Laman

Kamis, 02 Februari 2012

YAUMUL MA'AD




1 - Nilai Pembahasan tentang Akhir Kehidupan

Nilai Pembahasan tentang Akhir Kehidupan
Di awal-awal buku ini, kita telah mempelajari pentingnya mencari agama dan prinsip-prinsip akidahnya, yaitu Tauhid, Kenabian, dan Ma’ad. Dan telah kami jelaskan bahwa kehidupan manusia itu berlandaskan pengetahuannya yang benar dalam menangani masalah ini. Juga telah kita pelajari masalah-masalah Tauhid pada bagian pertama. Dan pada bagian kedua, kita pun telah mempelajari jalan dan penuntun kehidupan (Kenabian dan Imamah). Berikut ini kami akan berusaha memeriksa masalah-masalah penting prinsip Ma’ad yang dikenal dengan istilah "Akhir Perjalanan".


Pertama-tama, kami akan mengurai ciri-ciri khas prinsip Ma'ad dan pengaruhnya secara khusus terhadap sikap praktis individu maupun sosial. Setelah itu kami akan menjelaskan hubungan logis antara pengertian kita tentang Ma’ad dan pengenalan kita akan ihwal ruh. Sebagaimana mengenal ihwal wujud tanpa meyakini Allah Yang Esa adalah upaya yang kurang, begitu pula pengenal ihwal manusia tanpa meyakini adanya ruh yang kekal adalah pengenalan yang tidak seutuhnya. Setelah itu semua, barulah kami menjelaskan masalah-masalah prinsipal Ma'ad sesuai dengan kapasitas buku ini.
Pentingnya Iman kepada Ma’ad
Pada dasarnya, motif di balik berbagai macam aktifitas hidup ini adalah rasa ingin memenuhi segala kebutuhan, keinginan dan merealisasikan berbagai tujuan dan ambisi, yang pada akhirnya akan mencapai kebahagiaan dan puncak kesempurnaan. Dan, nilai suatu aktifitas serta cara mengarahkannya amat bergantung pada pembatasan atas tujuan yang diusahakan pencapaiannya melalui aktifitas tersebut. Oleh karena itu, mengetahui tujuan akhir bagi suatu kehidupan berperan besar dalam mengarahkan berbagai aktifitas dan memilih suatu tindakan. Pada hakikatnya, faktor utama dalam membatasi perjalanan hidup terdapat pada cara pandang seseorang terhadap hakikat dirinya; kesempurnaannya dan kebahagiaannya.
Seseorang yang percaya bahwa hakikat dirinya tidak lebih dari sekumpulan unsur-unsur materi dan interaksi yang rumit di antara mereka, memandang bahwa kehidupannya dibatasi oleh masa yang singkat di dunia ini, ia pun tidak mengakui adanya kepuasan, kebahagiaan atau kesempurnaan selain keuntungan dan usaha duniawi. Tentu, ia akan mengatur aktifitas dan tindakannya sesuai dengan tuntutan dan keinginan duniawinya.
Adapun seseorang yang yakin bahwa hakikat dirinya itu lebih luas daripada materi, bahwa kematian itu bukanlah akhir kehidupan, akan tetapi sebuah perpindahan dari alam dunia yang sementara menuju alam akhirat yang kekal, dan bahwa perbuatannya yang saleh merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi, tentu ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih bermanfaat, lebih unggul, dan lebih berpengaruh terhadap kehidupannya yang abadi. Lebih dari itu, segala kelelahan, kesalahan, dan kerugian yang ia alami di dunia tidak menggoyahkan tekadnya, tidak membuatnya putus asa, dan tidak juga mencegahnya dari melanjutkan segala aktifitas dan perjuangannya dalam menjalankan berbagai tugasnya demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi.
Dua model kepercayaan manusia di atas tadi tidak terbatas pengaruhnya pada kehidupan personal saja, tetapi juga pada kehidupan sosial dan pada sikap praktis setiap individu dan hubungan satu dengan lainnya. Keyakinan terhadap kehidupan akhirat, pahala dan siksa yang bersifat abadi amat berpengaruh besar dalam menjaga hak-hak orang lain dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah dan miskin. Tatkala suatu masyarakat mengarah kepada keyakinan semacam ini, tidak perlu lagi mengutamakan kekuatan untuk menerapkan undang-undang dan hukum-hukum keadilan serta memberantas kezaliman dan mengembalikan hak seseorang. Meratanya keyakinan semacam ini sanggup mengatasi sekian banyak problema negara.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas pentingnya prinsip Ma’ad dan nilai pembahasannya. Bahkan keyakinan pada prinsip Tauhid sekalipun, apabila tidak dilapisi oleh keyakinan pada Ma’ad, tidak akan memberikan pengaruh yang berarti dan menyeluruh dalam mengarahkan kehidupan yang benar dan bertujuan. Dari sini pula tampak jelas besarnya perhatian agama-agama samawi—khususnya Islam—terhadap prinsip Ma’ad, dan betapa para nabi telah mengerahkan segenap upaya mereka dalam menanamkan prinsip akidah ini di dalam jiwa manusia.
Keyakinan terhadap kehidupan akhirat itu baru dapat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku seseorang, baik yang bersifat personal maupun sosial, bilamana hubungan sebab-akibat antara apa yang diusahakan di dunia ini—berupa perbuatan, kesenangan, kesengsaraan—dengan alam akhirat dapat diterima sepenuhnya. Setidaknya, harus ada pengakuan bahwa ganjaran akhirat itu akan menjadi pahala atau siksa atas amal-amal baik dan buruk yang dilakukan di dunia ini.
Adapun jika kita meyakini bahwa kebahagiaan akhirat itu akan dapat dicapai di alam akhirat itu sendiri, sebagaimana kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dapat diperoleh di dunia ini, maka keyakinan terhadap kehidupan alam akhirat akan kehilangan pengaruh utamanya dalam kehidupan kita di dunia. Sebab berdasarkan keyakinan ini, dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia, setiap orang harus berusaha di dalamnya, sebagaimana untuk memperoleh kebahagian akhirat ia harus berusaha untuk memperolehnya di alam akhirat kelak, yaitu setelah kematian.
Maka itu, di samping membuktikan realitas Ma’ad dan kehidupan akhirat, termasuk hal yang penting ialah membuktikan adanya hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat serta pengaruh berbagai tindakan ihktiyari (bebas) terhadap kebahagiaan atau kesengsaraan yang abadi.
Perhatian Al-Qur’an terhadap Ma’ad
Kita perhatikan bahwa lebih dari sepertiga Al-Qur’an berkaitan dengan kehidupan abadi. Sekelompok dari ayat-ayatnya menekankan keharusan beriman pada Hari Akhirat.[1] Sekelompok lainnya menyingkapkan dampak pengingkaran Ma’ad. Kelompok ketiga menjelaskan berbagai macam kenikmatan abadi. Kelompok keempat menerangkan berbagai macam azab yang abadi. Kelompok kelima menegaskan adanya hubungan antara amal-amal kebajikan atau keburukan beserta pengaruh dan konsekuensi ukhrawinya. Kelompok keenam—dengan ungkapan yang beragama—menekankan pentingnya Hari Kiamat serta menyanggah keraguan-keraguan para pengingkarnya. Ada pula kelompok ketujuh dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai macam kesesatan dan penyelewengan itu lantaran kelalaian atau pengingkaranterhadap Hari Kiamat atau Hari Pembalasan.
Berangkat dari ayat-ayat Al-Qur’an, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besar sabda para nabi dan dialog mereka dengan masing-masing umatnya berkisar pada prinsip Ma’ad. Bahkan dapat dikatakan bahwa usaha yang mereka lakukan untuk membuktikan Ma'ad lebih banyak dibandingkan dengan usaha yang mereka kerahkan untuk masalah Tauhid, karena mayoritas manusia mengambil sikap ragu atau menolak terhadap prinsip ini.
Adapun faktor penolakan mereka terhadap Ma’ad dan Tauhid dapat disimpulkan pada dua hal:pertama, faktor umum yang telah mendarah-daging pada diri mereka dalam mengingkari setiap perkara yang gaib dan non-materi.
Kedua, faktor khusus terhadap masalah Ma’ad, yakni ada keinginan untuk mencari-cari alasan dan keinginan bebas dari tanggung jawab. Karena, sebagaimana yang telah kami jelaskan, keyakinan terhadap Hari Kiamat dan hisab (perhitungan) merupakan penopang yang kuat untuk menanamkan rasa tanggung jawab, dan pendorong yang besar untuk menerima ketentuan-ketentuan dalam berbuat, mencegah kezaliman, merampas hak orang lain, berbuat kerusakan dan maksiat. Dan pengingkaran Ma’ad akan membuka jalan untuk melakukan kesewenang-wenangan, tunduk pada hawa nafsu, egoisme, dan berbagai macam penyelewengan. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan menghimpun tulang belulangnya? Tidak, sesungguhnya Kami mampu untuk menciptakan jari-jemarinya, akan tetapi manusia akan selalu ingin berbuat jahat di hadapan-Nya.” (Qs.Al-Qiyamah: 3-5)
Dari ayat ini kita dapat melihat sikap dan kondisi jiwa orang-orang yang tidak mau mengakui Ma’ad dengan pengertian yang sebenarnya. Mereka berusaha mengartikan kebangkitan, Hari Akhirat dan ungkapan-ungkapan qur’anik tentang Ma’ad—dalam ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan mereka—berdasarkan fenomena duniawi, misalnya membangkitkan bangsa-bangsa, mendirikan masyarakat tanpa mengenal kelas, membangun surga dunia, atau mereka menafsirkan alam akhirat dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya dengan nilai moral yang semu.
Al-Qur’an menganggap orang-orang seperti itu sebagai setan-setan manusia dan musuh-musuh para nabi, karena mereka berusaha mengkaburkan pemikiran dan menipu hati-hati manusia melalui ucapan mereka yang menipu dan menghancurkan. Mereka juga menjauhkan umat manusia dari keimanan yang lurus dan komitmen terhadap hukum dan ajaran Ilahi. Allah SWT berfirman, “Demikianlah telah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang memikat tuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan agar hati kecil oran-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang setan-setan kerjakan.” (Qs. Al-An’am:12-13)
Kesimpulan
Agar manusia dapat memilih jalan yang membawanya kepada kebahagiaan yang hakiki dan puncak kesempurnaan di dalam hidupnya, semestinya ia berpikir: apakah kehidupan dunia ini berakhir dengan kematian? Apakah terdapat kehidupan lain setelah kehidupan ini? Apakah perpindahan dari alam ini ke alam yang lain tak ubahnya dengan perpindahan dari satu kota ke kota lain, dimana ia dapat menyiapkan perbekalan hidupnya di kota pertama? Ataukah kehidupan ini hanyalah awal dan lahan guna memperoleh kebahagiaan ataupun penderitaan di alam lain, sehingga ia harus mempersiapkan bekal dan berbakti di dunia ini untuk memperoleh hasil akhir di alam itu? Seseorang yang tidak dapat menjawab masalah ini tidak akan dapat mengenal jalan, menentukan cara hidupnya dengan baik, karena jika ia tidak mengenal tujuan perjalanannnya, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang akan menyampaikannya.
Akhirnya, kami menekankan kemungkinan adanya kehidupan akhirat, walaupun asumsi ini lemah sekali. Kemungkinan ini sendiri sudah memadai untuk mendorong manusia yang berakal dan sadar guna mengkaji kehidupan akhirat tersebut, karena kualitas kemungkinan tersebut tidaklah terbatas (baca: keabadian).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara orang yang meyakini Ma’ad dan orang yang tidak meyakininya dalam pengaruhnya pada berbagai aktifitas hidupnya!
2. Kapankah keyakinan terhadap alam akhirat itu akan memberikan pengaruh yang besar dalam mewujudkan kehidupan yang mulia?
3. Jelaskan perhatian Al-Qur’an terhadap masalah Ma’ad!
4. Jelaskan faktor-faktor pengingkaran sebagian orang terhadap masalah Ma’ad!
5. Sebutkan contoh sebagian orang yang berusaha memalingkan manusia dari keyakinan terhadap Ma’ad, serta sikap Al-Qur’an terhadap usaha mereka itu!
6. Jelaskan pentingnya membahas Ma’ad dan keutama-annya daripada masalah-masalah duniawi!

[1] Lihat surah Al-Baqarah: 4, Luqman: 4, dan An-Naml: 3.




                        2 - Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh

Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh
Standar Kesatuan pada Makhluk Hidup
Tubuh manusia itu tersusun dari sekelompok sel-sel sebagaimana pada seluruh hewan. Dan setiap sel senantiasa berubah dan berganti. Misalnya, jumlah sel itu tidak tetap sejak seseorang itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Kita tidak akan menemukan manusia yang unsur-unsur tubuhnya tidak mengalami perubahan sepanjang hidupnya, atau jumlah sel yang berada dalam tubuhnya itu tetap utuh.
Perubahan dan pergantian pada tubuh manusia, dan hewan pada umumnya, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya standar untuk menilai kelompok yang berubah-ubah ini sebagai wujud yang satu (wahid)? Sebab, kita amati bahwa bagian-bagiannya itu dapat berubah-ubah dan berganti sepanjang hidupnya lebih dari satu kali.
Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah bahwa standar kesatuan pada setiap mahluk hidup ialah adanya hubungan bagian-bagian itu dalam satu masa atau pada masa yang berbeda-beda. Walaupun sel-sel itu mengalami kematian secara berangsur lalu digantikan oleh sel-sel baru, akan tetapi mengingat adanya hubungan antara satu sel dengan sel lainnya, dapat dikatakan bahwa kelompok yang non-permanen itu sebenarnya realitas yang satu.
Jawaban ini tidaklah memuaskan, karena kalau kita berasumsi akan adanya satu bangunan yang tersusun dari sekelompok batu-batu, lalu batu-batu ini mengalami perubahan secara berangsur sehingga tidak tersisa lagi wujud batu-batu yang terdahulu lantaran posisinya digantikan oleh batu-batu yang baru, dalam asumsi ini kita sulit menganggap sekelompok batu yang baru ini adalah bangunan yang awal itu. Perumpamaan material ini dibawakan sebagai pendekatan dalam persoalan ini, khususnya bagi orang yang tidak mengetahui adanya perubahan dan pergantian pada bagian-bagian kelompok tersebut.
Jawaban itu dapat disempurnakan sebagai berikut: bahwa perubahan yang terjadi secara gradual itu tidaklah mengganggu kesatuan kelompok tersebut pada bentuknya yang baru, karena adanya faktor alami dan internal, sebagaimana hal ini dapat kita amati pada makhluk-makhluk hidup. Namun, tatkala batu-batu bangunan itu berubah dan berganti akibat faktor-faktor eksternal dan internal, kita tidak dapat menisbahkan kesatuan yang hakiki kepadanya sepanjang adanya bagian-bagian yang senantiasa berganti dan berubah pada mahluk-mahluk hidup karena faktor alami.
Jawaban ini didasari oleh pengakuan terhadap adanya satu faktor alami yang senantiasa utuh sepanjang fase-fase perubahan, dan ia pula yang menjaga keutuhan antarbagian-bagian yang membentuk tubuh. Dari sinilah timbul satu pertanyaan mengenai faktor itu sendiri: Apakah faktor itu? Apakah standar kesatuan pada dirinya?
Menurut sebuah teori populer filsafat, standar kesatuan pada setiap realitas adalah hakikat yang sederhana (tak tersusun) dan non-indrawi yang dinamakan dengan thabi’ah atau forma (shuroh), yang tidak mengalami perubahan meski maddah (materi)-nya berubah-ubah. Hakikat permanen ini dinamakan dengan ruh (nafs), khususnya pada makhluk hidup yang melakukan berbagai aktifitas hidup seperti: makan, tumbuh dan berkembang.
Para filsuf klasik menganggap bahwa ruh yang ada pada tumbuhan dan hewan itu bersifat materi (maddi). Adapun ruh yang ada pada manusia adalah non-materi (mujarrad). Namun, kebanyakan filsuf Islam, seperti Sadrul Muta’allihin Syirazi (Mulla Sadra) dan selainnya menganggap bahwa ruh hewan (nafs hayawani) itu juga memiliki sederajat kenonmaterian, dan bahwa ihwal merasa dan berkehendak itu merupakan kemestian dan ciri khas wujud nonmateri.
Sementara itu, kaum materialis yang membatasi wujud ini hanya pada materi dan sifat-sifat khasnya, mengingkari adanya ruh yang bersifat non-materi. Tipe pembaharu dari Materialisme, seperti Positivisme, mengingkari segala sesuatu yang tak dapat diindera. Mereka percaya bahwa sesuatu yang tidak dapat diindera itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, mereka tidak menerima keberadaan forma yang abstrak (non-materi) itu. Dengan demikian, mereka pada dasarnya tidak menawarkan solusi yang tuntas dalam menentukan standar kesatuan pada makhluk hidup.
Dengan kata lain, standar kesatuan pada tumbuhan adalah forma atau ruh tumbuh (nafs nabati).Maka itu, kehidupan tumbuhan tergantung pada keberadaan ruh tumbuh yang terdapat khusus pada materi-materi yang memiliki potensi. Ketika potensi itu sirna dari meteri-materi tersebut, ruh tumbuh itu pun menjadi sirna. Lalu, apabila kita mengasumsikan adanya potensi pada materi-materi tersebut untuk menerima kembali ruh tumbuh, maka ruh ini akan dicurahkan kepada mereka. Namun berdasarkan pandangan ini, tidak akan ada kesatuan hakiki antara tumbuhan yang lama dengan tumbuhan yang baru, walaupun terdapat kemiripan di antara keduanya itu. Yakni, bila dicermati secara teliti, kita tidak akan menganggap lagi bahwa tumbuhan yang baru ini adalah tumbuhan yang lama itu.
Adapun pada hewan dan manusia, mengingat ruh mereka adalah non-materiruh tersebut bisa tetap utuh meskipun tubuh mereka telah hancur lebur. Dan ketika ruh itu berhubungan kembali dengan tubuh, ia akan menjaga kesatuan seseorang, sebagaimana hal itu demikian sebelum kematiannya, yaitu bahwa kesatuan ruh merupakan standar kesatuan seseorang. Adapun pergantian materi tubuh tidak menyebabkan keberbilangan (katsroh) dirinya.
Lain halnya orang itu berkeyakinan bahwa wujud hewan dan manusia itu terbatas pada tubuh yang materi dengan sifat-sifat khasnya dan menganggap bahwa ruh itu merupakan ciri khas tubuh, bahkan sekalipun ia menganggap bahwa ruh itu merupakan bentuk yang tidak bisa diindera akan tetapi ia adalah materi yang akan sirna ketika anggota tubuh itu hancur luluh, orang seperti ini tidak akan mempunyai pengertian yang tepat tentang Ma’ad. Karena jika diasumsikan bahwa tubuh itu memperoleh potensi barunya untuk hidup, akan tampak adanya ciri-ciri khas dan sifat-sifat yang baru pula. Atas dasar ini, ia tidak mungkin menjadi standar yang hakiki bagi kesatuannya, karena ciri-ciri khusus yang terdahulu—berdasarkan asumsi itu—akan sirna sama sekali ketika ciri-ciri khas yang baru telah muncul.
Alhasil, kita dapat menggambarkan kehidupan setelah kematian dengan benar jika kita menganggap bahwa ruh itu bukanlah tubuh dan tidak memiliki ciri-ciri serta sifat-sifat tubuh. Lebih dari itu, kita mesti tidak menganggap bahwa ruh itu adalah bentuk material yang menempati tubuh dan ia akan sirna ketika tubuh itu hancur.
Oleh karena itu pertama, kita harus mengakui adanya ruh. Kedua, kita harus percaya bahwa ruh itu merupakan hakikat yang substansial; bukan sifat-sifat tubuh. Ketiga, kita harus meyakini bahwa ruh itu mandiri dan tetap utuh meskipun tubuh telah hancur luluh. Ia tidaklah seperti forma-forma tercetak pada materi, yang akan sirna ketika tubuh itu hancur luluh.
Ihwal Ruh pada Wujud Manusia
Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan raga tidak seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat-sifat susunannya. Sementara ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanu-siaan manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.
Hal ini telah disinggung oleh Al-Qur’an tatkala menjawab para pengingkar Ma’ad yang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin manusia itu mendapatkan kehidupannya yang baru setelah organ tubuhnya itu hancur luluh?
"Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaiakat maut yang diwakilkan oleh Allah untuk tugas itu." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, hakikat setiap manusia itu didasari oleh sesuatu yang dicabut oleh Malaikat Maut, yakni ruh, bukan bagian-bagian tubuhnya yang telah hancur di dalam bumi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Dapatkah kita menganggap adanya hubungan bagian-bagian yang berubah pada satu kelompok sebagai standar kesatuannya dan mengapa?
2. Apakah standar lain yang dapat diasumsikan bagi adanya kesatuan pada susunan tubuh?
3. Apakah teori populer filsafat mengenai kesatuan wujud yang tersusun, khususnya makhluk hidup?
4. Apakah perbedaan antara forma natural dan ruh?
5. Apakah perbedaan antara ruh tumbuhan dan ruh hewani dan ruh insani? Dan apakah pengaruh perbedaan tersebut terhadap masalah Ma’ad?
6. Apakah dasar-dasar yang diperlukan untuk dapat memberikan pengertian yang tepat mengenai Ma’ad?
7. Apakah perbedaan antara susunan manusia yang terdiri dari ruh dan raga dengan susunan kimiawi?




3 - Kenonmaterian Ruh

Kenonmaterian Ruh
Pelajaran yang lalu telah menerangkan bahwa masalah Ma'ad itu berkaitan erat dengan masalah ruh. Artinya, seseorang yang dihidupkan setelah kematian adalah pribadinya itu sendiri yang hidup sebelumnya. Ini menjadi mungkin bila ruhnya tetap ada, meskipun tubuhnya telah hancur. Dengan kata lain, setiap manusia itu memiliki substansi (jauhar) yang nonmateri dan mandiri dari tubuhnya, dimana hakikat kemanusiaannya terkait erat dengannya. Jika tidak demikian, asumsi kehidupan yang baru bagi seseorang tidaklah logis. Karenanya, sebelum kami membahas Ma’ad, kita harus mengkaji masalah ruh itu yang akan diupayakan dalam pelajaran ini. Untuk hal ini, ada dua dalil yang bisa diajukan; dalil akal dan dalil wahyu.
Dalil Akal
Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam Filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Bahkan, mereka menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi—dengan sekian banyak dalil—pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden ('aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas dan padu.
Pembahasan ini menyinggung sebagian dalil-dalil akal yang akan kami mulai dari premis-premis berikut ini:
Kita menyaksikan warna kulit dan bentuk tubuh kita dengan mata kepala kita sendiri. kitapun dapat merasakan kasar-lembutnya bagian-bagian tubuh kita dengan indra sentuhan, dan kita tidak dapat mengetahui bagian dalam tubuh kita kecuali secara tidak langsung. Namun begitu, kita dapat mengetahui rasa kuatir, cinta, benci, kehendak, dan pikiran kita tanpa melalui indra. Begitu pula, kita dapat mengenal "aku" kita yang memiliki perasaan-perasaan dan berbagai keadaan tersebut tanpa menggunakan indra. Jadi, manusia itu memiliki dua macam pengetahuan; pengetahuan melalui indra dan pengetahuan tak melalui indra.
Premis lainnya ialah terjadinya kekeliruan-kekeliruan pada pengetahuan melalui indra. Maka itu, juga sangat mungkin terjadi kekeliruan pada pengetahuan macam pertama. Berbeda dengan pengetahuan macam kedua, yang tidak mengalami kekeliruan keraguan. Seseorang bisa ragu terhadap warna kulitnya; apakah senyatanya memang demikian apa yang ia lihat. Akan tetapi, ia tidak akan ragu; apakah ia itu berpikir atau tidak, menghendaki sesuatu atau tidak, dan merasa ragu atau tidak.
Premis ini dinyatakan sebagai berikut: bahwa pengetahuan hudhuri[1] itu bersentuhan langsung dengan hakikat wujud objeknya. Oleh karena itu, ia tidak mengalami kesalahan. Adapun ilmu hushuli,lantaran diperoleh melalui gambaran perseptual di benak, ia pada dasarnya bisa mengalami keraguan dan kesalahan.
Artinya, kebanyakan pengetahuan pasti manusia adalah pengetahuan hudhuri dan syuhudi, termasuk di dalamnya ialah pengetahuan kita akan jiwa (nafs)perasaan, emosi dan keadaan-keadaan jiwa lainnya. Oleh karena itu, "aku" yang mengetahui, berfikir, dan berkehendak tidak akan mengalami keraguan sedikit pun, sebagaimana keadaan atau rasa takut, cinta, benci, berfikir, dan berkehendak tidak dapat diragukan faktanya.
Dari uraian tersebut timbul satu pertanyaan: Apakah "aku" ini adalah tubuh fisikal yang terindra itu? Apakah keadaan-keadaan jiwa berlaku sebagai aksiden (aradh) bagi tubuh? Ataukah hakikatnya berbeda dengan realitas tubuh sekalipun, walaupun "aku" memiliki hubungan yang erat dengan tubuh, dimana "aku" ini banyak melakukan berbagai aktifitas melalui tubuh, dan sebagaimana ia mempengaruhi tubuh, ia pun dapat dipengaruhi olehnya?
Jadi, perdasarkan premis di atas ini, jawaban atas pertanyaan itu dapat dirumuskan secara lebih mudah. Pertama, kita mengetahui "aku" masing-masing secara hudhuri. Adapun tubuh kita ini diketahui melalui bantuan indra. Dengan demikian, "aku" (nafs atau ruh) bukanlah tubuh.
Kedua, "aku" adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Kesatuan dan identitasnya dapat diketahui melalui pengetahuan hudhuri yang tidak akan bisa keliru. Adapun bagian-bagian tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan hakikatnya di antara bagian-bagiannya yang terdahulu dan yang baru.
Ketiga, sesunguhnya "aku" ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dipecah. Misalnya, kita tidak dapat memecah "aku" menjadi dua bagian. Ini berbeda dengan anggota tubuh yang berbilang dan dapat dipecah.
Keempat, mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang nonmateri itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi (tubuh). Oleh karena itu, subyek hal-hal nonmateri itu adalah substansi (jauhar) yang nonmateri (mujarrad).[2]
Di antara dalil-dalil yang dapat meyakinkan seseorang terhadap keberadaan, kemandirian, keutuhan ruh setelah kematiannya, adalah mimpi benar. Sebagian orang yang telah meninggal dapat memberikan sebagian informasi yang benar kepada orang yang sedang tidur. Dalil lainnya ialah cara menghadirkan ruh yang diiringi dengan bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan.
Demikian pula, kita dapat membuktikan kenonmaterian ruh itu melalui karomah-karomah para wali Allah, bahkan bisa juga dengan sebagian perbuatan petapa, yogi dan semacamnya. Tentunya, studi mengenai masalah ini memerlukan buku tersendiri.
Dalil Wahyu
Al-Qur’an memandang bahwa ruh manusia itu ada.Pandangan qur’anik ini tidak mungkin dapat diragukan. Ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah SWT lantaran begitu mulia dan agungnya. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia, Al-Qur’an menyatakan, “Dan ia meniupkan ke dalamnya dari ruh-Nya.” (QS. As-Sajdah: 9)
Hal ini tidaklah berarti—wal'iyadzu billah—bahwa ada sesuatu yang terpisah dari dzat Allah lalu berpindah ke dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai penciptaan Adam, Allah berfirman, “Dan aku tiupkan ke dalamnya dari ruh-Ku." (QS. Al-Hijir: 29, Ash-Shad: 72)
Begitu pula, dari bebarapa ayat lainnya kita dapat memahami bahwa ruh itu bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan sesunguhnya ruh itu—tanpa raga—memiliki potensi untuk tetap kekal. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Qur’an berdasarkan ucapan orang-orang kafir, "Apakah kalau kami sesat di muka bumi ini kami akan diciptakan kembali?" (QS. As-Sajdah: 10)
Yakni, manakala bagian-bagian tubuh kami melebur di dalam tanah. Al-Qur’an menjawab,"Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diberikan tugas untuk itu pada kalian kemuian setelah itu kalian dikembalikan pada Tuhan kalian." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh Malaikat Maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah.
Di tempat lain, Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa seseorang ketika matinya dan memegang jiwa seseorang yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Ia menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sa-mpai pada waktu yang ditentukan." (QS. Az-Zumar: 42)
Sehubungan dengan kematian orang-orang yang zalim, Allah SWT berfirman, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu.'" (QS. Al-An’am: 93)
Dari ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain, kita dapat memahami bahwa jiwa setiap manusia itu identik dengan suatu hakikat yang dicabut oleh Malaikat Maut atau malaikat-malaikat yang diberikan kekuasaan untuk mencabut ruh, dan ketiadaan tubuh itu tidak ada pengaruhnya terhadap kekalnya ruh dan satunya jiwa manusia.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas adalah:
Pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh.
Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya. Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya. Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah definisi pengetahuan hudhuri dan hushuli dan jelaskan perbedaan antara keduanya?
2. Jelaskan dalil-dalil akal atas kenonmaterian ruh!
3. Apakah cara-cara lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kenonmaterian ruh?
4. Sebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini!
5. Apakah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari ayat-ayat tersebut?

[1] Mengenai hudhuri dan hushuli, bisa dirujuk ke Pelajaran 5—peny.
[2] M.T.Misbah Yazdi, Omuzesye Falsafeh, Jilid 2, Pelajaran 44 & 49.




4 - Pembuktian atas Ma'ad

Pembuktian atas Ma'ad
Mukaddimah
Telah kami singgung di awal-awal buku ini, bahwa keyakinan terhadap Ma’ad dan dihidupkannya kembali seluruh manusia di alam akhirat merupakan salah satu prinsip-prinsip akidah yang paling penting di dalam seluruh agama samawi.
Para nabi senantiasa menekankan pentingnya Ma'ad dan mereka banyak menanggung berbagai kesusahan dan tantangan dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan prinsip tersebut di dalam jiwa umat manusia. Al-Qur’an menganggap bahwa keyakinan terhadap Ma’ad sama dengan keyakinan terhadap Tauhid. Kitab suci ini menggunakan lebih dari dua puluh ayat sehubungan dengan dua kata;Allah dan Hari Akhir yang disebut secara berdampingan.
Di samping itu, Al-Qur’an berbicara tentang berbagai keadaan akhirat lebih dari dua ribu ayat di dalam berbagai surat. Dan di awal pembahasan Ma'ad ini kami telah menunjukkan pentingnya membahas "Akhir Perjalanan Hidup". Kami juga telah menjelaskan bahwa pemahaman yang benar mengenai Ma'ad terkait pada pengenalan terhadap ruh yang merupakan standar hakikat setiap manusia; hakikat yang kekal pascakematian dan setelah hancurnya tubuh. Sehingga dapat dikatakan, bahwa seseorang yang telah mati di dunia ini adalah ia itu sendiri yang akan dibangkitkan dan hidup kembali di alam akhirat kelak.
Begitu pula, kami telah membahas pembuktian adanya ruh melalui akal dan wahyu. Semua itu diusahakan demi memudahkan pengkajian kita terhadap masalah yang prinsipal mengenai kehidupan abadi manusia. Kini, tiba saatnya untuk membahas pembuktian prinsip akidah ketiga ini, yaitu Ma'ad.
Sebagaimana masalah ruh itu telah dituntaskan melalui pembuktian akal dan wahyu, masalah Ma’ad ini pun bisa dibuktikan melalui dua jalan yang sama. Di sini, kami hanya akan memaparkan dua dalil akal atas pentingnya Ma’ad. Setelah itu, kami segera memaparkan sebagian ayat Al-Qur’an yang menyinggung kemungkinan terjadinya Ma’ad dan nilai pentingnya.
Dalil Hikmah
Telah kami jelaskan pada bagian pertama dari buku ini, yaitu ketika membahas prinsip Tauhid, bahwa penciptaan manusia tidaklah sia-sia, bahwa manusia diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebab, cinta Allah akan kebaikan dan kesempurnaan, sebagai sifat dzatiyah-Nya, secara dasar dan lang-sung berkaitan dengan dzat-Nya sendiri, dan secara tidak langsung berkaitan dengan kesan-kesannya yang memiliki tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan. Maka, diciptakanlah alam semesta ini yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin.
Atas dasar ini, kita membuktikan adanya sifat hikmah pada Allah; yang meniscayakan agar setiap makhluk dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan yang semestinya. Akan tetapi, mengingat begitu banyak dan luasnya benturan di alam materi ini, dimana kebaikan dan kesempurnaan setiap makhluk di dalamnya saling berbenturan, maka pengaturan Ilahi Yang Mahabijak melazimkan tertatanya semua makhluk sedemikian rupa sehingga muncullah kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin dari mereka.
Dengan ungkapan lain, alam materi ini memiliki tatanan yang baik dan sempurna. Maka itu, tertatalah berbagai unsur, kuantitas, kualitas, interaksi dan gerakan-gerakannya sebegitu rupa sehingga lahan dan kondisi yang memadai untuk penciptaan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Lalu pada gilirannya, akan tersedia pula lahan yang sesuai untuk penciptaan manusia, yang merupakan makhluk yang paling sempurna di alam materi ini.
Namun, jika penciptaan alam materi ini terjadi dalam bentuk yang tidak memungkinkan terciptanya makhluk-makhluk hidup, atau tidak memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan mereka, tentu hal itu bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah.
Perlu kami tambahkan di sini, bahwa manusia itu memiliki ruh yang mempunyai potensi untuk kekal dan dapat mencapai kesempurnaannya yang abadi, yaitu kesempurnan yang tidak dapat dibandingkan dengan kesempurnaan materi dilihat dari sisi derajat dan nilai eksistensialnya. Bahkan, kesempurnaan manusia itu jauh mengungguli kesempurnaan materi.
Apabila diasumsikan bahwa kehidupan manusia itu hanya terbatas pada kehidupan dunia ini saja, ini sama sekali tidak sesuai dengan Hikmah Ilahiyah, apalagi jika kita perhatikan sebegitu banyak dan beragamnya bencana, kesudahan dan kelelahan hidup di dunia ini. Galibnya, seseorang tidak dapat meraih kesenangan tanpa bersusah payah terlebih dahulu. Dan para ahli menyimpulkan bahwa usaha mencapai kesenangan yang sedikit itu tidaklah sebanding dengan kelelahan dan kesudahan yang ditanggung oleh pelakunya. Dari sinilah justru timbul Nihilisme, bahkan sebagian umat manusia memilih bunuh diri, walaupun secara fitriyah mereka memiliki keinginan kuat untuk tetap hidup.
Jelas, jika kehidupan manusia itu didefinisikan sedemikian di atas, ia senantiasa mengalami kelelahan dan selalu berusaha mengatasi berbagai problem alam dan sosial untuk kemudian ia mendapatkan kesenangan dalam beberapa saat. Setelah itu, ia merebah dan tidur akibat dari kelelahannya itu. Setelah menjalani istirahat beberapa saat, ia bangun untuk kembali berhadapan dengan berbagai problem dan kesusahan. Ketika itu, ia mengerahkan seluruh tenaganya demi memperoleh sesuap nasi, kemudian ia merasakan nikmatnya santapan barang beberapa saat, setelah itu tidak ada lagi.
Rutinitas kehidupan yang melelahkan dan menjenuhkan semacam ini tidak diinginkan oleh manusia waras. Ia tidak ingin untuk memilihnya. Kehidupan semacam ini dapat diumpamakan secara lebih dekat dengan keadaan seorang supir yang mengendarai mobilnya menuju pom bensin untuk mengisi bahan bakar, setelah itu ia menjalankan mobilnya, menempuh rute-rute, dan begitulah seterusnya, sampai mobil itu uzur dan tidak lagi berfungsi, atau bertabrakan dengan kendaraan lain, atau menabrak sesuatu dan hancur.
Tak syak lagi, ingin kekal merupakan fitrah setiap manusia yang diletakkan oleh Pencipta Yang Mahabijak di dalam wujudnya. Ingin kekal itu merupakan kekuatan penggerak menuju keabadian, dan senantiasa mendorong seseorang untuk berada di atas geraknya.
Apabila kita mengasumsikan bahwa gerak perjalanan ini dan akhir aktifitasnya akan berbenturan dengan batu yang besar kemudian hancur luluh, lalu bagaimana mungkin penciptaan kekuatan penggerak seperti ini di dalam diri manusia akan sesuai dengan akhir perjalanan dan tujuannya?
Oleh karena itu, adanya kecenderungan fitriyah semacam itu, yakni ingin kekal, hanya akan sesuai dengan Hikmah Ilahiyah bila terdapat kehidupan yang lain yang bersifat abadi, bukan kehidupan alam materi ini yang diakhiri dengan kematian dan kebinasaan.
Kesimpulan
Dengan menggabungkan dua premis tersebut, yaitu Hikmah Ilahiyah dan kemungkinan adanya kehidupan abadi bagi manusia, kita sampai pada kesimpulan; bahwa seniscayanya ada kehidupan yang lain bagi manusia di balik kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini, sehingga tidak terdapat kehidupannya tidak menyimpang dari Hikmah Ilahiyah.
Kecenderungan fitrah untuk hidup kekal dan abadi tersebut dapat dianggap sebagai premis lain, yang juga dapat digabungkan dengan Hikmah Ilahiyah, sehingga kita akan dapat merumuskan dalil lain atas keniscayaan Ma'ad ini.
Dari uraian di atas juga jelas bahwa kehidupan abadi bagi manusia menuntut adanya tatanan yang khas yang tidak sama dengan tatanan kehidupan dunia yang membawa berbagai kelelahan dan kesusahan. Karena jika tidak demikian, berlangsungnya kehidupan dunia dengan berbagai kelelahan dan kesusahannya—meskipun bersifat kekal dan abadi—tidaklah sesuai dengan Hikmah Ilahiyah.
Dalil Keadilan
Di sadari atau tidak, bahwa manusia mempunyai ikhtiar dan kebebasan di alam dunia ini dalam melakukan perbuatan yang baik atau buruk.
Dari satu sisi, kita temukan bagaimana sebagian manusia menghabiskan seluruh usianya dalam ibadah kepada Allah SWT dan berbakti kepada sesamanya. Dan dari sisi lain, kita melihat pula bagaimana sebagian orang yang jahat dan durhaka berani melakukan berbagai kezaliman dan dosa demi mencapai ambisi dan kepentingan busuknya.
Selain itu, tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi ini, dilengkapinya dengan berbagai kecenderungan yang saling berlawanan, dengan kekuatan memilih, kehendak, dan dengan berbagai macam pengetahuan rasional maupun data-data literal, serta dipenuhinya kondisi untuk melakukan berbagai perbuatan dan berada di hadapan dua jalan; kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan keburukan, tujuan diadakannya semua itu ialah sebagai lahan untuk berusaha secara bebas dan menerima berbagai cobaan agar mereka dapat memilih jalan kesempurnaannya berdasarkan kehendak dan usaha masing-masing, sehingga mereka akan memperoleh hasil dari usaha bebas tersebut, baik berupa pahala atau siksa.
Pada dasarnya, kehidupan dunia ini diciptakan untuk manusia sebagai tempat ujian dan lahan pembinaan kepribadian insaninya. Hingga detik-detik akhir hidup di dunia, ia tidak lepas dari ujian, cobaan, tanggung jawab, dan berbagai kewajiban.
Akan tetapi, kita melihat bagaimana orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat tidak memperoleh pahala dan siksa yang sesuai dengan perbuatan mereka di dunia ini. Bahkan kita temukan kebanyakan orang jahat itu lebih banyak mendapatkan kesenangan daripada orang-orang baik. Kita sadari pula bahwa kehidupan dunia ini tidak dapat memenuhi ganjaran ataupun siksa atas orang-orang yang berbuat baik ataupun buruk. Misalnya, seorang penjahat yang telah membunuh ribuan orang yang tidak berdosa, tidak mungkin akan dihukum mati di dunia ini kecuali sekali saja. Dengan begitu, betapa banyak kejahatannya berlangsung tanpa terkena hukuman. Padahal sesuai dengan Keadilan Ilahi, ia seharusnya mendapat balasan yang setimpal atas berbagai perbuatannya.
Dengan demikian, sebagaimana dunia ini adalah tempat ujian dan tugas, semestinya ada alam lain yang merupakan tempat pembalasan dan penampakkan hasil-hasil segenap perbuatan, agar setiap orang menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya, dan agar Keadilan Ilahi terealisasi secara nyata.
Lain dari itu, jelas pula bahwa alam akhirat bukanlah alam untuk memilih jalan dan menjalankan tugas. Insya Allah pada pelajaran berikutnya, kita akan membahas tema ini secara lebih rinci.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan Hikmah Ilahiyah dan hubungannya dengan tata cipta yang sebaik mungkin!
2. Jelasklanh dalil hikmah dengan kedua bentuknya!
3. Apakah yang dapat kita simpulkan dari dalil hikmah, selain dari pembuktikan prinsip Ma'ad?
4. Jelaskan tujuan diciptakannya manusia di dunia ini!
5. Terangkan dalil keadilan!
6. Apakah poin-poin penting yang dapat diambil dari dalil keadilan?




5 - Ma'ad di dalam Al-Qur'an

Ma'ad di dalam Al-Qur'an
Mukaddimah
Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Ma'ad dan sebagai dalil atas para pengingkarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa tidak ada satu dalil pun yang menafikan Ma’ad. Kelompok ini berfungsi sebagai pelucutan senjata para pengingkar.
2. Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya fenomena-fenomena alam yang mirip dengan terjadinya Ma’ad. Kelompok ini menafikan ketakmungkinan Ma'ad.
3. Ayat-ayat menyanggah keraguan-keraguan pengingkar Ma'ad dan membuktikan kemungkinan kejadiannya.
4. Ayat-ayat yang menekankan bahwa Ma'ad merupakan janji Allah yang pasti terjadi. Pada hakikatnya, kelompok ini membuktikan terjadinya Ma'ad melalui informasi pembawa kabar yang jujur.
5. Ayat-ayat yang menunjukkan dalil akal atas pentingnya Ma'ad.
Pada dasarnya ayat-ayat kelompok pertama, kedua dan ketiga itu membahas kemungkinan terjadinya Ma’ad. Sedangkan kelompok keempat dan kelima membahas penting dan pastinya kejadian Ma’ad.
Pengingkaran Buta terhadap Ma'ad
Dalam rangka berdalil, berdialog dan menyanggah para pengikut kepercayaan-kepercayaan yang batil, Al-Qur'an menggunakan beberapa metode. Di antaranya, menuntut mereka agar membawakan argumentasi atas dugaan-dugaan mereka. Dengan cara ini, akan tampak kelemahan dan kerapuhan kepercayaan mereka; kepercayaan yang tidak berdasar pada argumentasi yang logis.
Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an selalu menantang mereka dengan ungkapan "Katakanlah kepada mereka, 'Tunjukkanlah bukti kalian.’"[1]
Al-Qur'an mengatakan bahwa para pengikut kepercayaan batil dan pengingkar Ma'ad itu tidak memiliki keyakinan yang sesuai dengan kenyataan dan tidak berdasar pada argumentasi yang valid. Bahkan, mereka hanya membangun keyakinan di atas dugaan belaka yang bertentangan dengan kenyataan. Allah SWT berfirman, "Dan mereka (para pengingkar Ma'ad) berkata, ‘Sungguh kehidupan itu terbatas hanya di dunia saja, setelah itu kita mati. Dan tidak ada yang membinasakan kita selain ad-dahr [masa].’ Sungguh mereka sama sekali tidak tahu tentang itu, mereka hanya menduga-duga saja.”(QS. Al-Jatsiyah: 24)[2]
Pada beberapa ayat lain[3] terdapat penegasan bahwa para pengingkar Ma'ad itu sama sekali tidak mempunyai dalil dan argumen selain dugaan batil. Sangat mungkin dugaan batil itu akan dapat diterima oleh para penyembah hawa-nafsu selama sesuai dengan nafsu dan kepentingan mereka. Akibat penerimaan demikian itu serta berbagai dosa dan kemungkaran yang mereka lakukan, secara bertahap dugaan itu menjadi keyakinan yang mantap pada diri mereka, bahkan bisa jadi seseorang akan memegangnya begitu kuat.[4]
Al-Qur’an telah menukil perkataan para pengingkar Ma'ad. Kebanyakan mereka menganggap bahwa Ma'ad itu mustahil terjadi. Terkadang Al-Qur’an pun menyinggung keraguan-keraguan lemah mengenai kejadian Ma'ad yang merupakan sebab dari keraguan dan penolakan mereka terhadap kemungkinan Ma’ad.[5] Oleh karena itu, Al-Qur’an menerangkan sebagian fenomena alam yang mirip dengan kejadian Ma’ad untuk mengikis keraguan mereka. Dari sisi lain, Al-Qur’an menjawab keraguan-keraguan yang mereka lontarkan setuntas mungkin sehingga kemungkinan terjadinya Ma'ad dapat dipastikan.
Tidak cukup sampai di situ saja, Al-Qur’an juga menjelaskan dalil-dalil akal atas keniscayaan Ma'ad, di samping adanya janji Ilahi yang bersifat pasti untuk menyempurnakan bukti atas manusia melalui wahyu, sebagaimana akan kita bahas pada pelajaran berikutnya, Insya Allah.
Fenomena Alam yang Mirip dengan Ma'ad
Pertama: Keluarnya Tumbuh-tumbuhan dari Bumi
Dilihat dari sisi bahwa kehidupan itu mendahului kematian, ihwal menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya mirip sekali dengan ihwal keluarnya tumbuh-tumbuhan dari dalam perut bumi setelah kering dan kematiannya.
Setiap manusia waras dan mau menggunakan pikirannya untuk merenungkan fenomena yang sering terjadi di hadapan matanya, sudah cukup mendapatkan pelajaran bahwa kehidupan di alam lain amat mungkin bisa terjadi setelah kematian di dunia ini. Hanya saja, karena begitu kerapnya manusia menyaksikan fenomena semacam ini membuat mereka lalai dan menganggap kejadian itu suatu hal yang biasa. Padahal, kejadian semacam itu tidak jauh berbeda dengan cara menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya dari sisi munculnya kehidupan yang baru di alam lain. Oleh karena itu, untuk mengikis anggapan bahwa kejadia itu merupakan kebiasaan belaka, Al-Qur'an selalu mengingatkan dan memfokuskan perhatian manusia terhadap fenomena itu dan menjelaskan kepada mereka bahwa hal itu mirip dengan terjadinya Hari Kebangkitan. Allah SWT berfirman, "Perhatikanlah tanda-tanda rahmat Allah, bagaimana Dia menghidupkan bumi yang telah mati. Sesungguhnya Dialah yang menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."(QS. Ar-Rum: 50)
Kedua: Tidurnya Ashhabul Kahfi
Setelah memaparkan peristiwa nyata yang amat menakjubkan dan banyak memberikan pelajaran berharga, Al-Qur'an mengingatkan kita, "Dan demikian pula Kami mempertemukan manusia dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya." (QS. Al-Kahfi: 21)
Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa yang sangat menakjubkan ini membawa manfaat besar. Yaitu, ketika sekelompok anak muda yang hatinya dipenuhi iman telah tidur di dalam gua "Kahfi" begitu panjang, yakni selama tiga abad, tepatnya selama 300 tahun Syamsiyah atau 309 tahun Qamariyah. Setelah melewati masa yang begitu lama, mereka bangun dari tidurnya yang nyenyak itu.
Menyimak kisah nyata "sahabat-sahabat Kahfi" ini sangat efektif dalam mengarahkan umat manusia untuk menyadari kemungkinan terjadinya Ma'ad, serta menyingkirkan keraguan-keraguan dari dalam hatinya. Karena, setiap peristiwa tidur—walaupun mirip dengan kematian (tidur adalah saudaranya mati), dan setiap keterjagaannya mirip dengan terjadinya kehidupan setelah kematian—namun dalam kejadian tidur yang wajar sebagaimana kita alami setiap malam, organ-organ tubuh manusia itu tetap bekerja dan aktif. Oleh karena itu pada kejadian tidur-bangun biasa ini, kembalinya ruh ke tubuh setelah tidur bukanlah hal yang menakjubkan bagi umumnya orang. Akan tetapi, tubuh yang tidak pernah diberi makanan selama 300 tahun—menurut perhitungan manusia dan secara natural—pasti akan mengalami pembusukan, kematian dan tidak mungkin layak bagi ruh untuk kembali kepadanya. Hal ini sesuai dengan hukum alam yang berlaku di dunia ini.
Peristiwa yang menakjubkan ini dapat menyadarkan manusia akan hukum lain di balik hukum-hukum alam ini, dan membuat mereka paham bahwa kembalinya ruh ke tubuh tidak mesti terbatas pada terpenuhinya sebab-sebab dan kondisi-kondisi alami yang wajar. Dengan demikian, adanya kehidupan baru di alam lain pasca kematian tak ubahnya dengan peristiwa "Kahfi" tersebut. Artinya, Ma'ad dan Hari Kebangkitan bukanlah sesuatu yang mustahil, bahkan pasti terjadi sesuai dengan janji Allah SWT.
Ketiga: Hidup-kembalinya Hewan
Al-Qur'an juga mengkisahkan hidup kembalinya sebagian binatang dengan cara yang tidak wajar. Antara lain, hidup kembalinya empat ekor burung di tangan Nabi Ibrahim as, seekor binatang tunggangan sebagian nabi, segaimana yang akan kami bawakan kisahnya. Maka, manakala menghidupkan kembali hewan itu mungkin terjadi, tentu menghidupkan kembali manusia bukanlah hal yang mustahil.
Keempat: Hidupnya Kembali SebagianManusia di Dunia
Lebih penting dari seluruhnya ialah kejadian hidupnya kembali seorang manusia di dunia ini. Seperti yang dising-gung oleh Al-Qur'an, yaitu kisah salah seorang nabi Bani Israil. Allah SWT berfirman,"Perhatikanlah kisah seseorang yang melewati suatu negeri yang telah roboh dan hancur. Ketika itu ia berkata, 'Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini yang telah hancur?' Maka dengan serta merta Allah mematikan orang itu selama 100 tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Kepadanya Allah bertanya, 'Sudah berapa lamakah kamu tinggal di sini?' Ia menjawab, 'Aku telah tinggal di sini sehari atau setengah hari saja.' Allah berfirman, 'Sebenarnya kamu tinggal di sini sudah seratus tahun. Lihatlah makanan dan minuman yang masih utuh, dan lihat pula keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Sesungguhnya Kami akan menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami atas manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledaimu itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.' Tatkala semua itu telah nyata baginya, ia pun berkata, "Kini aku betul-betul yakin bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 259)
Pada tempat lain, Allah SWT memaparkan kisah Nabi Musa as bersama sekelompok kaum Bani Israil.
"Dan ingatlah ketika kalian berkata, 'Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.' Karena itulah kalian ditebas halilintar, sedang kalian sendiri menyaksikannya. Setelah itu Kami hidupkan kalian kembali setelah kematian kalian, agar kalian bersyukur kepada Kami." (QS. Al-Baqarah: 55-56)
Begitu juga cara menghidupkan kembali seorang Bani Israil di zaman Nabi Musa as melalui salah satu bagian tubuh sapi yang disembelih. Kisah ini terdapat di surat Al-Baqarah. Penamaan surat ini dengan nama itu juga lantaran kisah ini. Di akhir kisah, Allah SWT berfirman, "Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kalian akan tanda-tanda kekuasaan-Nya supaya kalian mengerti." (QS. Al-Baqarah: 72-73)
Demikian pula menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati melalui mukjizat Nabi Isa as. Contoh-contoh di atas ini dapat diangkat sebagai bukti atas kemungkinan terjadinya Ma'ad.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan metode Al-Qur’an dalam menghadapi para pengingkar Ma’ad!
2. Apakah titik kesamaan antara keluarnya tumbuh-tumbuhan dari perut bumi dengan menghidupkan kembali manusia pada Hari Kiamat? Sebutkan pandangan Al-Qur’an mengenai masalah ini!
3. Apakah kesimpulan yang dapat diambil dari kisah Ashhabul Kahfi sehubungan dengan masalah Ma’ad?
4. Ceritakan kisah hidup kembalinya burung di tangan Ibrahim as dan jelaskan hubungannya dengan Ma'ad!
5. Sebutkan orang-orang yang—di dalam Al-Qur’an—telah hidup kembali!

[1] Lihat surah Al-Baqarah: 111, Al-Anbiya': 24, dan An-Naml: 64.
[2] Rujuk surah Al-Mu'minun: 117, An-Nisa': 157, Al-An'am: 100, 119, 148, Al-Kahfi: 5, Al-Hajj,: 3, 8,71, Al-‘Ankabut: 8, Ar-Rum: 29, Luqman: 20, Al-Ghafir: 42, Az-Zukhruf: 20, dan An-Najm: 28.
[3] Lihat surah Al-Qashash: 39, Al-Kahfi: 36, Shad: 27, Al-Jatsiyah: 32, dan Al-Insyiqaq: 14.
[4] Lihat surah Al-Rum: 10, Al-Muthaffifin: 10-14, dan An-Nahl: 38.
[5] Lihat surah Al-Isra’: 51, Ash-Shaffat: 16,53, Ad-Dukhan: 34–36, Al-Ahqaf: 18, Qaf: 3, Al-Waqi’ah: 47-48, Al-Muthaffifin: 12-13, dan An-Nazi’at: 10-11.




6 - Jawaban Al-Qur'an Terhadap Pengingkar Ma'ad

Jawaban Al-Qur'an Terhadap Pengingkar Ma'ad
Dari bebarapa dialog dan kritik Al-Qur’an terhadap para pengingkar Ma'ad, dan dari metode jawabannya terhadap dugaan-dugaan mereka, tampak sejumlah keraguan di dalam benak mereka. Berikut ini akan kami paparkan keraguan-keraguan tersebut berikut jawaban-jawabannya.
1. Keraguan Mengembalikan yang Telah Tiada
Telah kami singgung bahwa Al-Qur’an telah memberikan jawaban kepada orang-orang yang menyatakan bahwa bagaimana manusia itu dapat dihidupkan kembali setelah tubuhnya hancur luluh. Inti jawaban Al-Qur’an yaitu bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, bukan karena anggota tubuh manusia yang beserpihan di dalam tanah.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa motif utama orang-orang kafir dalam mengingkari Ma'ad ialah keraguan yang dalam Filsafat dikenal sebagai "Kemustahilan Mengembalikan yang telah Tiada" (Istihalatu i'adatil ma'dum). Yakni, mereka meyakini bahwa manusia itu adalah tubuh materi ini yang akan hancur setelah kematiannya. Dan jika ia dihidupkan kembali setelah kematian, ini berarti ia adalah manusia yang lain. Maka itu, mengembalikan yang telah tiada merupakan perkara yang mustahil, yang pada dasarnya dan secara substansial tidak akan terjadi.
Jawaban Al-Qur’an atas keraguan ini juga cukup jelas, bahwa hakikat setiap manusia adalah ruhnya. Artinya, Ma'ad itu bukanlah mengembalikan yang telah tiada, akan tetapi kembalinya ruh yang sudah ada.
2. Keraguan Ketakmungkinan Tubuh Dihidupkan Kembali
Keraguan pertama itu berkaitan dengan Ma’ad dari sisi kemungkinan terjadinya secara substansial. Adapun keraguan kedua ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya secara nyata. Artinya, sekalipun kembalinya ruh ke tubuh tidak mustahil secara logis dan asumsi kemungkinannya tidak melazimakan kontradiksi, namun kembalinya ruh tersebut secara aktual (bil fi’li) dan kejadian konkretnya tergantung pada potensi tubuh.
Kita melihat bahwa adanya kehidupan itu tergantung kepada syarat-syarat tertentu yang mesti terpenuhi secara bertahap. Misalnya, sperma itu harus menetap di dalam rahim dan keharusan terpenuhinya syarat-syarat yang memadai pertumbuhan dan perkembangannya agar ia menjadi janin yang sempurna secara berangsur sampai menjadi bentuk manusia. Akan tetapi, tubuh yang telah hancur luluh akan kehilangan potensinya untuk hidup kembali.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa sistem kehidupan di dunia ini bukanlah satu-satunya sistem yang mungkin. Dan syarat-syarat yang kita ketahui melalui eksperimen bukanlah sebab-sebab yang terbatas (hanya itu saja). Buktinya adalah kejadian sebagian fenomena yang luar biasa di dalam kehidupan ini, seperti menghidupkan sebagian binatang atau manusia. Jawaban seperti ini dapat dirujuk ke beberapa fenomena luar biasa yang tersebut di dalam Al-Qur’an.
3. Keraguan terhadap Kemampuan Pelaku
Keraguan ketiga ialah bahwa di samping adanya kemungkinan secara substansial (imkan dzati) dan potensi objek (qobil), kemampuan pelaku merupakan syarat terjadinya setiap fenomena. Masalahnya, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Allah SWT itu memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati?
Keraguan lemah ini biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memahami kekuasaan Allah yang nirbatas. Jawabannya adalah bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas dan berurusan dengan segala sesuatu yang mungkin (secara substansial) terjadi, sebagaimana kita perhatikan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta yang mahaluas dan begitu mengagumkan ini. Allah SWT berfirman,“Apakah mereka tidak melihat sesungguhnya Allah—yang telah menciptakan langit dan bumi dan tidak merasa lelah dengan menciptakan itu semua—Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati. Ketahuilah sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QSAl-Ahqaf: 33)
Di samping itu, menciptakan sesuatu yang baru tidak lebih sulit dibandingkan menciptakannya pertama kali, dan tidak membutuhkan kemampuan dan kekuasaan yang lebih besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa menciptakan untuk yang kedua itu lebih mudah, karena Ma'ad hanyalah mengembalikan ruh yang telah ada. Allah SWT berfirman, “Mereka berkata siapakah yang akan mengembalikan kami?” Katakanlah, 'Ialah yang telah menciptakan kalian pertama kali. Kemudian mereka akan menundukkan kepalanya di hadapanmu.’” (QS. Al-Isra’: 51)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dialah yang memulai penciptaan kemudian Dia mengembalikannya lagi, dan itu lebih ringan bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum: 27)
4. Keraguan terhadap Ilmu Pelaku
Keraguan keempat ialah ketika Allah SWT hendak menghidupkan kembali manusia dan membalas perbuatan mereka, baik dengan pahala atau pun siksa, maka dari satu sisi Dia harus dapat membedakan antara tubuh-tubuh yang tidak terhitung jumlahnya agar Ia dapat mengembalikan ruh mereka ke tubuhnya masing-masing. Dari sisi lain, Ia pun harus mengingat seluruh perbuatan mereka, yang baik ataupun yang buruk, sehingga Dia memberi balasan pahala atau siksa sesuai dengan haknya masing-masing. Namun, bagaimana mungkin Allah SWT dapat membedakan dan mengidentifikasi jasad-jasad yang telah berubah menjadi tanah itu dan masing-masing bagiannya telah melebur dengan yang lainnya? Dan bagaimana mungkin Dia dapat mengingat secara tepat seluruh perbuatan setiap manusia sepanjang ribuan bahkan jutaan tahun untuk dilakukan perhitungan?
Keraguan ini biasanya dilontarkan oleh mereka yang tidak mengerti ketakterbatasan ilmu Allah SWT. Mereka menimbang ilmu Allah dengan ilmu mereka yang serbakurang dan serbaterbatas.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa ilmu Allah SWT tidaklah terbatas. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan, Allah tidak pernah lupa akan segala apapun. Melalui dialog Fir’aun dan Nabi Musa as, Al-Qur’an menegaskan, “Bagaimana mereka yang hidup pada kurun waktu pertama?” Musa menjawab, ‘Sesungguhnya ilmu itu berada pada Tuhanku di dalam satu kitab. Tuhanku tidak sesat dan tidak pernah lupa.’” (QS.Thaha: 51)
Di ayat lain, Al-Qur’an memberikan jawaban terhadap dua keraguan terakhir sekaligus, "Katakanlah, yang telah menghidupkannya kembali itu adalah yang telah menciptakannya pertama kali dan Dia Mahatahu akan segala ciptaan-Nya." (QS.Yasin: 79)[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan keraguan mustahilnya mengembalikan yang telah tiada beserta jawabannya!
2. Terangkan keraguan bahwa tubuh itu tidak memiliki potensi untuk hidup kembali beserta jawabannya!
3. Jelaskan keraguan terhadap kemampuan pelaku Ma'ad beserta jawabannya!
4. Terangkan keraguan terhadap ilmu pelaku Ma'ad beserta jawabannya!




                                           7 - Janji Ilahi

Janji Ilahi Mengenai Hari Kiamat
Sebagai risalah Allah SWT untuk segenap hamba-Nya, Al-Qur’an sangat menekankan akan terjadinya Hari Kiamat dan menganggapnya sebagai janji Ilahi yang pasti terjadi, sehingga dengannya sempurnalah hujjah atas umat manusia. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kita melihat bagaimana Al-Qur’an memberikan isyarat akan adanya dalil-dalil akal atas pentingnya masalah Ma’ad, sehingga dengan ini mendorong manusia untuk mengetahuinya secara rasional dan melipatgandakan hujjah atas mereka.
Dari sini kita dapat membagi sikap Al-Qur’an terhadap Ma'ad kepada dua macam yang akan kami paparkan melalui ayat-ayatnya yang berkaitan.
Janji Allah yang Pasti
Al-Qur’an menganggap bahwa terjadinya Hari Kiamat dan hidup kembalinya seluruh umat manusia di alam akhirat adalah perkara yang tak diragukan lagi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Hari Kiamat itu pasti akan datang tanpa ada keraguan sedikit pun.” (QS. Ghafir: 59)
Al-Qur’an juga menganggap bahwa Hari Kiamat itu merupakan janji yang hak dan pasti,"Demikianlah sebagai janji Allah yang benar." (QS. An-Nahl: 38)
Di berbagai ayat, Al-Qur’an pun bersumpah atas terjadi-nya Hari Kiamat, “Katakanlah, ‘Benar, demi Tuhanku! Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan dan akan diberitahu tentang segala apa yang kalian telah lakukan dan hal itu sangat mudah bagi Allah.’” (QS. At-Taghabun: 7)
Selain itu, Al-Qur’an menganggap peringatan kepada manusia tentang Hari Kiamat itu sebagai tugas para nabi yang paling penting, “Dia meletakkan ruh dari amr-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya agar ia memberikan peringatan tentang hari perjumpaan.” (QS. Al-Ghafir: 15)
Kepada para pengingkar Ma’ad, Al-Qur’an memberi ancaman kesengsaraan yang abadi dan azab yang pedih. Allah SWT berfirman, “Dan kami telah menyiapkan neraka sa’ir bagi orang yang mendustakan Hari Kiamat." (QS. Al-Furqan: 11)
Berdasarkan penjelasan di atas, siapa saja yang mengetahui kebenaran kitab samawi ini (Al-Qur’an), tidak ada alasan baginya untuk meragukan Ma’ad, apalagi mengingkarinya.
Pada pelajaran yang lalu telah kami jelaskan bahwa setiap orang yang sadar dan tulus pada kebenaran dapat menerima Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hak. Karenanya, tidak seorang pun yang tidak mengakui kebenaran itu akan dimaafkan, kecuali bila kemampuan nalarnya lemah, atau karena faktor-faktor tertentu sehingga ia tidak dapat mencapai pada kebenaran yang sudah diupayakannya sebaik-baiknya.
Penjelasan Rasional
Pada dasarnya, Al-Qur’an lebih banyak menggunakan dalil-dalil akal atas pentingnya Ma'ad. Dalil itu berbasis pada Hikmah dan Keadilan Ilahi. Di antaranya, apa yang disinggung oleh Al-Qur’an secaraistifham inkari (pertanyaan retoris), “Apakah kalian menyangka bahwa kami telah menciptakan kalian itu dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada kami?“ (QS. Al-Mukminun: 115)
Dengan jelas ayat ini menunjukkan bahwa jika Ma'ad dan Hari Kembali kepada Allah itu tidak terjadi, penciptaan manusia di alam dunia ini menjadi sia-sia. Karena kesia-siaan itu tidak mungkin dilakukan oleh Allah Yang Mahabijak, alam lain (akhirat) itu niscaya keberadaannya, sehingga umat manusia dapat kembali kepada-Nya.
Pada dasarnya, Argumen ini berupa qiyas ististna’i (silogisme hipotetik); premisnya yang pertama berupa qadhiyyah syartiyah (proposisi hipotetis) yang menyatakan bahwa penciptaan manusia di alam dunia ini benar-benar bertujuan jika ia kembali kepada Allah setelah kehidupan dunia ini dan akan memperoleh hasil perbuatannya itu di alam akhirat. Konsekuensi (mulazamah) ini telah kami jelaskan pada pelajaran yang telah lalu, yaitu tatkala membahas dalil hikmah. Untuk itu, kami kira tidak perlu mengulangnya di sini.
Adapun premis kedua, yaitu bahwa Hikmah Ilahiyah memustahilkan kesia-siaan pada tindakan-tindakan Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Tauhid, bahkan telah kami jelaskan pula pada di dalam dalil hikmah. Maka itu, ayat di atas itu dapat diterapkan sepenuhnya atas dalil ini.
Perlu kami tambahkan bahwa sesungguhnya penciptaan manusia itu merupakan tujuan dari penciptaan alam. Maka, apabila penciptaan manusia di alam ini adalah sia-sia dan tidak mempunyai tujuan yang bijak, berarti penciptaan seluruh alam pun menjadi batil dan sia-sia belaka.
Kesimpulan dari kenyataan ini dapat kita petik dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa keberadaan alam akhirat itu merupakan keharusan bagi penciptaan alam secara penuh hikmah dan bijaksana. Maka, keberadaan alam akhirat itu sesuai dengan penciptaan yang bijak bagi alam semesta ini.
Sebagian ayat Al-Qur'an menyebutkan sifat Ulil Albab (orang-orang yang berfikir). Di antaranya,“Dan mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi sembari berseru, ‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya apa yang telah Engkau ciptakan ini tidaklah batil. Maha suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Dari ayat ini juga dapat kita simpulkan bahwa merenung dan memikirkan bagaimana terjadinya penciptaan alam semesta ini dapat memfokuskan perhatian seseorang pada Hik-mah Ilahiyah. Artinya, Allah yang Mahabijak mempunyai tujuan yang bijak pula di balik penciptaan alam semesta yang agung ini, dan Dia tidak menciptakannya secara sia-sia belaka. Karena, jika tidak terdapat alam lain yang merupakan tujuan akhir dari penciptaan alam ini, seluruh penciptaan Allah SWT menjadi sia-sia dan tidak memiliki tujuan.
Adapun sekelompok ayat lain yang menyinggung dalil akal atas pentingnya Ma’ad, dapat dibandingkan secara penuh dengan dalil keadilan. Yakni, berdasarkan Keadilan Ilahi, orang-orang yang baik dan yang buruk itu harus mendapatkan pahala ataupun siksa atas usaha mereka, sehingga akhir perjalanan masing-masing dapat dibedakan. Mengingat tidak adanya perbedaan semacam ini di alam dunia ini, tentu ada alam lain, yaitu alam akhirat sehingga Keadilan Ilahi betul-betul terealisasi. Di antara ayat-ayat tersebut ialah:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang hak, dan agar diberikan balasan tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS. Al-Jatsiyyah: 21-22)
Hal lain yang perlu ditekankan ialah bahwa ayat yang menyatakan, “Dan Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak” mengisyaratkan dalil hikmah, sebagaimana dalil keadilan bisa saja disederhanakan pada dalil hikmah. Sebab, seperti yang dijelaskan pada tema Keadilan Ilahi, bahwa keadilan merupakan mishdaq Hikmah Ilahiyah.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara Al-Qur’an membuktikan masalah Ma’ad sehingga menjadi sempurna hujjah atas manusia!
2. Sebutkan ayat-ayat yang menyinggung dalil hikmah! Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
3. Apakah ayat-ayat yang menyinggung dalil keadilan? Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
4. Bagaimana dalil keadilan itu dapat disederhanakan pada dalil hikmah?




8 - Ciri-ciri Khas Alam Akhirat


Ciri-ciri Khas Alam Akhirat

Mukaddimah

Seseorang tidak mungkin memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai persoalan-persoalan yang belum ia alami atau belum mengetahuinya secara hudhuri, atau belum ia sentuh dengan indranya. Berangkat dari kenyataan ini, kita tidak dapat meyakini hakikat alam akhirat dan keadaan-keadaannya secara detail dan sempurna, kita juga tidak dapat menyingkap hakikat-hakikatnya. Meski begitu, kita bisa mengetahui sifat-sifat akhirat melalui akal atau wahyu. Lain dari itu, sepatutnya kita menahan diri untuk melampaui dua jalur pengetahuan ini.
Sangat disayangkan bahwa—dari satu sisi—kita melihat sebagian orang berusaha menggambarkan alam akhirat itu layaknya dunia ini, sehingga mereka beranggapan bahwa surga yang tinggi itu ada di dunia ini, dan berada di satu atau bebarapa planet di langit, dan pada suatu hari nanti—sebagai konsekuensi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan yang baru dan canggih—manusia akan pindah ke surga tersebut agar dapat hidup di sana dengan penuh ketenangan dan kedamaian.
Dari sisi lain, kita melihat sebagian orang mengingkari wujud nyata alam akhirat, dan menganggap bahwa surga itu adalah nilai-nilai akhlak yang disandang oleh orang-orang yang baik, bijak dan berbakti kepada bangsa dan masyarakatnya. Mereka berkeyakinan bahwa perbedaan antara dunia dan akhirat adalah perbedaan antara manfaat dan nilai.
Yang perlu ditanyakan kepada kelompok pertama ialah apabila benar surga itu ada di planet lain dan pada suatu saat nanti generasi mendatang akan sampai ke sana, lalu apa artinya seluruh manusia itu dihidupkan kembali pada Hari Kiamat kelak, dimana peristiwa ini didukung oleh Al-Qur’an? Dan, bagaimana pula pemberian pahala dan siksa itu bisa terjadi atas semua perbuatan makhluk di sana?
Juga perlu ditanyakan kepada kelompok kedua, apabila benar surga itu berupa nilai-nilai moral, dan bahwa jahanam itu hanyalah lawan dari pada nilai-nilai tersebut, mengapa Al-Qur’an senantiasa menekankan Ma’ad dan menekankan kebangkitan manusia setelah kematian? Jika benar demikian, apakah tidak lebih baik para nabi itu berterus terang akan kenyataan ini, sehingga mereka tidak dituduh sebagai orang gila dan berbicara bohong?
Tatkala melampaui dua pandangan lemah ini, segera kita akan menjumpai perselisihan antara kaummutakallim (teolog) dan kaum filosof mengenai satu masalah Ma'ad; apakah kebangkitan jasmani atau ruhani, dan pada masalah-masalah lainnya seperti: apakah alam materi ini akan sirna sama sekali ataukah tidak? Apakah tubuh ukhrawi itu adalah tubuh duniawi itu sendiri ataukah berbeda?
Meskipun upaya-upaya rasional dan filosofis dalam rangka mendekati dan mengungkap hakikat tersebut perlu dihargai, namun upaya-upaya itu mengandung titik-titik kelemahan di samping titik-titik kekuatannya. Tampaknya, kita akan sulit menyingkap hakikat kehidupan akhirat melalui jalan akal dan filsafat.
Sejatinya, sampai saat ini apakah kita betul-betul mengenal hakikat dunia ini secara sempurna? Apakah mungkin para ilmuwan dari berbagai bidang; fisika, kimia, biologi dan lain sebagainya dapat mengetahui hakikat materi, potensi dan macam-macam kekuatan lain di alam? Apakah mereka dapat mengetahui secara penuh dan pasti akan masa depan alam ini? Apakah mereka mengetahui apa yang akan terjadi jika gravitasi bumi ini dicabut dari alam ini atau gerak elektronnya terhenti? Apakah demikian ini akan terjadi atau tidak? Apakah para filosof itu dapat mengatasi seluruh masalah rasional yang berhubungan dengan alam ini secara tuntas?
Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang perlu dijawab seperti: hakikat benda (jism), forma spesis (shurah nau'iyyah), hubungan ruh dan badan, dan lain sebagainya.Bukankah masalah-masalah ini memerlukan penelitian yang mendalam? Lalu, bagaimana mungkin kita yakin—dengan segenap bantuan pengetahuan dan pemikiran kita yang serbabatas—akan dapat menyentuh hakikat alam yang belum kita alami sama sekali?
Jelas bahwa dangkalnya ilmu pengetahuan manusia tidak berarti bahwa tidak sesuatu pun dapat diketahui walau dengan jalan apa pun, atau kita tidak perlu berusaha secara serius untuk mengetahui wujud yang lebih unggul. Tidak syak lagi, betapa banyak hakikat yang dapat kita ketahui dengan mengoptimalkan potensi akal yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita, sebagaimana kita dapat menyingkap rahasia-rahasia alam dengan bantuan indera dan empiris.
Kita harus mengerahkan segenap kekuatan ilmiah dan falsafi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran kita. Pada saat yang sama, kita juga harus mengenal batasan-batasan akal dan pengetahuan empirik, sehingga kita tidak melampauinya. Hendaknya kita perlu menyadaari kenyataan diri yang terbatas ini:
"Dan kalian tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sekali." (QS. Al-Isra’: 85)
Teori dan data-data ilmiah, ketundukan yang bijak dan kewaspadaan religius, semua itu menuntut kita agar tidak melontarkan pernyataan-pernyataan pasti (qath'i) ihwal hakikat kiamat dan alam gaib, atau berpegang kepada pelbagai takwil yang tidak berlandaskan dalil kecuali dalam batas dan jangkauan dalil akal dan nash wahyu.
Yang jelas, cukuplah bagi setiap manusia mukmin untuk meyakini kebenaran apa yang diturunkan oleh Allah SWT. meskipun ia tidak dapat mengetahui sifat-sifatnya secara detail dan menjelaskan perinciannya, khususnya mengenai perkara-perkara yang tidak dapat dijangkau oleh akal, indra dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya kita perlu mengetahui sedapat mungkin sifat-sifat alam akhirat dan ciri-cirinya melalui akal serta perbedaannya dengan dunia.
Beberapa Ciri Khas Alam Akhirat menurut Akal
Beranjak dari dalil-dalil atas pentingnya Ma’ad, kita akan dapat memahami beberapa keistimewaan alam akhirat. Antara lain:
Pertama, dalil pertama memperlihatkan bahwa alam akhirat itu mesti bersifat kekal dan abadi. Karena, dalil tersebut telah menegaskan kemungkinan hidup yang abadi dan kecenderungan fitriyah kepada kehidupan tersebut, dan terwujudnya alam kehidupan abadi itu sesuai dengan Hikmah Ilahiyah.
Kedua, yang dapat dipahami dari kedua dalil itu dan juga telah disinggung di akhir dalil pertama, ialah bahwa alam akhirat merupakan wadah yang pasti untuk terealisasinya kenikmatan dan kasih sayang yang seutuhnya, tanpa ada kesusahan dan kelelahan di dalamnya, sehingga orang-orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan insaninya dapat menikmati kebahagiaan itu. Alam tersebut tidak dicemari oleh maksiat dan penyelewengan apapun. Berbeda dengan dunia yang di dalamnya kebahagiaan yang seutuhnya tidak mungkin terwujud. Yang hanya terwujd di dunia adalah kebahagiaan semu dan bercampur dengan berbagai kesulitan dan kesengsaraan.
Ketiga, alam akhirat setidaknya meliputi dua bagian yang terpisah, yang pertama adalah rahmat, dan yang kedua adalah siksa, sehingga dapat dibedakan orang-orang yang baik dari orang-orang yang jahat, dan masing-masing mendapatkan balasan perbuatannya.Kedua bagian ini biasa dikenal dalam syariat dengan istilah surga dan neraka.
Keempat, dari dalil keadilan dapat dipahami bahwa alam akhirat itu luas sehingga bisa menampung pahala dan siksa bagi seluruh umat manusia atas segala apa yang mereka lakukan, berupa amal baik dan amal buruk. Misalnya, ketika seseorang melakukan pembunuhan atas jutaan manusia yang tidak bersalah, hukuman siksa terhadapnya semestinya bisa terjadi di alam itu. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang menyelamatkan nyawa jutaan umat manusia, ia dapat menerima pahala setimpal yang terdapat di alam tersebut.
Kelima, keistimewaan yang sangat penting yang dijumpai pada dalil keadilan, sebagaimana tercatat di akhir dalil, ialah bahwa alam akhirat itu merupakan tempat pembalasan, bukan tempat pembebanan tugas dan tanggung jawab.
Penjelasannya: kehidupan di dunia ini adalah tempat hidupnya setiap manusia dengan kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, dan mereka senantiasa berada di persimpangan jalan, sehingga harus memilih salah satu jalan tersebut. Tempat seperti inilah yang dapat memenuhi lahan dan kondisi pembebanan tugas Ilahi, yaitu tanggung jawab yang berlangsung terus sampai nafas terakhir seseorang.
Sementara itu, Hikmah dan Keadilan Ilahi menuntut agar manusia sebagai pelaku tugas dapat memperoleh ganjaran yang setimpal, sebagaimana orang yang menyia-nyiakan tugas akan mendapatkan siksa yang setimpal pula. Kalau kita mengasumsikan terbukanya pembebanan tugas dan peluang memilih jalan di alam akhirat, maka rahmat wujud dan anugerah Allah SWT melazimkan tidak adanya halangan bagi manusia menjalankan berbagai tugas dan memilih jalan di alam tersebut.
Mengingat tidak ada lagi tugas Ilahi dan upaya memilih jalan di alam akhirat, semestinya alam akhirat itu bukanlah alam dunia ini, yang di dalamnya diberikan pahala dan siksa. Pada hakikatnya, alam yang kita asumsikan sebagai alam akhirat mesti dipandang sebagai dunia yang lain. Adapun alam akhirat yang hakiki adalah alam terakhir yang tidak tersisa lagi tugas dan ujian, juga tidak ada lagi peluang pembebanan dan pelaksanaan tugas, yaitu benturan antar-tuntutan dan keinginan.
Dari poin-poin di atas ini tampak jelas beberapa perbedaan penting antara alam dunia dan alam akhirat, yaitu bahwa dunia ini adalah tempat usaha, ujian dan cobaan, sementara alam akhirat adalah tempat pahala dan siksa yang abadi sebagai hasil dan dampak dari perbuatan yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan di dunia ini. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersabda, "Sesungguhnya dunia ini adalah tempat beramal tanpa hisab, sedangkan akhirat adalah tempat hisab tanpa amal.” (Nahjul Balaghah, Khutbah 42).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Mengapa kita tidak dapat mengetahui alam akhirat secara detail dan sempurna?
2. Sebutkan dua tipe dari pandangan yang menyimpang mengenai alam akhirat dan bawakan kritik terhadapnya!
3. Dengan jalan apakah kita dapat mengetahui ciri-ciri khas alam akhirat?
4. Jelaskan ciri-ciri khas alam akhirat berdasarkan pandangan akal!




9 - Dari Kematian

Dari Kematian Hingga Kiamat
Telah kita ketahui pada pelajaran yang lalu, bahwa pengetahuan yang kita miliki ini sangatlah sedikit dan terbatas, maka kita tidak dapat mengetahui hakikat alam akhirat dan alam gaib secara mutlak. Hendaknya kita merasa cukup dengan serangkaian pengetahuan yang global yang dapat kita peroleh melalui dalil-dalil akal, dan dengan ciri-ciri khas serta sifat-sifat yang telah diterangkan oleh wahyu. Juga telah kami singgung pada pelajaran yang sama tentang sebagian sifat dan keistimewaan umum yang kita jumpai dari dalam dalil dalil akal. Berikut ini kami akan memaparkan sifat-sifat dan ciri-ciri khas akhirat yang dapat kita tarik dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Perlu kiranya kami tekankan bahwa sangat mungkin sebagian kalimat yang digunakan untuk menyifati alam akhirat itu berupa mutasyabih (tidak jelas maknanya), sehingga gambaran konseptual yang muncul di mental kita dari kalimat-kalimat tersebut tidak benar-benar tepat dan tidak sesuai dengan fakta dan mishdaq yang seutuhnya di luar. Ini bukan karena lemahnya penjelasan tersebut, tetapi hanya karena dangkalnya pemahaman kita. Sebab tidak syak lagi bahwa Al-Qur’an menggunakan kata dan kalimat yang paling fasih yang dapat digunakan untuk mengungkapkan hakikat tersebut, juga sesuai dengan daya paham dan nalar kita.
Mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu pun menerangkan permulaan-permulaan hari ahkirat, pada kesempatan ini kami akan memulai pembahasan tersebut dari kematian manusia.
Setiap Manusia akan Mengalami Kematian
Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, akan mengalami kematian. Tidak seorang pun yang akan hidup kekal di dunia ini. Allah SWT berfirman,
“Semua yang ada di muka bumi ini akan fana.” (QS. Ar-Rahman: 36)
“Setiap yang bernyawa itu pasti akan mengalami kematian.”(QS. Ali ‘Imran: 185)
“Sesungguhnya engkau—wahai Rasul—akan mati. Dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30)
“Dan kami tidak menjadikan orang-orang yang sebelum kamu itu hidup kekal. Apakah jika kamu mati mereka itu hidup kekal?” (QS. Al-Anbiya’: 34)
Dari ayat-ayat ini kita dapat memastikan bahwa kematian merupakan hukum kehidupan umum dan mutlak bagi setiap makhluk hidup di dunia ini.
Pencabut Ruh
Kita mengamati bangaimana Al-Qur’an menisbahkan pencabutan ruh kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Allah mencabut jiwa-jiwa ketika tiba kematiannya.” (QS. Az-Zumar: 42)
Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain, Al-Qur’an juga men-yatakan bahwa malaikat maut itu ditugaskan untuk mencabut nyawa manusia. Allah SWT berfirman, “Katakanlah! yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diwakilkan kepada kalian.” (QS. As-Sajdah: 11)
Di tempat lain, Al-Qur’an menisbahkan pencabutan ruh kepada malaikat Allah dan rasul-rasul-Nya.
“Sehingga ketika salah seorang di antara kalian didatangi oleh kematian, maka rasul-rasul Kami itu mematikannya.” (QS. Al-An’am: 61)
Jelas bahwa tatkala pelaku melakukan perbuatannya melalui pelaku lainnya, perbuatan itu bisa dinisbahkan kepada kedua pelaku tersebut. Kemudian, jika pelaku yang kedua pun mempunyai perantara dalam perbuatannya itu, perbuatan itu pun bisa dinisbahkan kepada pelaku yang ketiga. Mengingat bahwa Allah SWT itu mencabut ruh-ruh dengan perantara malaikat maut, dan pada gilirannya malaikat maut itu melaksanakan tugasnya dengan perantara para malaikat yang tunduk di bawah perintahnya, pencabutan ruh itu bisa dinisbahkan kepada tiga pelaku tersebut.
Lembut dan Kerasnya Pencabutan Ruh
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dapat kita simpulkan bahwa para pencabut nyawa itu tidak menyamaratakan dalam pencabutan ruh-ruh manusia. Terkadang mereka mencabut ruh seseorang dengan penuh kelembutan dan penghormatan. Pada kesempatan lain, mereka mencabut ruh secara kasar dan keras. Mengenai pencabutan ruh orang-orang mukmin, Allah SWT berfirman, “Mereka yang dimatikan oleh para malaikat yang baik itu berkata, ‘salam sejahtera atas kalian.’” (QS. An-Nahl: 32)
Dan mengenai pencabutan ruh orang-orang kafir, Allah SWT berfirman, “Jika saja kamu melihat ketika malaikat itu mematikan orang-orang yang kafir, mereka memukul-mukul wajah mereka dan punggung mereka.” (QS. Al-Anfal: 5)
Dapat juga dikatakan bahwa cara pencabutan ruh itu, baik keras atau pun lembut, berbeda-beda di antara kaum mukmin dan kaum kafir sendiri, tergantung derajat keimanan dan kekufuran mereka.
Nilai Iman dan Taubat Ketika Kematian Tiba
Ketika tiba saat kematian orang-orang kafir dan para pemaksiat, sementara rasa putus asa untuk tetap hidup pun telah menghantui mereka, mereka menyesal akan apa yang telah mereka lakukan. Segera mereka menampakkan keimanan serta bertaubat atas dosa-dosa mereka. Hanya saja keimanan dan taubat demikian ini tidak diterima sama sekali. Allah SWT berfirman,
"Pada hari ketika telah datang sebagian ayat-ayat Tuhanmu, maka tidak bermanfaat iman seseorang, dimana ia tidak pernah beriman sebelumnya atau melakukan kebaikan dalam keimanan.”(QS. Al-An’am: 158)
“Bukanlah taubat itu bagi orang-orang yang telah melakukan keburukan, sehingga ketika telah datang kepada salah seorang dari mereka kematiannya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku telah bertaubat.’” (QS. An-Nisa’: 18)
"Aku telah beriman bahwa sesungguhnya tiada tuhan melainkan Tuhan yang diimani oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim.” (Qs. Yunus: 90)
“Baru sekarang inikah engkau beriman? Padahal sebelumnya engkau bermaksiat dan termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?” (QS. Yunus: 91)
Mengharap Dikembalikan ke Dunia
Al-Qur’an menukil kisah orang-orang durhaka dan kafir, bahwa ketika telah tiba saat-saat kematian, atau ketika siksa itu menimpa, mereka mengharapkan kembali ke dunia ini agar dapat beriman dan berbuat amal kebajikan, atau memohon kepada Allah SWT agar dikembalikan lagi ke dunia untuk dapat mengubah hari-hari hitam mereka yang telah mereka lalui. Hanya saja Allah SWT mengabulkan permohonan itu. Dan, harapan mereka sia-sia.
Di sebagian ayat, Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sekalipun mereka dikembalikan lagi ke dunia ini, pasti mereka akan kembali melakukan berbagai kemungkaran sebagaimana yang pernah mereka jalani. Kelak di Hari Kiamat, mereka mengemiskan permohonan semacam itu. Hanya Allah tidak mengabulkan permohonan mereka. Allah SWT berfirman, “Sehingga ketika kematian itu menjemput salah seorang dari mereka, ia berkata, ‘Tuhanku, kembalikanlah aku ke dunia, aku berharap akan berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak, itu hanyalah ucapan kosong belaka.’”(QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Atau engkau akan berkata ketika melihat siksa, ‘Seandainya aku ini dikembalikan sekali lagi, maka aku akan termasuk oran -orang yang baik.’” (QS. Az-Zumar: 58)
Ketika mereka itu dihentikan di atas neraka, mereka berkata, ‘Wahai seandainya kami ini dikembalikan lagi dan tidak lagi mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, maka wahai Tuhan kami, kami akan menjadi orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-An’am: 27-28)
"Ketika orang-orang yang durhaka itu menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka, mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami melekkanlah kami dan kami mendengar, maka kembalikanlah kami agar dapat berbuat kebajikan. Sesungguhnya kami orang-orang yang yakin.’” (QS. As-Sajdah: 32)
Secara jelas kita dapat memahami dari ayat-ayat di atas bahwa alam akhirat itu bukanlah tempat berikhtiar, mencari jalan dan melakukan berbagai kewajiban, meskipun keyakinan yang mereka dapatkan pada saat sekarat maut dan di alam akhirat, tidak akan membantu sama sekali proses kesem-purnaan mereka, juga tidak membuat mereka berhak menerima pahala apapun. Oleh karena itu, orang-orang kafir dan pemaksiat mengharapkan kembali ke dunia ini agar mereka dapat beriman dan melakukan amal-amal saleh.
Alam Barzakh
Dari ayat-ayat yang lain kita dapat memahami bahwa setelah mengalami kematian dan sebelum terjadinya Hari Kiamat, manusia akan melewati satu masa di alam kubur dan barzakh. Di alam barzakh, mereka akan mendapatkan berbagai kesenangan dan kenikmatan, ataupun kesengsaraan dan siksaan. Di dalam riwayat banyak disebutkan bahwa orang-orang mukmin yang melakukan dosa pada kehidupan mereka di dunia akan menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan di alam barzakh seberat dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, untuk mensucikan diri mereka agar tidak menanggung beban berat di alam akhirat.
Mengingat bahwa ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam barzakh memerlukan studi tafsir, kami hentikan pembahasan itu sampai di sini. Dalam hal ini, kami hanya membawakan satu ayat. Allah SWT berfirman, “Dan di belakang mereka itu terdapat alam barzakh sampai tiba Hari Kebangkitan.” (QS. Al-Mu’minun: 100)[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pandangan Al-Qur’an mengenai ketakabadian manusia di dunia ini sambil membawakan sebagian ayat yang berkaitan!
2. Siapakah yang mencabut ruh manusia itu? Dan bagaimana kita dapat menguraikan perbedaan antara ayat-ayat yang berkaitan?
3. Terangkan perbedaan cara pencabutan nyawa!
4. Terangkan pandangan Al-Qur’an mengenai keimanan dan taubat ketika telah tiba saat kematian dengan membawakan ayat-ayat yang terkait!
5. Ihwal kembali ke dunia yang bagaimanakah yang ditolak oleh Al-Qur’an? Dan apakah mengingkari ihwal kembali semacam ini bertentangan dengan keyakinan terjadinya raj’ah? Mengapa?
6. Jelaskanlah alam barzakh itu?




10 - Hari Kiamat menurut Al-Qur’an

Hari Kiamat menurut Al-Qur’an
Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa pada tahap pertama kehidupan alam akhirat bukan dihidupkannya kembali manusia, tetapi terjadi per-ubahan yang menyeluruh di dalam sistem dan hukum alam semesta, lalu terjadilah alam akhirat yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak mungkin dapat kita ketahui secara detail. Dan nyatanya, kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal itu. Ketika hari itu terjadi, seluruh umat manusia akan dibangkitkan secara bersamaan, dari manusia pertama yang diciptakan Allah SWT sampai manusia terakhir, agar mereka semua dapat melihat akibat dan hasil dari perbuatan mereka di dunia ini, yang kemudian mereka akan menempati surga atau neraka selama-lamanya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini banyak sekali, sementara pembahasan tentangnya memerlukan waktu dan tempat yang cukup, untuk itu pada kesempatan ini kami akan menjelaskannya secara singkat saja.
Kondisi Bumi, Laut dan Gunung
Ketika Hari Kiamat tiba, terjadi goncangan bumi yang luar biasa dahsyat. Bumi ini memuntahkan seluruh isi perutnya ke luar, berhamburan dan hancur berantakan. Lautan meluap dan terbelah. Gunung-gunung bergerak dan berguncang keras, kemudian pecah beserpihan bagaikan butir-butir pasir yang berserakan, beterbangan bagaikan kapas-kapas yang bertebaran di udara. Gunung-gunung yang menjulang tinggi itu pun tak ubahnya dengan fatamorgana, tak lagi meninggalkan bekas keperkasaannya.[1]
Kedaaan Langit dan Bintang-bintang
Al-Qur’an memberikan gambaran tentang keadaan benda-benda langit ketika Hari Kiamat tiba. Bahwa bulan, matahari, bintang-bintang yang begitu besar, bahkan sebagian bintang-bintang itu lebih besar dari bumi yang kita tempati ini, yang lebih terang jutaan kali lipat dan sinarnya dari matahari yang kita lihat, semua itu akan hancur dan sinarnya menjadi pudar lalu padam. Segala gerak, tatanan dan aturannya menjadi hancur. Matahari bertabrakan dengan bulan. Adapun langit yang kita lihat akan bergoncang, terbelah dan hancur. Gugusan langit akan luluh bagaikan barang-barang tambang yang diluluhkan dan mencair. Alam ini dipenuhi dengan asap tebal dan awan gelap.[2]
Jerit Kematian
Dalam kondisi seperti itu, ditiuplah sangkakala, jerit kematian pun menyeruak ke seluruh jagad. Ketika itu, seluruh manusia dan makhluk hidup mengalami kematian. Tidak sesuatu pun yang tersisa di dunia ini. Pada detik-detik peristiwa itu terjadi, seluruh manusia merasa ketakutan dan panik. Mereka goncang dan kebingungan, kecuali orang-orang mukmin yang memahami hakikat wujud ini, segala hikmah dan rahasianya, hati mereka tenggelam dalam makrifat dan mahabbah (cinta) kepada Allah SWT.
Jerit Kebangkitan dan Permulaan Kiamat
Setelah peristiwa itu terjadi, alam akhirat pun memasuki babak baru; alam yang memiliki potensi untuk kekekalan dan keabadian.Nur Ilahi memancarkan sinarnya, jeritan kebangkitan menggema, nusyursegera berlangsung, seluruh umat manusia serta binatang-binatang pun dihidupkan kembali hanya dengan sekejap saja. Seluruh manusia diliputi kebingungan dan goncangan jiwa yang dahsyat bagaikan kupu-kupu yang beterbangan tanpa arah.
Kini, mereka berada di satu tempat yang agung, berdiri di hadapan Tuhan Yang Mahabesar untuk dilakukan hisab dan perhitungan amal atas masing-masing. Seluruh manusia dikumpulkan. Bahkan, sebagian mereka mengira bahwa mereka berada di alam barzakh hanya sekejap atau sehari saja.
Kerajaan Allah dan Terputusnya Sebab dan Nasab
Di alam baru itu tersingkaplah segala hakikat. Kerajaan dan kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah. Seluruh umat manusia menjadi ketakutan dan tidak seorang pun yang berani atau mampu berkata-kata dan mengangkat suara. Mereka tenggelam di dalam pikiran masing-masing; tentang nasib dan perjalanan akhir mereka. Bahkan, anak akan lari dan tak peduli lagi akan ayah dan ibunya. Sanak keluarga satu sama lainnya saling meninggalkan, hubungan nasab dan keturunan pun menjadi terputus tak lagi berarti. Hubungan kekerabatan dan persahabatan yang dibina berdasarkan keuntungan materi, duniawi dan hawa nafsu berubah menjadi permusuhan satu sama lainnya. Seluruh jiwa manusia dipenuhi oleh penyesalan dan kerugian terhadap apa yang telah mereka lakukan di dunia.[3]
Mahkamah Keadilan Ilahi
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Keadilan Ilahi, segala amal perbuatan seluruh manusia pun dihadirkan. Lembaran amal dibagi-bagikan, setiap amal dibukakan di hadapan masing-masing pelakunya sebegitu jelas sehingga tidak lagi memerlukan pemeriksaan terhadap amal tersebut.
Di dalam mahkamah ini, dihadirkan para malaikat, para nabi dan hamba-hamba pilihan sebagai saksi-saksi atas berbagai amal tiap-tiap manusia. Bahkan tangan, kaki dan kulit tubuh pun akan berbicara dan menjadi saksi atas perbuatan seseorang. Seluruh manusia akan dihisab secara teliti. Segenap perbuatan mereka akan ditimbang dengan timbangan (mizan) Ilahi. Seluruhnya akan diadili berdasarkan Keadilan Ilahi, dan masing-masing diri akan melihat hasil perbuatannya.
Secara khusus, orang-orang saleh akan dilipatgandakan ganjarannya. Mereka yang membawa amal kebajikan akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Di sana, seseorang tidak akan menanggung dosa dan perbuatan orang lain. Sementara mereka yang tersesat dan menyesatkan orang lain akan menanggung kesesatan orang lainnya yang disesatkannya itu, selain menerima balasan atas perbuatan mereka sendiri, tanpa kurang sedikitpun.
Pengorbanan seseorang untuk orang lain pada saat itu tidak akan berarti. Bahkan, syafa'at dan pertolongan seseorang pun tidak akan diterima, kecuali syafa'at orang-orang yang diizinkan oleh Allah SWT mereka dapat memberikan syafa'at sesuai dengan timbangan-timbangan yang diridhai Allah SWT.[4]
Menuju ke Tempat Abadi
Setelah pengadilan itu selesai, tibalah babak berikutnya, diumumkanlah keputusan Ilahi. Orang-orang yang saleh dipisahkan dari orang-orang yang durhaka. Kaum mukmin menuju ke surga firdaus dengan wajah yang berseri-seri dan penuh gembira. Sinar Ilahi memancar dan mengantarkan mereka ke tempat keabadian surgawi. Sedangkan orang-orang kafir dan kaum munafik digiring ke neraka jahanam dalam keadaan terhina. Wajah mereka hitam dan kotor, berjalan di dalam kegelapan. Ketika itu, orang-orang munafik berkata kepada orang-orang yang beriman, “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.’ Ketika itu dikatakan kepada mereka, 'Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya untukmu.” Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang yang beriman) seraya berkata, ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu kehancuran kami dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh setan yang amat menipu.' Maka pada hari ini tidak diterima tebusan darimu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu adalah neraka, itulah tempat berlindungmu dan seburuk-buruknya tempat kembali bagimu.” (QS. Al-Hadid:13-15)
Ketika orang-orang mukmin telah mendekati surga, dibukakan pintu untuk mereka. Para malaikat rahmat pun menyambut kedatangan mereka seraya mengucapkan selamat dengan penuh hormat, dan memberi kabar gembira kepada mereka akan kebahagiaan yang abadi.[5]
Akan tetapi, tatkala orang-orang kafir dan munafik itu sampai di neraka jahanam, terbukalah pintu di hadapan mereka, dan para malaikat azab mencaci-maki mereka dengan kasar dan penuh kedengkian. Mereka diancam dengan siksa pedih selama-selamanya.
Surga
Di dalam surga, terdapat taman yang membentang, seluas langit dan angkasa, dipenuhi oleh aneka ragam pepohonan dengan bermacam-macam buahnya yang sudah matang dan mudah dipetik. Di dalam taman itu juga terdapat tempat isitirahat dan bersenang-senang yang sangat luas dan indah, sungai-sungai dengan airnya yang sejuk, susu, madu dan minuman yang bersih dan segar. Apa pun yang mereka inginkan tersedia di dalamnya. Bahkan lebih dari apa yang mereka inginikan.
Pakaian penduduk surga terbuat dari sutra, sundus dan istabrak (jenis sutra) yang dihiasi dengan bermacam-macam hiasan yang indah. Mereka duduk bersandaran di atas dipan-dipan dan kasur-kasur yang empuk sambil berhadap-hadapan. Tidak terdengar suara apapun dari penduduk surga selain puji dan syukur kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbicara dengan kata-kata yang sia-sia dan kotor, mereka pun tidak mendengar hal yang serupa. Mereka tidak diganggu oleh rasa dingin atau pun panas, tidak mengenal rasa sakit, lelah dan bosan, tidak juga rasa sedih dan takut. Hati mereka bersih, tidak sedikit pun tergores rasa dengki dan iri.
Para pelayan anak-anak kecil senantiasa melingkari mereka bagaikan mutiara-mutiara yang tersimpan rapih, begitu indah dan menakjubkan. Mereka menyajikan gelas-gelas yang berisikan minuman surgawi nan lezat dan membangkitkan semangat yang tak terbayangkan. Tidak ada bahaya dan rasa sakit apa pun. Mereka dapat menikmati berbagai macam buah dan daging burung.
Di dalam surga, kaum laki-laki mendapatkan pelayanan terbaik dari isteri-isteri yang cantik, suci dari segala aib dan sangat mencintai suami-suaminya. Lebih dari itu semua, mereka pun memperoleh kenikmatan ruhani dan keridhaan Ilahi. Mereka senantiasa mendapat kasih sayang dan kelembutan dari Tuhan Yang Mahakasih, sehingga mereka hanyut dalam kebahagiaan dan kedamaian yang tidak seorang pun dapat menggambarkannya. Sungguh kebahagiaan yang tidak ada bandingan. Segala kenikmatan yang tidak mungkin terbayangkan, dan rahmat, keridhaan serta kedekatan diri di sisi Allah, semua itu abadi dan tak terbatas.
Neraka
Neraka adalah tempat akhir orang-orang kafir dan kaum munafik yang tidak mempunyai nur sama sekali di dalam hatinya. Di tempat itulah seluruh para pendurhaka dikumpulkan. Neraka masih saja dapat menampung dan menyambut, sampai ia berkata: “Apakah masih ada tambahan lagi?”. Di dalamnya tidak ada selain api dan siksa.
Lidah api neraka itu menjilat-jilat sampai ke atas dan dari semua arah. Suaranya yang menakutkan dan penuh murka menambah rasa takut, ngeri dan menggetirkan jiwa. Wajah-wajah penghuninya masam, redup, gelap, hitam dan sangat jelek. Bahkan, para malaikat yang dipercaya untuk menjaganya pun berlaku keras dan kejam. Dari wajah-wajah mereka tidak tampak rasa belas kasih, sedikit pun.
Penghuni neraka itu dibelenggu dengan rantai-rantai dari besi. Mereka dikelilingi api neraka dari semua sisi, bahkan mereka sendiri sebagai kayu-kayu bakarnya. Mereka tidak mendengar apa-apa selain jeritan, rintihan, tangisan dan keluh kesah para penghuninya, serta teriakan para malaikat yang mengawal mereka.
Wajah-wajah para penghuni neraka itu disiram dengan air mendidih yang sangat panas sehingga isi perut mereka pecah. Setiap kali meminta minum, mereka diberikan minuman dari muhl yang sangat panas dan berbau busuk. Mereka menerima minuman itu bagaikan unta-unta yang kehausan. Ketika diminum, usus-usus mereka menjadi terputus-putus dan hancur.
Makanan mereka terbuat dari pohon zakum, yaitu sejenis pohon yang tumbuh di dalam neraka. Jika mereka memakannya, akan bertambah pedih siksa mereka, perut mereka terbakar. Adapun pakaian mereka terbuat dari bahan hitam yang sangat kasar, yang jika dipakai akan menambah siksa menjadi lebih pedih lagi.
Di dalam neraka, mereka ditemani oleh setan-setan, jin dan para durjana, sehingga mereka berangan-angan ingin menghindar jauh. Satu sama lain saling melaknat dan bertikai. Setiap kali menampakkan penyesalan dan memohon maaf kepada Allah, mereka malah menerima siksa yang semakin pedih agar mereka diam. Ketika itulah mereka memohon kepada penjaga neraka. Al-Qur’an mengisahkan, “Para penghuni neraka itu berkata kepada penjaga jahanam, 'Mohonlah kepada Tuhanmu agar meringankan azab kami ini walaupun hanya satu hari saja!' Mereka menjawab, ‘Bukankah sudah datang kepadamu para utusanmu itu dengan membawa penjelasan?' Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka berkata lagi, ‘Kalau begitu mintalah. Sesungguhnya doa-doa orang-ornag kafir senantiasa dalam kesesatan.'" (QS. Ghafir: 49-50)
Begitu beratnya siksa yang diderita, mereka meminta dimatikan lagi. Akan tetapi, jawaban yang datang kepada mereka adalah: kalian akan menetap di neraka ini selama-lamanya. Allah SWT berfirman, “Mereka memanggil-manggil, 'Wahai penjaga, mohonlah agar Tuhanmu itu mengadili kami lagi.' Ia menjawab, 'Sesungguhnya kalian akan menetap di sini.'”
Meskipun diliputi oleh kematian dari semua sisi, mereka tidak mengalami kematian lagi. Setiap kali kulit mereka terbakar, digantikan dengan kulit yang baru sehingga siksa itu terus berlangsung, mendera tiada henti.
Akhirnya, mereka memohon kepada penduduk surga agar memberikan air dan makanan walau sedikit saja. Jawaban yang datang hanyalah “Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan atas kalian kenikmatan surga. Penduduk surga bertanya kepada mereka, “Apakah yang membuat kamu masuk ke neraka saqar?" Mereka menjawab, “Kami tidak melakukan shalat, kami juga tidak memberi makan fakir miskin. Kami tenggelam bersama orang-orang yang durhaka dan kami mendustakan Hari Kiamat.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-46)
Kemudian terjadilah adu-bicara sesama mereka sendiri di dalam neraka itu. Orang-orang yang sesat berkata kepada orang-orang yang menyesatkan mereka: “Sesungguhnya kalianlah yang telah menyesatkan kami”. Mereka menjawab, “Justru kalianlah yang menghendaki sendiri hal itu lantas mengikuti kami.” Orang-orang yang tertindas dan lemah berkata kepada orang-orang yang congkak,“Seandainya tidak karena kalian, maka kami ini adalah orang-orang yang beriman." Orang-orang yang sombong itu berkata kepada orang-orang yang lemah, 'Kamikah yang telah menghalangi kalian dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kalian? Tidak, sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa.'" (QS. Saba': 32)
Lalu, mereka berkata kepada setan-setan, ”Sesungguhnya kalianlah yang telah menyesatkan kami." Setan-setan itu pun menjawab mereka, ”Dan berkatalah setan ketika urusan hisab telah diselesaikan, ’Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian dengan janji yang benar dan aku pun telah berjanji kepada kalian akan tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku ini menyuruh kamu, lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak akan dapat menolongmu. Dan kamu pun tidak akan dapat meno-longku." (QS.Ibrahim:22)
Sungguh, tidak ada jalan lain di hadapan mereka kecuali menyerah dan menerima siksaan lantaran kekufuran dan kesesatan mereka. Mereka menetap untuk selama-lamanya di dalam neraka jahim.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan keadaan bumi dan langit ketika terjadi Hari Kiamat!
2. Terangkan permulaan Hari Kiamat dan ciri-cirinya!
3. Terangkan secara rinci Mahkamah Ilahi yang adil!
4. Jelaskan perjalanan orang-orang mukmin dan orang-orang kafir ketika menuju ke tempat abadi mereka!
5. Apakah nikmat surga itu? Jelaskan!
6. Terangkan keadaan neraka dan penghuninya!
7. Jelaskan secara rinci percakapan di antara penghuni neraka!

[1] Lihat surah Az-Zilzal: 1-2, Al-Hajj: 1, Al-Waqi’ah: 4, Al-Muzammil: 14, Al-Insyiqaq: 4, Al-Haqqah: 14, Al-Fajr: 21, At-Takwir: 6, Al-Infithar: 3, Al-Kahfi: 47, An-Nahl: 88, Ath-Thur: 10, Al-Takwir; 2, Al-Ma’arij: 9, dan Al-Qari’ah: 5.
[2] Lihat surah Al-Qiyamah: 8-9, Al-Takwir: 1-2, Al-Infithar: 2, Ath-Thur: 1, Al-Haqqah: 16, Ar-Rahman: 37, Al-Mursalat: 9, An-Naba’: 19, Al-Anbiya’: 104, Al-Furqan: 25, Ad-Dukhan: 10.
[3] Lihat surah Ibrahim: 21, Al-'Adiyat: 10, Ath-Thariq: 9, Qof: 22, Al-Haqqoh: 18, Al-Hajj: 56, Al-Furqon: 26, Ghafir: 16, Al-Infithor: 19, Hud: 105, Thaha: 108, An-Naba': 38, 'Abasa: 34, Asy-syuara': 88, Al-Ma'arij: 10-14, Luqman: 33, Al-Baqoroh: 166, Al-Mu'minun: 101, dan Az-zukhruf: 67.
[4] Lihat surah Al-An'am: 31, 70, 160, Maryam: 39, 87, Yunus: 54, 59, Ali-Imran: 30, 91, Lukman: 33, Al-Ma'idah: 36, Al-Hadid: 15, At-Takwir: 14, Al-Isra': 49, 13-14, Al-Haqqah: 19, Al-Insyiqaq: 7-10, Ar-Rahman: 39, Az-Zumar: 7, 24, 69, 75, Al-Baqarah: 143, 255, 281-286, Ali 'Imran: 140, 25, 161, An-Nisa': 41, 69, Hud: 18, 111, Al-Hajj: 78, Yasin: 65, 54, 47, Fushshilat: 20-21, An-Nur: 24, Al-Mu'minun: 102-103, Al-Qari'ah: 6-8, Al-Jatsiyah: 17, 22, An-Nahl: 25, An-Naml: 78, An-Najm: 26, 40-41, 39, Ibrahim: 51, Thaha: 15, 109, Ghafir: 17, Ath-thur: 21, Al-Muddatsir: 38, Al-'Ankabut: 13, Fathir: 18. Saba': 23, dan Az-Zukhruf: 87.
[5] Lihat surah Al-A'raf: 33, Al-Anfal: 37, Ar-Rum: 14-16, 43-44, Asy-Syura': 7, Hud: 105-108, Yasin: 59, Az-Zumar: 60, 71, 73, Ar-Ra'd: 23-24, Ali 'Imran: 106, Al-An'am: 124, Yunus: 27, Maryam: 71-72, 86, Thaha: 101, 124-126, Ibrahim: 43, Al-Qamar: 8, Al-Mi'raj: 44, Al-Ghasyiyah: 2, Al-Isra': 72, 97, 'Abasa: 40-41, Al-Hadid: 13-15, At-Tahrim: 6, dan Al-Anbiya': 103.




11 - Perbandingan antara Dunia dan Akhirat

Perbandingan antara Dunia dan Akhirat
Setelah mengetahui sebagian ciri-ciri khas alam akhirat melalui dalil akal dan wahyu, kita dapat mengadakan perbandingan antara alam dunia dan alam akhirat dari beberapa sisi yang berbeda. Beruntung bila ternyata Al-Qur’an melakukan perbandingan ini. Maka itu, kita dapat menggunakan ayat-ayatnya untuk menilai kehidupan dunia dan akhirat secara akurat, dan menerangkan keutamaan alam yang kedua.
Kefanaan Dunia dan Keabadian Akhirat
Perbedaan pertama yang tampak jelas antara alam dunia dan alam akhirat ialah bahwa usia dunia ini sangatlah terbatas dan sementara, sedangkan akhirat bersifat kekal dan abadi. Kita amati bahwa manusia di alam dunia ini memiliki usia dan ajal tertentu, yang pada suatu saat—lambat atau cepat—akan mengalami kematian. Meskipun seseorang dapat hidup dalam usia ratusan atau ribuan tahun di dunia ini, kelak suatu saat hayatnya akan berakhir juga. Dunia ini akan mengalami perubahan yang menyeluruh ketika ditiupkan shur (sangkakala) pada tiupan pertama, sebagaimana telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu. Dari sisi lain, kita temukan lebih dari 80 ayat yang menunjukkan bahwa akhirat itu kekal dan abadi. Sudah pasti bahwa sesuatu yang terbatas—meski usianya sebegitu panjang—jika dibandingkan dengan sesuatu yang tidak terbatas, tidaklah berarti apa-apa.
Dengan demikian, alam akhirat itu jauh lebih utama dibandingkan dengan alam dunia ini dari sisi kekekalannya. Kesimpulan ini juga didukung oleh ayat Al-Qur’an yang sangat banyak jumlahnya dan dengan ungkapan yang beragam, seperti bahwa akhirat itu abqa (lebih kekal), dan bahwa harta kekayaan dunia itu sedikit. Sedang ayat lainnya menegaskan kehidupan di dunia tak ubahnya tumbuh-tumbuhan yang hanya bisa hidup beberapa hari saja lalu mulai menguning dan layu, akhirnya ia kering dan punah. Allah SWT berfirman, “Apa yang ada di sisimu itu akan sirna. Sedang apa yang ada di sisi Kami akan tetap kekal.”
Perbedaan Nikmat dan Azab di Akhirat
Perbedaan utama lainnya antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ialah bahwa kenikmatan dunia itu bercampur dengan rasa lelah dan payah. Kita tidak menemukan sekelompok orang yang hidup di dunia ini yang senantiasa mengalami kesedihan, kesengsaraan dan siksaan di setiap bidang dan waktu. Bahkan seluruh manusia itu hidup—sedikit banyaknya—mendapatkan kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana pula ia mengalami kesedihan, ketakutan dan kesengsaraan.
Adapun alam akhirat terbagi kepada dua bagian yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khas, yaitu surga dan neraka. Di surga tidak terdapat siksa, kelelahan, kepayahan, ketakutan dan kesedihan sedikit pun, sebagaimana di neraka itu hanyalah api, rasa sakit, kerugian, penyesalan dan keresahan. Sudah pasti kelezatan, kepayahan dan rasa sakit di akhirat jauh lebih besar dibandingkan dengan kelelahan dan kenikmatan dunia. Al-Qur’an pun telah memaparkan perbandingan ini dan menjelaskan perbedaan keduanya. Dikatakan bahwa kenikmatan ukhrawi dan kedekatan kepada Allah itu lebih utama dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Al-Qur’an pun menjelaskan siksa akhirat yang jauh lebih nista dan keras dari kelelahan dan musibah duniawi apa pun.
Akhirat sebagai Kehidupan Hakiki
Perbedaan penting lainnya antara dunia dan akhirat adalah bahwa kehidupan dunia itu merupakan mukadimah bagi kehidupan akhirat, sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang sesungguhnya. Karena kehidupan dunia, meskipun nikmat-nikmat materi dan maknawinya itu dituntut oleh manusia, namun melihat kenyataan bahwa kehidupan dunia itu hanyalah tempat ujian dan jalan untuk meraih kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi, kehidupan dunia itu bukanlah yang sejati. Yang sejati adalah bahwa manusia itu menyiapkan bekal untuk kehidupannya di akhirat kelak.
Maka itu, siapa yang melupakan kehidupan akhirat dan pandangannya hanya terfokus kepada kelezatan dunia, serta ia menganggap bahwa kelezatan dunia itu merupakan tujuan terakhirnya, berarti ia belum mengetahui nilai akhirat secara baik. Bahkan ia menduga bahwa dunia itu mempunyai nilai sendiri, karena ia menempatkan sarana sebagai tujuan. Sebenarnya usaha dan penilaiannya itu adalah sia-sia dan penipuan atas diri sendiri. Oleh karena itu, Al-Qur’an menganggap kehidupan dunia ini sebagai permainan, sia-sia dan tipu daya, serta mengangkat akhirat sebagai kehidupan yang hakiki dan sejati.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa hinanya dunia sedemikian itu dalam kaitannya dengan pandangan para pecinta dunia dan orang-orang yang senantiasa hidup dalam kesenangan dunia. Pada dasarnya, kehidupan dunia ini bagi orang-orang yang saleh yang telah mengenal hakikatnya dan memandang dunia ini hanyalah sarana, senantiasa dioptimalkan untuk kebahagiaan mereka yang abadi. Maka, dunia bagi orang-orang seperti ini tidaklah hina dan tercela, malah sebagai sarana yang bernilai besar bagi mereka.
Akibat Mengutamakan Kehidupan Dunia
Setelah kita memahami ciri-ciri khas alam akhirat yang penuh dengan kenikmatan surgawi dan keridaan Ilahi yang jauh lebih mulia dan tinggi nilainya dibandingkan dengan kelezatan duniawi, tidak tersisa lagi keraguan bahwa mengutamakan kehidupan dunia—yang hanya meninggalkan kerugian dan penyesalan—di atas akhirat adalah perbuatan yang bodoh menurut akal sehat. Bodoh, buruk, tercela dan salahnya pilihan tersebut akan lebih nampak ketika kita mengetahui bahwa memilih dan menumpahkan hati pada kelezatannya yang sementara itu bukan saja kendala dalam mencapai kebahagiaan abadi, bahkan dapat menyebabkan kesengsaraan yang abadi pula.
Dengan kata lain, seseorang yang memilih dan mengu-tamakan kelezatan duniawi yang sementara ini untuk meraih kebahagiaan abadi—walaupun sebut saja pilihannya itu tidak membawa dampak buruk pada dirinya di akhirat kelak—ini menunjukkan kebodohan dan kedunguan dirinya, karena ia telah memilih kehidupan dunia dan meninggalkan kelezatan dan kenikmatan akhirat yang bersifat abadi. Yang jelas, tidak seorang pun yang dapat mengelak dari kehidupan abadi. Seseorang yang mengerahkan kesungguhannya demi meraih kehidupan dunia dan kesenangannya dan melupakan atau mengingkari alam akhirat, ia tidak saja jauh dari kenikmatan surga, bahkan akan mendapatkan siksa dan kerugian yang berlipat ganda di jahanam kelak.
Dari sinilah Al-Qur’an menekankan—dari satu sisi—keutamaan nikmat akhirat dan memperingatkan manusia dari tipu-daya dunia. Dari sisi lain, Al-Qur’an memperingatkan keburukan dan bahayanya terikat dengan dunia, melupakan akhirat, mengingkari alam abadi atau ragu tentangnya. Al-Qur’an menekankan bahwa hal-hal semacam ini akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehinaan yang abadi. Kelirulah orang yang mengira bahwa mengutamakan dunia itu hanya akan membuat orang kehilangan pahala akhirat saja, namun di samping kehilangan, justru orang seperti ini akan men-dapatkan siksa abadi.
Rahasia dan hikmah di balik itu adalah bahwa orang yang hatinya terpatri pada dunia ini telah menyia-nyiakan anugerah Ilahi sehingga pohon yang hijau dan rindang itu telah menjadi kering dan rontok di tangannya, padahal diharapkan akan mendatangkan buah yang abadi. Ia telah membuat layu pohon itu dan tidak lagi dapat berbuah. Ia tidak peduli kepada pemberi nikmat yang hakiki. Ia menggunakan nikmat Ilahi itu bukan pada jalan yang diridai Allah SWT. Tatkala penyeleweng seperti ini menyaksikan hasil usahanya yang hampa dan merugikan lantaran pilihannya yang buruk, berharap ingin menjadi tanah sehingga dapat terhindar dari bencana besar dan nasib terakhir yang amat menyakitkan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat!
2. Terangkan sebab-sebab terhinanya dunia!
3. Jelaskan sisi-sisi buruk keterkaitan hati pada dunia!
4. Mengapa tidak adanya iman kepada akhirat akan mengakibatkan siksa yang abadi?




12 - Kaitan Dunia dengan Akhirat

Kaitan Dunia dengan Akhirat
Telah kita ketahui bahwa kehidupan manusia tidak terbatas hanya pada kehidupan duniawi yang semu dan sementara saja, akan tetapi ia akan dikembalikan lagi ke kehidupan lain untuk kedua kalinya di alam akhirat, agar ia hidup selama-lamanya. Telah kita ketahui pula bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki dan sejati, sehingga dunia ini tidak layak untuk disebut sebagai kehidupan bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Kini, tiba saatnya kita membahas relasi antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, dan memberikan batasan jenis relasi itu. Meskipun jenis relasi ini telah jelas pada batasan tertentu melalui pembahasan yang telah lalu. Akan tetapi, menilik sebagian pandangan yang menyimpang dalam bidang ini, selayaknya kita harus lebih banyak memahami tema ini, dan kita akan membahasnya lebih dalam lagi agar kita dapat mengetahui relasi antara dunia dan akhirat melalui dalil akal dan dalil wahyu.
Dunia Sebagai Lahan Akhirat
Pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi itu tergantung kepada perbuatan manusia di dunia ini. Maka itu, tidak mungkin seseorang akan memperoleh kenikmatan ukhrawi dengan cara berusaha keras di alam akhirat itu sendiri, dimana setiap orang yang tubuhnya lebih kuat dan pemikirannya akan lebih cerdas dapat menyiapkan bekal kenikmatan di alam tersebut, atau bagi sebagian penipu yang dapat menggunakan cara muslihatnya akan dapat menguasai hasil jerih-payah orang lain di alam tersebut. Sebagaimana dugaan sebagian manusia, bahwa alam akhirat merupakan alam tersendiri; yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan alam dunia.
Al-Qur’an menukil sebagian kisah kaum kafir:
“Dan aku tidak mengira bahswasannya hari kiamat itu tidak akan terjadi dan sekiranya aku ini dikembalkikan kepada Tuhanku, maka aku akan dapati kebaikan itu terbalik.” (QS. Al-Kahfi: 36)
“Dan aku tidak mengira bahwasannya hari kiamat itu akan terjadi, dan sekiranya aku ini dikembalikan kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku memiliki kebajikan disisi-Nya.” (QS. Fushshilat: 50)
Mereka menduga akan memperoleh kenikmatan yang melimpah di alam akhirat dengan jalan mengerahkan segenap tenaga mereka di alam tersebut, atau menduga bahwa kenikmatan yang mereka peroleh di dunia ini menunjukkan adanya kasih sayang Ilahi yang khusus terhadap diri mereka, dan di akhirat kelak kasih sayang tersebut akan mereka peroleh juga, sebagaimana hal itu mereka peroleh di alam dunia, dengan alasan bahwa sebelumnya mereka telah memperolehnya, yakni di alam dunia.
Jelasnya, seseorang yang percaya bahwa alam akhirat itu merupakan alam yang mandiri dan sama sekali terpisah dari alam dunia, dan amal kebaikan dan keburukan di alam dunia ini tidak berpengaruh pada kenikmatan dan siksa di alam akhirat kelak, ia sama sekali tidak beriman kepada Ma'ad yang merupakan prinsip akidah pada seluruh agama samawi. Sebab, prinsip ini ditopang oleh adanya pahala dan siksa atas amal perbuatan di dunia.
Oleh karena itu, dunia diibaratkan selaksa pasar, tempat jual-beli, berniaga, dan tempat bercocok tanam untuk akhirat. Maka seharusnya bagi setiap manusia mengerahkan segenap potensinya di dunia ini untuk beramal dan bercocok tanam, agar ia memperoleh keuntungan dan hasil yang abadi di akhirat. Inilah yang diperlihatkan oleh dalil-dalil akal Ma'ad dan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dijelaskan yang lebih banyak lagi.
Kenikmatan Dunia dan Kebahagiaan Akhirat
Sebagian orang percaya bahwa harta benda, anak-anak, dan sarana kehidupan yang menyenangkan di alam dunia ini akan membuat mereka tentram, damai dan akan memperoleh kenikmatan di akhirat. Barangkali memendam emas, perak, dan permata yang berharga, bahkan juga sebagian bahan makanan, bersama orang yang telah mati adalah akibat dari kepercayaan semacam ini.
Al-Qur’an menekankan bahwa harta benda, dan anak-anak itu sendiri (terlepas dari sikap manusia terhadapnya) tidak menyebabkan dekatnya seseorang kepada Allah, tidak pula sama sekali berpengaruh positif bagi seseorang di alam akhirat kelak. Di alam tersebut akan terputus seluruh hubungan, sebab-sebab dan berbagai ikatan duniawi. Setiap orang akan meninggalkan berbagai kekayaannya dan segala hal yang berhubungan dengannya. Ia akan digiring di hadapan Allah seorang diri. Ketika itu, tidak tersisa lagi ikatan apa pun selain ikatan maknawi dengan Allah SWT.
Maka itu, orang-orang mukmin yang menjalin ikatan dengan istri-istri, putra-putri, dan sanak-kerabat mereka berdasarkan iman akan berkumpul kembali bersama-sama di dalam surga.
Kesimpulannya, ikatan dan hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah seperti hubungan dan ikatan antara makhluk di alam dunia ini, tidak pula seperti yang diduga oleh sebagian orang bahwa apabila seseorang di alam dunia ini lebih banyak kekuatan, kelezatan, kenikmatan, kekayaan dan keindahannya, ia akan digiring dalam keadaan yang sama di akhirat nanti. Jika memang demikian, orang seperti Fir’aun dan Qarun akan lebih banyak memperoleh kebahagiaan di alam akhirat. Yang jelas, sebagian orang yang hidupnya di alam dunia ini mengalami kelelahan, kepayahan, dan kesengsaraan, namun hanya karena usahanya melakukan kewajiban-kewajiban Ilahi, mereka itu akan digiring dalam keadaan selamat, mulia, penuh keindahan dan kekuatan, akan memperoleh kenikmatan abadi di alam akhirat kelak.
Sebagian orang-orang yang bodoh mengira bahwa ayat yang berbunyi, “Dan barang siapa yang buta di alam dunia ini, maka di alam akhirat pun ia akan buta dan sesat dari jalan yang benar.” (QS. Al-Isra': 72) mengandung hubungan positif. Arti-nya, keselamatan dan kenikmatan duniawi melazimkan keselamatan dan kenikmatan akhirat. Mereka lalai bahwa maksud dari “buta” di dalam ayat ini bukan berarti buta lahiriyah, akan tetapi “buta mata hati”, sebagaimana disinggung dalam ayat lain,“Sesungguhnya pandangan mata itu tidak buta, akan tetapi yang buta adalah pandangan hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Kami maka ia akan mengalami kehidupan yang sempit dan akan Kami bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, 'Wahai Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan kami dalam keadaan buta, Padahal sebelumnya aku melihat?' Kemudian Dia berfirman, 'Demikianlah ketika datang ayat-ayat Kami, kemudian engkau melupakannya dan demikian pula engkau pada hari ini dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)
Jadi, sebab kebutaan di alam tersebut lantaran melupakan ayat-ayat Ilahi di dunia ini, bukan karena buta mata di kepala. Dengan demikian, hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah hubungan antara sebab-sebab dunia, akan tetapi suatu bentuk hubungan yang khas.
Kenikmatan Duniawi tidak Berarti Kesengsaraan Ukhrawi.
Sebagian orang malah percaya bahwa ada hubungan terbalik antara kenikmatan-kenikmatan dunia dan kenikmatan-kenikmatan akhirat, yaitu bahwa orang-orang yang akan memperoleh kebahagian akhirat adalah mereka yang tidak mendapatkan kenikmatan dunia. Begitu pula sebaliknya, yaitu mereka yang memperoleh kenikmatan dunia yang melimpah ruah, tidak akan memperoleh kebahagiaan akhirat.
Sehubungan dengan ini, mereka menggunakan sebagian ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa penyembah dunia tidak akan mendapatkan keuntungan apapun di akhirat. Mereka lalai bahwa mencari dunia dan terikat olehnya tidak berarti memenuhi kenikmatan dunia. Tetapi sesungguhnya "pencari dunia" adalah orang yang menjadikan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama usaha dan perbuatannya. Dan mereka telah mengerahkan segenap wujudnya untuk memperoleh kelezatan tersebut walaupun secara faktual mereka belum memperolehnya.
Adapun "pencari akhirat" adalah orang yang hatinya tidak terikat sedikit pun oleh kesenangan-kesenangan duniawi, tujuan hidupnya hanyalah akhirat, meskipun mereka banyak memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia, seperti Nabi Sulaiman as dan para wali Allah as, dimana mereka memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia yang begitu banyak, tetapi mereka menggunakannya untuk mencari kebahagiaan akhirat dan keridhaan Allah SWT.
Oleh sebab itu, tidak ada kelaziman antara memperoleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dan meraih kenikmatan-kenikmatan ukhrawi, Sebagaimana pula tidak ada hubungan negatif antara keduanya. Akan tetapi kenikmatan-kenikmatan duniawi itu, demikian pula halnya dengan bencana-bencana duniawi, telah ditebarkan di tengah umat manusia berdasarkan pengaturan Ilahi yang bijak. Semua itu Allah jadikan sebagai sarana untuk menguji umat manusia. Memperoleh atau tidak kenikmatan dunia yang melimpah tidaklah menunjukkan dekat-dekatnya seseorang kepada rahmat Ilahi, tidak juga menjanjikan kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini ialah bahwa mengingkari hubungan antara dunia dan akhirat sama dengan mengingkari prinsip Ma'ad. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa meyakini adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat, sebagaimana pula tidak adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan siksa akhirat, ataupun sebaliknya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah semacam hubungan antara makhluk-makhluk dunia yang tunduk kepada hukum-hukum fisika dan biologi. Bahkan, yang menyebabkan kebahagiaan atau siksa akhirat itu adalah usaha manusia itu sendiri secara bebas di dunia ini. Usaha ini tidak berarti hanya mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan serta menciptakan sebagian perubahan pada hal-hal yang bersifat materi. Akan tetapi, keluarnya tenaga dan usaha itu dilihat dari sisi keimanan atau kekufuran pelakunya.
Inilah yang ditunjukkan ratusan ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa kebahagiaan akhirat itu bergantung pada iman seseorang kepada Allah, Hari Kiamat, para nabi dan mengamalkan berbagai perbuatan yang diridai Allah SWT. seperti: shalat, puasa, jihad, infak, berbuat ihsan (kebaikan) kepada hamba Allah, amar makruf dan nahi munkar, memberantas kekafiran, kejahatan, dan orang-orang zalim, serta menegakkan keadilan.
Al-Qur’an juga menekankan bahwa bencana dan siksa abadi itu disebabkan oleh kekafiran, kesyirikan, kemunafikan, pengingkaran atas Hari Kiamat dan para nabi, serta berbagai maksiat dan kezaliman. Banyak pula ayat yang menekankan secara global bahwa faktor kebahagiaan akhirat itu adalah iman dan amal saleh. Sedang faktor kesengsaraan yang abadi adalah kekafiran dan maksiat.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah kritik terhadap orang yang mengingkari hubungan antara dunia dan akhirat?
2. Terangkan maksud dari statemen ini: “Dunia adalah lahan akhirat”!
3. Apakah hubungan antara kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrwai?
4. Apakah hubungan antara kenikmatan duniawi dan siksa ukhrawi?
5. Apakah perkara-perkara dunia yang mewujudkan hubungan hakikinya dengan kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat?




                                      13 - Jenis Hubungan

Jenis Hubungan antara Dunia dan Akhirat
Pada pelajaran yang lalu kita telah mengetahui bahwa terdapat hubungan lurus antara iman dan amal saleh dari satu sisi, dan antara kedekatan Ilahi dan nikmat ukhrawi dari sisi lain. Demikian pula, antara kufur dan maksiat dari satu sisi dan antara jauh dari Allah dan kerugian akan nikmat-nikmat yang abadi dari sisi lainnya.
Begitu pula, terdapat hubungan terbalik antara iman-amal saleh dan siksa akhirat, dan antara kufur-maksiat dan kenikmatan yang abadi. Tak syak lagi bahwa Al-Qur’an mengakui hubungan-hubungan semacam ini. Maka, mengingkarinya sama dengan mengingkari Al-Qur’an itu sendiri.
Akan tetapi, ada bebarapa pembahasan seputar masalah ini yang perlu didudukkan secara lebih jelas. Misalnya, Apakah hubungan-hubungan di atas itu adalah hakiki dan takwini, ataukah ia hanyalah hubungan buatan dan konvensional? Dan apa hubungan antara iman dan amal saleh? Antara kufur dan maksiat? Lalu, apakah terdapat pengaruh antara perbuatan-perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk itu sendiri?
Pada pelajaran ini, kami akan memfokuskan telaah pada pertanyaan pertama dan berusaha menjelaskan bahwa hubungan-hubungan tersebut bukanlah perkara buatan dan hasil kesepakatan.
Hubungan Hakiki ataukah Buatan?
Telah kami sebutkan berulang kali bahwa hubungan antara perbuatan duniawi, nikmat dan siksa akhirat tidak sejenis hubungan materi dan fisikal sebagaimana umumnya, dan tidak mungkin ditafsirkan melalui dasar dan hukum fisika, kimia dan semacamnya. Maka, tidaklah tepat bila sebagian orang percaya bahwa energi yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan—berdasarkan teori berubahnya materi menjadi energi dan sebaliknya—akan berbentuk (tajassum) di akhirat. Yakni, di akhirat kelak, perbuatan itu akan tampak dalam bentuk kenikmatan atau siksa ukhrawi.
Ada beberapa alasan yang dapat meragukan kepercayaan ini. Di antaranya:
Pertama, mungkin saja energi yang digunakan oleh manusia untuk berbicara dan bekerja tidak bisa berubah menjadi sebuah apel, dan lebih tidak mungkin lagi bila berubah menjadi kenikmatan surgawi yang tidak terhitung banyaknya.
Kedua, ihwal perubahan materi menjadi potensi dan sebaliknya terjadi karena faktor-faktor tertentu yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan yang baik dan yang buruk serta niat si pelaku, juga tidak dapat dibedakan oleh hukum alam mana pun antara amal perbuatan yang ihklas dan amal perbuatan yang riya’, sehingga energi salah satu dari keduanya itu berubah menjadi kenikmatan, dan energi yang lainnya berubah menjadi azab.
Ketiga, energi yang pernah digunakan di jalan ibadah sangat mungkin dapat digunakan lagi di jalan maksiat.
Akan tetapi, mengingkari hubungan seperti ini tidak berarti mengingkari hubungan yang hakiki secara mutlak, karena ruang lingkup hubungan-hubungan yang hakiki juga meliputi hubungan-hubungan yang tidak diketahui dan yang tidak tunduk kepada empiris.
Sesungguhnya ilmu-ilmu empirik, selain tidak dapat digunakan untuk menilai hubungan sebab-akibat antara fenomena duniawi dan fenomena ukhrawi, juga tidak dapat digunakan untuk menggugurkan hubungan sebab-akibat manapun di antara mereka sendiri.
Maka, asumsi adanya pengaruh amal yang baik atau yang buruk terhadap jiwa pelaku, dan adanya kualitas-kualitas kejiwaan yang mendatangkan kenikmatan atau siksa ukhrawi—sebagaimana adanya pengaruh sebagian jiwa pada sebagian fenomena duniawi yang luar biasa—tidak dapat dianggap sebagai asumsi yang tidak logis. Bahkan, hal itu dapat dibuktikan melalui premis-premis filosofis secara khusus. Hanya saja kadar buku ini tidak cukup menampung penjelasan premis-premis tersebut.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Barangkali pikiran kita menangkap adanya hubungan buatan dan konvensional dari kebanyakan ayat Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang mengisyaratkan ihwal pahala dan balasan, namun terdapat ayat-ayat yang memberi pengertian yang khas. Bahwa hubungan antara perbuatan manusia dan pahala atau siksa ukhrawi bukan sekedar hubungan buatan.
Maka itu, dapat dikatakan bahwa kelompok pertama dari ayat-ayat Al-Qur’an itu ditunjukkan untuk menyederhanakan masalah dan beradaptasi dengan pemahaman kebanyakan manusia yang lebih akrab dengan arti-arti konvensional itu.
Begitu pula kita menemukan bukti yang banyak di dalam riwayat-riwayat nan mulia yang menunjukkan bahwa usaha bebas manusia mempunyai aneka bentuk malakuti dan akan tampak di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, kelak.
Berikut ini adalah contoh-contoh dari ayat Al-Qur’an yang menunjukkan atas adanya hubungan yang hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya.
“Dan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian berupa kebaikan, kalian mendapatinya di sisi Allah." (QS. Al-Baqarah: 110)
“Pada hari di mana tiap-tiap diri mendapati kebajikan dihadapkan kepadanya, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau sekiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (QS. Ali 'Imran: 30)
“Pada hari di mana seseorang melihat apa yang telah ia lakukan.” (QS. An-Naba’ :20)
“Barang siapa melakukan kebaikan seberat dzarrahpun niscaya ia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun niscaya ia kan melihat balasannya pula."(QS. Az-Zalzalah: 7-8)
“Kalian tidak dibalas melainkan apa yang kalian telah kerjakan.” (QS. An-Naml: 90)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya sebenarnya mereka itu memakan api di dalam perutnya.” (QS. An-Nisa’: 10)
Jelas bahwa sekedar melihat apa yang telah diperbuat di dunia pada hari kiamat nanti—pada dasarnya—bukan merupakan pahala atau siksa atas seseorang. Bentuk malakuti dari perbuatan itulah yang nantinya akan menjelma dalam bentuk kenikmatan atau siksa yang beraneka macam. Dengan itu, manusia mendapatkan kenikmatan atau siksa.
Keterangan ini juga dapat kita pahami dari ayat terakhir, yaitu bahwa dan bentuk batin pemakan harta anak-anak yatim sesungguhnya ia memakan api. Dan ketika tersingkap berbagai hakikat di alam akhirat, ia akan dapat melihat bahwa batin dan bentuk hakiki dari makanan haram tersebut adalah api yang akan memecahkan perutnya. Saat itulah ia diingatkan, bahwa api ini tidak lain adalah harta haram yang kau makan selagi di dunia![]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Berikan kritik terhadap penafsiran terbentuknya amal perbuatan melalui perubahan energi menjadi materi yang digunakan di dalam berbuat!
2. Bagaimana kita menerangkan hubungan hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya secara logis?
3. Apakah ayat-ayat yang menunjukkan berbentuknya amal ibadah dan maksiat?
4. Mengapa sebagian ayat menggunakan ungkapan-ungkapan; balasan, pahala, siksa dan semisalnya?
5. Apakah mungkin berbentuknya amal itu ditafsirkan dengan kehadiran amal dalam bentuknya yang duniawi itu sendiri? Mengapa?




14 - Pengaruh Iman dan Kufur pada Kebahagiaan dan Kesengsaraan Abadi

Pengaruh Iman dan Kufur pada Kebahagiaan dan Kesengsaraan Abadi
Apakah iman dan amal saleh merupakan dua faktor yang masing-masing secara mandiri dapat mendatangkan kebahagiaan abadi? Ataukah kebahagiaan ini merupakan hasil perkalian dari kedua-duanya sekaligus, dimana salah satunya tidak berarti apa-apa dalam mendatangkan kebahagiaan bila terlepas dari yang lainnya?
Pertanyaan senada juga bisa diangat mengenai kekufuran (lawan iman) dan maksiat. Yakni, apakah masing-masing kekufuran dan maksiat merupakan dua faktor yang secara terpisah dapat menyebabkan siksa abadi? Ataukah siksa abadi ini terjadi akibat gabungan dua faktor tersebut?
Lalu, berdasarkan pertanyaan kedua, jika manusia hanya memenuhi iman saja, atau amal saleh saja, maka apakah akibat dan resiko yang kelak akan ia hadapi? Begitu pula jika seseorang bersikap kekufuran saja, atau ia hanya melakukan maksiat, apakah yang akan terjadi ke atas dirinya? Kemudian apabila seorang mukmin melakukan dosa-dosa yang begitu banyak, atau seorang kafir melakukan kebajikan yang sangat banyak, apakah kelak ia akan bernasib bahagia ataukah bernasib celaka? Pada kedua bentuk pertanyaan terakhir, apabila seseorang hidup pada suatu saat dalam keadaan konsisten pada keimanan dan amal saleh, dan pada saat lain ia mengambil sikap kufur atau berbuat maksiat, apakah akhir hidup yang akan dijumpainya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas telah dibahas sejak abad pertama Hijriah. Di dalam masyarakat Islam, kaum Khawarij berkeyakinan bahwa melakukan maksiat merupakan faktor yang cukup dan mandiri dalam mendatangkan kesengsaraan abadi. Menurut mereka, perbuatan maksiat malah akan mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan. Kelompok lain seperti Murji’ah berkeyakinan bahwa hanya imanlah yang akan membentuk kebahagiaan abadi. Adapun perbuatan maksiat sama sekali tidak mengancam kebahagiaan seorang mukmin.
Yang perlu dikatakan di antara dua keyakinan ekstrim itu ialah bahwa tidak setiap maksiat itu menyebabkan kekufuran dan kesengsaraan abadi. Meskipun bisa saja akibat menumpuknya dosa, maksiat tersebut akan menyebabkan tercabutnya iman. Dari sisi lain, tidak benar pula jika dinyatakan bahwa sekedar iman akan mengakibatkan diampuninya segala dosa dan maksiatnya, dan dengan hanya imanlah maksiat itu tidak berarti apa-apa.
Di awal pelajaran ini kami akan menjelaskan hakikat iman dan kufur. Setelah itu barulah kami mambahas pengaruh iman dan kufur terhadap pencapaian kebahagiaan dan kesengsaraan yang abadi.Adapun masalah-masalah lain akan kami bahas pada pelajaran selanjutnya, Insya Allah.
Hakikat Iman dan Kufur
Iman merupakan kondisi hati dan jiwa yang timbul dari pengetahuan tentang sesuatu dan kecondongan kepadanya. Iman itu bisa bertambah, bisa berkurang, tergantung pada lemah atau kuatnya kedua faktor tersebut, yaitu pengetahuan dan kecondongan. Seseorang yang tidak mengetahui atau menduga adanya sesuatu, ia tidak akan beriman kepadanya.
Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup untuk membangun keimanan di dalam diri seseorang, karena sangat mungkin apa yang diketahuinya atau konsekuensi-konsekuensinya bertentangan dengan keinginan dan kecondongannya, yaitu tatkala ia condong kepada apa yang bertentangan dengan pengetahuannya. Maka itu, ia tidak bersungguh-sungguh dan komit pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuannya. Bisa jadi ia malah memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT. mengenai raja-raja Fir’aun:
“Mereka itu mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi." (QS. An-Naml:14)
Dalam menjawab Fir’aun, Musa as mengatakan, “Sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi.” (QS. Al-Isra’:102)
Sementara Fir’aun tidak juga beriman. Kepada rakyat ia berkata, “Aku tidak mengetahui adanya Tuhan selain dari aku sendiri.” (QS. Al-Qashas: 38)
Fir’aun hanya beriman pada saat-saat akan tenggelam di lautan. Ketika itu ia menyatakan, “Aku beriman bahwasanya tidak ada tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil.” (QS. Yunus: 90)
Telah kita ketahui bahwa "iman terpepet" seperti ini tidak akan diterima, walaupun bisa saja diberi nama iman.
Dengan demikian, iman itu terkait erat dengan kecon-dongan hati dan usaha bebas. Berbeda dengan pengetahuan yang dapat diperoleh tanpa adanya kebebasan di hadapan objek (maklum). Dari sinilah kita dapat menegaskan bahwa iman itu adalah usaha hati secara bebas. Dan, jika kita perluas pengertian usaha dan perbuatan sampai mencakup perbuatan-perbuatan hati, kita dapat menganggap iman itu sebagai wujud konkret dari sebuah usaha dan perbuatan manusawi.
Adapun kata al-Kufr (kekufuran), terkadang digunakan untuk menerangkan tidak adanya karakter iman. Yakni bahwa kufur itu berati ketiadaan iman, apakah ketiadaan iman itu akibat keraguan, jahl basith (kebodohan sederhana), atau karena jahl murakkab (kebodohan rangkap), atau pun timbul dari kecondongan yang menyimpang dari iman secara sengaja dan angkuh. Terkadang pula kufur itu digunakan dalam arti yang terakhir ini, yaitu kondisi keangkuhan dan pembangkangan. Atas dasar ini, kufur merupakan perkara konkret yang berlawanan dengan iman.
Ukuran Imam dan Kufur
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, dapat kita pahami bahwa batas minimal dari iman yang mesti dipenuhi oleh seseorang—untuk meraih kebahagiaan yang abadi—ialah iman kepada Allah Yang Esa, pahala dan siksa akhirat, dan iman kepada kebenaran apa yang dibawa oleh para nabi as konsekuensi dari iman ini adalah kesungguhan dan tekad secara global untuk mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dan hukum-hukum-Nya. Adapun derajat iman yang tinggi khusus bagi para nabi dan wali Allah SWT.
Sementara, batas awal dari kekufuran ialah meng-ingkari TauhidKenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu tipe konkret dari kekufuran. Adapun nifaq ialah kekufuran di dalam batin dan secara rahasia yang dibarengi dengan penipuan dan pura-pura muslim. Munafik (kafir yang laten) itu lebih busuk dari seluruh tipe kekufuran sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di neraka yang paling bawah.” (QS. An-Nisa': 145)
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa Islam atau kufur yang dibahas dalam pelajaran fikih dan yang menjadi subjek sebagian hukum-hukum Islam seperti: kesucian binatang sembelihan dan kehalalannya, bolehnya menikah dan berlaku tidaknya warisan, semua itu tidak berkaitan dengan iman atau kufur yang tengah kita bahas di dalam Usuluddin ini. Karena, bisa jadi seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat lalu ia wajib menjalankan hukum-hukum fikih Islam, tetapi hatinya tidak beriman pada kandungan tauhid, kenabian dan konsekuensi-konsekuensinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika seseorang tidak mampu mengenal Ushuluddin, misalnya ia mengidap penyakit gila, tidak waras, atau ia tidak dapat mengetahui agama yang hak lantaran kondisi-kondisi yang melingkupinya, orang seperti ini akan diampuni sesuai dengan kadar uzur dan kelemahannya. Tetapi, jika ia memiliki kesiapan untuk mencari kebenaran, lalu ia lalai dan teledor sehingga tetap berada dalam keraguan, atau ia mengingkari Ushuluddin dan hal-hal yang gamblang dan penting dalam agama tanpa dalil yang jelas, tentu ia tidak akan dimaafkan, dan kelak akan diganjar siksa yang abadi.
Pengaruh Iman pada Kebahagiaan-Kesengsaraan Abadi
Berdasarkan kenyataan bahwa kesempurnaan hakiki manusia itu terwujud dalam qurb Ilahi, dan bahwa terjerumusnya manusia akibat keterjauhan dari Allah SWT, dapat kita nyatakan bahwa iman kepada Allah SWT, kepada pengaturan-Nya secara cipta dan tinta yang menuntut keyakinan terhadap Kenabian dan Ma'ad, akan membentuk kesempurnaan hakiki seseorang. Adapun perbuatan yang diridai Allah SWT lebih merupakan cabang dan dan daun sebuah pokok, dan buah hasilnya adalah kebahagiaan abadi yang akan dijumpai di hari akhirat kelak.
Dengan demikian, apabila seseorang tidak menyemaikan benih keimanan di dalam hatinya, dan tidak menanamkan pokok yang berkah ini, atau ia malah menaburkan benih-benih kekufuran dan maksiat yang beracun di dalam hatinya, sungguh ia telah menyia-nyiakan nikmat Ilahi yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia menanam pohon yang mendatangkan buah zaqum jahanam. Orang yang menyimpang seperti ini tidak mendapatkan jalan kebahagian abadi yang dapat ditempuh. Sementara amal kebajikannya tidak melampaui batas-batas dunia ini.
Mengapa demikian? Pada hakikatnya, setiap perbuatan dan usaha bebas merupakan proses dan gerak ruh menuju satu tujuan yang diinginkan oleh pelakunya. Maka, seseorang yang yang tidak percaya akan alam akhirat yang abadi dan derajat qurb Ilahi, bagaimana ia akan dapat menyadari dan menatap akhirat dan Qurb Ilahi itu sebagai tujuannya, dan bagaimana ia akan mengarahkan usaha dan aktifitasnya itu searah dengan tujuan tersebut? Tentu orang seperti ini tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pahala abadi dari Allah SWT. Maksimal, amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir hanya berpengaruh dalam meringankan siksa mereka saja. Karena, bisa jadi kebajikan itu akan melemahkan semangat pengingkaran dan penyembahan terhadap hawa nafsu.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Kita amati bahwa Al-Qur’an sangat menekankan adanya pengaruh dasari dan positif pada iman dalam menurunkan kebahagiaan abadi untuk seseorang. Di samping itu, Al-Qur’an menyebutkan puluhan ayat mengenai amal saleh setelah menyebutkan iman dalam satu susunan kalimat. Sebagian ayat menekankan bahwa iman itu merupakan syarat utama sehingga amal-amal saleh berperan dalam menciptakan kebahagiaan abadi. Allah SWT berfirman, “Dan barang siapa melakukan amal-amal saleh baik ia itu laki-laki ataupun wanita dan ia orang yang beriman, maka kelak ia akan masuk surga”. (QS. An-Nisa’: 124)
Ini dari satu sudut. Dari sudut lain, kita melihat bagaimana Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah SWT telah menyiapkan jahanam dan siksa abadi bagi orang-orang kafir, dan menilai amal perbuatan mereka itu batil dan tidak berarti sama sekali. Al-Qur’an mengumpamakan amal mereka itu bagaikan debu-debu yang beterbangan ketika tertiup angin kencang, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun. Allah SWT befirman,
“Orang-orang kafir kepada Tuhannya, amal ibadah mereka laksana debu-debu yang ditiup angin kencang pada suatu hari dimana angin bertiup kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia ini. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS. Ibrahim: 18)
“Dan Kami ajukan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu-debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)
Di ayat lain, Al-Qur’an mengumpamakan amal kebajikan mereka bagaikan fatamorgana yang tampak dari kejauhan oleh mereka yang sedang kehausan, namun setelah didekati mereka tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka itu laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Akan tetapi ketika ia mendatangi air itu ia tidak mendapati apa-apa sama sekali. Dan ia mendapati Allah disisinya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganya.” (QS. An-Nur: 39)
Kemudian Allah SWT berfirman, “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak, yang iatasnya ombak pula, iatasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih menindih, apabila ia megeluarkan tangannya, ia tidak dapat melihatnya. Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya petunjuk oleh Allah maka ia tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nur: 40)
Terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa hasil perbuatan para penuntut dunia itu akan diberikan di alam dunia ini saja.Sementara di akhirat kelak, mereka tidak mendapat apa-apa, karena perbuatan mereka tidak lagi berarti bagi mereka sendiri. Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pandangan kaum Khawarij dan Murji’ah mengenai masalah iman dan kufur! Jelaskan pula pandangan yang benar yang menentang kedua pandangan tersebut!
2. Terangkan hakikat iman dan kufur serta hubungan keduanya dengan pengetahuan dan kebodohan!
3. Jelaskan derajat awal dari iman dan kufur!
4. Terangkan hubungan antara syirik dan nifak dengan kufur!
5. Apakah hubungan Islam dan kufur secara fiqih dengan iman dan kufur secara teologis?
6. Jelaskan pengaruh iman dan kufur terhadap kebahagiaan dan kesengsaraan yang abadi!
7. Sebutkan bukti-bukti Al-Qur’an atas adanya pengaruh iman dan kufur itu!




15 - Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal

Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal
Telah kita ketahui bahwa ada dua faktor utama sepanjang usaha meraih kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, yaitu iman dan kufur. Hanya iman yang kokoh dan istiqamahlah yang menjamin kebahagiaan abadi, walaupun perbuatan dosa itu mengakibatkan sebagian siksa. Dari sisi lain, kekufuran yang terus menerus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Dengan kekufuran, tidak ada amal kebaikan apapun yang berpengaruh pada pencapaian kebahagiaan abadi.
Juga telah kita ketahui bahwa iman dan kufur itu bisa bertambah, bisa juga berkurang. Dan sangat mungkin bertumpuknya dosa itu menyebabkan hilangnya iman dari pelakunya. Demikian pula, amal-amal kebaikan dapat menyebabkan lemahnya akar-akar kekufuran, bahkan mungkin dapat membuka jalan untuk meraih iman.
Dari sini muncul pertanyaan penting mengenai hubungan antara iman dengan amal. Pada pelajaran ini, kami berusaha untuk menjawabnya.
Hubungan Iman dengan Amal
Perlu kami ulang bahwa iman adalah kondisi jiwa yang timbul atas dasar pengetahuan dan kecenderungan. Iman ini menuntut sang mukmin agar bertekad dan berkehendak secara global untuk komitmen pada konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh karena itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun bermaksud untuk tidak mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, sebenarnya ia belum beriman kepada sesuatu itu. Begitu pula orang yang ragu untuk mengamalkannya. Allah SWT berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.” Katakanlah kepada mereka, “Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.'" (QS. Al-Hujurat: 14)
Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa-nafsu dan nafsu ammarah-nya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi kon-sekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman itu tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.
Hubungan Amal dengan Iman
Ada kalanya, usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman, “Kepada-Nyalah kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal saleh itu mengangkatnya”. (QS. Fathir: 10)
Juga di tempat lain, Al-Qur’an menekankan bahwa orang-orang yang saleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membentung dorongan buruk tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya.
Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya, sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan kehinaan yang lebih dalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan.
Pada ayat berikut ini Al-Qur’an menceritakan orang-orang yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan:
“Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkari apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta.” (QS. At-Taubah: 77)
“Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” (QS. Ar-Rum: 10)
Kesimpulan
Dengan memperhatikan adanya hubungan imbal-balik antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih kebahagiaan seseorang, kita dapat mengumpamakan kehidupan yang bahagia dengan sebuah pohon yang akar-akarnya adalah iman kepada Allah Yang Esa, kepada rasul, risalah dan syariatnya, kepada Hari Kebangkitan, pahala dan siksa Ilahi. Adapun pokoknya adalah kehendak dan tekad yang kuat untuk mengamalkan segala konsekuensi yang tumbuh dari akar-akar iman tersebut. Sedang dahan-ranting dan dunnya adalah amal-amal saleh tumbuh dari akar-akar yang sama melalui pokok tersebut. Maka, buah perkalian akar, pokok, dahan dan daun demikian ini adalah kebahagiaan yang abadi. Pohon yang tidak mempunyai akar tidak akan menumbuhkan dahan dan daun, serta tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keberadaan akar itu tidak selalunya melazimkan adanya dahan dan dedaunan yang sesuai, atau menghasilkan buah yang diharapkan. Mungkin saja dahan dan daun-daun sebuah pohon itu tidak tumbuh lantaran faktor-faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, sehingga ia tercemari oleh berbagai macam hama.
Bahkan, sangat mungkin faktor-faktor itu membuat pohon tersebut menjadi kering lalu mati. Tentu, tidak satu buah pun yang bisa diharapkan darinya. Begitu pula, apabila dahan, cabang dan pokok, atau bahkan akar pohon itu dipupuk secara tidak benar, malah mengakibatkan berubahnya pohon tersebut menjadi jenis lain. Inilah perumpamaan berubahnya iman menjadi kekufuran.
Alhasil, dapat dikatakan bahwa iman kepada hal-hal tersebut di atas itu merupakan faktor utama yang menentukan kebahagiaan hakiki seseorang. Hanya saja, sempur-nanya pengaruh positif faktor ini amat tergantung kepada bahan-bahan pupuk dan konsumsi semestinya; yakni melakukan amal-amal saleh, dan merawatnya sehingga terlindung dari berbagai penyakit dan bahan-bahan pupuk yang membahayakan, dengan cara menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan kewajiban dan dan melakukan larangan dapat melemahkan akar keimanan, bahkan bisa membuatnya kering. Atau, percaya akan akidah-akidah yang sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.[]
Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengaruh iman terhadap amal-usaha yang baik!
2. Terangkan pengaruh amal-usaha yang baik atau yang buruk terhadap kadar kuat-lemahnya iman!
3. Jelaskan macam-macam hubungan imbal balik antara iman dan amal, serta hubungan keduanya dengan kebahagiaan manusia!




16 - Beberapa Catatan Penting

Beberapa Catatan Penting
Mukaddimah
Terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki penge-tahuan yang cukup mengenai peradaban besar Islam, dan menilai perbuatan manusia secara lahiriyah dan dari lapisan luarnya, tanpa peduli terhadap peran penting tujuan dan niat pelakunya. Secara istilah dinyatakan bahwa, mereka tidak meyakini baiknya pelaku (husn fa'ili) selain baiknya perilaku (husn fi'li) pada sebuah perbuatan. Atau, mereka meyakini bahwa standar nilai suatu perbuatan itu terletak pada pengaruhnya dalam menciptakan ketentraman hidup orang lain di dunia.
Orang-orang demikian itu telah melakukan penyimpangan dalam menangani berbagai ajaran-ajaran Islam, atau mereka tdak mampu memahami dan menafsirkannya secara baik. Termasuk di antara penyimpangan itu kesalahan mereka dalam menafsirkan peran iman dan hubungannya dengan amal-amal saleh, pengaruh-pengaruh negatifnya terhadap kekufuran dan syirik, serta dalam menafsirkan keutamaan sebagian amal-amal kecil yang temporal atas amal-amal yang besar dan berjangka panjang.
Misalnya, mereka memandang bahwa penemu-penemu besar yang telah menyediakan berbagai sarana kenyamanan hidup untuk umat manusia, atau tokok-tokoh pembaruan dan para pejuang kemerdekaan yang telah mengangkat kebebasan bangsa mereka, tentu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di akhirat, walaupun tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Pada intinya, pandangan ini menyimpulkan bahwa keimanan yang cukup untuk kebahagiaan hakiki ialah keimanan keimanan pada nilai-nilai kemanusiaan dan puncak pembelaan atas para pekerja dan kaum buruh di dunia ini. Bahkan, mereka menganggap konsep Allah sebagai sebuah nilai moral semata-mata!
Walaupun pelajaran-pelajaran yang lalu telah memperlihatkan titik-titik kelemahan dan kekeliruan pada pandangan-pandangan semacam ini, namun mengingat penyebaran dan pengaruh-pengaruh negatifnya di masa-masa sekarang ini atau pun bagi generasi yang akan datang, kami melihat hal itu sangat mendesak untuk dikaji sedikit lebih rinci.
Tentunya, pengkajian komprehensif ini memerlukan kesempatan yang lebih luas. Untuk itu, di sini kami hanya memaparkan beberapa permasalahan dan catatan penting yang berkaitan dengan dimensi-dimensi teologisnya dan sesuai dengan metodologi buku ini.
Kesempurnaan Hakiki Manusia
Dalam pembandingan pohon apel dengan pohon pada kodratnya memang tidak berbuah, jelas bahwa pohon apel itu lebih bernilai dan lebih berarti ketimbang pohon kedua. Kejelasan ini tampak tidak hanya karena manusia telah mendapatkan banyak manfaat dari buah tersebut, akan tetapi karena pohon apel itu sendiri memiliki wujud yang lebih sempurna, dan memiliki pengaruh wujud yang lebih banyak. Namun, tatkala pohon apel itu tercemari dan menyimpang dari garis kesempurnaan dan perkembangannya, ia akan kehilangan nilainya, dan barangkali ia menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan bagi pohon-pohon yang lain.
Perihal pohon apel dan pohon-pohon lain di atas ini dapat mendekatkan perbandingan posisi manusia dan seluruh makhluk hidup. Ketika manusia sampai kepada kesempurnaan yang semestinya dan nampak pengaruh-pengaruh wujudnya yang sesuai dengan fitrahnya, ia akan lebih bernilai di atas seluruh makhluk hidup lainnya. Akan tetapi, jika ia terkena berbagai penyakit dan penyelewengan, boleh jadi ia malah lebih hina dan lebih berbahaya ketimbang seluruh makhluk hidup. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa sebagian manusia lebih busuk daripada seluruh hewan yang ada dan lebih hina ketimbang binatang ternak.
Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain, orang-orang yang peduli pada pohon apel pada masa-masa berbuahnya saja, menyangka bahwa masa-masa itu tidak lain adalah puncak kesempurnaannya. Juga demikian, orang-orang yang hanya melihat kesempurnaan menengah manusia, tidak akan memahami dan mencapai puncak kesempurnaan hakiki dirinya, karena mereka tidak mengetahui nilai hakikat manusia yang sesungguhnya.
Maka itu, kesempuraan hakiki manusia hanya akan dicapai oleh seseorang yang mengenalnya. Hanya masalahnya, kesempurnaan hakiki itu tidak semacam kesempurnaan fisikal, karena sebagaimana telah dijelaskan tadi, bahwa hakikat manusia terkait erat dengan ruhnya, dan bahwa proses kesempurnaan seseorang sebenarnya merupakan penyempurnaan ruh itu sendiri yang dijalani melalui kesungguhan dan amal-usaha bebasnya, apakah itu amal batin hati ataukah amal lahiriyah badan. Dan kita tidak dapat mengenal atau mengukur kesempurnaan ini melalui pengalaman-pengalaman indra atau alat-alat ukur kuantitas. Tentunya, kita pun tidak akan bisa mengusahakan kesempurnaan hakiki di dalam laboratorium atau memalui alat-alat empirik dan saintik. Jadi, jika manusia sendiri belum sampai pada kesempurnaan ini dan belum merasakannya dalam bentuk pengetahuan hudhuri dan syuhudi qalbi (penyaksian hati), ia harus mengetahuinya melalui dalil akal, atau melalui wahyu dan keterangan kitab-kitab samawi.
Adapun dari sudut pandang Al-Qur'an dan hadis-hadis Ahlul Bait yang maksum, tidak diragukan lagi bahwa puncak kesempurnaan manusia adalah satu derajat dari sekian derajat wujudnya yang dinamakan sebagai Qurb Ilahi (kedekatan diri di sisi Tuhan). Dampak baik dan kesan mulia derajat ini akan tampak pada nikmat-nikmat yang abadi dan keridhaan Ilahi yang akan dijumpai di alam akhirat. Dan jalan utamanya adalah ibadah kepada dan takwa Allah di dalam segenap urusan hidup individu dan sosial.
Adapun menurut perspektif akal, kesempurnaan hakiki manusia dapat dibuktikan oleh dalil-dalil akal yang rimut, teliti, dan butuh pada sejumlah premis filosofis. Di sini kami akan berusaha untuk menjelaskannya secara sederhana:
Penafsiran Rasional
Sesungguhnya manusia diciptakan atas dasar kecintaan dan kecenderungannya kepada kesempurnaan yang tak terbatas. Maka, ia memandang ilmu dan kekuasaan sebagai manifestasi kesempurnaan ini, dan pencapaiannya akan mendatangkan kenikmatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang abadi. Seseorang akan dengan mudah menjumpai kesempurnaan ini jika ia dapat berhubungan dengan sumber ilmu, kekuasaan, dan kesempurnaan yang mutlak dan tak terbatas, yaitu Allah SWT. Hubungan inilah yang disebut sebagai "al-qurb" (kedekatan di sisi Allah).[1]
Oleh karena itu, kesempurnaan hakiki manusia yang merupakan tujuan dari penciptaanya dapat diusahakan melalui hubungan dan kedekatannya kepada Allah SWT. Adapun manusia yang tidak memiliki sekalipun tingkat terendahnya, yakni tingkat iman yang paling lemah, tak ubahnya dengan pohon yang tidak menghasilkan buah apapun. Sehingga jika pohon ini kehilangan potensinya untuk berbuah lantaran tercemari atau terjangkit penyakit, akan terperosok jatuh lebih hina lagi pohon-pohon yang pada dasarnya memang tidak berbuah.
Dengan demikian, pentingnya pengaruh iman terhadap kesempurnaan dan kebahagiaan manusia dari sisi bahwa keistimewaan utama jiwa manusia adalah hubungan berkesadaran dan ikhtiari dengan Allah SWT. Tanpa hubungan ini, ia tidak akan menyentuh kesempurnaan hakiki dan kesan-kesan serta berkah-berkahnya. Dengan kata lain, tanpa qurb Ilahi, hakikat seseorang tidak akan pernah mengejawantah secara aktual (bil fi'il). Apabila ia mengabaikan anugerah Ilahi yang bernilai tinggi ini dengan ikhtiar buruknya, sungguh ia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kezaliman yang paling besar, karenanya ia berhak mendapatkan siksa yang abadi. Al-Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk di sisi Allah adalah orang-orang yang kafir, karena meraka adalah orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al-Anfal: 55)
Alhasil, setiap iman dan kufur akan menentukan arah dan tujuan utama dari perjalanan hidup manusia; adakalanya bergerak ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan, atau ke arah ke arah kehancuran dan kesengsaraan. Tentu saja, yang paling akhir dari iman dan kufur memiliki peran utama dan menentukan nasib seseorang.
Peran Motif dan Niat
Berangkat dari penjelasan rasional di atas, jelas bahwa nilai sesungguhnya bagi perbuatan dan usaha bebas manusia berkaitan erat dengan sejauh mana pengaruh perbuatan itu terhadap pencapaian kesempurnaan hakiki, yakni qurb Ilahi (kedekatan di sisi Allah SWT). Boleh jadi suatu perbuatan itu dinilai baik dan mulia karena pengaruhnya sedemikian rupa—walaupun melalui sejumlah perantara—dalam upaya memenuhi lahan yang sesuai untuk kesempurnaan orang lain. Akan tetapi, pengaruh perbuatan ini terhadap kebahagiaan abadi pelakunya hanya bergantung kepada pengaruhnya terhadap proses penyempurnaan ruhnya sendiri.
Dari sisi lain, hubungan perbuatan-perbuatan ragawi dengan ruh pelakunya bisa terjadi melalui kehendak, karena perbuatan-perbuatan itu terjadi dengan perantara. Dan kehendak untuk berbuat ini muncul dari motif; kecondongan, hasrat dan cinta kepada tujuan dan hasil dari sebuah perbuatan. Pada dasarnya, motif-motif ini menciptakan gerak di kedalaman jiwanya menuju tujuan yang diinginkan dan mengkristal menjadi sebuah kehendak untuk berbuat. Oleh karena itu, nilai suatu perbuatan yang didasari oleh kehendak ditentukan oleh niat dan motif si pelaku.
Jadi, baiknya sebuah perbuatan (husn fi'li) itu tidak akan berpengaruh posistif tanpa baiknya pelaku (husn fa'ili) dalam upaya menyempurnakan ruh dan mencapai kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar motif-motif bendawi dan duniawi tidak memiliki pengaruh dalam proses pencapaian kebahagiaan abadi. Umpamanya, bakti dan kepedulian sosial yang paling besar sekalipun, jika dilakukan atas dasar riya', tidak akan memberikan pengaruh positif apapun bagi pelakunya, atau malah akan mendatangkan kerugian dan kemerosotan ruhnya.
Atas dasar inilah maka Al-Qur'an menekankan bahwa pengaruh perbuatan-perbuatan yang baik dalam memperoleh kebahagiaan yang abadi tergantung kepada iman dan niat taqarrub (untuk mencapai keridhaan Ilahi) semata.
Kesimpulannya adalah pertama, amal yang baik itu tidak sekedar berbuat baik kepada orang lain.
Kedua, di samping sebagai ibadah individual, perbuatan baik dan kepedulian antarsesama manusia itu turut ber-pengaruh dalam pencapaian puncak kesempurnaan dan kebahagiaan abadi bagi pelakunya bila dilakukan atas dasar niat dan motif yang Ilahi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah sesuatu yang merupakan nilai hakiki bagi setiap maujud?
2. Bagaimana kita dapat mengenal puncak kesempurnaan hakiki bagi manusia?
3. Buktikan bahwa puncak kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai melalui hubungan khas, yaitu kedekatan diri di sisi Allah SWT!
4. Buktikan bahwa pengaruh dari perbuatan-perbuatan baik dalam mencapai kebahagiaan abadi manusia bergantung kepada niat dan motif yang Ilahi!

[1]




17 - Pengguguran dan Penambalan

Pengguguran dan Penambalan
Di antara isu-isu seputar hubungan iman dan amal saleh dengan kebahagiaan akhirat, begitu juga hubungan kufur dan maksiat dengan kesengsaraan abadi, yaitu sebagai berikut: Apakah hubungan antara setiap saat dari masa-masa iman dan kufur dengan dampak-dampak ukhrawinya? Begitu juga hubungan antara setiap amal baik atau buruk dengan pahala dan siksanya? Apakah hubungan ini pasti, tetap, dan tidak dapat berubah, ataukah memang dapat berubah?
Sebagai contoh, Apakah dampak maksiat itu dapat ditambal dengan amal saleh? Begitu juga sebaliknya, apakah mungkin pengaruh amal saleh itu dapat hilang lantaran berbuat maksiat? Lalu, apakah dapat dikatakan bahwa orang-orang yang menghabiskan sebagian usianya dalam kekufuran dan maksiat dan sebagian lainnya dalam keimanan dan ketaatan, akan mendapatkan siksa pada satu masa dan mendapatkan pahala pada masa yang lain? Ataukah seluruh amal perbuatannya akan ditimbang, amal yang satu menambal amalnya yang lain, sehinga hasil penambalan ini dapat ditentukan nasib akhir pelakunya; yakni kebahagiaan atau kesengsaraan di alam akhirat yang abadi? Ataukah perkara-perkara itu terjadi dengan cara lain?
Pada dasarnya, masalah ini adalah masalah "pengguguran dan penambalan"[1] yang sudah lama dibahas oleh para teolog Asy'ariyah dan Muktazilah. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan pandangan Syi'ah secara singkat.
Hubungan antara Iman dan Kufur
Dari beberapa pelajaran yang lalu telah jelas bahwa perbuatan baik apapun, jika tanpa keimanan kepada prinsip-prinsip akidah, tidak akan berarti dalam usaha mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan kata lain, kekufuran dapat menghalangi pengaruh amal-amal saleh.
Perlu dicatat bahwa keimanan manusia di akhir umurnya dapat menghapus pengaruh-pengaruh buruk kekufurannya di masa lampau. Ia laksana cahaya yang memancar yang mampu menyingkirkan kegelapan yang lalu. Demikian pula sebaliknya, kekufuran seseorang di akhir hidupnya akan menghapus kesan-kesan keimanan yang lampau, dan akan merubah lembaran amalnya menjadi hitam, serta menghancurkan akhir kehidupan dan buah usahanya, bagaikan api yang dilemparkan ke lumbung padi yang akan membakar habis isinya hanya dengan sekejap.
Pendekatan lain mengenai kekufuran ini, bahwa iman laksana pelita yang begitu terang, menerangi ruangan hati dan jiwa, menyingkap kegelapan darinya. Sedangkan kufur bagaikan ketika redupnya pelita itu, ia memadamkan cahaya dan mendatangkan kegelapan. Selama jiwa manusia itu terkait erat dengan alam materi, alam perubahan dan perpindahan, ia akan selalu menjadi tempat datang perginya cahaya dan kuat lemahnya kegelapan, sampai pelita itu menjadi redup. Namun, tatkala ia telah lewat dan berpindah dari alam ini, dimana pintu-pintu usaha iman dan kekufuran telah ditutup, kendatipun ia berharap bisa kembali lagi ke alam ini agar dapat berusaha menghilangkan kegelapan-kegelapannya, harapan-harapannya itu tidak berguna lagi.
Tidak syak lagi bahwa Al-Qur'an mengakui interaksi antara keimanan dan kekufuran seperti ini. Dan banyak ayat-ayatnya yang menunjukkan hal ini, di antaranya:
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ia akan menghapus kejelekan-kejelekannya." (QS. At-Taghabun: 9)
"Dan barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah, 217)
Hubungan antara Amal-amal Baik dan Buruk
Telah kami singgung, bahwa hubungan antara iman dan kufur pada batas-batas tertentu juga dapat tergambar semacam hubungan antara amal baik dan amal buruk, di mana amal-amal baik manusia selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal buruknya selalu terhapus darinya. Atau amal-amalnya yang buruk selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal baiknya selalu terhapus dan hilang darinya, sebagaimana diyakini oleh sekelompok mutakallim Mu'tazilah. Atau, hasil dari penggabungan dan tambal-menambal antara amal-amalnya yang lalu akan tetap tercatat dari sisi kuantitas dan kualitasnya, sebagaimana diyakini oleh kelompok Mu'tazilah lainnya.
Sehubungan dengan amal, sepatutnya diuraikan secara rinci. Yaitu, apabila sebagian amal-amal yang baikdilakukan secara benar dan ikhlas, akan dapat menghapus pengaruh amal-amal buruk yang dulu, seperti taubat. Jika taubat ini dilakukan sesuai dengan syarat-syaratnya, maka kesalahan-kesalahan seseorang akan diampuni. Taubat tak ubahnya dengan cahaya menerangi titik-titik kegelapan secara penuh. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa setiap amal yang baik itu dapat menghapus seluruh pengaruh-pengaruh maksiat.
Maka dari itu, terkadang seorang mukmin disiksa untuk sementara lantaran maksiat-maksiatnya, setelah itu ia dimasukkan ke surga untuk selamanya. Tampaknya, jiwa manusia itu memiliki dimensi dan sisi-sisi yang beragam. setiap rangakaian dari amal baik atau buruk berkaitan dengan satu sisi dari jiwa. Misalnya, amal baik yang berkaitan dengan sisi A tidak akan menghilangkan bekas dosa yang berkaitan dengan sisi B, kecuali bila amal baik tadi sangat kuat cahayanya sehingga mampu menyinari seluruh sisi jiwa yang lain. Atau, dosa itu telah mencapai titik pekat dari kegelapan dan kenistaan sehingga merusak sisi-sisi yang lain.
Terdapat dalam beberapa riwayat yang mulia bahwa shalat yang diterima itu akan memersihkan dosa-dosa dan mendatangkan ampunan.
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk".(QS. Hud: 114)
Atau, sebagian dosa seperti durhaka kepada orang tua dan minum khamer dapat mencegah diterimanya ibadah. Atau, mengungkit-ungkit sedekah dapat mengugurkan pahalanya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)
Namun begitu, untuk membatasi jenis dan kadar peng-aruh dan interaksi di antara amal-amal baik dan buruk, kita harus merujuk ke wahyu dan keterangan-keterangan dari para imam maksum as dan tidak bisa dirumuskan sebuah kaidah umum secara keseluruhan untuk pembatasan tersebut.
Di akhir pelajaran ini, selayaknya kami tambahkan bahwa terkadang amal-amal baik dan buruk itu mempunyai pengaruh pada amal yang lain di dunia ini, pada upaya meraih kebahagiaan atau kesengsaraan, atau pada proses mendapatkan taufik atau kehilangannya. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada kedua orang tua dan sanak famili, berpengaruh dalam memanjangkan umur, menolak berbagai penyakit dan bencana. Dan, tidak menghormati orang-orang yang lebih besar, terutama kepada para guru, juga turut andil dalam menghilangkan taufik. Akan tetapi, terjadinya pengaruh-pengaruh ini di dunia, bukan berarti bahwa manusia telah mendapatkan pahala atau siksa secara penuh. Karena, tempat pahala dan siksa yang hakiki dan sesungguhnya adalah alam yang abadi, yaitu akhirat.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan makna pengguguran dan penambalan!
2. Apakah pendekatan-pendekatan yang dapat diberikan mengenai hubungan antara iman dan kufur? Dan apakah pendekatan yang benar di antara semua itu?
3. Apakah pendekatan yang dapat diberikan mengenai hubungan antara amal-amal yang baik dan amal-amal yang buruk? Dan pendekatan manakah gambaran yang benar?
4. Apakah dampak-dampak duniawi dari amal-amal yang baik dan buruk itu dapat menempati pahala atau siksa akhirat, ataukah tidak?

[1]Secara urut, pengguguran dan peleburan ini ditarik dari dua istilah Al-Qur'an, yaitu al-khabth dan at-takfir. Yang pertama ialah ketakberartian usaha-usaha yang baik, dan yang kedua ialah penambalan maksiat.




18 - Beberapa Keistimewaan Kaum Mukmin

Beberapa Keistimewaan Kaum Mukmin
Mukaddimah
Telah jelas pada bagian Tauhid, bahwa Kehendak Allah itu secara esensial dan langsung berhubungan dengan semua kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan keburukan dan kekurangan, Kehendak Allah hanya berurusan dengannya secara aksidental dan tak langsung.
Kaitannya dengan manusia, jelas bahwa Kehendak Allah berhubungan secara esensial dengan kesempurnaan dan proses mereka menuju kebahagiaan hakiki dengan segenap kelengkapan nikmat yang abadi.Adapun siksaan dan kesengsaraan para pendurhaka sebagai dampak dari buruknya usaha mereka sendiri, terkait dengan Kehendak Ilahi yang bijak secara tak langsung. Apabila siksa dan bencana Ilahi itu bukan kelaziman dari buruknya usaha mereka, tentu rahmat Ilahi yang luas mengharuskan ketidaan siksa bagi seluruh makhluk.
Akan tetapi, justru rahmat Ilahi yang luas itu menuntut penciptaan manusia yang dilengkapi dengan ciri-ciri khas, yaitu usaha bebas yang mengunikkan-nya dari makhluk-makhluk. Dan konsekwensi dari usaha bebas dan memilih salah satu dari dua jalan; jalan iman dan jalan kufur, ialah keberakhiran mereka di tempat yang mulia atau di tempat yang hina dengan catatan, bahwa keberakhiran mereka di tempat mulia terkait dengan Kehendak Ilahi secara esensial, sedangkan tempat hina, gelap dan menyakitkan itu terkait dengan Kehendak Ilahi secara aksidental.
Perbedaan itu sendiri meniscayakan pengutamaan sisi kebaikan dalam tata cipta dan tata tinta (syariat). Artinya, secara kodrat cipta, manusia itu diciptakan sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan mulia itu lebih banyak pengaruhnya dalam membentuk kepribadiannya. Dan secara kodrat kebebasannya, ia dibebani tugas-tugas syariat yang mudah dan ringan, sehingga tidak lagi perlu menjalankan tugas-tugas berat dan melelahkan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dari siksa abadi.
Begitu juga berkenaan dengan pahala dan siksa. Bahwa sisi pahala dan rahmat akan diutamakan, dan bahwa rahmat Allah SWT itu mendahului murka-Nya. Pengutamaan dan pendahuluan sisi rahmat Ilahi ini tampak pada beberapa perkara yang sebagiannya akan kami singgung di sini:
Melipatgandakan Pahala
Keistimewaan pertama yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang mencari jalan kebahagiaan adalah kedudukan pahala. Yakni, Allah tidak hanya memberi mereka pahala setimpal amal mereka, bahkan melipatgandakannya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an:
"Siapa yang membawa kebaikan, ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya." (QS. An-Naml: 89)
"Dan siapa yang mengerjakan kebaikan, akan kami tambahkan baginya kebaikan di atas kebaikannya itu." (QS. Asy-Syura': 23)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (syurga) dan tambahannya." (Qs. Yunus: 26)
"Sesunguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walau-pun sekecil atom, dan jika ada kebajikan sekecil atom, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (Qs. An-Nisa': 40)
"Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya." (QS. Al-An'am: 160)
Memaafkan Dosa-dosa Kecil
Keistimewaan lainnya adalah bahwa jika orang-orang mukmin menjauhi dosa-dosa besar, Allah Yang Mahasayang akan mengampuni dosa-dosa kecil mereka dan menghapus resiko dan dampak-dampak buruknya.
"Jika kamu menjahui dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia [syurga]." (Qs. An-Nisa': 31)
Jelas bahwa pemberian maaf atas dosa-dosa kecil mereka tidak mensyaratkan taubat, karena taubat juga dapat menurunkan pengampunan atas dosa-dosa yang besar.
Memanfaatkan Amal-amal Orang Lain
Keistimewaan lain yang diberikan kepada orang-orang mukmin adalah bahwa Allah SWT menerima permohonan ampun (istighfar) malaikat dan hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk orang-orang mukmin. Begitu juga, doa dan istighfar di antara sesama orang mukmin. Bahkan pahala amal-amal yang dihadiahkan seorang mukmin untuk saudaranya akan sampai kepada yang kedua itu.
Keistimewaan-keistimewaan ini telah disebutkan di dalam ayat-ayat dan riwayat yang banyak. Akan tetapi, karena ini secara langsung berkaitan dengan masalah syafa'at, kami akan membahasnya di sana secara luas dan terperinci. Untuk itu isyarat yang sederhana ini kami cukupkan sekian pada pelajaran ini.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apakah rahasia diutamakannya rahmat Ilahi?
2. Jelaskan bagaimana kenyataan pengutamaan itu dalam tata cipta dan tata tinta!
3. Jelaskan contoh-contoh konkret pengutamaan itu dalam kaitannya dengan pemberian pahala dan siksa manusia!




19 - Syafa'at

Syafa'at
Mukaddimah
Di antara keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum mukmin ialah bahwa jika seorang mukmin menjaga imannya hingga akhir hayatnya, tidak melakukan dosa-dosa yang menyebabkan hilangnya taufik darinya, tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan su'ul khatimah, dan tidak condong kepada keraguan atau pengingkaran, singkatnya jika ia meninggal dunia dalam keadaan mukmin, maka ia tidak akan mengalami siksa yang abadi, dosa-dosa kecilnya akan diampuni lantaran ia menjauhi dosa besar, dan akan diampuni pula dosa-dosa besarnya jika ia melakukan taubat dengan segenap syarat-syaratnya.
Namun, jika ia tidak sempat melakukan taubat, ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyur (kebangkitan) dan Hari Kiamat. Apabila dosa-dosa dan kesalahannya itu masih juga belum bisa disucikan dengan itu semua, syafa'at akan melakukan perannya untuk menye-lamatkannya dari neraka. Syafa'at ini merupakan manifestasi rahmat Tuhan yang paling besar yang dianugerahkan kepada para kekasih-Nya, khususnya Rasul saw. dan Ahlul Baitnya yang mulia.
Dari beberapa riwayat, Al-Maqamal mahmud (kedudukan nan mulia) yang dijanjikan kepada Rasul saw di dalam Al-Qur'an adalah kedudukan syafa'at. Begitu juga, ayat yang berbunyi, "Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas." (QS. Adh-Dhuha: 5) mengisyaratkan ampunan Allah SWT yang mencakup orang-orang yang berhak mendapatkannya melalui syafa'at Rasul saw.
Maka itu, harapan terbesar dan tempat penantian terakhir kaum mukmin yang berdosa adalah syafa'at. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak boleh merasa aman dari murka Allah. Hendaknya mereka waspada sehingga tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan merekasu'ul khatimah dan tercabutnya iman pada saat ajalnya datang menjemput. Dan hendaknya mereka tidak terikat dengan perkara-perkara duniawi, dan jangan sampai mengakar di dalam hati-hati mereka sebegitu rupa sehingga mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan benci kepada Allah SWT. Karena Dialah yang—dengan kematian—memisahkan mereka dari apa yang mereka cintai itu.
Pengertian Syafa'at
Syafa'at berasal dari kata dasar as-syaf'u, artinya genap dan sesuatu yang digabungkan dengan yang ganjil. Umumnya, syafaat biasa diungkapkan untuk permohonan pribadi yang mulia kepada sosok yang lebih besar supaya berkenan memberikan maaf terhadap kesalahan orang ketiga, atau melipatgandakan upah sebagian para pekerja dan pembantu. Barangkali rahasia digunakannya kata syafa'at pada masalah-masalah ini adalah bahwa seseorang yang bersalah itu sebenarnya tidak berhak mendapatkan ampunan, atau seperti pekerja dan pembantu yang pada dasarnya mereka tidak berhak mendapatkan kelipatan upah, akan tetapi berkat permohonan si pemberi syafa'at (pribadi yang mulia), mereka menjadi berhak untuk itu.
Dalam kehidupan sosial, seseorang akan menerima syafaat dari syafi' (pemberi syafa'at) karena merasa kuatir; jika ia tidak menerima syafaatnya, maka pemberi syafaat akan merasa sakit hati. Akibatnya, ia tidak merasa nyaman dan akrab lagi ketika bergaul atau berkhidmat kepadanya. Bahkan terkadang jika tidak menerima syafaatnya, ia akan menerima gangguan dan ancaman bahaya dari sang pemberi.
Kita amati bahwa orang-orang musyrik yang meyakini bahwa Tuhan memiliki sebagian sifat-sifat manusia seperti: butuh ketentraman, bergaul dengan istri, menyesal, atau membutuhkan pembantu yang menyertainya dalam bekerja, atau gelisah akan disaingi oleh sekutu-Nya, sesungguhnya mereka itu—demi mendapatkan perhatian dan belas kasihan dari Sang Pencipta Yang Mahabesar, atau supaya selamat dari murka-Nya—berwasilah kepada-Nya dengan tuhan-tuhan buatan, atau menyembah malaikat dan jin, atau merendahkan diri di depan patung-patung. Mereka berkata:
"Mereka adalah penolong-penolong kami disisi Allah." (QS.Yunus: 18, Rum: 13)
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Az-Zumar: 3)
Sehubungan dengan kepercayaan jahiliyah ini, Al-Qur'an mengatakan, "Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain dari pada Allah." (QS. Al-An'am:51)
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa mengingkari para pemberi syafa'at atau penafian syafa'at seperti ini bukan berarti mengingkari syafa'at secara mutlak. Di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang menunjukkan adanya syafa'at (dengan izin Allah) dan dijelaskan pula syarat-syarat para pemberi syafa'at dan mereka yang berhak disyafa'ati.
Layak untuk diketahui bahwa Allah SWT menerima syafa'at dari para pemberi syafa'at yang telah diizinkan itu bukan lantaran takut atau butuh kepada mereka, tetapi sebagai sebuah jalan yang Allah berikan kepada orang-orang yang tidak berhak memdapatkan rahmat abadi kecuali segelintir hamba-Nya. Untuk mendapatkan hak syafa'at tersebut, Allah SWT telah menentukan syarat-syarat khusus. Sebenarnya, perbedaan antara syafa'at yang benar dan syafa'at yang batil itu tidak ubahnya dengan perbedaan antara kepercayaan terhadap wilayah (otoritas) atau pengaturan dengan izin Allah danwilayah dan pengaturan yang mandiri, sebegaimana telah dijelas pada bagian Tauhid.
Terkadang kata syafa'at juga digunakan untuk makna yang lebih luas dari makna tersebut di atas, sehigga ia meliputi setiap pengaruh baik pada seseorang melalui orang lain. Sebagaimana syafa'at (pertolongan) kedua orang tua kepada putra-putrinya atau sebaliknya, dan syafa'at para guru kepada anak-anak didiknya. Bahkan, syafa'at ini juga meliputi syafa'at seorang muadzin kepada orang-orang yang hendak melaksanakan salat, yang ketika mendengar suara adzan, mereka segera bergegas menuju masjid. Sebenarnya pengaruh kebaikan pada diri mereka yang terdapat di dunia ini sendiri akan tampak pada Hari Kiamat nanti dalam bentuk syafa'at dan pertolongan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa permohonan ampun untuk orang-orang yang bermaksiat di dunia ini termasuk ke dalam kategori syafa'at pula. Bahkan, do'a untuk orang lain dantawassul kepada Allah agar dikabulkan hajat-hajatnya, sebenarnya ini pun merupakan syafa'at Allah.Sebab, semua itu merupakan wasilah Allah SWT untuk menyampaikan kebaikan kepada seseorang atau untuk menolak bencana darinya.
Ketentuan-ketentuan Syafa'at
Sebagaimana telah disinggung, bahwa syarat-syarat utama pada pemberi syafa'at atau diterimanya syafa'at bagi yang disyafaati adalah izin Allah SWT.
"Tidak ada seorangkan yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa seizin-Nya." (QS. Al-Baqarah: 255)
"Tiada seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin dari-Nya." (QS. Yunus: 3)
"Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Ia telah meridhai perkataannya." (QS. Thaha: 109)
"Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu ...." (QS. Saba': 23)
Dari ayat-ayat tersebut dapat dibuktikan secara global syarat izin Allah bagi terlaksananya syafa'at. Akan tetapi, dari ayat-ayat tersebut tidak dapat disimpulkan ciri-ciri orang yang mendapatkan izin-Nya. Namun, terdapat ayat-ayat lain yang dapat memberikan penjelasan secara gamblang mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak; yaitu sang pemberi syafa'at dan yang berhak disyafa'ati. Allah SWT berfirman, "Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at akan tetapi [orang yang dapat memberi syafa'at adalah] orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahui[nya]." (Qs.Az-Zukhruf: 86)
Mungkin maksud dari Man syahida bil haq (orang yang mengakui yang hak) adalah para saksi perbuatan yang—berkat petunjuk Ilahi—mengetahui perbuatan dan niat pelakunya, dan mereka dapat memberikan kesaksian terhadap cara dan kualitas perbuatan tersebut. Sebagaimana atas dasar kesesuaian predikat dan subjeknya, dapat pula dikatakan bahwa para pemberi syafa'at harus memiliki pengetahuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menentukan orang-orang yang berhak mendapatkan syafa'at dari mereka. Setidak-tidaknya mereka yang memenuhi kedua syarat itu adalah para imam maksum as.
Dari sisi lain, dari sebagian ayat dapat dipahami pula bahwa orang-orang yang memberi syafaat adalah mereka yang diridai oleh Allah SWT.
"Dan mereka itu tidak dapat memberikan syafaat kecuali orang-orang yang diridhai Allah." (QS. Al-Anbiya': 28)
"Berapa banyak malaikat di langit yang syafaat mereka tidak berguna sedikitpun kecuali setelah Allah memberikan izin kepada orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya." (QS. An-Najm: 26)
Jelas bahwa maksud dari "orang yang disyafa'at itu diridai oleh Allah" tidak berarti seluruh amal mereka itu diridai oleh-Nya. Karena jika demikian, tentu mereka tidak lagi membu-tuhkan syafa'at. Maksudnya, agama dan iman orang tersebut diridhai oleh Allah SWT, sebagaimana riwayat-riwayat menafsirkan demikian.
Di tempat lain, sebagian ayat menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak berhak syafa'at, seperti dinyatakan melalui lisan orang-orang musyrik:
"Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun." (QS. Asy-Syu'ara': 100)
Dalam surat Al-Muddatstsir ayat 40-48, ketika para pendosa ditanya tentang sebab mereka masuk ke dalam neraka, disebutkan bahwa mereka telah meninggalkan salat, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan mendustakan Hari Pembalasan. Setelah itu, Al-Qur'an mengatakan, "Maka tidak bermanfaat untuk mereka syafaat para pemberi syafa'at."
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat, tidak menyembah Allah, tidak membantu orang-orang miskin, dan tidak konsisten pada akidah-akidah yang benar, tidak akan mendapatkan syafa'at selamanya. Begitu juga, sambil mencermati istighfar Rasulullah saw di dunia sebagai syafa'at, dan tertolaknya istighfar beliau untuk orang-orang yang takabur, enggan beristighfar, dan enggan memohon syafa'at dari beliau, dapat dipahami pula bahwa para pengingkar syafa'at pun tidak akan mendapatkan syafa'at. Hal ini juga terdapat di dalam riwayat-riwayat.
Alhasil, pemberi syafa'at yang mutlak dan sejati, selain harus mendapat izin dari Allah SWT, tentu bukanlah pelaku maksiat dan memiliki kemampuan menentukan tingkat ketaatan dan maksiat orang lain, dan para pengikut setia pemberi syafa'at ini dapat membantu mereka meraih tingkat-tingkat yang lebih rendah dari syafa'at, seperti saat para pengikut itu digolongkan bersama para syuhada' dan shiddiqin.
Di samping itu, orang yang berhak mendapatkan syafa'at, selain izin dari Allah SWT, harus benar-benar beriman kepada Allah, para nabi dan Hari Kiamat, serta kepada setiap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, di antaranya adalah mempercayai syafa'at itu sendiri; bahwa syafa'at adalah hak, dan hendaknya ia tetap berada di dalam keimanannya hingga akhir hidupnya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan makna syafa'at dan letak penggunaannya!
2. Jelaskan perbedaan antara syafa'at yang benar dan syafa'at yang batil dan syirik!
3. Jelaskan syarat-syarat pemberi syafa'at !
4. Jelaskan syarat-syarat orang yang diberi syafa'at!




20 - Beberapa Keraguan dan Jawaban seputar Syafa'at

Beberapa Keraguan dan Jawaban seputar Syafa'at
Sekaitan dengan masalah syafa'at, banyak sekali keraguan dan kritik yang telah dilontarkan oleh sebagian orang. Pada pelajaran ini, kami akan mempelajari beberapa keraguan yang penting sekaligus memberikan jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama:
Sebagian ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa kelak di Hari Kiamat, syafa'at siapapun tidak akan diterima oleh Allah:
“Takutlah kalian pada hari yang seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, sebagaimana pula tidak diterima syafa'at dan tebusan darnya, dan tidak pula mereka itu akan ditolong.”(QS. Al-Baqarah: 48)
Jawab: sesungguhnya ayat-ayat semacam ini diturunkan untuk menafikan syafa'at yang batil, yaitu syafa'at yang tidak memenuhi syarat, seperti yang diyakini oleh sebagian orang. Di samping itu, ayat-ayat itu bersifat umum yang ditafsirkan secara spesifik oleh ayat-ayat yang menyatakan diterimanya syafa'at yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan atas dasar izin Allah SWT., sebagaimana telah kami singgung pada pela-jaran yang lalu.
Keraguan Kedua:
Syafa'at melazimkan ketaklukkan Allah SWT di bawah pengaruh para pemberi syafa'at. Dengan kata lain, syafa'at mereka mengharuskan pengampunan, padahal pengampunan ini merupakan urusan Allah SWT.
Jawab: bahwa Allah menerima syafa'at tidak berarti Dia takluk dan tunduk di bawah pengaruh para pemberi syafa'at, sebagaimana menerima taubat dan mengabulkan doa seorang hamba tidak menunjukkan adanya konsekuensi batil semacam itu. Sebab, semua perbuatan hamba-hamba dalam hal-hal tersebut memberi peluang dan kelayakan untuk menerima rahmat Allah. Secara teknis dinyatakan bahwa "Syafa'at adalah syarat kelayakan sesuatu itu sebagai penerima, bukan syarat kelayakannya sebagai pemberi".
Keraguan Ketiga:
Syafa'at berarti bahwa pemberi syafa'at itu lebih banyak rahmat dan belas kasihnya daripada Allah Yang Mahapenyayang. Karena itulah timbul asumsi bahwa seandainya tidak ada syafa'at mereka, pasti orang-orang yang pernah berbuat maksiat itu akan mendapatkan siksa atau akan menetap kekal di dalam neraka.
Jawab: sesungguhnya belas kasih para pemberi syafa'at merupakan limpahan dari rahmat Allah yang tak terbatas. Dengan kata lain, syafa'at itu sebagai perantara dan jalan yang Allah jadikan untuk memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Justru pada hakikatnya, syafa'at mencerminkan keagungan rahmat Allah yang tampak pada hamba-hamba-Nya yang saleh dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana juga doa dan taubat itu merupakan wasilah dan jalan lain yang telah Allah tetapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, atau untuk memaafkan segala dosa hamba-hamba-Nya yang beriman.
Keraguan Keempat:
Apabila menjatuhkan siksa ke atas orang-orang yang berbuat maksiat adalah keputusan Allah yang sejalan dengan keadilan, maka adanya syafa'at bagi mereka bertentangan dengan keadilan tersebut. Dan apabila selamatnya mereka dari siksa itu—dengan diterimanya konsep syafa'at—sesuai dengan keadilan, maka keputusan yang dijatuhkan sebelum terjadinya syafa'at itu merupakan keputusan yang bertentangan dengan keadilan.
Jawab: Setiap keputusan Allah—baik keputusan siksa sebelum adanya syafa'at, ataupun keputusan selamat dari siksa setelah adanya syafa'at—sejalan dengan hikmah dan keadilan Ilahi. Kesesuaian dua masalah ini dengan hikmah dan keadilan Ilahi itu tidak berarti semacam bertemunya dua kontradiksi. Karena, objek keduanya berbeda.
Penjelasannya: keputusan siksa itu merupakan akibat dari maksiat, tanpa bergantung pada terpenuhi atau tidaknya hal-hal yang membuat pemaksiat berhak disyafa'ati. Dan keputusan selamat dari siksa itu akan dijatuhkan lantaran terpenuhinya hal-hal tersebut. Dalam tata penciptaan ataupun tata syariat Islam, kita dapati begitu banyak fakta bahwa perubahan suatu hukum cipta atau syariat mengikuti perubahan ciri-ciri objek (qayd maudhu'). Begitu pula, keputusan suatu hukum yang adil yang telah di-nasakh dan diubah—sehubungan dengan masa berlakunya—tidaklah bertentangan dengan keadilan suatu hukum yang baru (nasikh) yang turun di masa setelah terjadinya perubahan itu. Kebijakan ditetapkannya suatu bencana atas seseorang sebelum ia berdo'a atau bersedekah tidaklah bertentangan dengan kebijakan diangkatnya bencana tersebut setelah ia berdo'a atau bersedekah. Demikian pula, keputusan diampuninya dosa-dosa seorang hamba setelah pemberian syafa'at tidak bertentangan dengan keputusan dijatuhkannya siksa ke atasnya sebelum pemberian tersebut.
Keraguan Kelima:
Allah SWT menganggap bahwa mengikuti bujukan setan akan menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Dia berfirman, “Sesungguhnya engkau wahai iblis tidak mempunyai kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikuti kesesatanmu. Sungguh jahanam adalah tempat yang dijanjikan untuk mereka.” (QS. Al-Hijr: 42-43)
Pada hakikatnya, menyiksa para pemaksiat di akhirat kelak merupakan bagian dari sunnatullahyang tidak akan mengalami perubahan:
“Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah dan engkau pun tidak akan melihat adanya pergantian padanya.” (QS. Al-Fathir: 43)
Jika benar demikian, lalu bagaimana sunnatullah ini bisa mengalami perubahan dalam perkara syafa'at.
Jawab: diterimanya syafa'at oleh Allah untuk pemaksiat yang memenuhi syarat-syaratnya merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak akan berubah.
Penjelasannya: sunnatullah itu berdasar pada batasan-batasan riel. Dan setiap sunnah (hukum) cipta Ilahi itu tidak akan menerima perubahan sedikit pun jika segenap syarat-syarat ada dan tiadanya terpenuhi. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa pernyataan-pernyataan yang menekan-kan sunnah-sunnah itu biasanya bukan pada konteks menjelaskan seluruh macam ciri dan syarat suatu objek. Oleh karena itu, kita akan temukan sebagian kasus yang disinggung oleh zahir-zahir ayat Al-Qur’an dikaitkan dengan sejumlah sunnatullah. Sementara, wujud konkret di luar dari kandangan ayat-ayat tersebut lebih spesifik dan tunduk pada batasan dan syarat yang lebih dominan.
Dengan demikian, setiap sunnatullah itu tetap dan tidak akan berubah jika dicermati pula ciri-ciri dan syarat-syarat faktual objeknya, tidak sekedar mengamati ciri-ciri dan syarat-syarat terungkap di dalam ayat-ayat tersebut. Dan, salah satu sunnatullah ialah syafa'at. Sebagaimana sunnatullah yang lain, syafaat juga tetap dan tidak akan berubah; diberikan kepada orang-orang berdosa tertentu, yaitu mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula dan ditentukan oleh batasan-batasan yang khas.
Keraguan Keenam:
Adanya janji syafa'at itu akan membuat manusia berani melakukan maksiat dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Keraguan ini juga dilontarkan sekaitan dengan penerimaan taubat dan pengampunan dosa. Jawaban atas keraguan ini adalah bahwa pemberian syafa'at dan ampunan kepada seseorang bergantung pada berbagai syarat yang tidak dapat dipastikan pemenuhannya oleh pelaku dosa. Di antara syarat pemberian syafa'at ialah hendaknya ia menjaga imannya sampai akhir hidupnya. Kita sadar bahwa tidak seorang pun dapat memastikan terpenuhinya syarat ini.
Dari sisi lain, kita tahu bahwa jika pelaku dosa kehilangan harapan akan ampunan Ilahi, ia akan dicekam oleh rasa putus asa. Pada gilirannya, putus asa ini akan melemahkan motifasinya untuk menjauhi maksiat, atau malah mendorongnya untuk berlarut-larut di dalam dosa, maksiat dan penyimpangan.
Oleh karena itu, metode pendidikan para pendidik Ilahi, para nabi dan ulama sejati dalam membimbing umat ialah senantiasa menjaga mereka di atas keseimbangan cemas dan harap. Mereka tidak menanamkan harapan penuh akan rahmat Ilahi dalam diri setiap individu, sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar merasa aman dari murka Allah. Mereka juga tidak menggugah rasa takut seseorang akan siksa Allah sampai-sampai ia putus asa dari rahmat Allah SWT. Jelas bahwa kedua kondisi ini merupakan dosa besar.
Keraguan Ketujuh:
Pengaruh syafa'at dalam menentukan keselamatan seseorang dari siksa Ilahi berarti adanya pengaruh para pemberi syafa'at terhadap kebahagiaan dan keselamatan dari kesengsaraan. Padahal, Allah SWT berfirman, "Dan bahwasanya seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)
Secara tegas ayat ini menerangkan bahwa hanya usaha dan kesungguhan seseoranglah yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan keselamatan.
Jawab: untuk sampai kepada tujuan yang harapkan, terkadang usaha seseorang dapat dilakukannya sendiri dan berlangsung terus sampai akhir perjalanannya. Terkadang juga ia melakukan usahanya secara tak langsung; melalui penyediaan berbagai syarat dan perantara. Seseorang yang akan mendapatkan syafa'at pun harus berusaha keras untuk mengusahakan syarat-syarat kebahagiaan. Sebab, iman dan kesungguhan memenuhi syarat syafa'at merupakan usaha-usaha guna mencapai kebahagiaan, walaupun usaha itu masih dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, ia akan mengalami kesusahan dan goncangan di alam barzakh serta di tahap-tahap awal kiamat.
Bagaimanapun, ia telah menaburkan benih-benih kebahagiaan dengan usahanya sendiri, yaitu keimanan di dalam hatinya yang terkadang ia sirami dengan amal-amal yang saleh, sehingga tidak kering sampai kematiannya.
Dengan demikian, puncak kebahagiaan seseorang itu dicapai dari usaha dan kesungguhannya sendiri, di samping para pemberi syafat itu mempunyai kekuatan agar ia dapat memperoleh buah dari pohon tersebut, sebagaimana tampak di dunia ini, yaitu sebagian orang yang mempunyai kekuatan dalam mendidik dan memberi hidayah kepada umat manusia. Tentu saja, kekuatan mereka itu tidak berarti menafikan usaha seseorang dalam mencapai kebahagiaan dan keselamatan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kebatilan syafa'at. Bila benar demikian, bagaimana mungkin meyakini ihwal syafa'at tersebut?
2. Apakah syafa'at itu meniscayakan pengaruh seorang pemberi syafa'at terhadap dzat Allah SWT?
3. Apakah syafa'at itu berarti bahwa para pemberi syafa'at memiliki rahmat dan belas kasih yang lebih banyak daripada Allah SWT?
4. Jelaskan hubungan antara syafa'at dan keadilan Ilahi!
5. Apakah syafa'at itu menyebabkan perubahan pada sunnatullah?
6. Apakah janji syafa'at itu menjadikan semakin beraninya para pendosa dalam bermaksiat?
7. Jelaskan bahwa syafa'at itu tidak bertentangan dengan penisbahan kebahagiaan setiap orang kepada usahanya sendiri!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar