Laman

Sabtu, 25 Februari 2012

Ilahiyah dalam Nahjul Balaghah


Secara terminologi dan yang dipahami secara ‘urf dalam filsafat dan teologi, ilahiyat adalah bahasan-bahasan yang berkenaan dengan makrifatullah dan pembuktian eksistensi Tuhan, sifat-sifat jalal dan jamal-Nya, dan sifat-sifat zat  serta sifat-sifat fi’il-Nya. Dan bahkan pendefinisian seperti ini dapat diperluas lagi, sehingga fungsinya menjadi lebih sempurna dan universal. Yakni ilahiyah mencakup seluruh bahasan dari pembuktian eksistensi Tuhan dan argumen-argumen yang mendasarinya, dan juga sifat-sifat kesempurnaan dan perbuatan-perbuatan dalam bentuk takwini dan tasyri’I yang muncul dari Allah SWT sesuai dengan kehendak dan ikhtiar yang didasari oleh hikmah dan lutf (taufik). Dan juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan sunnatullah di alam penciptaan takwini dan tasyri’I, hasil dan tujuan dari perbuatan-perbuatan Ilahi, dan perbuatan-perbuatan yang bukan bersumber dari-Nya serta inayah dan pertolongan, baik itu secara khusus maupun secara umum, kepada hamba-hamba-Nya. Pendefinisian seperti ini tentunya sudah cukup memuat pokok-pokok bahasan seperti tauhid, kenabian, syariat dan falsafahnya, abstraksi ma’ad dan juga dalam bentuk kongkretnya. Dengan demikian, kalau Ilahiyah, dalam kitab Nahjul Balaghah, dibahas dalam wilayah yang sangat luas, maka seluruh tema-tema yang ada dalam kitab tersebut berada dalam naungan pembahasan tersebut. Kenapa, karna tak satupun dari tema-tema tersebut keluar dari wilayah Ilahiyah.
Tentunya bahasan ini memerlukan wilayah yang luas dan perlu diingat bahwa peluang memperluas bahasan berkenaan dengan tema Ilahiyah itu sangat terbuka. Jadi kalau kita, dengan izin-Nya, klasifikasikan pokok-pokok bahasan, yang mana secara tidak independen dibahas dalam ilmu kalam, filsafat, dan ushuluddin, ke dalam bahasan ini, maka tentunya kita tidak keluar dari tema yang ada.

Ilahiyah dalam Nahjul Balaghah
Agama Islam merupakan agama yang mengajarkan ajaran-ajaran Tauhid dan penyembahan pada tuhan yang satu. Seperti yang diketahui bahwa seluruh ayat-ayat Alquran dalam berbagai aspek pengetahuan memiliki ciri khas tersendiri dan materi Ilahiyah merupakan salah satu bentuk ejawantah dari ayat-ayat tersebut.
Kalimat Islam adalah kalimat tauhid dan seruan Islam dimulai dengan kalimat ini. Seluruh aturan-aturan yang ada dalam Alquran dan Islam ditujukan untuk supaya manusia mengenal Allah SWT dan hanya menyembah Dia semata-mata dan tidak menyembah selain Dia serta tidak tunduk dan menyerah kepada pemerintahan yang bukan berdasar pada aturan Ilahi dan hanya tunduk dan patuh kepada agama, ajaran, aturan dan syari’at Ilahi. Salah satu bentuk tauhid adalah pengakuan bahwa hanya Allah SWT yang berhak membuat aturan dan syari’at dan –selain Dia– tidak ada seorang pun yang berhak dan layak membuat aturan. Dan barang siapa meyakini dan mengakui bahwa  –selain Allah SWT– ada orang yang layak dan berhak membuat aturan dan hukum, maka orang tersebut telah dengan transparan menyatakan kemusyrikannya.
Makrifat dan mengenal Allah SWT dalam Islam didasari dan dibangun serta dilatarbelakangi dengan riset, tafkkur, tadabbur dan Alquran telah berulang-ulang kali mengajak manusia untuk bertafakkur, bertadabbur. Di dalam Alquran banyak ditemukan ayat-ayat muhkam berkenaan dengan makrifat dan mengenal Allah SWT, diantaranya adalah:
Qs. Al baqarah ayat 163 dan 164:
Qs. Al an’am ayat 95-97:
Qs. Ar ra’du ayat 3 dan 4:
Qs. Rum ayat 21-23:
Qs. Az zari’at ayat 20 dan 21:
Qs. Al waqi’ah ayat 58 dan 59:
Qs. Al waqi’ah ayat 63 dan 64:
Logika yang digunakan Alquran dalam membahas persoalan-persoalan Ilahiyah adalah sangat luar biasa, sangat menarik dan tidak ada satu pun ungkapan seindah ini.
Logika tersebut merupakan sebuah mukjizat yang tak tertandingi dan telah banyak melahirkan serta mewujudkan monoteis-monoteis sejati, seperti Hamzah, Ja’far, Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar Yasir, Huzaifah dan para pejuang-pejuang Islam yang syahid dalam peperangan sepanjang sejarah Islam. Mereka mengenyam pendidikan dari Islam dengan melalui tahapan-tahapan dari ­ilmul yaqin, ‘ainul yaqin kemudian sampai pada tahaphaqqul yaqin.
Logika inilah yang mengantarkan kaum Muslimin dari menyembah berhala kepada ajaran monoteisme sejati dan juga telah membentenginya dari tunduk kepada penguasa-penguasa dan rezim otoriter dan ateis. Sedemikian kuatnya ajaran ini tertanam dalam diri mereka, sehingga upacara-upacara kebesaran, keagungan dan kemuliaan lahiriah dan nisbi yang ditampakkan oleh raja dan penguasa negeri Persia dan Romawiyah tidak membuat mereka tergiur sedikit pun dan hanya memandang sebelah mata.
Ali bin Abi Thalib As. merupakan guru teladan Islam dalam bidang makrifat dan tauhid dan juga beliau adalah murid pertama Nabi Muhammad saw sekaligus orang pertama –setelah Nabi saw– yang mentauhidkan Allah SWT. Sejarah dan khutbah-khutbah beliau dalam kitab Nahjul Balaghah telah membuktikan bahwa tidak ada seorang mukmin pun dalam Islam yang memiliki ketauhidan yang lebih jelas, murni dan tangguh seperti Imam Ali As. Beliaulah yang pernah mengungkapkan statemen berikut ini:
“seandainya tirai dan hijab pun dibukakan untukku, maka keyakinanku pun tak akan bertambah”[1]
Ungkapan-ungkapan ketauhidan dan sufistik  Imam Ali As. merupakan manifestasi dari maqam irfan dan ruh Ilahiyah maktab Alquran dan wahyu Islam, yang mana tak ada satu pun kalimat yang bisa menjelaskan nilai-nilai yang dikandungnya; seluruh ungkapan-ungkapan yang muncul itu merupakan bukti akan ketinggian maqam spiritual sang pengucap dan kekayaan dirinya dengan hikmah dan makrifat.
Ali bin Abi Thalib As. adalah orang pertama yang memiliki ketauhidan sejati dalam maktab Islam. Hubungannya dengan Rasulullah saw –guru dan pembimbing spiritual tertinggi– sedemikian erat dan dekat sehingga tak diragukan lagi bahwa Imam Ali As adalah bentuktajalli(manifestasi) dari pribadi Rasulullah dan inkarnasi sempurna ajaran-ajaran Islam.
Pada dasarnya maktab tarbiyah dan taklim yang diperoleh Rasulullah saw adalah sama sumbernya dengan tarbiyah dan taklim yang diperoleh Imam Ali As. Dalam maktab itulah, yang mana sang Mahaguru (Allah SWT) mengajar dan mendidik Rasulullah saw, Imam Ali As hadir dan mendengar langsung pengajaran-pengajaran yang disampaikan kepada Nabi saw sehingga makna-makna wahyu pun tersingkap bagi Imam Ali As., bedanya hanya saja Nabi saw sebagai lawan bicara dan utusan yang ditugaskan menyampaikan risalah sedangkan Imam Ali As. hanya sebagai audiens dan Nabi saw dengan sengaja menyampaikan ajaran-ajaran yang diterimanya langsung dari Allah SWT kepada Imam Ali As. supaya naskah yang didengarnya Amirulmukminin As. sesuai dengan aslinya. Imam Ali As. dalam khutbah qaashi’ahmengatakan:
Dengan melihat dan menyaksikan bagaimana hubungan erat dan dekat Imam Ali As. dan Rasulullah saw, maka bukanlah sesuatu yang aneh jika metode interpretasi dan penafsiran Imam Ali As. ihwal Ilahiyah dalam Alquran sangat menakjubkan, spektakuler dan bahkan tidak pernah terdengar dari salah seorang sahabat pun dan tidak heran kalau dalam Ilahiyah beliau As. memiliki maqam yang sangat tinggi dan tak pernah terlintas di benak dan pikiran seorang pun. Setiap orang memiliki potensi untuk mencapai suatu maqam dan Ilahiyah, namun tidak akan pernah sampai kepada maqam yang diketahui dan didiskripsikan Imam Ali As.       

[1] . Syarah Nahjul Balaghah Ibnu Abi Al Hadid, jilid 2, hal 550.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar