Laman

Jumat, 02 Maret 2012

Baca Ulang Filsafat Islam; Sebuah Pengantar


Maka filsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas-burhani sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Ia adalah kerangka interpretatif yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, agama pun memaknai realitas dengan ajaran wahyuninya, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, bahkan pada beberapa pembacaan atas agama, dimensi akliah manusia malah kudu dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.


Baca Ulang Filsafat Islam; Sebuah Pengantar
Oleh: A. Luqman Vichaksana
Kata Plato, suluk filosofis dimulakan dengan laku heran dan takjub, suatu laku ketercengangan dihadapan kenyataan yang hanya menyisakan setakhingga soalan. Namun ketakjuban itu bukan lantas menenggelamkan manusia dalam seru terperananya, tapi justru membakar hasrat keingintahuan manusia untuk menembus rahasia realitas yang meliputinya, misteri tentang hakikat dirinya, mencari tahu akan keberlanjutan hidupnya nanti, dan menyingkap makna di setiap ayat keberadaan.
 Selaku makhluk rasional yang memiliki ikhtiar dan kehendak; karuan saja manusia tak akan sanggup tinggal diam dalam kubang kejahilan. Ada kalanya ia berlari mencari jawaban pelbagai soalan asasi itu pada tuturan orang-orang terdahulu, lalu ia pasrah begitu saja dengan pesan mitologis yang diwariskan tradisi kaumnya; jika tak puas ia pun mencari-cari disela-sela lembaran kitab suci, andaikan ia tak larat pula dengan tuntutan iman-religi yang dikehendaki oleh doktrin kitab suci, mungkin saja ia akan berlari ke pelbagai teorema saintis dan beragam simpulan pengalaman empiris; kalaupun kemudian ia teguh dengan iman religinya, namun tak tahan dengan keringnya sakramen syariat, bisa jadi ia akan berupaya menyibak batin agama, dan mengembara di jalan sufistik sembari mencari makna hidup dari penyaksian irfani. Tapi, terkadang ada pula yang kembali pada kedalaman dirinya, dan berupaya menemukan jawaban seluruh soalan hidup secara filosofis dengan berpegang teguh pada daya rasional yang menjadi jatidiri insaniahnya. Tegasnya, ada banyak jalan yang bisa dipilih dan ditempuh manusia untuk menyikapi realitas dan keberadaan disekelilingnya.
 Maka filsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas-burhani sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Ia adalah kerangka interpretatif yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, agama pun memaknai realitas dengan ajaran wahyuninya, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, bahkan pada beberapa pembacaan atas agama, dimensi akliah manusia malah kudu dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.
 Kehadiran Islam sebagai agama yang menkhotbahkan janji keselamatan dan kebahagiaan abadi turut pula menyuguhkan pandangan dunia yang mampu memaknai ayat-ayat eksistensial. Meski demikian, mengingat bahwa hakikat agama tersebut menjelma ke dalam beragam tingkatan fenomenal dan gatra, maka tidak semua manusia mampu menyingkap pasal-pasal penting kandungan agama dan pandangan-dunia yang ditawarkannya. Ada pelbagai piranti lunak yang diperlukan untuk menyingkap semua itu. dan sekedar berpegang pada iman, niscaya tidak akan mencukupi untuk mengupayakan hal itu. Maka, untuk sekian kalinya, fakultas akli manusia sebagai jauhar (substansi) filsafat harus tetap diberdayakan sekalipun dalam pelataran iman religi. Sehingga, pada noktah inilah, peran filsafat kian diperlukan oleh seorang mukmin.
 Tapi, apakah mungkin filsafat yang berjiwakan kebebasan berpikir rasional, bisa bersandingan mesra dengan agama (baca: Islam) yang notabenenya bercirikan penghambaan imani? Bukankah keunikan argumentasi falsafi dibangun berdasarkan premis swabukti akal (badihiyyat), sementara agama bersandarkan pada mukaddimah yang dinukil dari matan-matan suci dan proposisi wahyu? Apakah mungkin identitas kemurnian filsafat dan kesejatian agama (islam) dapat tetap terjaga ketika keduanya saling bersinergi dalam ranah yang sama? Bisakah keduanya berpadu harmonis? Simpul kata, mungkinkah filsafat islam itu? jikalau mungkin, adakah filsafat islam tersebut?
 Filsafat Islam: Mungkinkah?
Terlepas apakah dalam alur sejarah pemikiran, kita bisa temukan filsafat islam ataukah tidak, adalah soalan lain yang perlu kita baca ulang juga. Namun jika kita lebih jeli, pertanyaan sub-judul di atas jauh lebih urgen untuk kita telisik terlebih dahulu, dengan artian bahwa apakah mengawinkan filsafat dengan islam adalah suatu perkara yang mungkin?
 Sejatinya, tilikan atas soalan di atas akan bergantung dengan sejauhmana pandangan kita terhadap hubungan antara akal dengan agama. Dan hal inipun akan bergantung pula dengan pembacaan kita atas akal dan agama. Karena itu, layak adanya jika kita tegaskan terlebih dahulu apa pengertian akal dan agama yang termaksud di sini? Dan bagaimanakah hubungan antara keduanya itu?
 Sebagai praanggap awal, akal yang saya maskud adalah daya kognitif manusia yang berfungsi sebagai kekuatan bernalar (akal teoritis) dan bertindak (akal praktis) baik dalam mencerap dan meneguhkan “ada” dan “tiadanya” sebuah realitas; atau juga dalam memutuskan “harus” dan “tidak harusnya” suatu tindakan etis. Dengan pengertian semacam ini, tentu saja hal ini akan menjadikan filsafat sebagai kelaziman dari hasil pemberdayaan akal yang demikian itu. Karenanya, filsafat menjadi begitu identik dengan akal. Sehingga untuk selanjutnya, apa yang termaksudkan sebagai hubungan antara akal dan agama tak lain merupakan hubungan antara filsafat dengan agama (islam), mengingat bahwa filsafat dalam artian ontologisnya adalah sehimpun kajian tentang “ada sebagaimana adanya” yang dihasilkan dari argumentasi rasional-burhani.
 Lalu apa yang dimaksud dengan agama? Sudah barang tentu, ada banyak riwayat dan pembacaan yang bisa kita ajukan di sini dalam mendefinisikan agama. Namun sebagai mukaddimah, saya lebih memilih untuk memahami agama selaku segugus ajaran dan nilai (akidah, akhlak, dan fikih) yang berasal dari Tuhan dan disampaikan melalui utusanNya sebagai pedoman dan panduan hidup untuk mencapai kebahagiaan abadi.
 Bersandar pada definisi dan kelaziman yang dimiliki oleh akal (filsafat) dan agama, secara zahir—dengan keunikan yang dimiliki masing-masing—kiranya tak mungkin untuk memadukan filsafat dan agama. Satu sisi, filsafat menghendaki kebebasan berpikir secara rasional, namun di sisi lain, agama justru menuntut keimanan tanpa syarat. Akan tetapi, jika kita sudi untuk menelisik lebih jauh ke dalam batin filsafat dan agama. Terungkap jelas bahwa filsafat dan agama merupakan satu hakikat yang terjelmakan dalam dua gatra dan bahasa yang berbeda, keduanya berasal dari sumber yang sama, dan mengarah pada hala-tuju yang satu pula.
 Maka, betapapun agama telah berkelindan dengan ketulusan iman, namun iman yang sejati adalah makrifat tentang hakikat realitas yang berbalut dengan kehangatan cinta religik. Iman agama bukan sekedar keyakinan buta atas doktrin kitab suci. Seorang mukmin yang sejati, akan berupaya memilah dan menguji-kaji pelbagai sabda yang didakwahkan sebagai wahyu hakiki dengan perangkat akalnya. Bahkan dalam larik-larik matan suci, ada banyak ayat yang menegaskan proposisi filosofis tentang hakikat realitas. Ayat-ayat semacam itu tidak cukup sekedar dilafalkan, tapi kudu diuji kesahihannya dengan neraca akal. Sehingga bukti bahwa agama dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan abadi bisa lebih termantapkan lagi di lubuk iman seorang agamis. Karena apa yang disabdakan oleh agama tak lain adalah kalimat hakikat yang meriwayatkan esensi kenyataan.
 Itu sebabnya, jika agama dalam pasal-pasal pokok sistem akidahnya, menuturkan tentang Tuhan sebagai sumber keberadaan, menjelaskan tentang hakikat ma’ad, menceritakan tentang hakikat diri manusia dan keberlanjutan perjalanan eksistensial yang harus ditempuhnya. Maka demikian pula dengan filsafat, ia juga mengkaji persoalan Tuhan sebagai wujud-niscaya (wajibul- wujud), menerangkan tentang hakikat manusia, menjelaskan tentang akhir dunia (ma’ad), dan beragam bahasan filosofis sekitar persoalan umum hakikat keberadaan.
 Oleh karena itu, mengingat bahwa filsafat dan agama pada beberapa aspeknya, memiliki ranah perhatian yang sama. Maka, terjalinnya suatu hubungan di antara keduanya pada aspek-aspek tersebut bisa dimungkinkan. Kendati begitu, andaikan hubungan itu dapat terjalin, mungkinkah kesejatian identitas filsafat masih dapat terjaga? Kalaulah identitas filsafat itu masih murni, lantas apa yang dimaksud dengan keislaman filsafat itu? Dengan kata lain, apa sih yang dimaksud dengan filsafat islam?
