Laman

Jumat, 24 Februari 2012

Dimanakah Allah?


Pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu bukti akan keotentikan hukum kausalitas.
Hukum kausalitas (sebab-akibat) merupakan hal yang aksiomatis di alam semesta ini. Dengan hukum ini pula alam semesta tercipta. Hukum ini terdiri dari dua hal; ‘sebab’ dan ‘akibat’. Dalam kajian filsafat disebutkan beberapa kekhususan yang dimiliki oleh hukum ini termasuk bahwa; ‘sebab’ harus ‘ada’ (eksis) terlebih dahulu dari ‘akibat’. Dan, segala kesempurnaan eksistensial ‘akibat’ harus dimiliki oleh ‘sebab’, bahkan ‘sebab’ harus memilikinya dengan bentuk yang lebih sempurna dari apa yang dimiliki oleh ‘akibat’.


Dalam kajian teologi falsafi telah disebutkan bahwa, mata rantai penciptaan alam harus berakhir pada satu titik dimana tiada lagi esensi lain yang menjadi pencipta titik tersebut. Jika tidak, niscaya akan berakhir pada terjadinya dua kemungkinan; ‘mata rantai penciptaan yang tiada berakhir’ (tasalsul) dan atau ‘perputaran mata rantai penciptaan’ (daur) dimana kedua hal tersebut –dengan berbagai argumen yang telah dijelaskan secara terperinci dalam berbagai buku teologi dan filsafat- dinyatakan sebagai hal yang mustahil terjadi. Titik akhir dari mata rantai penciptaan itulah yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan, atau dalam agama Islam biasa disebut dengan Allah SWT.
Allah SWT adalah kausa prima, prima dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karenanya, segala atribut kesempurnaan eksistensial makhluk di alam semesta yang merupakan obyek ciptaan-Nya harus pula dimiliki oleh esensi-Nya, bahkan dengan bentuk yang lebih sempurna. Karenanya, semua atribut kesempurnaan Allah SWT selalu didahului dengan kata ‘Maha’. Kata itu (Maha) meniscayakan ketiadaan segala bentuk ‘kekurangan’ pada esensi sejati-Nya. Sekecil apapun kekurangan yang akan disematkan pada Allah SWT maka akan meniscayakan ketidaklayakan-Nya untuk menyandang titel ‘Maha’. Salah satu bentuk kekurangan adalah memiliki ‘sifat-sifat kekurangan’ yang dimiliki oleh hasil ciptaan-Nya (makhluk), termasuk sifat ‘membutuhkan kepada selain-Nya’ dan atau ‘memiliki sifat kekurangan makhluk-Nya’.
Salah satu hasil ciptaan (makhluk) Allah SWT adalah tempat. Pertanyaan tentang tempat selalu dimulai dengan ‘dimana’. Jika ditanya tentang dimana Allah SWT maka hal itu sama dengan menyatakan bahwa Allah SWT membutuhkan tempat dan atau esensi diri-Nya memerlukan sesuatu yang lain yang bernama ‘tempat’. Padahal tempat adalah salah satu makhluk-Nya. Apakah mungkin Allah SWT Pemilik segala bentuk kesempurnaan dan Yang dijauhkan dari segala bentuk kekurangan lantas memerlukan terhadap selain-Nya, padahal segala sesuatu selain Allah SWT adalah makhluk dan hasil ciptaan-Nya? Dengan kata lain, apakah mungkin Allah SWT memerlukan terhadap makhluk-Nya? Tentu jawabannya adalah, mustahil Allah SWT memerlukan terhadap selain-Nya. Itu kemungkinan pertama.
Kemungkinan kedua adalah, Allah SWT memiliki sifat kekurangan, persis seperti makhluk-Nya (padahal dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa, “Tiada satupun yang menyamai-Nya”). Bagaimana tidak? Sewaktu Allah ada di suatu tempat maka hal itu meniscayakan bahwa Ia seperti makhluk-Nya; perlu terhadap tempat, bisa di tunjuk dalam arti berada di suatu arah tertentu dan dalam waktu yang sama tidak ada di arah lain dimana hal itu memberikan konsekuensi bahwa Allah SWT tersusun dan memiliki anatomi tubuh (jisim), persis keyakinan anthromorpisme Yunani klasik.
Kemungkinan ketiga adalah, jika Allah SWT bertempat maka hal itu meniscayakan ketidak-aksiomatisan hukum kausalitas yang telah disinggung di atas. Karena bagaimana mungkin Allah SWT harus bertempat sedang tempat adalah hasil ciptaan-Nya yang pastinya ‘ada’ (eksis) pasca keberadaan Allah SWT? Lantas sebelum Allah SWT menciptakan tempat, dimanakah Allah bertempat?
Oleh karenanya, pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu bukti akan keotentikan hukum kausalitas.
Atas dasar itu, para Imam Ahlul Bayt menjelaskan bahwa ‘tempat’ adalah makhluk Allah SWT yang Allah tidak akan pernah membutuhkan selain-Nya (makhluk). Dalam menjawab pertanyaan “Dimanakah Allah?”, Imam Ahlul Bayt -seperti yang disinyalir dalam kitab tauhid as-Shoduq- mengatakan: “Allah adalah Dzat yang menjadikan dimana sebagai dimana. Lantas apakah mungkin Allah disifati (ditanya tentang) dengan kata dimana?”. Yang benar adalah, Allah tidak menempati sesuatu apapun dan Dia Maha meliputi atas segala sesuatu, sebagaimana yang dinatakan dalam al-Quran dengan ayat “Wa Kaanallahu bikulli Syai’in Muhiith” (Dan Allah melingkupi segala sesuatu /QS an-Nisaa:126). Adapaun ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah SWT dalam mengatur alam semesta duduk di atas Arsy (singgasana), maka ayat-ayat itu harus ditakwil –spt: singgasana sebagai simbol kekuasaan- sehingga tidak bertentangan dengan ayat “Tiada apapun yang menyamai-Nya” (Laisa Kamistlihi Syai’) dan ayat yang telah disinggung di atas tadi. Jika ayat al-Quran harus ditakwil agar tidak bertentangan dengan ayat lainnya, apalagi hadis-hadis yang menjelaskan tentang hal itu, lebih utama untuk ditakwil. Jika tidak mampu untuk ditakwil maka kita singkirkan jauh-jauh hadis tersebut dari file kita, walaupun hadis tersebut terdapat dalam kitab standart dan pustaka agama kita, karena bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran
Merubah kabar dari Allah ataukah menjelaskan hakekat di balik teks kabar, dua hal yang berbeda lho!? Ketika kita menerima secara literal/tekstual maka justru akan menjerumus kan kita pada Anthropomorpisme (jismiyah/musyabbihah) yang bertentangan dengan kehendak Ilahi yg disampaikan-Nya dalam ayat al-Quran dan melalui hadis-hadis Rasul, sesuai dengan pemahaman para ulama Islam. Akal pun menguatkan apa yang telah dijelaskan oleh teks-teks agama tadi.
Memang, pemahaman dan metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali yang cenderung tekstual/literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah.
“Di Manakah Allah sWt”?
TernyaTa jawaban aNda teLah di jawab oLeH Allah sWt berabad-abad LamaNya YaiTu daLm ALQuran. Allah sWt berfirMan: “JIKA HAMBA HAMBAKU BERTANYA TENTANG AKU KEPADAMU (Muhamad) MAKA KATAKANLAH AKU INI DEKAT KEPADANYA” (Q.S al-BaQarah 186)
dalam ayaT Lain allah SWt berfirMan: ” DAN AKU LEBIH DEKAT KEPADAMU DARI PADA URAT LEHERMU” ( Q.S Qaf 16 )
dekat  di atas  bermakna  kiasan, misal : Saya  dekat  dengan  ayah  saya, walaupun  ayah  saya  di  Papua  dan  Saya  di  malaysia  maka  kami  tetap dekat
Padahal langit tidak mesti memiliki arti yang dipahami oleh awam, lawan dari bumi materi yang bulat ini. Padahal jika ditarik ke atas maka langit Amerika berbeda dengan langit Indonesia, karena bumi bulat. Lantas di langit sebelah manakah Allah? Dan jika Allah di langit maka di bumi ‘kosong’ dari Allah donk?
Dimana itu berarti menanyakan tempat.. Sedang Allah Maha kaya yang tidak memerlukan apapun, termasuk tempat. Jika tidak, maka Allah perlu terhadap tempat tersebut. Sewaktu perlu berarti Allah ‘miskin’ (baca: perlu) terhadap sesuatu yang lain, yang bernama tempat. Selain itu, jika Allah bertempat maka ia terbatas, karena hanya di tempat itu saja, dan tidak ada ditempat lain. Selain itu, jika Allah bertempat maka Allah bisa ditunjuk, ke arah tempat itu, dan ini meniscayakan keterbatasan Allah.
Oleh karenanya dalam banyak teks disebutkan, terkadang dinyatakan bahwa Allah dekat, terkadang Allah di atas, dan terkadang Allah meliputi segala sesuatu yang berarti dimana-mana. Allah dekat bukan berarti kedekatan jarak dan tidak berada di kejauhan. Allah di atas bukan berarti Allh di bawah, di kiri, kanan, depan, belakang tidak ada. Allah dimana-mana bukan berarti Allah banyak atau bergentayangan. Ini semua yang tidak mungkin terjawab hanya berbekal metodology tekstual sebagaimana pengikut mazhab Ahli Hadis. Hanya kajian dengan metology pengawinan antara teks dan akal saja yang bisa menjawabnya. Ini yang diajarkan dalam mazhab Ahlul Bait AS.
Umat Islam sekarang ini sangat membutuhkan penjelasan aqidah dikarenakan banyak nya sekte – sekte baru yang sesat dan berkedok Islam seperti kelompok Musyabbihah (yang  menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), Mujassimah (meyakini bahwa Allah merupakan benda), Mu’aththilah (menafikan keberadaan Allah),  Wahdatul Wujud (meyakini bahwa Allah inti dari alam sedangkan makhluk adalah bagian dari Allah), Hulul (meyakini bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan lain-lain.
Sesuatu yang patut disayangkan adalah merebaknya paham paham yang berseberangan dengan aqidah Ahlussunnah dengan klaim sebagai Ahlussunnah. Seperti paham yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy atau Kursi (sebagian mereka menyatakan di langit)………
Tidak sepatutnya seseorang muslim yang mendengar kisah mi’raj mengenai naik dan turunnya Junjungan Nabi SAW ke langit menyangka bahawa antara hamba dan Tuhan Nya terdapat jarak yang tertentu yang dapat dijangkau, kerana sangkaan yang sedemikian adalah suatu kekufuran, yang mana kita berlindung dengan Allah daripada nya. Bahawasanya naik dan turun ini hanya dinisbahkan kepada hamba (yakni Junjungan Nabi SAW) dan bukannya kepada Tuhan.

Allah tidak diliputi tempat dan tidak diliputi arah…. Allah tidak diliputi tempat dan tidak diliputi arah karena tempat adalah makhluk, maka Allah tidak menempati makhluk..Kita mengangkat tangan ke langit ketika berdoa bukanlah kerana Allah berada dilangit akan tetapi kita mengangkat tangan ke langit kerana langit merupakan kiblat bagi doa, tempat terkumpulnya banyak rahmat dan berkat. Sepertimana kita menghadap ke arah ka’bah ketika shalat tidaklah bererti Allah itu berada di ka’bah akan tetapi kerana ka’bah itu kiblat bagi solat. Inilah yang telah dinyatakan oleh para ulama Islam. Kenapa shalat hadap kekiblat, katanya Allah diatas ? ingat Langit hanyalah kiblat Do’a, bukan tempat bersemayam Allah… Kalau Allah di langit, sebelum ada langit Allah di mana yah?
Terdapat satu hadits yang diguna oleh golongan wahhabi untuk mengatakan Allah berada di langit iaitu Hadits Al-Jariyah. Hadis Al-Jariyah sebuah hadis yang mengandungi peristiwa pertanyaan Rasulullah kepada seorang jariyah (hamba perempuan) yang telah diriwayatkan dalam pelbagai lafaz oleh beberapa ulama hadis seperti al-Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim, Bab Tahrim al-Kalam fi al-Salah, al-Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud, Bab Tashmit al-^Atish dan Bab fi al-Raqabati`l-Mu’minah, al-Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta’, Bab Ma Yajuz Mina`l-^Itq fi al-Riqab al-Wajibah, al-Imam al-Bayhaqi, al-Imam Ahmad, al-Imam Ibn Hibban dan lain-lain lagi.
Hadits Jariyah ini bukan Bermakna Zat Allah bertempat di atas langit.
Maknanya : Rasululullah bertanya “dimanakah ( pusat pemerintahan ) Allah ??”
Lalu si budak menjawab : “di langit”
Ainallah adalah suatu pertanyaan tentang dimanakah ( pusat pemerintahan ) Allah ???? jawaban nya: yaitu di arsy di langit..Ainallah bukannya bermaksud Zat Allah bertempat di langit
Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.
Dalil dalam Alquran dan Alhadith daripada nas-nas menunjukkan Allah ‘azza wajalla di langit, maka ketahuilah bahawa maksunya ketinggian martabat, kemulian, kehebatan dan penguasaan kerana Allah tidak menyerupai makhlukNya, tidaklah sifatNya seperti sifat makhluk, tidaklah sifat Pencipta bersamaan dengan sifat makhluk yang berkaitan dengan kelemahan bahkan Allah itu bagiNya sifat sempurna daripada nama-nama yang muliaNya…Arasy adalah PUSAT PEMERiNTAHAN ALLAH yang dikendalikan oleh 8 malaikat.. Allah tidak naik keatas arsy
yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (yakni menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersholat) , perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang sholat.
Berbalik kepada hadits jariah tadi, maka selain penjelasan di atas, ada lagi penjelasan dan keterangan lain daripada para ulama kita dari berbagai aspek bahasannya. Dari semua penjelasan tersebut, maka mereka menyimpulkan bahawa apa yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah menetapkan tempat bagi Allah.
Dan tidaklah tepat baginya untuk menjadikan hadits jariah ini sebagai hujjah untuk mensabitkan bahawa Allah bertempat di langit. Apatah lagi hadits ini walaupun shohih tidaklah mencapai darjat mutawatir. Maka apa caranya dia hendak menjadikan hadits ini sebagai hujjahnya untuk menyesatkan orang yang tidak sependapat dengan i’tiqad hasywiyahnya itu. Perkara ini adalah antara kesimpulan yang telah ditekan dan diperjelaskan oleh mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar as-Salaami (hafizahUllah).
Bahkan, jika dilihat “Shahih Muslim”, kita dapati bahawa Imam Muslim rhm sendiri tidak meletakkan hadits ini dalam kitab al-iman atau bab-bab yang berhubung dengan keimanan dan pegangan aqidah tetapi beliau meletakkannya dalam bab fiqh berhubung hukum hakam sembahyang iaitu kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih (kitab mengenai masjid-masjid dan tempat-tempat sembahyang, bab haram berkata-kata dalam sembahyang serta menasakhkan riwayat yang mengharuskan berkata-kata dalamnya). Maka isyaratnya ialah hadits ini hanyalah untuk dijadikan hujjah dalam bab-bab fiqh semata-mata.
Antara dalil yang biasa dikemukakan oleh puak hasywiyah bagi menetapkan Allah bertempat di langit ialah Hadits Jariah. Maka dijajalah hadits ini ke sana ke mari untuk menegakkan pegangan mereka bahawa Allah itu mengambil tempat di langit, subhanAllah. Maka ramai, kalangan awam terpengaruh dengan kalam fahisy mereka ini, serta beri’tiqad bahawa Allah itu di langit

Tafsir Hadist mutasyabihat “Disayangi Penduduk langit”
Artinya : Sayangilah penduduk Bumi maka akan disayangi oleh Penduduk langit ( HR. Tirmidzi )

Tafsir  Ayat  Mutasyabihat   LAFADZ   “MAN   FiSSAMA-i   DALAM  AL   MULK   ayat 16 “
Lafadz “Man fissamaa-i ” bermakna Penduduk langit /malaikat.. Jadi maksud hadist ini adalah Jika kalian menyayangi penduduk bumi maka Malaikat yang dilangit akan menyayangi kalian.

Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.. Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan bertempat dilangit..  “Perkataan ‘siapa’ pada ayat tersebut berarti malaikat”… Kemudian, yang berada dilangit dan bertempat dilangit bukanlah Allah tetapi para malaikat
Ketahuilah bahawa tempat tinggal para malaikat yang mulia adalah di langit pada setiap langit penuh dengan para malaikat manakala bumi terkenal dengan tempat tinggal manusia dan jin. Maha suci Allah dari bertempat samaada di langit mahupun di bumi.
Banyak hadis dan ayat yang menyebutkan man fissamawati (yang dilangit), penduduk langit dan sebagainya, tapi itu semua adalah para malaikat. Seperti dalamsurat al-ra’du ayat 15 (ayat sajadah) : “walillahi yasjudu man fissamawati wal’ardhi thau’an wa karhan wa dhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal”
Artinya : “Apa yang di langit dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang (Qs. arra’du ayat 15)
“Apa yang di langit (man fisamawati) dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau” (adalah seperti orang beriman) “atau tidak mau” (sperti orang munafiq dan orang yang ditakut-takuti (untuk sujud) dengan pedang).
“Yang dimaksud (man fissama-i atau yang dilangit) dalam ayat tersebut adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.
Banyak hadis dan ayat yang menyebutkan man fissamawati (yang dilangit), penduduk langit dan sebagainya, tapi itu semua adalah para malaikat. Seperti dalamsurat al-ra’du ayat 15 (ayat sajadah) : “walillahi yasjudu man fissamawati wal’ardhi thau’an wa karhan wa dhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal”
Mukhalafatuhu Lil Hawaditsi : Dan maknanya : Bahawasanya Allah Taala tiada bersama ia dengan segala yang baharu, tiada pada zatNya, dan tiada pada sifatNya dan tiada pada af’alNya (perbuatanNya). Maka zat Allah tiada menyerupa akan dia segala zat yang baharu, dan sifatNya tiada menyerupa akan dia akan segala sifat-sifat yang baharu, dan perbuatanNya tiada meyerupa akan dia akan segala perbuatan yang baharu, dan setiap barang yang terlintas dengan hati seorang kita akan sesuatu maka bahawasanya Allah Taala itu bersalahan baginya kerana sekalian itu baharu
Dan tiada Allah Taala itu bertempat, dan tiada Ia di atas, dan tiada Ia di bawah, dan tiada ia di kanan, dan tiada di kiri, dan tiada pada hadapan, dan tiada di belakang, kerana adalah sekalian itu melazimkan jirim, dan Allah Yang Maha Suci tiada berjirim, dan tiada Aradh. Kerana adalah segala yang baharu itu terhingga atas dua perkara iaitu jirim dan aradh maka tempat dan berubah itu sifat jirim dan sifat aradh. Demikian lagi besar dan kecil itu sifat jirim yang banyak dan sedikit kerana jikalau banyak jirim dinamakan besar dan yang sedikit dinamakan kecil. Dan berubah itu sifat aradh seperti gerak dan diam maka kedua-duanya itu daripada kelakuan yang baharu dan Allah Yang Maha Suci itu Qadim tidak boleh disifatkan dengan segala sifat yang baharu. Dan barangsiapa menghinggakan zat Allah Taala pada tempat maka tiada syak ia pada kufurnya seperti katanya allah taala itu terhingga di atas langit atau pada bumi.

Barangsiapa yang meninggalkan empat perkara ini sempurna imannya, dan iaitu (kam ),dan (kaif), dan (mata), dan (aina), maka adapun (kam) maka dinyatakan dengan dia menuntut kenyataan bilangan maka jika dikata orang ; Kamillah ? Yakni “ berapa Allah?” maka jawab olehmu : iaitu wahid yakni Esa pada zatNya dan pada sifat-sifatNya dan pada perbuatanNya. Dan (kaif) iaitu ditanya dengan dia daripada kaifiat maka jika ditanya orang : kaifallah? Yakni “ betapa Allah (bagaimana rupa Allah?)” maka jawab olehmu ; tiada mengetahui seseorang akan hakikat zat Allah melainkan Ia jua. Dan (mata) itu tiada dengan dia daripada zaman (masa) maka jika dikata orang : Matallah? Artinya ; manakala didapati Allah? (bilakan Allah Taala wujud?) maka jawab oleh mu : Allah Taala itu awalnya tiada permulaan dan akhir tiada kesudahan. Dan (aina) dan tiada dengan dia daripada makan (tempat), maka jika dikata orang : Ainallah? (di mana Allah?) maka jawab oleh mu : Allah itu tiada bertempat dan tiada dilalu atasnya masa kerana zaman (masa) dan makan (tempat) baharu keduanya.

Bermula Allah taala itu Qadim dan yang Qadim tiada berdiri dengan yang baharu dan barangsiapa yang menyerupakan Allah , Tuhan yang bersifat dengan Rahman dengan suatu maka tiada syak pada kufurnya. Maka takut olehmu akan diri kamu dan pelihara akan dia daripada menyerupa ia akan Allah dengan suatu bahagi daripada bahagi yang baharu ini maka demikian itu kufur. Dan sungguhnya wajib bagi Allah itu mukhalafah (bersalahan) bagi segala yang baharu kerana bahawasanya jikalau menyama ia akan dia nescaya adalah baharu seumpamanya. Dan telah terdahulu pada burhan wajib qidamnya dan baqa’nya dan wajiblah ia bersifat Mukhalafatuhu Lil Hawwaditsi, dan apabila sabitlah baginya Mukhalafatuhu Lil Hawwaditsi nescaya nafilah daripadanya Mumatsilah Lil Hawaditsi ( bersamaan Allah pada segala yang baharu)
Salafi menyatakan Allah bersemayam di atas Arsy, benarkah ???
Jawab :
Istiwa’ bermakna : Menyempurnakan atau sempurna
Ada 12 tempat kata istiwa’ dalam Al Quran
Jadi istiwa’ bukan bermakna bersemayam atau mendiami seperti tuduhan Wahabi
Allah beristiwa’ diatas arsy, maksudnya ; Allah menyempurnakan (penciptaan) hingga ke arsy….
Allah menciptakan langit dan bumi  kemudian istiwa’ (menyempurnakan) hingga atas arsy…
Jadi bukan ZAT ALLAH bersemayam/bertempat diatas arsy.. Zat Allah bukan bertempat di langit..

Langit adalah materi/makhluk… Allah tidak bertempat pada makhluk..
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupa kan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Ayat Istiwa’
Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta’ala (surat Thaha: 5):
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau bersemayam atau berada di atas ‘Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda
Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada “al Qur’an dan Terjemahnya” yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah:255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah.
Imam Ali  bin Abu Thalib  mengatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)

Imam Ali  bin Abu Thalib  turut menjelaskan:
” Akan kembali satu kaum dari umat ini ketika hampir hari kiamat kelak mereka menjadi kafir, lantas sesorang lelaki bertanya: ‘ Wahai amirul mu’minin! Kekufuran mereka itu disebabkan apa? kerana mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama atau mengingkari sesuatu dalam agama?’ Saidina Ali menjawab: Kekufuran mereka kerana mengingkari sesuatu dalam agama iaitu mereka mengingkari Pencipta mereka dengan menyifatkan Pencipta itu berjisim dan beranggota”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mu’allim Al-Qurasyi dalam kitabnya berjudul Najmul Muhtady Wa Rajmul Mu’tady)
Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa’ secara Zhahirnya Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah:
Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya: “ke arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di sana”. Dengan ini berarti keyakinannya saling bertentangan.
Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid (W. 102 H) murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat.
ALLAH TiDAK BERTEMPAT
Wahabi menjisimkan Allah dengan cara menyandarkan tempat bagi Allah…

Kalangan Mujassim Musyabbih yang menjisimkan Allah dan menyamakan Allah dengan makhluk.
dan ulama ilmu Islam telah menyatakan : “ Allah telah wujud tanpa bertempat dan Dia tidak berubah sama sekali saat ini ”.Perlu kita fahami bahwa Allah SWT tidak bertempat, jadi Arsy bukanlah tempat atau Istana Allah SWT,.. Allah tidak bertempat, sebab mustahil Allah ditempatkan kepada suatu benda. Allah khaliq sedangkan tempat makhluk. Bagaimana mungkin menempatkan Allah ke dalam sebuah makhluk?
Rasulullah bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari dan al Bayhaqi).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy dsb) ? setelah Allah ciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah? Apakah sifat Zat Allah berubah? Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali) semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawahpada saat itu dimana Allah?
yang maknanya : “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

Imam  Ali  Bin  Abu  Thalib  berkata : “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Ingat : Sifat Allah tetap tidak berubah..sifat Allah tdk sama dengan makhluq. Maka orang yang mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.

Allah telah sedia ada pada azal lagi, tidak ada siapapun bersama Allah, air belum ada, udara belum ada, bumi belum wujud, langit belum wujud, kursi belum ada, arasy belum ada, manusia belum wujud, jin belum wujud, malaikat belum ada, masa belum ada , tempat belum wujud dan arah juga belum wujud.
Dari segi akal, sebagaimana diterima akan kewujudan Allah ta’ala itu tanpa tempat dan tanpa arah sebelum adanya tempat dan arah maka benarlah kewujudan Allah itu setelah mencipta tempat Dia tidak bertempat dan tidak memerlukan arah.
Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah).
Maksud dari mi’raj bukanlah Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekatkepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam di saat mi’raj adalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-,
maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Maka diisra` dan dimi`rajkan Junjungan Nabi SAW dengan menggunakan makhluk seperti buraq dan mi’raj adalah untuk menzahirkan kemuliaan dan ketinggian baginda di antara sekalian makhluk. Inilah hakikat sebenar mi’raj Junjungan SAW ke langit, agar dipersaksikan kepada segala penghuni langit akan darjat ketinggiannya penghulu sekalian makhluk. Tidaklah ia menunjukkan Allah berada di sesuatu tempat di langit

Imam Ja’far As-Shadiq : “ Barangsiapa menganggap Allah itu dalam sesuatu atau daripada sesuatu atau atas sesuatu benda maka dia telah syirik (kafir) kerana sekiranya Allah di dalam sesuatu maka Dia mempunyai ukuran, sekiranya dikatakan Allah atas sesuatu benda maka Dia dipikul dan sekiranya Dia daripada sesuatu maka Dia makhluk”
Sekiranya Allah bertempat maka sudah pasti bagiNya persamaan dan berukuran tinggi lebar, dalam, dan sesuatu yang sedimikian pastinya adalah makhluk yang diketahui ukuran panjangnya, lebarnya, dalamnya.

firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)” (QS asy-Syura [42]: 11), dan dalil ‘aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah mukhâlafah lil-hawâdits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baru (alam).. Antara sifat makhluk adalah bergerak,duduk diam, turun, naik, bersemayam, duduk, berukuran, bercantum,berpisah,berubah, berada di tempat,berarah dan lain-lain.
Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq (Allah beda dgn makhkuq, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/makhluq), menyamakan Allah dengan makhluk pada zaman ini iaitu ajaran Wahhabiyah

Allah Maha suci dari Hadd……..
Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran.

Imam Ali bin Abu thalib  (40 H) berkata:“ Adalah (Allah azali) tanpa bertempat, dan Dia sekarang seperti mana keadaanNya yang lalu ( wujudnya azali tanpa bertempat)”. ( Lihat Abu Mansur al-Baghdady, Al-Farqu Bainal al-Firaq, ( Kaherah, Percetakan Darul Al-Turats), m/s :356. )

Imam Ali bin  abu  thalib  berkata lagi : “Akan kembali suatu kaum daripada umat ini ketika dekat berlaku hari kiamat menjadi kafir mereka itu, lalu berkata seorang lelaki bertanya : wahai Amir al-Mukminin kekafiran mereka dengan apa, dengan sebab mereka melakukan perkara bida’ah ke dengan sebab keingkaran mereka? Maka berkata (Imam Ali) : Bahkan dengan keingkaran. Mereka mengingkari percipta mereka dan mensifatkanNya dengan jisim dan anggota.” (Rujuk Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi, Kitab Najmul Muhtady, m/s 588)
Tiada permulaan bagi kewujudan-Nya… Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda.. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”.

Kalau istiwa’ diartikan ‘bertempat berarti memiliki batasan, dan bila memiliki batasan maka dia kekurangan, dan bila kekuranggan maka dia butuh akan sesuatu’ tentu ini penafsiran yang salah. memang Allah itu tidak bertempat, karena bila Allah bertempat berarti memiliki batasan, dan bila memiliki batasan, maka dia berkekurangan, dan bila kekurangan maka dia butuh akan sesuatu.
Arsy adalah salah satu kekuasaan Allah, bukan berarti Allah bertempat di Arsy
Secara zahir, bahwa syetan itu mencuri berita dari langit memang disebutkan dalam Al-Quran Al-Kariem sendiri. Silahkan Anda buka surat Al-Hijr ayat 16-18.
Dari Aisyah ra bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Para malaikat ketika turun ke awan membacakan urusan-urusan yang telah ditetapkan di langit, datanglah setan mencuri dengar dan disampaikan kepada para dukun dengan membohonginya dengan 100 kebohongan dari diri mereka sendiri. (HR. Bukhari)
Allah bukanlah semacam jisim (rupa) yang dapat digambarkan. Dia tiada menyamai apa pun yang maujud (ada), begitu pula yang maujud itu tiada boleh menyerupaiNya.
Memikul arasy sebagaimana firman-Nya, “Malaikat-malaikat yang memikul arasy dan yang ada berada di sekitarnya sama memahasucikan dengan memuji kepada Tuhan mereka dan mereka pun beriman pada-Nya.” (Q.S. Ghafir:7)

Memikul Arsy juga bermakna mengendalikan, mengatur karena arsy merupakan pusat pemerintahan alam semesta
Pula firman-Nya, “Dan delapan malaikat pada hari itu memikul singgasana Tuhanmu di atas mereka.” (Q.S. Al-Haqqah:17)
Sementara untuk “lebih dekat dari urat leher” itu artinya “kedekatan”. Ayat-ayat semacam ini menurutku tidak merujuk pada entitas fisik,
Al Imam Sayyidina Ali yang: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72)…

Imam  Ali  bin  abu  thalib  berkata lagi: “Sesiapa yang beranggapan bahawa, Tuhan kita mahdud (ada ruang lingkup tertentu atau ada had-had tertentu), berarti dia jahil tentang Tuhan Maha Pencipta lagi Tuhan yang disembah” (hilyatul Auliya’: 1/73)
Imam Ja’far As-Shadiq r.a. berkata: “Sesiapa yang mengatakan bahawa Allah s.w.t. berada pada mana-mana tempat, atau berada atas sesuatu, atau berasal daripada sesuatu, maka dia telahpun syirik…” (risalah Al-Qusyairiyah: 6)
Sekali lagi, lihatlah apa yang dikatakan oleh Imam  Ali bin Abu  Thalib  yang  berkata: “Sesungguhnya Allah s.w.t. menciptakan Arasy, sebagai tanda kekuasaanNya, bukan sebagai tempat untuk Dia duduki” (Al-firaq bainal firaq: 333)
Kalau wahabi memahami istiwa’ itu dengan makna zahirnya, dan Arasy sebagai tempat bersemayam Allah s.w.t., maka secara tidak langsung, telah menetapkan had (limit), ukuran dan batas bagi zat Allah s.w.t., padahal dengan menisbahkan batasan tersebut kepada Allah s.w.t., secara tidak langsung telah menyamakan Allah s.w.t. degan makhluk, kerana hanya makhluk sahaja wujud dengan saiz dan ukuran batas tertentu,
seperti firmanNya: “Setiap sesuatu (dari kalangan makhlukNya) di sisiNya ada kadar ukurannya” (Ar-Ra’d: 8). Maka, ukuran, kadar, saiz, dan bentuk merupakan sifat makhluk, bukan sifat Allah s.w.t. yang Maha Pencipta.

Saudaraku…..
Pusat Pemerintahan Allah di Langit ….
Tuhan yang pusat pemerintahan-Nya di langit
‘Ala dan Fauq itu sendiri maknanya dari sudut bahasa Arab bukanlah semata-mata atas kepada tempat.Orang arab bercakap tentang Ketinggian kedudukan dan status juga dengan menggunakan perkataan “‘ala” dan “fauq”.
Allah fis samaa’ itu bukan bererti Allah di langit secara bertempat, tetapi Allah s.w.t. Maha Tinggi kedudukanNya.
“Telah tetap di sisi ulama’ bahwa Allah tidak diliputi (tidak menempati) langit mahupun bumi. Tidak juga dirangkumi oleh pelusuk tempat. Sesungguhnya, difahami isyarat perempuan  jariyah  tersebut tentang keagungan Allah s.w.t. di sisinya.”
wajib kita beriman bahawa zat Allah s.w.t. itu, tempat tidak meliputiNya.
syi’ah  menafikan tempat bagi Allah s.w.t.. Maknanya, mereka tidak memahami “fis sama’” dan ala al-arasy dengan makna zahirnya
Dalam bahasa Arab, ada bab kalimah.
Setiap kalimah, ada makna.
Kalau satu kalimah tu ada banyak makna, maknanya lafaz musytarak, macam ain, dalam bahasa Arab byk maksud. Mata, mata air, spy dll.
Kalimah itu sendiri dinamakan sebagai lafaz.Dari sudut kefahaman tentang kalimah, ada dua jenis kefahaman.
Pertama, makna hakiki..Iaitu, makna zahir sesuatu perkataan/lafaz menurut bahasanya.Ia digunakan dalam ayat yang biasa.
Kedua, makna majazi…
Iaitu, makna kiasan daripada sesuatu perkataan.Ia digunakan dalam ayat sastera yang dikenali sebagai kaedah kiasan.Makna majazi atau kiasan ini namanya ta’wil.Ini kaedah asas bahasa Arab.
Oleh itu, kita tunjuk contoh bagi kaedah tersebut.
Pertama: Makna hakiki-
Harimau dalam hutan.Lafaz harimau itu boleh membawa kepada makna hakiki kerana tiada sebab yang menyebabkan perlu memalingkannya kepada makna majazi.
Kedua: Makna Majazi:
Harimau memandu kereta.
dalam  hal ini, ia boleh difahami dengan makna lain iaitu kiasan kerana ada sebab yang memalingkannya iaitu logik akal.
Makna kiasannya: Seorang yang garang memandu kereta.Dari sudut ilmu bahasa, makna majazi itu lebih tepat kepada realiti sesuai dengan logik akal. Tapi, kita tak ingkar penggunaan perkataan harimau tersebut. Cuma kita kata, ia hanya kiasan.
Siapa yang kata Allah s.w.t. bertempat dengan ZatNya, maka dia telah menetapkan kejisiman dan tempat bagi Allah s.w.t., sedangkan kita perlu untuk berpegang dengan asas aqidah (iaitu Allah tidak bertempat).
Saya juga nak tanya sebelum Allah mencipta Arsy, Allah ada bagi tau Dia di mana? Ada dalil tak?
Bacalah sahih Al-Bukhari bagi habis. Nabi s.a.w. bersabda:”Sesungguhnya Allah s.w.t. itu wujud, dan tiada yang wujud bersama-sama denganNya..” (Sahih Al-Bukhari)
Al-Imam Saidina Ali  bin  abu  thalib  pernah berkata: “Sesungguhnya Allah s.w.t. itu tidak bertempat. Dia sekarang dalam keadaan seperti mana Dia sebelum ini (iaitu tetap qadim dan abadi tanpa bertempat)”. (Al-firaq bainal Firaq karangan Abu Mansur: 333)
Saidina Ali k.r.w.j. berkata lagi: “Sesungguhnya Allah s.w.t. menciptakan Arasy, sebagai tanda kekuasaanNya, bukan sebagai tempat untuk Dia duduki” (Al-firaq bainal firaq: 333)

Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Husein r.a. (94 H) berkata: “Sesungguhnya, Engkaulah Allah, yang tidak bertempat… Engkaulah Allah yang tidak mempunyai sebarang had” (Ittihaf Saadah Al-Muttaqin: 4/380)
Imam Ja’far As-Shadiq r.a. (148 H) berkata: “Sesiapa yang mengatakan bahawa Allah s.w.t. berada pada mana-mana tempat, atau berada atas sesuatu, atau berasal daripada sesuatu, maka dia telahpun syirik…” (risalah Al-Qusyairiyah: 6)
Allah s.w.t. wujud tidak bertempat. Dia menciptakan tempat, sedangkan Dia tetap dengan sifat-sifat keabadianNya, sepertimana sebelum Dia menciptakan makhluk. Tidak layak Allah s.w.t. berubah sifatNya atau zatNya
Imam Al-Bukhari r.a. (256 H) dalam Sahih Al-Bukhari itu sendiri menurut mereka yang mensyarahkannya, bahawasanya beliau menyucikan Allah s.w.t. daripada tempat dan sudut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar