Laman

Kamis, 02 Februari 2012

MA’RIFATULLAH DAN TAUHID

1. Adanya Yang Mahakuasa Mahatinggi


Syi'ah meyakini bahwa Allan SWT adalah pencipta alam semesta. Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh jagad raya, dalam diri rnanusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.
Syi'ah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam semesta, maka kita akan semakin rnenyadari kebesaran, keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengeta­huan manusia berkembang, maka pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga pikiran kita semakin luas. Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita kepada-Nya semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalâl dan jamâl-Nya.


Allah berfirman: “Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak melihat”. (QS. Adz-Dzâriyât 20-21)
Allah berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan ini sia-sia”. (QS. 3:190-191)
2. Sifat Jamal dan Jalal-Nya
Syi'ah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela dan kekurangan. Ia bersifat dengan segala sifat kesempumaan. Bahkan Ia adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wa kamal al-rnutlaq. Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan yang ada di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci.
“Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Mahapenguasa, Mahasuci, Mahasejahtera, Mahapemberi keamanan, Mahpemelihara, Mahaperkasa, Mahakuasa, Mahabesar, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Mahapencipta, Mahamengadakan, Mahapembentuk, bagi-Nyalah nama-nama yang baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 59:23-24)
3. Dzat Yang Tak Terbatas
Syi'ah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi: ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya terbaras. Tetapi pada waktu yang sama, hadir di setiap ruang dan waktu karena Dia berada di atas keduanya.
“Dan Dialah yang di langit adalah Tuhan dan di bumi juga Tuhan. Dia Mahbijaksana lagi Mahamengetahui”. (QS. 43:84)
“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Dia Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.57:4)
Ya, memang Dia lebih dekat kepada kita dari pada kita ke­pada diri kita sendiri. Bahkan Dia ada di dalam diri kita d~ur di mana saja, tapi pada saat yang sama tidak menempati ruang.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehenya sendiri”. (QS. 50:16)
Dialah Yang Mahapertama dan Mahaterakhir. Yang Mahatampak dan Mahatersemburyi. Dia Mahamengetahui segala sesuatu. (QS.57:3)
Adapun ayat-ayat semacam “Ia adalah pemilik singgasana lagi Mahamulia” (QS. 85:1), ataupun ayat “Tuhan Yang Mahapengasih bersemayam di atas singgasana”[1] (QS. 20:5), ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan“Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4)
4. Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan.
Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103)
Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa as agar mereka dapat melihat Allah SWT sebagai syarat keimanan mereka dengan mengatakan; “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara langsung” (QS. 2:55), Nabi Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah: “Sekali-kali engkau tidak akan melihat-Ku. Tapi lihatlah gunung itu. Jika ia masih berada di tempatnya maka engkau akan melihat-Ku. Maka tatkala Tuhannya bertajalli; menampakkan diri; bagi gunung itu, gunung itu hancur lebur dan Musa jatuh pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata: "Mahasuci Engkau. Aku kembali pada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman”. (QS.7:143)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.
Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling rnenafsirkan, al-Qurn yufassiru ba'dhuhu ba'dhan.[2]
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: "Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Amirul Mukminin menjawab, "Bagaimana aku bisa menyem­bah Tuhan yang tidak kulihat?" Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, "Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman". (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)
Syi'ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnem­bawa kepada kemusyrikan
Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.
5. Tauhid Adalah Jiwa Ajaran Islam
Syi'ah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan paling penting dalam kaitannya dengan ma'rifUtulhah atau menge­nal Allah ialah pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh dan jiwa seluruh ajaran Islam, baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang-cabangnya (furu’) meng­kristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan keesaan. Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, bahkan keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama Ilahi, kiblat, kitab, hukurn, dan peraturan hukum bagi seluruh umat manusia. Demikian pula persatuan Muslimin dan satunya hari kebangkitan.
Oleh karena itulah, maka setiap penyimpangan dari tauhid dan kecondongan ke syirk dianggap oleh al-Quran sebagai dosa yang tak terampuni. “Sesungguhrrya Allah tidak mengampuni jika Dia disekutukan, tapi mengarrpuni selain itu, bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa meryekutukan Allah sungguh telah melakukan dasa besar. (QS. 4:48) Dan “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-­orang sebelummu bahwa jika engkau menyekutukan Tuhan niscaya amalmu akan terhapus dan masuk dalam golongan orang-orang rugi”. (QS. 39:65)
6. Sub-Tauhid
Syi'ah meyakini bahwa tauhid memiliki balgian-bagian, antara lain empat hal berikut:
1) Tauhid Dzat.­
Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-­Nya.
2) Tauhid Sifat.
Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.
Hanya saja, untuk menyelami hakikat kesatuan Dzat dan sifat-sifat-Nya ini menuntut kejelian dan kedalaman berpikir.
3) Tauhid Afal atau Perbuatan
Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak-­Nya.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”. (QS. 39:62)
Dia memiliki kunci-kunci langit dan bumi. (QS. 42:12)
Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini, kecuali Allah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru bebas memilih dan memngambil keputusan.
Sesungguhnrya Kami telah memberikan petunjuk kepada manusia. Ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar. (QS. 76:3)
Sesungguhnya munusia tidak rrrendapatkan apa-apa kecuali apa yang telah diusahakannya. (QS. 53:39)
Kedua ayat di atas dengan tegas rnenjelaskan bahwa manusia bebas dalam kehendaknya (free will). Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita disandarkan kepada Allah, namun tanpa sedikitpun mengurangi tanggung­jawab kita terhadapnya.
Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan memba­wa kita ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan men­capai kesempurnaan kecuali dengan kebebasan berkehendak ~'ree will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan sese­orang tidak menggarnbarkan apakah ia baik atau buruk.
Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan.
Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya.
Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160)
4) Tauhid Ibadah:
Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT. Sub Tauhid Ibadah ini adalah sub tauhid yang paling utama dan yang paling rnendapat perhatian para Nabi.
Sesungguhnya mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah, semata-mata taat kepada-Nya, hanif, lurus dan bersih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)
Dan tauhid seseorang akan semakin dalam jika ia menempuh tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan irfan sehingga ia akan mencapai suatu kedudukan ataumaqam di mana hatinya hanya terpaut pada Allah swt semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak memikirkan apa-apa keduali Dia, dan selalu sibuk dengan-Nya.
“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia adalah berhalamu”.
Syi'ah meyakini bahwa sub-sub tauhid tidak hanya terba­tas pada empat sub yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada sub-sub lainnya, seperti tauhid kepemilikan (tauhid milkiyyah).
Apayang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. (QS. 2: 284) dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah,
Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka sesunguhnya mereka adalah orang-orang kafir (QS. 5:44)
7. Mukjizat Para Nabi Seizin Allah
Syi’ah meyakini bahwa melalui tauhid af’al, tauhid perbuatan, akan semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah Swt, sebagaimana dilansir al-Quran dalam kisah Isa as:
Dan engkau menyembuhkan penderita butasejak lahir dan penderita belang dengan izin-Ku, dan ingatlah ketika engkau menghdiupkan orang mati. (QS. 5:110)
Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman,
Berkatalah orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab, “Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihatnya sudah berada di hadapannya, ia berkata, “Ini merupakan karunia Tuhanku”. (QS. 27:40)
Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa as, dengan izin Allah, tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan itulah tauhid itu sendiri.
8. Malaikat
Syi'ah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-­masing menerima tugas khusus. Ada yang bertugas menyampai­kan wahyu kepada para nabi, mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan perang, meng­hukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam semesta ini. Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip tauhid perbuatan, tauhid af’al, atau tauhid pemeliharaan, tarhid rububi. Malah sebaliknya, justru men­dukung tauhid, karena semuanya dengm izin Allah, kekuatan­-Nya, dan atas perintah-Nya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat para nabi, imam, dan malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan adalah tauhid itu sendiri, sebab terjadi seizin-Nya.
Tidak ada yang memberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya. (QS. 10: 3)
Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah tawassul akan kami uraikan pada pembahasan kenabian.
9. Ibadah Hanya untuk Dia
Syi'ah meyakini bahwa ibadah hanya untuk Allah SWT semata, sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan Tauhid Ibadah. Oleh karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.
Inilah pula misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip al-­Quran dari lisan para nabi.
Sembahlah Allah semata. Kamu tidak mempunyai Tuhan selain Dia. (QS. 7:59, 65, 73, 85)
Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca surah al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi perinsip ini melalui ayat:
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. (QS. 1:5)
Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan para malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebut­kan dalam al-Quran, bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali tidak. Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan atau tauhid ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Pembahasan me­ngenai ini akan diuraikan pada kajian Nubuwah.
10. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau
Syi'ah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Tuhan begitu banyaknya di alam semesta ini, namun tidak seorang pun yang mengetahui hakikat Allah sebenarnya atau dapat men­jangkau-Nya, sebab dzat Tuhan tak terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas dan berujung. Oleh karena itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau segala sesuatu.
Ketahuilah! Sesungguhnya Dia menjangkau segala sesuatu. (QS. 41:54)
Dan Sesungguhnya Allah menjangkau mereka semua. (QS. 85:20)
Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan,
Kami tidak menyembah-Mu sebenar-benarnya penyembahan dan tidak pula mengetahui-Mu sebenar-benanya pengetahuan. (Bihar al­Anwar, 68:23)
Namun ini ridak berarti bahwa ketika kita tidak dapat mengetahui hakikat Allah secara detail, berarti kita juga tidak dapat mengetahui hakikat-Nya secara umum, ilm ijmali,sehingga kita harus meninggalkan upaya kita untuk rnengenal-Nya dan cukup puas dengan melafalkan lafal-lafal yang kita sendiri tidak memahaminya. Sama sekali tidak demikian, karena hal ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh Syi'ah dan tidak pula diyakini, karena al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk memperkenalkan Allah, sehingga kita dapat mengenal-Nya.
Dalam hal ini, banyak hal vang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh. Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita mengetahui secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.
Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya mengatakan:
Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk dan ciptaan seperti kamu, yang dikembalikan kepadamu. (Bihar al-Anwar, 66:293)
Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam `Ali as telah menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:
Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau sifat-­sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya. (Nahjul-balaghah:khutbah 49)
11. Tidak Ta'thil dan Tidak Pula Tasybih
Syi'ah meyakini bahwa ta'til ma'rifatullah atau anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup. Demikian pula kita tidak dapat menga­takan bahwa Allah mempunyai keserupaan dengan mahkluk-Nya. Kedua jalan pikiran ini berlebih-lebihan, ifrath dan tafrith.

[1] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225)
[2] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar