doa dan harapan seperti ini boleh jadi semacam pernyataan antipati dan kebencian terhadap kondisi yang berkembang ketika itu.
Bagaimanapun, apabila kita terima bahwa Hadhrat Zahra Sa bermaksud serius menyampaikan hal seperti ini maka kami mengajak Anda untuk memperhatikan beberapa hal berikut ini:
Usia panjang merupakan sebuah nikmat Ilahi dan dalam pandangan Islam, memohon kematian merupakan sebuah perbuatan tercela yang Rasulullah Saw[2] dan para Imam Maksum As, dalam banyak riwayat, melarang orang-orang untuk berharap seperti ini. Memohon kematian dari Allah Swt boleh jadi disebabkan oleh beberapa alasan. Apabila hal ini dilakukan karena konfrontasi dengan pelbagai kesulitan hidup dan lemahnya jiwa, maka tentu saja hal ini merupakan sebuah perbuatan tercela dan tidak terpuji.
Akan tetapi apabila alasannya adalah iman yang kuat, kerinduan dan cinta yang tak terbahasakan kepada Tuhan, sedemikian sehingga pecinta tidak kuasa lagi membendung kerinduan jauh dari Sang Kekasih dan sampainya sang pecinta kepada Sang Kinasih merupakan cita dan harapannya tentu saja memohon kematian seperti ini terpuji.
Amirul Mukminin As dalam Nahj al-Balâghah pada sebuah khotbah yang dikenal sebagai khotbah Muttaqin, dalam mendeskripsikan sifat-sifat dan tipologi orang-orang bertakwa, bersabda, “Apabila Allah Swt tidak menentukan usia tertentu bagi orang-orang beriman dan bertakwa, maka dalam sekejap mata ruh mereka tidak akan tinggal pada badan mereka, lantaran kerinduan terhadap ganjaran Ilahi dan ketakutan dari hukumannya; mereka adalah orang-orang beriman yang merindukan pertemuan dengan Tuhannya.”[3]
Dalam sabdanya yang lain Baginda Ali As bersabda, “Lebih seringlah mengingat mati, dan (apa yang akan datang) setelah kematian. Namun janganlah merindukan kematian kecuali Anda telah yakin bahwa Anda telah memperoleh keridhaan Ilahi.”[4]
Karena itu, dalam dua hal kematian menjadi harapan dan kerinduan para wali Allah dan bermohon kepada Tuhan untuk tidak lagi diberikan usia panjang:
1. Bagi dia yang hidup di dunia mempersiapkan segala kebaikan dan keberkahan maka dunia baginya tidak lain kecuali penjara, karena ia telah menunaikan segala tugasnya dengan baik dan memenuhi tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Ia merasa bahwa setelah ini, ia tidak lagi memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menunaikan pekerjaan dan kehidupan di dunia ini hanya memperlambat pertemuannya dengan Tuhan Sang Kinasih. Di sini memohon kematian bermakna percepatan (tasri’) untuk berjumpa dengan Tuhan (liqaullah).
Sebagaimana seorang mahasiswa yang berangkat ke luar negeri untuk menuntut ilmu di sana ia belajar dan bekerja dengan baik lalu memperoleh sertifikat. Ia berharap untuk kembali pulang ke tanah air. Lantaran ia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Dengan kata lain, kematian bagi para wali Tuhan adalah sebuah harapan. Namun apakah mereka berada pada tataran ingin memenuhi harapan ini atau meski kematian bagi mereka adalah sebuah harapan, mereka berperang dengannya? Poinnya di sini bahwa mereka memiliki harapan juga berperang dengannya (kecuali dalam dua hal yang akan kita jelaskan). Mengapa? Lantaran mereka laksana mahasiswa. Seorang mahasiswa yang merantau ke luar negeri menuntut ilmu hingga detik-detik terakhir yang ia masih memilih peluang untuk bekerja dan berkembang maju dengan keluar dari tempat itu. Ia berjuang seperti yang ia harapkan, kecuali saat-saat yang ia rasakan bahwa tidak ada lagi pekerjaan yang tersisa buatnya. Artinya, apa yang harus ia kerjakan ia telah tunaikan dengan baik.[5]
2. Kedua masalah syahadah. Mengingat syahadah di jalan Allah merupakan setinggi-tingginya derajat kesempurnaan manusia, harapan untuk syahid dan mati di jalan Allah merupakan setinggi-tingginya derajat kesempurnaan yang setelah bertahun-tahun ibadah dan penghambaan yang tulus-ikhlas dan menunaikan amalan-amalan saleh manusia boleh jadi sampai pada derajat kesempurnaan dan mungkin saja tidak sampai. Akan tetapi, syahadah satu kesempurnaan yang telah dijamin. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap orang yang mengerjakan kebaikan, di atas amalannya terdapat kebaikan yang lain (yang lebih tinggi), namun syahadah tiada lagi kebaikan di atasnya.”[6] Karena itu, harapan syahadah (mati di jalan Allah) merupakan sebuah harapan ideal, tetapi pada dua hal manusia beriman tidak akan menempatkan dirinya pada lintasan bahaya kematian dan terbunuh. Apabila ia menderita sakit, maka ia harus berobat hingga mendapatkan kepulihan. Atau apabila ia hadir di medan jihad di jalan Allah maka ia harus memperhatikan seluruh masalah keamanan dan penjagaan untuk menjaga dirinya.[7] [IQuest]
Indeks-indeks terkait:
1. Kematian dan Penundaannya, Pertanyaan 4606 (Site: 4907).
2. Permohonan Diberi Usia Panjang dan Harapan Kematian, Pertanyaan 2188 (Site: )
3. Tiadanya Pengetahuan ihwal Masa Kematian, Pertanyaan 2210 (Site: )
4. Syahadah Hadhrat Zahra Sa dalam Literatur-literatur Ahlusunnah, Pertanyaan 5256 (Site: )
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 29, hal. 234, Dar al-Wafa, Beirut, 1404 H, “Laitani mittu qabla haniaiti.”
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 128,
[3]. Nahj al-Balâgha, Subhi Shaleh, Khutbah 193, hal. 303, Dar al-Hijrah, Qum.
[4]. Nahj al-Balâgha, Subhi Shaleh, Surat 69, Dar al-Hijrah, Qum.
[5]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 348; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 61, dengan sedikit perbedaan.
[6]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, A^syanâi ba Qur’ân, jil. 7 (Tafsir Surah Shaf, Jum’ah, Munafiqun dan Taghabun), hal. 64-81.
[7]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2188 (Site: 2313
Tidak ada komentar:
Posting Komentar