 Tak syak, ketika antara filsafat dan agama terjalin suatu hubungan, maka kesejatian filsafat hanya akan murni terjaga jika wahyu tidak diperkenankan sama sekali untuk turut campur dalam pembuktian rasional filsafat, karena jauhar filsafat adalah rasionalitas semata. Jika demikian, lantas dimanakah letak keislaman filsafat itu sementara pada titik yang sama identitas filsafat harus tetap dipertahankan?
 Secara singkat ada empat noktah yang bisa kita ajukan sebagai mizan yang bisa kita gunakan untuk menimbang sejauhmana keislaman sebuah sistem filsafat:
Pertama, kemanakah arah kajian filsafat digerakkan? Adakah ia mengarah pada tauhid ataukah tidak? Perkara ini dapat diselidiki dengan menilik pelbagai permasalahan pokok yang terpaparkan dalam sebuah sistem filsafat.
 Kedua, mengingat bahwa dipadukannya filsafat dengan agama, besar kemungkinan karena adanya motif teologis dan apologia, maka kefilsafatan sebuah filsafat agamis, tidak cukup dinafikan karena muatan apologetik-nya, namun identitas filsafatnya itu harus diukur dari sejaumana rasionalitas pembelaan teologis yang diungkapkan oleh filsafat agamis tersebut. Karenaya, selama pembelaan teologisnya itu rasioanal dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, maka ia tetap layak untuk disebut sebagai filsafat.
 Ketiga, sejauhmana keterkaitan psikologis antara argumentasi rasional yang dibangun dengan isyarat ontologis matan-matan suci? Mampukah ayat-ayat kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya sebuah argumen filosofis yang kokoh?
 Keempat, sejauhmana peran agama sebagai neraca dalam menakar kesahihan simpulan-simpulan falsafi yang dihasilkan ketika ditengarai bahwa akal tidak lagi sanggup bergerak pada wilayah di luar jangkauan akal?
 Semua tolak ukur di atas, merupakan beberapa parameter penting untuk mengetahui sejauhmana keagamisan dan keislaman sebuah bangunan filsafat. Karenanya, ketika kita hendak menegaskan layak tidaknya sebuah sistem filsafat untuk disebut sebagai filsafat islam, maka kita harus kembali pada ruang sejarah filsafat sembari mengukurnya dengan keempat mizan di atas. Sehingga kemudian, kita patut untuk bertanya kembali, apakah filsafat islam itu benar-benar ada ataukah tidak?
 Filsafat Islam: Adakah?
Boleh jadi bagi mereka yang telah akrab dengan alif-ba filsafat islam, sub-judul di atas akan terkesan karikatural ketika di saat yang sama mereka saksikan tumpukan ratusan jilid buku-buku dan risalah filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim. Bahkan bisa jadi, istilah filsafat islam itu sudah menjadi istilah baku oleh sebagian dari kita yang telah ditelan mentah-mentah sebagai postulat tanpa peduli dengan selaksa persoalan yang menjangkitinya. Kalaulah dikatakan bahwa filsafat islam itu berajektifkan islam karena para pelakunya adalah seorang muslim, tidakkah lebih tepat jika kita menyebutnya sebagai filsafat muslim? Bukankah antara agama dan pemeluknya adalah dua hal yang berbeda? Tidakkah filsafat adalah filsafat, yang tidak mengenal sama sekali ajektif geografis, ideologis maupun embel-embel lainnya? Lantas bagaiamana mungkin kita menyebutnya sebagai filsafat islam?
 Ya… betapapun secara ideal, esensi filsafat tidak bisa dinisbatkan dengan ajektif tertentu. Namun, ketika filsafat telah berhadapan dengan realita sejarah, hal yang demikian itu akan sangat sulit untuk bisa kita pertahankan. Sebab, dalam ruang sejarah ada banyak variabel kultural yang saling tumpang-tindih dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Sehingga serasa mustahil sebuah unsur budaya dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh unsur yang lain.
 Begitu halnya dengan nasib filsafat dalam sejarah, identitas suatu bangunan filsafat tidak mungkin hanya dilandaskan pada kemurnian rasionalitas yang menjadi jauharnya. Rasionalitas hanyalah merupakan syarat lazim bagi filsafat dan bukan syarat yang mencukupi, dengan artian bahwa kendati rasionalitas adalah ruh filsafat, namun ruh tersebut harus ditubuhkan ke dalam pelbagai unsur kultural di luar filsafat. Peran agama, keunikan budaya lokal, karakter bahasa, dan perkembangan sains adalah beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi bagaimana identitas filsafat diarahkan. Karena itu, Ada banyak faktor lain yang menentukan sehingga identitas filsafat dapat terwujud dalam ruang sejarah. Maka sah-sah saja bila kita sebut filsafat Barat, filsafat Timur, filsafat Kristen, filsafat Islam, dsb. Lantaran memang, beragam ajektif tersebut telah mampu menentukan bagaimana format dan arah filsafat tumbuh dan berkembang dalam buaiannya.
 Jika demikian, adakah filsafat islam itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, selain memerlukan telaah sejarah, diperlukan juga mizan argumentatif untuk menentukan keislaman sebuah bangunan filsafat dalam sejarah perkembangannya. Yang jelas, empat tolak ukur utama di atas, setidaknya bisa dijadikan mizan untuk menjawab pertanyaan tadi.
 Dari beragam pandangan yang sempat bermunculan, sebagian menyatakan bahwa filsafat islam tak lain hanyalah perpanjangan tangan dari filsafat yunani, sebuah wajah lain dari filsafat neo-platonis, lantas ada pula yang secara total menafikan identitas filsafat yang dikandungnya dan sekedar menyebutnya sebagai teologi murni (kalam), tapi anehnya, ada juga yang secara lapang dada menerima filsafat dengan beragam ajektifnya, namun tidak untuk filsafat islam, mereka malah menolak mentah-mentah label islam pada filsafat. Sekali lagi, adakah filsafat islam itu?
 Dalam tradisi filsafat di dunia islam, adalah jelas bahwa, tesis Kindi yang mencoba mendamaikan filsafat dengan agama, upaya Farabi dalam membuktikan bahwa filsafat dan agama adalah hakikat yang satu namun terjelmakan dalam dua bahasa yang berbeda, usaha gigih Ibnu Sina dan filosof muslim lainnya dalam membuktikan wajibul-wujud melalui pelbagai versi “burhan siddiqin-nya”, hingga lantas berpuncak pada juang keras Mulla Shadra dalam mengharmonisasikan burhan (filsafat), Quran (agama) dan irfan; merupakan beberapa indikator utama akan nuansa keislaman yang dikuaskan islam pada filsafat, sehingga kesan kuat keyunanian yang melatarinya telah luntur dengan ruh monoteisme yang ditiupkan para filosof muslim dalam karya-karya luhur falsafinya.
 Malahan, pada ruang ontologis filsafat islam, tauhid senantiasa menjadi aksis utama kajiannya, sedang pada ruang antropologi-falsafinya, humanisme Yunani telah dibongkar sedemikian rupa sehingga humanisme ala filsafat islam adalah memandang manusia sebagai khalifah Tuhan. Itu berarti, keberadaan tauhid sebagai ruh islam telah begitu terjiwakan dalam filsafat islam. Maka tak aneh jika Anda berkenan untuk membaca ulang larik-larik filsafat islam, penyaksian atas wujud filsafat islam akan semakin tampak Anda pirsa, karena itu coba saja Anda tengok bahasan Tuhan dalam filsafat Aristoteles, niscaya Anda hanya akan menjumpainya tak lebih dari empat halaman, itupun sekedar dikenang sebagai “penggerak utama” atau “penggerak tanpa tergerak” yang tak lain cuman aktualitas murni belaka. Tapi, coba bandingkan dengan Ibnu Sina sambil membuka lembaran-lembaran “Ilahiyyat as-Syifa” karya beliau, terdapat seratus halaman lebih yang mengkaji Tuhan sebagai “wajib bil-dzat”, belum lagi jika Anda menelaah karya agung Mulla Shadra dalam “Asfar Arba’ahnya”, lebih dari seperempat kitab hanya terfokus dalam kajian ketuhanan.
 Selain bahasan teologi tadi, kajian penting lainnya yang sarat akan nuansa islam seperti: “ma’ad jismani dan ma’ad ruhani”, “khudusul-dzati dunia” (keterbaruan substansial dunia), hakikat ruh manusia, pembuktian nubuwwat, dsb, adalah beberapa topik kajian yang cukup membuktikan betapa islam telah mampu mewarnai bangunan filsafat yang tumbuh dalam asuhannya, tanpa harus melunturkan kemurnian rasionalitas sebagai jatidiri filsafat.
 Simpul kata, mengingat bahwa Islam adalah agama yang sejiwa dengan fitrah rasional manusia, maka dengan mudah diduga, bahwa islam akan dengan mudah pula tumbuh bersanding secara mesra dengan tradisi filsafat yang menyertainya. Karena itu, mewujudkan filsafat islam secara ideal bukanlah hal yang mustahil, begitu juga pada dataran realnya, setidaknya catatan sejarah merupakan bukti paling dekat untuk membuktikan keberadaan filsafat islam yang telah tertubuhkan dalam ratusan jilid kitab dan risalah filsafat para filosof muslim.[islamalternatif]
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar