Laman

Kamis, 02 Februari 2012

KENABIAN




1.     Kenabian

Kenabian
Mukadimah
Sebagaimana di bagian pertama buku ini, telah kita ketahui bahwa ada persoalan-persoalan mendasar yang wajib diketahui oleh setiap manusia berakal supaya ia dapat membina kehidupan insani yang sesuai dengan tuntutan akalnya. Persoalan-persoalan itu ialah:
o Siapakah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini?
o Bagaimana perjalanan hidup ini? Apakah tujuan akhir di balik kehidupan manusia?


o Dengan memperhatikan kebutuhan setiap manusia untuk mengetahui dan menempuh jalan kehidupan yang benar ini hingga ia bisa mencapai kebahagiaan sejati dan kesempurnaan hakikinya, apakah sarana yang dapat menjamin untuk memperoleh pengetahuan tersebut, dan siapakah pembawanya?
Jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan tadi adalah—yang diistilahkan dengan—tiga prinsip, yaitu Tauhid, Ma'ad (Hari Kebangkitan), dan Kenabian. Tiga prinsip ini merupakan dasar-dasar utama pada semua agama samawi.
Pada bagian pertama buku ini, kami telah membahas prinsip Tauhid. Di sana kita telah sampai pada beberapa kesimpulan; bahwa sumber wujud setiap makhluk adalah Pencipta Yang Tunggal, bahwa seluruh makhluk itu berada di bawah penguasaan dan pengaturan-Nya, dan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan-Nya dalam segala perkara dan keadaannya.
Kami juga telah membuktikan masalah-masalah ini dengan dalil akal, bahwa masalah-masalah ini tidak mungkin dapat tertuntaskan kecuali dengan dalil akal tersebut. Karena, apabila masalah tersebut dijelaskan dengan dalil wahyu, itu hanya bisa dibenarkan bila wujud Allah dan validitas kalam-Nya telah dibuktikan dengan dalil akal terlebih dahulu. Sebagaimana halnya bersandar kepada hadis-hadis Nabi saw dan para imam maksum as secara lebih dahulu bergantung kepada pembuktian rasional atas kenabian dan keimamahan mereka, serta validitas ucapan mereka.
Maka itu, terlebih dahulu kita harus membuktikan prinsip Kenabian dengan dalil-dalil akal. Setelah kita buktikan bahwa Al-Qur'an adalah hak dan benar, kita dapat membuktikan rincian-rincian masalah tersebut melalui ayat-ayatnya. Begitu pula rincian-rincian prinsip Ma'ad, harus dibuktikan melalui ayat-ayat tersebut, kendati sebenarnya prinsip itu sendiri dapat dibuktikan dengan dalil akal dan dalil wahyu.
Jadi, untuk menjelaskan Kenabian dan Ma'ad, pertama kali kita akan membuktikan kedua prinsip ini melalui argumentasi rasional. Kemudian, setelah kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Qur'an terbukti benar, kita dapat menerangkan rincian masalah-masalah yang berkaitan dengan dua prinsip tersebut dengan bersandar pada kandungan Al-Qur'an dan Sunnah.
Akan tetapi, karena pemisahan dua masalah tersebut akan lebih efektif dalam mempelajari masalah akidah ini dan lebih mudah untuk dipahami, kita akan mengikuti metode tradisional. Yaitu pertama-tama, kita akan mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan prinsip Kenabian. Setelah itu, kita akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan prinsip Ma'ad. Kemudian, sekiranya dalam sebagian argumentasi kami menggunakan sebuah premis yang harus dibuktikan kebenarannya, kami akan menjadikannya sebagai postulat dalam argumentasi tersebut. Adapun pembuktian kebenarannya akan kita bahas pada tempatnya yang sesuai.
Tujuan Pembahasan
Tujuan pertama pada pembahasan Kenabian di dalam buku ini ialah membuktikan adanya sarana pengetahuan selain indra dan akal, yang terjamin dari kekeliruan, serta dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui hakikat-hakikat wujud dan jalan hidup yang benar. Sarana pengetahuan itu adalah wahyu. Wahyu merupakan satu bentuk pengajaran Ilahi yang diberikan secara khusus kepada hamba-hamba pilihan Allah yang saleh. Tentunya, selain mereka tidak mengetahui hakikat wahyu tersebut, karena manusia biasa tidak dapat melihat bentuk nyata hakikat wahyu tersebut di dalam diri mereka. Meski demikian, mereka dapat mengetahui kenyataan wahyu tersebut melalui tanda-tanda yang ada. Dengan cara ini, mereka dapat membenarkan klaim para nabi bahwa mereka telah menerima wahyu dari Allah. Tentunya, apabila turunnya wahyu atas seorang nabi itu telah dapat dibuktikan dan ia menyampaikan risalahnya kepada orang lain, maka wajib atas orang lain untuk menerima dan mengamalkan hal-hal yang sesuai dengan wahyu tersebut, dan tidak seorang pun dibenarkan untuk menentangnya, kecuali bila risalah tersebut dikhususkan untuk orang atau kelompok atau zaman tertentu.
Dengan demikian, persoalan-persoalan pokok dalam Kenabian ialah keharusan mengutus nabi dan keutuhan wahyu dari penyimpangan, baik yang disengaja ataupun tidak, sehingga kandungan wahyu itu dapat diterima oleh manusia secara utuh. Dengan kata lain, kita akan membahas keniscayaan kemaksuman pada diri nabi dalam menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi, juga keniscayaan adanya suatu cara pada umat manusia untuk membuktikan kenabian para nabi.
Setelah memaparkan masalah-masalah pokok itu melalui dalil akal, kita segera akan memasuki masalah-masalah rincian seperti: jumlah para nabi, kitab-kitab mereka, dan syariat-syariat samawi. Selain itu, kita akan berusaha menuntaskan pembuktian atas kenabian seorang nabi, kitab samawi yang terakhir, dan penentuan para khalifah nabi. Akan tetapi, tidak mudah bagi kita untuk membuktikan semua masalah ini dengan dalil akal. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini kita akan bersandar pada dalil-dalil wahyu.
Metodologi Ilmu Kalam
Dari penjelasan di atas jelaslah perbedaan mendasar antara Filsafat dan Kalam. Filsafat membahas masalah-masalah yang hanya bisa dibuktikan oleh pembuktian akal. Sedangkan ilmu Kalam mencakup masalah-masalah yang tidak mungkin dapat dibuktikan kebenarannya kecuali melalui pembuktian wahyu. Dengan kata lain, nisbah antara masalah-masalah Filsafat dan masalah-masalah Kalam ialah umum dan khusus dari satu sisi (`umum wa khusus min wajh). Artinya, meskipun Filsafat dan Kalam itu memiliki masalah-masalah serupa yang dapat dibuktikan secara rasional, akan tetapi masing-masing mempunyai masalah-masalah yang khusus. Masalah-masalah khusus Filsafat bisa dibuktikan dengan akal, sedangkan masalah-masalah khusus Kalam hanya bisa dibuktikan dengan teks-teks agama. Maka itu, metode ilmu Kalam adalah gabungan dari dalil akal dan dalil wahyu. Di dalamnya kita bisa menggunakan dua macam dalil tersebut.
Yang jelas, terdapat dua perbedaan yang mendasar antara Filsafat dan Kalam:
1. Bahwa kedua ilmu itu, di samping memiliki masalah-masalah yang sama seperti masalah tauhid, mempunyai masalah-masalah yang khusus yang tidak dibahas oleh ilmu lainnya. Artinya, masalah khusus yang terdapat di dalam Kalam tidak bisa dibahas dalam masalah filsafat, begitu pula sebaliknya.
2. Metode pembahasan seluruh masalah Filsafat berdasarkan akal. Adapun dalam ilmu Kalam, sebagian masalahnya dibahas atas dasar akal (seperti masalah-masalah yang serupa dengan sebagian masalah Filsafat). Sebagian masalah Kalam, seperti Imamah (khilafah), dibahas atas dasar teks agama, dan sebagian yang lain, seperti Ma’ad, dibahas melalui akal dan teks agama.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa masalah masalah khusus teologi yang dapat dibuktikan secara tekstual tidak semuanya berada pada satu tingkatan. Bahkan sebagian di antaranya, seperti validitas keterangan (sunnah) Nabi saw, dapat dibuktikan secara langsung oleh ayat Al-Qur'an, tentunya setelah kebenaran Al-Qur'an dapat dibuktikan secara rasional. Setelah itu, masalah-masalah lain seperti: penentuan pengganti nabi (khilafah), atau validitas ucapan para Imam, bisa dibuktikan melalui keterangan Nabi tersebut. Pada gilirannya, terdapat sejumlah masalah yang dapat dituntaskan melalui keterangan para Imam. Sudah pasti kesimpulan yang kita capai melalui dalil-dalil wahyu benar-benar meyakinkan bila jalur periwayatannya itu pun sahih, tidak ada cacat di dalamnya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Mengapa kita harus menjelaskan masalah-masalah Tauhid dengan dalil akal saja?
2. Apakah masalah-masalah yang mendasar pada prinsip Kenabian?
3. Apakah mungkin kita membuktikan masalah-masalah pokok pada prinsip Kenabian dan prinsip Ma'ad melalui dalil-dalil tekstual (ayat dan riwayat)? Apakah ada perbedaan di antara keduanya?
4. Masalah-masalah apakah yang terdapat di dalam ilmu Kalam yang dapat dibuktikan oleh dalil wahyu?
5. Mengapa pembahasan Kenabian itu harus didahulukan dari pembahasan Ma'ad? Apakah ada urutan logis yang mengatur kedua prinsip tersebut?
6. Apakah perbedaan-perbedaan antara Filsafat dan Kalam?
7. Ada berapa bagian dalam masalah-masalah Kalam dari sisi pembuktiannya? Sebutkanlah secara berurutan?



2. Ketergantungan Manusia kepada Wahyu dan Kenabian


Ketergantungan Manusia kepada Wahyu dan Kenabian

Perlunya Diutus Nabi

Masalah ini merupakan masalah yang paling penting dalam prinsip Kenabian. Masalah ini dapat dibuktikan oleh argumentasi berikut ini yang tersusun dari tiga premis.
Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan sengaja (ikhtiari) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah SWT agar—dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah—berhak memperoleh rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari (disengaja), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasar). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’). Premis ini telah kami jelaskan pada pembahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi.
Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya.
Dengan demikian, Kebijaksanaan (hikmah) Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas. Karena jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, akan tetapi dia tidak mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.
Ketiga, pengetahuan manusia biasa—yang pada umumnya diperoleh melalui kerjasama indra dan akal—meskipun mempunyai peran begitu efektif dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang, baik yang bersifat individu maupun kelompok, bendawi maupun maknawi, duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, jika tidak ada jalan lain untuk menutupi berbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah dari penciptaan manusia ini menjadi sia-sia.
Berdasarkan tiga premis di atas ini, dapat disimpulkan bahwa Hikmah Ilahiyah itu melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indra dan akal, bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di berbagai bidang, sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung maupun melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan kepada para nabi sehingga dapat memanfaatkan wahyu secara langsung, dan melalui merekalah umat manusia dapat memanfaatkannya dan mempelajari segala apa yang mereka perlukan darinya demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi.
Di antara premis-premis tersebut, barangkali masih terdapat keraguan terutama terhadap premis terakhir. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskannya lebih luas lagi hingga kita bisa menyadari kadar pengetahuan manusia dalam menentukan jalan kesempurnaannya dan ketergantungan manusia kepada wahyu.
Kadar Pengetahuan Manusia
Untuk mengetahui jalan kehidupan yang benar pada semua aspeknya, seseorang harus mengetahui asal usul keberadaannya dan akhir perjalanan hidupnya, hubungannya yang bisa dijalin dengan makhluk sejenisnya dan dengan semua makhluk, serta pengaruh berbagai hubungan terhadap kebahagiaan dan kesengsaraannya. Di samping itu, dia pun harus mengetahui kadar manfaat dan bahaya, tingkat berbagai maslahat dan mudharat, serta menimbang semua itu agar ia dapat menentukan tugas milyaran manusia yang mempunyai bentuk fisik dan jiwa yang berbeda-beda. Mereka semua hidup di dalam kondisi alam dan sosial yang berbeda-beda.
Akan tetapi, mengetahui semua persoalan ini bukan hanya sulit bagi individu atau kelompok, bahkan ribuan ahli dan kelompok spesialis dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia pun menemui kesulitan dalam menyingkap tolok ukur dan formula rumit ini. Mereka juga sulit untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang cermat, tepat dan tegas agar semua maslahat—baik yang bersifat individu maupun kelompok, materi maupun maknawi, duniawi ataupun ukhrawi—dapat terpenuhi bagi semua umat manusia. Tatkala terjadi benturan dan pertentangan antara berbagai maslahat dan mafsadah, dan hal ini justru seringkali terjadi, dia dapat menentukan mana yang memang lebih bermaslahat, sehingga pada tahapan praktis ia dapat mendahulukannya di atas yang lain.
Kalau kita perhatikan dengan seksama berbagai perubahan sistem hukum sepanjang sejarah umat manusia, nyatanya sampai hari ini—meskipun berbagai pembahasan dan segala tenaga telah dikerahkan oleh para ahli hukum selama ribuah tahun—belum kita dapati adanya satu sistem hukum yang benar, sempurna dan komprehensif. Kita perhatikan pula bahwa para perancang undang-undang dan lembaga-lembaga hukum di berbagai belahan dunia senantiasa mengakui kekurangan produk hukum yang mereka buat. Maka itu, mereka selalu berusaha untuk merevisi atau menyempurnakannya, dengan cara menghapus pasalnya, atau menambahkannya, atau memberikan catatan di sisinya.
Hendaknya kita pun tidak lalai bahwa mereka banyak memanfaatkan syariat samawi dan sistem hukum agama dalam menyusun undang-undang tersebut. Juga kita ketahui bahwa kesungguhan para pembuat undang-undang itu lebih banyak dicurahkan untuk kepentingan yang sifatnya duniawi dan sosial. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ukhrawi dan sejauh mana hubungan maslahat ukhrawi tersebut dengan masalah-masalah duniawi.
Apabila mereka juga menganggap penting sisi ukhrawi di dalam masalah ini, mereka tidak akan mampu menemukan kesimpulan yang meyakinkan. Karena, maslahat-maslahat yang bersifat materi dan duniawi— batas-batas tertentu—meski bisa dicapai dengan jalan eksperimen dan pengalaman praktis, namun maslahat-maslahat maknawi dan ukhrawi tidak bisa dipastikan melalui eksprimen indrawi, dan tidak mungkin dapat diketahui secara detail. Maka itu, ketika terjadi benturan antara maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi, mereka tidak dapat mengetahui mana yang lebih penting.
Dengan memperhatikan ihwal perundangan-undangan buatan manusia pada zaman sekarang ini, kita dapat menilai kehandalan ilmu pengetahuan manusia di sepanjang ribuan atau ratusan ribu tahun. Darinya kita menjumpai satu kesimpulan yang meyakinkan bahwa manusia pada abad-abad dahulu lebih lemah dibandingkan dengan manusia pada zaman sekarang ini dalam mengetahui dan menentukan tatanan dan cara hidup yang benar.
Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan?
Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah wahyu Ilahi.
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula bahwa sesuai dengan argumen ini, manusia pertama itu adalah seorang nabi hingga ia dapat mengenal jalan hidup yang benar melalui wahyu Allah agar dapat merealisasikan tujuan penciptaan Ilahi dalam dirinya. Setelah itu, umat manusia yang lainnya dapat menemukan jalan petunjuk melaluinya.
Manfaat Diutusnya Nabi
Di samping tugas untuk menunjukkan jalan hidup, menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia, para Nabi juga mempunyai tugas-tugas penting lainnya demi kesempurnaan umat manusia, di antaranya:
1. Banyak pengetahuan yang bisa dijangkau oleh akal manusia. Namun, karena hal itu memerlukan waktu dan pengalaman yang panjang, atau karena perhatiannya dicurahkan pada urusan-urusan materi dan pemuasan hawa nafsu, ia melupakan pengetahuan tersebut. Atau, karena pengajaran yang keliru dan propaganda yang menyesatkan, pengatahuan ini tersembunyi. Dengan perantara para nabilah pengetahuan itu diajarkan kepada umat manusia. Mereka selalu mengingatkan manusia supaya tidak melupakannya, dan mencegah terjadinya penyimpangan dengan cara pengajaran yang benar dan logis. Maka dari itulah dapat kita ketahui sebab penamaan para nabi dengan dua istilah; Al-Mudzakkir dan An-Nadzir, dan penamaan Al-Qur'an dengan nama-nama Az-Zikr, Az-Zikra dan At-Tazkirah.
Dalam rangka memaparkan manfaat dan hikmah-hikmah diutusnya para nabi, Imam Ali as mengatakan, “Sesungguhnya para nabi itu diutus supaya mereka dapat mengembalikan umat manusia kepada ikrar fitrahnya, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah dilupakannya, serta supaya mereka menyempurnakan hujah mereka atas manusia melalui tabligh.”
2. Salah satu faktor terpenting dalam pendidikan dan penyempurnaan manusia ialah adanya qudwah(suri teladan) dalam berbuat, sebagaimana yang telah terbukti dalam Psikologi. Para nabi adalah manusia-manusia sempurna yang mendapatkan didikan dan perhatian Ilahi. Mereka tampil sebagai sebaik-baiknya teladan manusia. Di samping mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, mereka pun mempunyai peranan penting di dalam mendidik dan membersihkan hati umat. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur'an telah menyejajarkan ta'lim (pengajaran) dan tazkiah (pembersihan jiwa). Bahkan dalam sebagian ayat, kata tazkiyah disebutkan terlebih dahulu dari kata ta`lim.
3. Salah satu berkah keberadaan para nabi di tengah umat manusia yaitu di saat kondisi memungkinkan, mereka akan memegang kendali kepemimpinan sosial-politik umat manusia. Jelas bahwa pemimpin yang maksum adalah satu nikmat Ilahi terbesar bagi umat manusia, dimana mereka akan dapat mengatasi berbagai macam persoalan sosial, serta menyelamatkan umat manusia dari berbagai kemelut dan penyelewengan. Dengan begitu, para nabi dapat menuntun umat manusia menuju kesempurnaan yang sesungguhnya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apakah tujuan penciptaan manusia?
2. Apakah iradah Ilahi yang bijaksana itu berkaitan dengan azab dan kesengsaraan umat manusia sebagaimana ia berkaitan dengan kebahagiaan dan rahmat? Ataukah ada perbedaan di antara keduanya itu?
3. Apakah perkara-perkara yang dibutuhkan oleh umat manusia untuk mengaktifkan kekuatan pilih dan usahanya secara sadar?
4. Mengapa akal manusia tidak cukup menemukan berbagai macam pengetahuan yang diperlukan?
5. Terangkan argumen tentang perlunya diutus nabi?
6. Apabila manusia bisa mengenal jalan kebahagiaannya, yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dengan cara menggunakan eksperimennya yang panjang, apakah lalu ia tidak lagi membutuhkan wahyu? Mengapa?
7. Apakah mungkin menggunakan dalil rasional untuk membuktikan kenabian manusia pertama di bumi? Bagaimana kalau mungkin?
8. Terangkan beberapa manfaat diutusnya para nabi?



3. Beberapa Keraguan dan Jawaban

Beberapa Keraguan dan Jawaban
Dari berbagai argumentasi yang telah kami sampaikan atas keniscayaan diutusnya para nabi, muncul beberapa keraguan yang akan kita paparkan di sini berikut jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama
Jika Hikmah Ilahiyah itu menuntut pengutusan para nabi untuk menyampaikan petunjuk kepada seluruh umat manusia, mengapa seluruh nabi itu diutus di kawasan tertentu, yaitu di Timur Tengah? Sedangkan belahan bumi lainnya tidak mendapatkan anugerah pengutusan tersebut, terutama kalau kita perhatikan dengan seksama keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi serta pertukaran informasi yang lamban pada masa-masa itu. Barangkali ada bangsa-bangsa zaman dulu yang tidak mengetahui pengutusan para nabi sama sekali.
Jawab: pertama, para nabi itu diutus tidak khusus pada kawasan tertentu saja. Coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kehadiran seorang nabi di tengah setiap bangsa. Allah SWT berfirman,
"Dan tidak satu umat pun yang kosong dari seorang penyeru." (QS. Fathir: 24).
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul supaya ia menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkandiri dari taghut (selain Allah).” (QS. An-Nahl: 36).
Kalau Al-Qur'an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi, ini tidak berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut. Bahkan Al-Qur'an menjelaskan banyaknya nabi sedangkan nama-nama mereka tidak tersebut di dalamnya. Seperti yang tertera dalam firman-Nya:
"Dan para rasul yang kami tidak kisahkan tentang mereka kepadamu." (QS. An-Nisa’: 164).
Kedua, argumentasi di atas menuntut adanya perangkat pengetahuan selain akal dan indra untuk digunakan dalam membimbing umat manusia. Namun, hidayah Ilahi pada setiap individu bergantung kepada dua syarat:
a. Adanya kehendak bebas dan usaha sendiri untuk memanfaatkan hidayah tersebut.
b.Tidak ada orang lain yang menciptakan kendala di hadapannya untuk mendapatkan hidayah.
Dapat kita perhatikan bahwa kebanyakan umat manusia tidak mendapatkan anugerah hidayah dari para nabi karena buruknya kehendak dan usaha mereka, atau karena adanya kendala yang diusahakan oleh sebagian manusia sehingga menghambat gerak laju risalah para nabi dan penyebarannya. Kita mengetahui bahwa para nabi itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut dan berjuang untuk memberantas musuh-musuh Allah SWT, terutamamustakbirin dan taghut (pemerintahan zalim). Bahkan banyak di antara para nabi itu mengorbankan jiwa dan raga mereka demi menyampaikan risalah dan hidayah Ilahi kepada umat manusia. Tatkala mendapatkan pengikut, mereka melancarkan perlawanan dan peperangan terhadap para taghut dan penguasa yang zalim. Sebab, keberadaan yang belakangan ini merupakan kendala yang paling besar dalam usaha menyebarkan agama Ilahi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa karakteristik ikhtiar manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan itu memerlukan adanya lahan bagi pihak hak dan batil untuk dapat memilih jalan mereka. Namun ketika para penguasa zalim sedemikian kuatnya sehingga mereka menutup jalan hidayah dan memadamkan cahaya petunjuk bagi masyarakat, Allah akan turun tangan dan menolong hamba-hamba-Nya melalui jalan gaib.
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa jika tidak ada kendala dan rintangan, dakwah para nabi akan sampai kepada semua telinga manusia di muka bumi ini, dan mereka akan mendapatkan anugerah dari nikmat hidayah Ilahi tersebut melalui jalan wahyu dan kenabian. Dengan demikian, tercegahnya mayoritas manusia dari hidayah Ilahi itu lantaran berdirinya pemerintahan zalim dan kendala-kendala yang menghambat tersebarnya risalah para nabi.
Keraguan Kedua
Apabila para nabi itu diutus untuk melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi demi kesempurnaan umat manusia, mengapa masih saja ditemukan kerusakan dan kemunduran di muka bumi ini? Mengapa mayoritas manusia di sepanjang sejarah kehidupan berada di bawah kemaksiatan dan kemungkaran, bahkan para pengikut agama langit itu pun senantiasa memerangi pengikut agama lain dan menyalakan api peperangan, kerusakan dan penghancuran? Apakah Hikmah Ilahiyah itu tidak menuntut sebab-sebab lain yang dapat mencegah munculnya berbagai kerusakan di muka bumi ini, sehingga—paling tidak—para pengikut nabi tidak saling berperang?
Jawab: bila kita merenungkan karakteristik kesempurnaan manusia yang berasaskan pada ikhtiar dan kebebasannya, kita akan menemukan jawaban keraguan di atas. Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut pengadaan syarat-syarat kesempurnaan bagi manusia yang bersifat ikhtiari (bukan paksaan) supaya orang-orang yang ingin mendapatkan kebenaran mampu mengenal jalan mereka dan menempuhnya hingga sampai kepada kesempurnaan. Namun tersedianya faktor-faktor kesempurnaan tersebut tidak berarti bahwa semua manusia memanfaatkannya dengan benar dan mereka semua pasti akan sampai kepada kesempurnaan.
Menurut Al-Qur'an, Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menguji siapa yang amalnya lebih baik.[1] Al-Qur'an sendiri berkali-kali menekankan bahwa apabila Allah berkehendak, Dia mampu membimbing semua manusia menuju kebenaran dan mencegah mereka dari kebatilan.[2] Tapi dalam kondisi ini, tidak ada tempat yang tersisa untuk kehendak dan usaha bebas manusia, dan semua tindakannya tidak akan memiliki nilai. Selain itu, tujuan Allah untuk menguji manusia yang bebas ini tidak akan terwujud.
Walhasil, kita bisa mengambil kesimpulan dari penjelasan di atas bahwa perjalanan manusia menuju kerusakan, kesesatan, kekufuran dan kemaksiatan, bersumber dari buruknya usaha bebas manusia itu sendiri. Kemampuan manusia untuk melakukan tindakan semacam ini telah dipertimbangkan oleh Allah dalam menciptakannya. Meski-pun secara prinsipal dan langsung, kehendak Allah berkaitan dengan kesempurnaan manusia, tapi karena kehendak-Nya itu bergantung pada kehendak dan usaha bebas manusia, maka Dia tidak menutup kemungkinan ketergelinciran manusia lantaran usahanya yang buruk. Hikmah Ilahi tidak memastikan manusia untuk selalu menempuh jalan yang benar, meski hal itu bertentangan dengan kehendak-Nya.
Keraguan Ketiga
Dinyatakan bahwa Hikmah Ilahi menuntut agar manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi dengan cara yang lebih baik. Bila benar demikian, tidakkah lebih baik jika Allah swt. menyingkap tabir rahasia alam semesta ini kepada manusia melalui jalan wahyu agar mereka lebih cepat mencapai kesempurnaan? Seperti yang kita perhatikan, penemuan berbagai macam potensi alam dalam beberapa abad terakhir dan penciptaan berbagai fasilitas kehidupan sangat berperan dalam kemajuan peradaban manusia yang mencakup lebih terjaminnya kesehatan manusia dan perkembangan pertukaran informasi. Jelas apabila para nabi membantu manusia dengan cara mengajarkan berbagai teknologi dan menyediakan fasilitas hidup, niscaya pengaruh mereka di tengah kehidupan manusia akan semakin bertambah dan dakwah mereka semakin berhasil.
Jawab: kebutuhan utama kepada wahyu dan kenabian itu ialah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat dijelaskan oleh perangkat pengetahuan biasa manusia. Ketika masalah-masalah itu tidak jelas, mereka tidak mampu menentukan jalan kesempurnaan mereka, apalagi berjalan di atasnya.
Dengan kata lain, para nabi diutus untuk membantu umat manusia agar dapat mengetahui jalan hidup mereka menuju kesempurnaan, sehingga mereka akan dapat lebih mudah mengenal tugas-tugas mereka dalam berbagai kondisi serta menggunakan kekuatan dan potensi mereka untuk meng-usahakan tujuan mereka, baik yang tinggal di pedesaan, pegunungan dan di kemah-kemah, ataupun yang tinggal di kota-kota dengan budaya dan teknologi yang sudah maju. Dengan itu, mereka juga dapat mengenal nilai-nilai hakiki kemanusiaan, tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam beribadah kepada Allah SWT di dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, sehingga dengan mempraktikkan dan mengamalkan tugas-tugas ini, mereka akan sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Adapun perbedaan potensi, kemampuan dan sarana industri dan alami, baik pada satu zaman ataupun pada masa yang berbeda, adalah akibat dari beberapa faktor tertentu. Hal ini bukanlah pengaruh utama dalam perjalanan mereka menuju kesempurnaan hakiki dan perjalanan mereka yang abadi.Sebagaimana yang bisa kita perhatikan pada masa sekarang, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memperluas dan mengembangkan hal-hal materi dan duniawi itu sama sekali tidak memberikan pengaruh dalam kesempurnaan spiritual manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan itu meninggalkan dampak yang sebaliknya.
Kesimpulannya, bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar umat manusia—dengan menggunakan nikmat-nikmat materi—dapat melangsungkan kehidupan mereka di dunia ini dan melestarikannya. Dan dengan menggunakan akal dan wahyu, mereka dapat mengetahui dan menentukan jalan hidup mereka menuju kesempurnaan yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Adapun adanya perbedaan potensi fisikal dan spiritual, perbedaan kondisi alam dan sosial, atau perbedaan dalam memanfaatkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan industri, semua itu tunduk pada faktor-faktor alami tertentu yang sesuai dengan Hukum Kausalitas.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak berpengaruh penting terhadap perjalanan umat manusia kepada tujuan mereka yang abadi. Barangkali ada individu atau kelompok yang hidup dengan cara sederhana dan tidak menikmati sarana teknologi serta tidak berbekal materi melimpah, akan tetapi mereka dapat mencapai derajat kesempurnaan yang tinggi. Sebaliknya, berapa banyak individu dan kelompok yang mampu menggunakan berbagai fasilitas hidup mewah, industri yang maju dan ilmu pengetahuan yang canggih, akan tetapi mereka terpuruk ke dalam lembah kesengsaraan akibat kekufuran mereka terhadap nikmat Allah SWT dan kecongkakan mereka.
Tentunya, di samping melaksanakan tugas utama dalam membimbing umat manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, para nabi juga telah membantu manusia untuk hidup lebih baik dalam dunia ini. Dalam beberapa kondisi—apabila Hikmah Ilahiyah menuntut hal itu—para nabi menyingkapkan rahasia-rahasia alam dan membangun peradaban manusia. Kita dapat melihat bukti khidmat para nabi kepada manusia dalam kehidupan Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan Dzul Qarnain as.[3] Dalam hal pengaturan negara pun, para nabi telah berkhidmat kepada umat manusia, seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as di Mesir (lihat QS. Yusuf: 55). Namun semua ini hanyalah khidmat sampingan para nabi, bukan khidmat utama mereka.
Adapun pertanyaan mengapa para nabi tidak menggunakan kekuatan teknologi, ekonomi dan militer untuk mengangkat risalah mereka, jelas bahwa—seperti yang telah kami sebutkan berulang-ulang—tujuan para nabi as adalah untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan usaha, kehendak dan kebebasan manusia. Apabila dakwah mereka menggunakan kekuatan selain kekuatan biasa, maka kedewasaan spiritual dan kesempurnaan umat manusia tidak akan terwujud, bahkan mereka akan mengikuti nabi karena adanya tekanan dan kekuasaannya, bukan karena kehendak dan kebebasan mereka sendiri.
Sehubungan dengan masalah ini, Imam Ali as pernah bersabda, "Jika Allah SWT berkehendak untuk membekali para nabi di saat mereka diutus dengan gudang-gudang emas permata, kebun-kebun penuh buah dan menjadikan burung-burung di udara dan hewan-hewan di daratan tunduk kepada mereka, maka Dia pasti mampu melakukannya. Akan tetapi jika hal itu Dia lakukan, maka gugurlah bala' dan batallah balasan .… Apabila para nabi itu memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan, kemulian yang tidak ada bandingannya, kekuasaan yang melingkari leher-leher setiap orang sehingga mereka semua menuju kepadanya, maka—jika demikian halnya—mereka tidak lagi memiliki nilai di mata manusia dan bahkan membuat mereka semakin jauh. Bahkan mereka (manusia) akan beriman karena rasa takut dan terpaksa atau karena ketamaan harta. Niat, tujuan dan nilai-nilai menjadi sama. Akan tetapi Allah SWT berkehendak agar manusia menaati rasul-Nya, membenarkan buku-Nya, menghadap kepada-Nya, melakukan perintah-Nya dan berserah diri karena mentaati-Nya dengan motivasi Ilahi yang murni. Setiap kali cobaan dan ujian semakin sulit, maka pahala dan ganjarannya pun akan semakin besar.”[4]
Ketika umat manusia memilih dan mengikuti ajaran agama yang hak atas dasar kehendak dan usaha bebas mereka dan menegakkan tatanan masyarakat Ilahi berdasarkan ridha Allah SWT, ketika itu para nabi layak menggunakan kekuatan untuk mewujudkan tujuan ilahi, khususnya untuk memberantas orang-orang yang zalim dan membela hak-hak orang-orang yang beriman. Contoh hal ini dapat kita saksikan dalam pemerintahan Nabi Sulaiman as.[5][]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah seluruh nabi itu diutus di tempat tertentu saja?
2. Apakah argumen atas hal itu?
3. Mengapa dakwah para nabi itu tidak menyebar secara luas ke seluruh penjuru dunia?
4. Mengapa Allah SWT tidak menciptakan situasi dan kondisi serta faktor-faktor yang dapat mencegah adanya kerusakan dan peperangan yang destruktif?
5. Mengapa para nabi itu tidak mengungkap rahasia alam semesta ini untuk manusia supaya mereka dapat mengikuti para nabi dan dapat menggunakan nikmat Ilahi ini dengan lebih baik dan lebih sempurna?
6. Mengapa para nabi itu tidak mau menggunakan kekuatan industri dan ekonomi untuk merealisasikan tujuan mereka?

[1] Surah Hud: 7, Al-Kahfi: 7, Al-Mulk: 2, Al-Ma’idah: 48, dan Al-An`am: 165.
[2] Surah Al-An`am: 35,107,112,137,127, Yunus: 99, Hud:118, Al-Nahl: 9,93, Asy-Syura: 8, Asy-Syu'ara: 4, dan Al-Baqarah: 253.
[3] Surah Al-Anbiya: 78-82, Al-Kahfi: 83-97, dan Saba’: 10-13. Perlu diperhatikan bahwa menurut sebagian riwayat, Dzul Qarnain bukan seorang nabi, tapi seorang wali Allah.
[4] Nahjul Balaghah, khotbah Al-Qoshiah, Al-Furqan 7-10, dan Az-Zukhruf: 31-35.
[5] Surah Al-Anbiya’: 81-82 dan an-Nahl: 15-44.



4. Kemaksuman Para Nabi

Kemaksuman Para Nabi
Urgensi Keutuhan Wahyu
Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini. Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu Ilahi,[1] karenanya risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.
Pertanyaannya, apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah SWT dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyampaikan risalah tersebut secara utuh pula?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila—semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia—terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.
Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu, akan timbul dugaan dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?
Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.
Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah SWT yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na'udzu billah!) bahwa dzat Allah SWT itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qath'i).
Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafikannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi as?
Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagaimana halnya akal—dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada pelajaran 22—mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada di hadapan manusia secara utuh. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya.
Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka—dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi—akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah SWT tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.
Dan seandainya Allah SWT tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.
Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah SWT, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya.[2]Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah SWT, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya.[3] Dan dengan adanya Hikmah Ilahiyah, tidak mungkin bahwa Allah itu tidak berkehendak untuk menjaga risalah-Nya dari berbagai kesalahan dan kelalaian.[4] Oleh karena itu ilmu, kekuasaan dan hikmah Allah SWT menuntut risalah itu agar sampai kepada hamba-hamba-Nya secara utuh.
Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan keutuhan wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan kemaksuman Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur'an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur'an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.
Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman
Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malaikat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian individu, seperti para imam yang suci, atau seperti Siti Fatimah as dan Siti Maryam as.
Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemaksuman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.
Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja.Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.
Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:
"Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya." (QS. Al-Anbiya’: 27)
"Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?
Adapun mengenai kemaksuman sebagian individu selain para nabi, hal ini akan lebih sesuai dengan pembahasan Imamah. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur'an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.
Kemaksuman para Nabi
Terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi'ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.
Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlus Sunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali. Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.
Sebelum membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:
Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepanjang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter jiwa) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai dengan pengetahuannya yang sempurna akan keburukan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan daninayah Allah swt.secara khusus, maka pemilik malakah diidentikkan dengan-Nya.
Kemaksuman mereka tidak berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.
Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang ke atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan dalam seluruh syariat, dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau diharamkan pada ajaran yang akan datang.
Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum tersucikan darinya ialah perbuatan yang "haram" dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang "wajib" menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula(meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah menafikan kemaksuman dari diri mereka.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Bagaimana kita dapat membuktikan terjaganya wahyu dari berbagai macam kesalahan dan penyelewengan?
2. Apakah bidang-bidang kemaksuman selain dari terjaganya nabi dalam menerima wahyu dan menyampaikannya?
3. Dengan jalan dan cara apakah kita dapat membuktikan kemaksuman malaikat?
4. Apakah pandangan-pandangan tentang kemaksuman para nabi? Bagaimana pandangan Syi'ah Imamiyah itu sendiri dalam hal ini?
5. Berikan definisi tentang kemaksuman? Dan sebutkan konsekuensi-konsekuensi kemaksuman?

[1] Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
[2] Dalam Al-Qur'an disebutkan, “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya.” (QS. Al-An`am: 124)
[3] “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (QS. al-Jin: 26-27).
[4] “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata.“ (QS. al-Anfal: 42)



5. Argumentasi atas Kemaksuman Para Nabi

Argumentasi atas Kemaksuman Para Nabi
Mukadimah
Meyakini kemaksuman para nabi dari maksiat dan dosa, yang disengaja atau tidak, merupakan keyakinan yang pasti dan populer di kalangan Syi'ah Imamiyah yang telah diajarkan oleh para imam suci kepada syi'ah (pengikut setia) mereka. Mengenai masalah ini, mereka terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang menentang mereka melalui berbagai macam metode. Di antaranya, dialog yang dilakukan oleh Imam Ridha as yang disebutkan dalam buku-buku hadis dan sejarah. Akan tetapi, ada perbedaan mengenai mungkinnya kealpaan dan kelupaan pada diri para nabi as dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Bahkan secara zahir, riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlulbait as itu pun tidak lepas dari pertentangan. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan luang yang lebih luas lagi. Yang jelas, hal itu tidak mungkin dianggap sebagai keyakinan yang prinsipal.
Dalil-dalil atas kemaksuman dapat dibagi menjadi dua kelompok; dalil akal dan dalil wahyu. Walaupun menggunakan dalil kedua lebih banyak daripada dalil pertama, di sini kami hanya akan menjelaskan dua dalil pertama saja. Kemudian setelah itu kami akan menyebutkan dalil-dalil wahyu dari Al-Qur'an.
Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi
Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah SWT ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka emban, atau menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pesan yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri. Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.
Karenanya, hikmah dan rahmat Ilahi itu menuntut bahwa para nabi itu harus maksum dan suci dari berbagai dosa. Bahkan tidak akan keluar perbuatan yang tidak baik dari diri mereka, sekalipun dalam bentuk lalai atau pun kelupaan, supaya umat manusia tidak berasumsi bahwa mereka menjadikan pengakuan lalai dan lupa sebagai alasan untuk melakukan dosa dan maksiat.
Dalil akal yang kedua atas kemaksuman para nabi adalah bahwa di samping ditugaskan untuk menyampaikan kandungan wahyu dan risalah kepada umat manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus, para nabi juga ditugaskan untuk mendidik dan membersihan jiwa mereka, dan mengantarkan individu-individu yang mempunyai potensi kepada peringkat yang terakhir dari peringkat kesempurnaan insani.
Artinya, di samping memberikan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia, para nabi juga mempunyai tugas penting lainnya, yaitu memimpin dan mendidik mereka secara menyeluruh, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berpotensi dan terpandang di masyarakat. Dan kedudukan yang tinggi ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan insani dan yang memiliki lebih banyak karakter kesempurnaan, yaitu karakterkemaksuman. Selain itu, peran sikap dan perilaku seorang pendidik itu lebih berpengaruh daripada ucapannya dalam proses pembinaan. Jika ditemukan berbagai kekurangan dan kesalahan pada perbuatannya, ucapannya itu pasti tidak lagi berarti.
Dengan demikian, tujuan Ilahi dari diutusnya para nabi—sebagai penuntun dan pendidik umat manusia—hanya bisa terealisasi secara penuh apabila mereka itu maksum dan terpelihara dari berbagai macam maksiat, kesalahan, dan penyelewengan, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.
Dalil Wahyu atas Kemaksuman Para Nabi
Pertama, Al-Qur'an menggunakan istilah al-mukhlas pada sebagian individu ketika mereka tidak tersentuh oleh bujuk-rayu setan. Dari sinilah setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh Bani Adam, kecuali mereka yang mukhlas, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:
"Maka dengan keagungan-Mu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyesatkan seluruh umat manusia kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas." (QS. Shad: 82-83)
Tidak diragukan lagi bahwa sebab putus asanya setan dari menyesatkan orang-orang yang mukhlasitu karena mereka suci dan terjaga dari dosa dan maksiat. Kalau tidak demikian, musuh-musuh mereka itu tentu akan dapat menggoda mereka dan penyesatan setan dapat menyentuh mereka. Dan jika mereka pun bisa disesatkan, setan tidak akan membiarkan mereka sedetik pun. Oleh karena itu, arti al-mukhlash itu identik dengan arti al-ma'shum. Walaupun tidak dijumpai argumen yang menunjukan kekhususan sifat mukhlas ini bagi para nabi, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sifat ini disandang oleh mereka. Al-Qur'an telah memberikan penilaian atas sebagian para nabi dengan sifat al-mukhlasin:
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia akan akhirat." (QS. Shad: 45-46).
“Dan ceritakanlah kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang mukhlas dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 51).
Begitu pula ihwal disucikannya Nabi Yusuf as dari peyelewengan ketika beliau berada pada kondisi yang sangat sulit, karena beliau adalah hamba Allah yang mukhlas. "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang mukhlas." (QS. Yusuf: 4).
Kedua, Al-Qur'an telah mewajibkan seluruh umat manusia untuk mentaati Nabi secara mutlak:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." (QS. An-Nisa’: 64).
Ketaatan umat secara mutlak kepada para Nabi hanya terjadi jika para nabi itu berada di bawah ketaatan kepada Allah SWT dan sebagai perpanjangan dari-Nya, sehingga ketaatan kepada para nabi itu tidak menafikan ketaatan kepada Allah SWT. Kalau tidak demikian, perintah secara mutlak untuk mentaati Allah SWT itu bertentangan dengan perintah secara mutlak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan penyelewengan.
Ketiga, Al-Qur'an telah mengkhususkan kedudukan Ilahi kepada mereka yang sama sekali tidak berbuat zalim. Allah SWT berfirman ketika menjawab permintaan Nabi Ibrahim as akan kedudukanimamah untuk putra-putranya, “Janjiku tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."
Kita tahu bahwa maksiat itu merupakan perbuatan zalim—paling tidak—atas diri sendiri. Dan setiap pelaku maksiat adalah manusia zalim menurut Al-Qur'an. Dengan begitu, para nabi dan orang-orang yang mempunyai kedudukan Ilahi (kenabian dan risalah) pasti suci dari kezaliman dan maksiat. Argumentasi atas kemaksuman para Nabi ini bisa juga dijumpai pada ayat dan riwayat yang lain yang tidak mungkin kami jelaskan di sini.
Rahasia Kemaksuman Para Nabi
Di akhir pelajaran ini, barangkali tepat bila kami membubuhkan catatan tentang falsafah kemaksuman para nabi dalam hal menerima wahyu. Yaitu, bahwa mengetahui wahyu itu adalah perkara yang tidak mungkin mengalami kesalahan. Dan nabi-nabi yang berhak menerima wahyu akan mendapatkan hakikat ilmu secara hudhuri,[1] mereka menyaksikan hubungan ilmu ini dengan Pemberi Wahyu (Allah), baik melalui perantara malaikat atau tidak. Maka, tidak mungkin penerima wahyu akan merasa ragu; apakah yang diterimanya itu berupa wahyu atau bukan? Atau siapakah yang mewahyukan kepadanya? Atau apakah kandungan wahyu yang diturunkan kepadanya? Apabila terdapat sebagian hikayat yang menceritakan bahwa ada seorang nabi yang merasa ragu dengan kenabiannya, atau ia tidak mengetahui kandungan wahyu, atau ia tidak mengetahui siapakah pemberi wahyu itu, hikayat semacam ini adalah dusta dan dibuat-buat. Kebatilan kisah semacam ini sama dengan ungkapan: ia ragu terhadap wujudnya sendiri, atau ragu terhadap pengetahuannya yang bersifat hudhuri dan wijdani.
Adapun falsafah kemaksuman para nabi dalam menjalankan tugas-tugas Ilahi seperti: menyampaikan risalah Allah kepada seluruh umat manusia, ini memerlukan premis sebagai berikut:
Suatu perbuatan manusia akan sempurna apabila terdapat di dalam hatinya kecondongan kepada sesuatu yang diinginkannya. Dan kecondongan itu muncul karena berbagai faktor yang menentukan jalan agar ia sampai kepada tujuan yang diinginkannya tersebut dengan bantuan berbagai pengetahuan. Kemudian, ia akan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tujuannya tersebut. Apabila terdapat kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, ia berusaha untuk mengetahui manakah yang lebih utama dan paling banyak nilainya. Ketika itu ia akan memilih yang lebih baik lalu melakukannya. Akan tetapi terkadang—akibat adanya kekurangan pada pengetahuannya—ia keliru dalam menentukan mana yang lebih utama, atau karena ia tidak mengetahui manakah yang lebih bermaslahat, atau karena ia telah terbiasa dengan hal-hal yang buruk, maka ia memilih hal-hal yang buruk pula, dan tidak ada kesempatan baginya untuk berfikir jernih dan memilih yang lebih bermaslahat.
Oleh karena itu, semakin pengetahuan, kesadaran dan perhatian seseorang terhadap berbagai hakikat itu luas dan kuat, dan semakin kuat kehendaknya untuk menentukan kecondongan-kecondongan dan reaksi-reaksi internal, niscaya pilihannya akan lebih baik, dan lebih terjaga dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.
Dari sinilah sebagian individu yang mempunyai pengetahuan dan potensi yang tinggi membekali dirinya dengan kesadaran yang tinggi dan pendidikan yang bersih. Orang-orang semacam ini pasti akan sampai ke peringkat kesempurnaan dan keutamaan. Mungkin juga mereka ini akan mencapai peringkat yang mendekati kemaksuman. Bahkan mungkin tidak terlintas dalam benak mereka pikiran untuk berbuat dosa dan hal-hal yang buruk. Sebagaimana tidak seorang pun yang berakal sehat mempunyai pikiran untuk minum racun atau ramuan yang dapat membinasakan dirinya atau mengkonsumsi sesuatu yang kotor dan berbau busuk.
Maka itu, apabila kita berasumsi adanya seseorang yang kapasitasnya telah terpenuhi untuk memperoleh berbagai macam hakikat, ruh dan hatinya telah mencapai derajat yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Hampir-hampir minyaknya itu dapat menerangi walaupun tidak disentuh oleh api", lantaran kapasitasnya yang sudah penuh, jiwanya yang bersih, memperoleh pendidikan Ilahi serta ditopang dengan ruhul qudus. Orang semacam ini pasti akan melewati tangga-tangga kesempurnaan dengan cepat yang tidak bisa dibayangkan. Bahkan bisa jadi ia akan melewati jalan yang tidak mungkin dilewati oleh orang lain selama seratus tahun, dan sangat mungkin ia akan mengungguli orang lain walaupun ia masih kanak-kanak, bahkan sekalipun dia masih berupa janin. Bagi orang semacam ini akan tampak jelas nistanya perbuatan maksiat dan dosa, persis dengan tampaknya bahaya minum racun, sesuatu yang berbau busuk dan kotoran-kotoran bagi orang lain. Sebagaimana orang biasa itu menjauhi hal-hal yang berbahaya dan kotor tanpa dipaksa, seorang yang maksum pun akan menjauhi berbagai maksiat dan dosa tanpa menafikan kehendak dan usaha bebasnya sama sekali.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Sebutkan dalil-dalil akal atas kemaksuman para nabi!
2. Sebutkan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kemaksuman para nabi!
3. Apakah falsafah kemaksuman para nabi dari kesalahan dalam menerima wahyu?
4. Bagaimana kemaksuman para nabi dari perbuatan maksiat itu sesuai dengan kehendak bebas mereka?

[1] Tentang terminologi hudhuri, lihat Pelajaran 5.



6. Beberapa Keraguan dan Jawaban


Beberapa Keraguan dan Jawaban
Ada beberapa keraguan yang pernah dilontarkan sehubungan dengan masalah kemaksuman para nabi. Hal itu akan kami paparkan di sini berikut jawabannya.
Keraguan Pertama
Apabila Allah SWT telah menjaga para nabi dan mensucikan mereka dari perbuatan maksiat, dimana hal itu berarti Dia telah menjamin perbuatan mereka dari kesalahan dalam menjalankan tugas-tugas, maka sedikit pun tidak ada keistimewaan pada kehendak dan usaha bebas mereka. Dan mereka tidak berhak memperoleh ganjaran Allah SWT atas amal dan tugas-tugas yang mereka lakukan dan perbuatan maksiat yang mereka tinggalkan tersebut. Karena, jika Allah menjadikan maksum siapa saja yang Dia kehendaki, orang itu pasti akan sama seperti para nabi. Karena Allahlah yang menganugerahkan kemaksuman tersebut kepadanya.
Jawab: secara ringkas, kemaksuman itu tidak berarti keterpaksaan dalam melakukan suatu tugas atau meninggalkan suatu maksiat, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang telah lalu. Ketika kami katakan bahwa Allah SWT itu menjaga para nabi dari perbuatan dosa dan maksiat, hal ini tidak berarti menafikan penisbahan kehendak dan usaha bebas kepada mereka, sebab setiap fenomena dan kejadian disandarkan—pada akhir mata rantainya—kepada kehendak cipta Allah SWT (iradah takwiniyah Ilahiyah) sebagaimana yang telah dijelaskan pada prinsip Tauhid, yang di dalamnya terdapat bantuan dan pertolongan khusus dari-Nya, oleh karena itu sangat ditekankan bahwa segenap perbuatan itu disandarkan kepada Allah. Akan tetapi, kehendak Allah sebagai perpanjangan dari kehendak manusia tidaklah sejajar dan tidak pula saling mengambil alih posisi.
Adapun bantuan khusus Allah kepada para imam tak ubahnya dengan sarana perlengkapan khusus yang diberikan kepada orang-orang tertentu, yang menjadikan tanggung jawab mereka itu lebih besar dan lebih berat. Sebagaimana pahala atas perbuatan mereka itu dilipatgandakan, siksa mereka akan lebih keras apabila berbuat dosa. Dengan demikian, menjadi seimbanglah antara ganjaran dan siksa. Dan manusia yang maksum, lantaran usaha baiknya, tidak berhak menerima siksa dari Allah SWT.
Kita perhatikan pula bahwa keseimbangan ini terdapat pula pada setiap orang yang dianugerahi nikmat tertentu, sebagaimana hal ini terjadi pada ulama dan orang-orang yang mengikuti Ahlulbait as. Maka, tanggung jawab mereka itu pasti lebih besar dan lebih beresiko dibandingkan dengan yang lainnya. Lain dari itu, sebagaimana ganjaran dan pahala atas amal perbuatan mereka itu lebih banyak, tentu siksanya lebih keras jika mereka berbuat dosa.
Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa setiap orang yang derajat maknawinya lebih tinggi, ancaman jatuhnya pun akan lebih besar, dan rasa takutnya dari ketergelinciran menjadi lebih banyak.
Keraguan Kedua
Sesungguhnya para nabi dan imam as menganggap diri mereka itu berbuat dosa, sebagaimana hal ini terungkap di dalam munajat dan doa-doa mereka, juga dinukil tentang adanya ungkapan istighfar mereka atas dosa-dosa. Dari pengakuan terbuka mereka sendiri, bagaimana mungkin kita menganggap mereka itu adalah orang-orang yang maksum?
Jawab: para imam maksum as itu telah mencapai derajat kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah SWT dengan tidak mengabaikan perbedaan dalam peringkat mereka masing-masing. Karenanya, mereka merasakan bahwa mereka itu dibebani dengan tugas-tugas yang sangat penting yang melebihi tugas-tugas orang lain. Bahkan mereka menganggap bahwa sedikit saja perhatian mereka tertuju kepada selain Allah dan Kekasih mereka, mereka memandangnya sebagai dosa yang besar. Oleh karena itu, mereka mengucapkan istighfar dan mohon ampun kepada Allah SWT.
Telah kami jelaskan pada pelajaran sebelumnya, bahwa kemaksuman para nabi itu tidak berarti bahwa manusia maksum itu suci dari seluruh perbuatan yang diistilahkan dengan maksiat dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kemaksuman ialah bersih dari perbuatan yang menyalahi tugas yang diwajibkan kepadanya, dan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan menurut fiqih, bukan bersih dari seluruh maksiat secara mutlak.
Keraguan Ketiga
Sebagian ayat Al-Qur'an menjelaskan kemaksuman para nabi dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang mukhlasin sehingga setan tidak mungkin dapat menggoda mereka sedikit pun. Akan tetapi di sisi lain, Al-Qur'an sendiri menyebutkan terjadinya pengaruh setan-setan pada diri mereka sebagaimana disebutkan dalam surah Al-A'raf, “Wahai Bani Adam, jangan sampai kalian dapat difitnah oleh setan sebagaimana dia dapat mengeluarkan ayah ibumu (Adam dan Hawa) dari surga.” (QS. Al-A'raf: 27)
Ayat ini menjelaskan terjadinya tipu daya setan kepada Adam dan Hawa sehingga keduanya itu dikeluarkan dari surga.
Di dalam surah Shad ayat 41, Allah SWT berfirman (atas ucapan Ayub as), "Ketika dia (Ayub) menyeru kepada Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku diganggu oleh setan dengan kepayahan dan siksaan.’”
Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman, "Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginannya itu." (QS. Al-Hajj: 52)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan adanya gangguan setan pada seluruh Nabi.
Jawab: di dalam ayat-ayat tersebut tidak tampak pengaruh dan godaan setan yang mengakibatkan para nabi itu melanggar tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka. Adapun ayat 27 dari surat Al-A'raf yang menjelaskan godaan setan kepada Adam dan Hawa untuk memakan pohon yang terlarang, tidak ada kaitannya dengan larangan "haram" memakan buah tersebut. Akan tetapi, larangan itu hanya merupakan peringatan kepada Adam dan Hawa bahwa apabila mereka memakan buah tersebut, mereka akan dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke muka bumi. Dan godaan setan dalam ayat tersebut hanya menjelaskan pelanggaran Adam dan Hawa terhadap anjuran akal (irsyadi). Dan perlu diketahui bahwa alam tersebut bukan alam pembebanan syariat, karena ketika itu syariat belum diturunkan sama sekali.
Adapun ayat 41 pada surat Shad menjelaskan adanya kepayahan dan tantangan dari pihak setan terhadap Nabi Ayub as. Ayat itu sedikit pun tidak menunjukkan bahwa ia melanggar larangan dan perintah Allah SWT.
Sedang pada ayat 52 dari surat Al-Hajj berhubungan dengan berbagai rintangan yang dilakukan oleh setan terhadap para nabi dan hambatan-hambatan yang diletakkan di atas jalan-jalan yang akan menyampaikan mereka pada tujuannya dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia. Dan akhirnya Allah SWT menghancurkan tipu daya setan dan mengokohkan agama yang hak.
Keraguan Keempat
Pada surah Thaha ayat 121, disebutkan adanya perbuatan maksiat yang dinisbahkan kepada Adam as. Dan surat yang sama ayat 115, kelupaan dinisbahkan kepada Nabi Adam as. Lalu bagaimana hal ini bisa selaras dengan kemaksuman beliau?
Jawab: berdasarkan pembahasan sebelumnya sudah dapat diketahui, bahwa maksiat dan kelupaan itu tidak ada hubungannya dengan taklif ilzami (kewajiban syariat).
Keraguan Kelima
Disebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa kedustaan telah dinisbahkan kepada sebagian nabi-nabi. Di antara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah surah Shaffat ayat 89, yang menukil ucapan Nabi Ibrahim. Beliau berkata, "Sesungguhnya aku ini sakit", padahal ketika itu Nabi Ibrahim as tidak sakit.
Dan pada ayat 63 dari surah Al-Anbiya' Nabi Ibrahim berkata, "Bahkan yang melakukan penghancuran ini adalah yang paling besar yaitu ini", padahal beliau sendiri yang menghancurkan patung-patung itu. Kemudian pada surat Yusuf ayat 70, Allah SWT berfirman, "Kemudian berteriaklah seorang penyeru, ‘Wahai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri’”, padahal saudara-saudara Nabi Yusuf as tidak mencuri.
Jawab: sesungguhnya ucapan-ucapan tersebut bertujuan untuk tauriyah, yaitu mengehendaki makna yang lain demi sebagian maslahat yang lebih penting, sebagaimana diisyaratkan dalam sebagian riwayat. Juga dapat dipahami dari sebagian ayat tersebut bahwa ucapan-ucapan tersebut merupakan ilham Ilahi, sebagaimana kisah Nabi Yusuf ketika Allah berkata, "Demikianlah kami buat tipu daya untuk Nabi Yusuf." Alhasil, dusta semacam itu tidak dianggap maksiat dan tidak bertentangan dengan kemaksuman.
Keraguan Keenam
Terdapat dalam kisah Nabi Musa as, bahwa seorang yang berbangsa Qibti bertengkar dengan seorang laki-laki dari bangsa Israil. Kemudian Nabi Musa membunuh orang tersebut. Oleh karena itu, beliau kabur dan meninggalkan kota Mesir. Dan ketika diutus oleh Allah SWT untuk berdakwah kepada Fir'aun, beliau berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai dosa kepada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." (QS. Asy-Syu'ara: 14)
Dan ketika Fir'aun mengingatkannya ihwal pembunuhan tersebut, Nabi Musa as berkata, "Ya, aku telah melakukannya, kalau begitu aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS. Asy-Syu'ara: 20)
Kisah semacam ini bagaimana bisa sesuai dengan kemaksuman para nabi sebelum mereka diutus?
Jawab: pertama, pembunuhan yang terjadi atas seorang Qibti bukan merupakan kesengajaan, tetapi akibat dari pukulan Musa as yang secara kebetulan membuatnya mati.
Kedua, bahwa ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya aku mempunyai dosa kepada bangsa Fir'aun"yang diucapkan oleh Nabi Musa adalah menurut pandangan Fir'aun. Maksud dari ucapan itu adalah bahwa Fir'aun itu menganggapku sebagai pembunuh dan pelaku dosa, karenanya aku kuatir mereka akan membunuhku sebagai pembalasan dendam.
Ketiga: adapun ungkapan "Dan aku termasuk orang-orang yang sesat" dalam ayat tersebut mengandung dua penafsiran, yaitu jika saat itu aku dikatakan sebagai orang-orang yang sesat, maka Allah telah memberi hidayah kepadaku dan Allah telah mengutusku dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Penafsiran kedua adalah bahwa sesat di sini yaitu tidak mengetahui akibat suatu pekerjaan. Alhasil, ucapan Nabi Musa as itu tidak menunjukkan bahwa ia menyalahi taklif (tugas) Ilahi yang dibebankan kepadanya.
Keraguan Ketujuh
Kepada Nabi saw Allah SAW berfirman, "Apabila engkau masih ragu terhadap apa yang telah Aku turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada mereka yang membaca Kitab sebelummu. Telah datang kepadamu al-haq dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Yunus: 94)
Kemudian pada surah Al-Baqarah ayat 147, Ali ‘Imran ayat 60, Al-An'am ayat 114, Hud ayat 17, dan As-Sajadah ayat 23, Allah melarang Rasul terhadap keraguan dan kebimbangan. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa beliau tidak merasa ragu dan bimbang dalam menerima wahyu Ilahi itu?
Jawab: sesungguhnya ayat-ayat ini tidak menunjukkan terjadinya keraguan dan kebimbangan pada diri Nabi saw sedikit pun. Ucapan itu hanya ditujukan untuk mengokohkan masalah wahyu, bahwa tidak ada peluang sedikit pun untuk keraguan dan kebimbangan di dalam risalah beliau, dan bahwa Al-Qur'an dan seluruh isinya itu adalah kebenaran. Pada hakekatnya, bentuk pengungkapan ayat itu senada dengan "Iyyaki ‘anni wasma'i ya jaroh" (perhatikanlah aku dan dengarkanlah wahai jiran!).
Keraguan Kedelapan
Di dalam Al-Qur'an terdapat penisbahan sebagian dosa kepada Nabi saw, kemudian Allah SWT mengampuni dosa beliau itu. Allah SWT berfirman, "Agar Allah mengampunimu atas dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang." (QS. Al-Fath: 2)
Bagaimana hal ini bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
Jawab: yang dimaksud dengan al-dzanbu (dosa) dalam ayat ini adalah dosa (kesalahan) yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik kepada Nabi saw sebelum hijrah dan setelahnya, yaitu penghinaan beliau kepada patung-patung dan tuhan-tuhan mereka. Adapun maksud dari maghfirah (ampunan) ialah menghilangkan resiko perbuatan Nabi tersebut.
Bukti penafsiran semacam ini adalah bahwa Fathu Makkah (takluknya kota Mekah) merupakan sebab turunnya maghfirah Allah kepada beliau, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan dengan nyata agar Allah memberikan maghfirah kepadamu atas segala kesalahanmu baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Apabila maksud dosa itu adalah dosa yang diistilahkan dalam syari'at, maka tidak ada alasan untuk menjadikan maghfirah sebagai sebab takluknya kota Mekah.
Keraguan Kesembilan
Al-Qur'an menceritakan pernikahan Rasul saw dengan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat beliau) yang telah ditalak:
"Sesungguhnya engkau lebih takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti".
Bagaimana hal ini bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
Jawab: pernikahan tersebut merupakan perintah Allah SWT untuk mengikis salah satu tradisi jahiliyah yang menyimpang, dimana anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri. Ketika perintah itu turun, Rasul saw merasa kuatir bahwa mereka akan menduga—karena lemahnya iman mereka—bahwa Rasulullah mengawini bekas istri anak angkatnya sendiri karena nafsu pribadi beliau, beliau pun kuatir hal itu akan mengakibatkan mereka keluar dari Islam. Kemudian Allah SWT berfirman kepada beliau bahwa dalam memberantas adat jahiliyah yang menyimpang tersebut terdapat maslahat yang besar. Karenanya, lebih layak untuk melakukan perintah Allah itu daripada mengabaikannya. Dengan demikian, ayat tersebut bukanlah kecaman Allah SWT terhadap Rasul-Nya.
Keraguan Kesepuluh
Sesungguhnya Al-Qur'an mengecam Rasul saw pada beberapa peristiwa, di antaranya ketika beliau memberikan izin kepada beberapa orang untuk tidak ikut serta ke medan perang bersama beliau. Allah SWT berfirman, "Allah memberikan maaf kepadamu lantaran engkau telah memberikan izin kepada mereka untuk tidak ikut berperang."
Selain itu, ketika Rasul saw mengharamkan perkara yang dihalalkan syariat Islam demi menyenangkan hati sebagian istri beliau, Allah SWT berfirman:
"Wahai Nabi, Mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan buatmu karena mengharapkan kesenangan istri-istrimu."
Bagaimana hal ini bisa sejalan dengan kemaksuman beliau?
Jawab: bentuk pengungkapan ayat-ayat itu pada hakikatnya adalah pujian dengan cara menegur, dimana perbuatan tersebut menunjukkan betapa Nabi saw memiliki belas kasih yang tinggi, sekalipun kepada orang munafik dan orang yang berniat busuk, karena beliau tidak membuat mereka berasa putus asa dan tidak pula mengungkap rahasia mereka. Demikian pula ketika beliau lebih mendahulukan kesenangan sebagian istri-istrinya daripada keinginan pribadinya, sehingga beliau mengharamkan perkara yang mubah dengan bersumpah. Hal ini—wal 'iyadzu billah—tidak berarti bahwa beliau mengubah hukum Allah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan bagi umat manusia. Pada hakikatnya, ayat-ayat semacam ini menyiratkan adanya kesungguhan dan perhatian beliau yang besar untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir. Seperti pada ayat yang berbunyi, "Boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu sendiri akibat mereka tidak mau beriman." (QS. Asy-Su'ara: 3).
Atau seperti ayat-ayat yang menunjukkan kesungguhan beliau yang besar dalam beribadah kepada Allah awt. Allah SWT berfirman, "Thaha, sesungguhnya Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar engkau celaka." (QS. Thaha: 3)
Ala kulli hal, ayat-ayat semacam ini tidak menafikan kemaksuman Rasul saw.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah keunggulan usaha para Imam Maksum atas orang lain? Dan apakah ganjaran yang berhak diterima untuk perbuatan yang didasari oleh kemaksuman Ilahi?
2. Mengapa para nabi dan para wali Allah itu menganggap diri mereka sebagai orang-orang pendosa dan mereka selalu ber-tadharru' dan ber-istighfar kepada Allah?
3. Bagaimana pengaruh setan terhadap diri para Nabi itu bisa sejalan dengan kemaksuman mereka?
4. Bagaimana adanya maksiat dan kelupaan yang dinisbahkan oleh Al-Qur'an kepada Adam as bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
5. Apabila seluruh nabi itu maksum, mengapa masih saja keluar kedustaan dari Nabi Yusuf dan Nabi Irahim as?
6. Apakah keraguan yang dilontarkan sekitar kemaksuman Nabi Musa as? Sebutkan berikut jawabannya!
7. Apabila mengetahui wahyu itu tidak terdapat kekeliruan sama sekali, lalu mengapa Allah mencegah Nabi saw. untuk bersifat ragu dan bimbang dalam risalah-Nya?
8. Bagaimana bisa sejalan adanya dosa pada diri Rasul dalam surat al Fath dengan kemaksuman beliau?
9. Sebutkanlah keraguan yang berhubungan dengan cerita Zaid bin Haritsah? Dan berikan jawabannya?
10. Apakah keraguan sekaitan dengan kecaman Allah SWT kepada Rasul saw? Sebutkan pula jawabannya?




7. Mukjizat

Mukjizat
Cara Membuktikan Kenabian
Masalah mendasar yang ketiga di dalam Kenabian adalah bagaimana umat manusia itu dapat mengakui kebenaran klaim para nabi yang hakiki dan mengingkari para pengaku nabi palsu? Tidak syak lagi, bahwa seseorang yang sesat dan pelaku maksiat, yang akal sehat dapat mengetahui keburukannya, tidak mungkin dipercaya dan dibenarkan. Hal itu dapat dibuktikan kedustaannya ketika ia mengaku sebagai seorang nabi jika kita mensyarati kemaksuman pada para nabi, khususnya ketika orang tersebut mengajak kepada hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia, atau ketika didapati kontradiksi dalam perkataannya. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kehidupan dan tingkah laku yang bersih di masa lampau bagi seorang nabi akan membuat masyarakat dapat mempercayai klaimnya, khususnya bila pikiran sehat mereka pun menyaksikan kebenaran dakwahnya.
Begitu pula kenabian seseorang itu dapat dibuktikan kebenarannya dengan kabar, warta dan cerita dari nabi lainnya sehingga tidak ada lagi keraguan atau kebingungan sedikit pun bagi orang-orang yang mencari kebenaran bahwa dia adalah seorang nabi. Akan tetapi jika manusia tidak mengetahui adanya tanda-tanda dan bukti-bukti yang membuat mereka percaya dan kabar dari nabi yang lain pun tidak sampai kepada mereka, dalam hal ini diperlukan jalan lain untuk membuktikan kenabian tersebut. Dan Allah Yang Mahabijak telah menciptakan jalan ini dan melengkapi para Nabi dengan berbagai mukjizat sebagai tanda kebenaran pengakuan mereka yang dinamakan ayat-ayat.
Kesimpulannya bahwa pengakuan para nabi yang hakiki itu dapat dibuktikan kebenarannya melalui tiga cara:
Pertama, dengan adanya bukti-bukti yang membuat masyarakat percaya, seperti kejujuran, amanah, istiqamah dan tidak pernah menyimpang dari jalan yang hak dan keadilan sepanjang hidupnya. Akan tetapi cara ini tidak akan terwujud kecuali pada diri para nabi yang hidup di tengah masyarakat dalam waktu yang cukup panjang sehingga sejarah hidup mereka sudah dikenal dikalangan mereka. Adapun seorang nabi yang diutus dengan risalah kenabian pada usia muda dan sebelum diketahui perangai dan kepribadiannya oleh masyarakat, tidak mungkin kebenaran klaimnya itu dipastikan dengan cara semacam ini.
Kedua, dengan cara diperkenalkan oleh nabi sebelumya atau nabi lain yang hidup semasa dengannya. Cara ini khusus bagi masyarakat yang telah mengenal nabi lainnya dan telah mengetahui adanya kabar baik tersebut. Jelas bahwa cara ini tidak mungkin bisa diterapkan pada nabi yang pertama.
Ketiga, menampakkan mukjizat yang pengaruhnya lebih kuat dan lebih luas. Dari sinilah kami akan mengkaji cara ini.
Definisi Mukjizat
Mukjizat adalah perkara yang keluar dari kebiasaan manusia yang tampak pada diri seseorang yang mengaku sebagai Nabi dengan kehendak Allah SWT dan sebagai dalil akan kebenaaran pengakuannya. Perlu diperhatikan bahwa definisi tersebut mencakup tiga unsur:
o Adanya fenomena yang keluar dari kebiasaan manusia yang tidak bisa didapati dengan sebab-sebab yang wajar.
o Bahwa perkara yang keluar dari adat kebiasaan itu timbulnya dari para nabi dengan kehendak Ilahiyah dan izin dari-Nya secara khusus.
o Terjadinya perkara yang keluar dari kebiasaan seperti ini dapat dijadikan dalil atas kebenaran klaim seorang nabi. Perkara inilah yang dinamakan mukjizat.
Berikut ini kami akan menjelaskan ketiga unsur yang dikandung oleh definisi tersebut.
Kejadian-kejadian yang Luar Biasa
Fenomena semesta itu biasanya terjadi akibat dari sebab-sebab yang dapat diketahui melalui berbagai eksperimen, seperti fenomena fisika, kimia, biologi dan psikologi. Akan tetapi ada kejadian lainnya yang bisa terjadi dengan cara yang lain yang sebab-sebabnya tidak dapat diketahui melalui eksperimen indrawi. Begitu pula diketahui adanya bukti-bukti yang menunjukkan terjadinya kejadian semacam itu berawal dari sejumlah faktor yang khas, seperti perbuatan-perbuatan yang aneh yang dilakukan oleh para petapa (murtadhin). Para ahli dari berbagai ilmu telah memberikan kesaksian bahwa perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi sesuai dengan tatanan ilmu-ilmu empirik. Kejadian semacam ini dinamakan sebagai kejadian luar biasa.
Kejadian Ilahi yang Luar Biasa
Secara umum kejadian luar biasa itu dapat dibagi menjadi dua macam: pertama, kejadian yang sebab-sebabnya tidak wajar, akan tetapi masih dapat diusahakan oleh manusia, misalnya melalui pelatihan seperti perbuatan para petapa.
Kedua, perbuatan-perbuatan luar biasa yang tidak akan terwujud kecuali dengan izin Allah secara khusus, dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Allah SWT. Perbuatan ini memiliki dua keistimewaan: (1) tidak dapat dapat dipelajari, dan (2) tidak tunduk pada kekuatan lain yang lebih tinggi, bahkan tidak ada faktor apa pun yang dapat mengalahkannya.
Perbuatan luar biasa ini adalah untuk hamba-hamba pilihan Allah SWT, dan tidak dapat dijangkau oleh orang-orang yang sesat dan durhaka. Akan tetapi, ia tidak khususkan bagi para nabi saja, karena sebagian para wali pun dibekali kemampuan seperti itu. Oleh karena itu, dalam ilmu Kalam, semua itu tidak dinamakan mukjizat. Jika perbuatan seperti itu dilakukan oleh selain nabi dinamakan karomah. Begitu pula ilmu-ilmu Ilahi yang luar biasa itu tidak terbatas pada wahyu. Ketika ilmu itu diberikan kepada selain nabi, ia dapat disebut sebagai ilham atau tahdist.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui cara untuk mengenal dan membedakan antara dua macam perbuatan luar biasa manusia; yang Ilahi dan yang non-Ilahi. Apabila perbuatan luar biasa itu dapat dipelajari atau ada faktor-faktor yang dapat menahan kejadiannya atau menggagalkan pengaruh-nya, itu bukanlah perbuatan luar biasa yang Ilahi, tetapi perbuatan dari setan dan hawa-nafsu, bahkan dapat dinilai sebagai kesesatan, kerusakan akidah dan akhlak pelakunya lantaran ia tidak berhubungan dengan Allah SWT.
Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa Allah SWT bisa ditempatkan sebagai pelaku perbuatan luar biasa yang Ilahi tersebut, di samping Dia sebagai pelaku kejadian semua makhluk dan fenomena yang wajar, dari sisi bahwa kejadian perbuatan tersebut dengan izin khusus Allah SWT. Perbuatan itu bisa juga dinisbahkannya kepada makhluk-Nya seperti malaikat dan para nabi, dari sisi peran mereka sebagai mediator dan pelaku dekat. Sebagaimana Al-Qur'an menisbahkan ihwal menghidupkan mayit, menyembuhkan orang sakit dan menciptakan burung kepada Isa as. Dua penisbahan ini tidak kontradiktif, karena perbuatan hamba itu merupakan kepanjangan dari perbuatan Allah SWT.
Keistimewaan Mukjizat Para Nabi
Unsur ketiga di dalam definisi mukjizat ialah fungsinya sebagai bukti atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Karenanya, suatu perbuatan luar biasa adalah mukjizat—menurut ilmu Kalam—jika ditampakkan sebagai dalil atas kenabian seorang nabi, di samping kaitan perbuatan itu kepada izin khusus Allah SWT. Apabila arti perbuatan tersebut diperluas lagi, maka akan mencakup seluruh perbuatan luar biasa yang merupakan bukti atas kebenaran klaim imamah. Maka itu, istilah karomah khusus untuk seluruh perbuatan luar biasa yang keluar dari para wali. Lawannya adalah perbuatan luar biasa yang berasal dari kekuatan ruh dan setan seperti sihir, perdukunan dan perbuatan para petapa. Selain dapat dipelajari, perbuatan seperti ini pun dapat digugurkan oleh kekuatan yang lebih hebat. Pembuktian bahwa hal itu tidak bersumber dari Allah biasanya dengan melihat kerusakan akhlak dan akidah pelakunya.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa mukjizat para nabi berfungsi untuk membuktikan secara langsung atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Adapun kebenaran isi risalah, kemestian mentaati ajaran mereka, hanya dapat dibuktikan secara cara tidak langsung. Artinya, kenabian para nabi itu dapat dibuktikan oleh akal, adapun isi risalah mereka hanya bisa dibuktikan oleh wahyu (naqli).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah cara untuk mengenal para nabi yang hakiki? Dan apakah perbedaan di antara cara-cara tersebut?
2. Apakah dalil atas pengakuan bohongan nabi palsu?
3. Berikan definisi mukjizat!
4. Apakah perbuatan yang luar biasa itu?
5. Apakah perbedaan antara perbuatan luar biasa yang Ilahi dan perbuatan luar biasa yang non-Ilahi?
6. Bagaimana mengenal perbuatan luar biasa yang Ilahi?
7. Apakah keistimewaan mukjizat para nabi atas semua perbuatan luar biasa Ilahi lainnya?
8. Jelaskan kedua istilah mukjizat dan karomah!
9. Apakah mukjizat itu perbuatan yang disandarkan kepada Allah SWT ataukah kepada nabi?
10. Apakah mukjizat itu dalil atas kenabian seorang nabi? Ataukah sebagai bukti atas kebenaran isi risalahnya?



8. Beberapa Keraguan dan Jawaban

Beberapa Keraguan dan Jawaban
Berikut ini adalah beberapa keraguan sekaitan dengan mukjizat dan jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama
Setiap kejadian material mempunyai sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui secara empirik. Tidak diketahuinya sebab kejadian itu hanya karena terbatasnya sarana empiris tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil atas ketiadaan sebab yang wajar pada kejadian tersebut. Maka itu, suatu kejadian hanya bisa diterima keluarbiasaannya bila terjadi dari sebab-sebab yang tak diketahui. Maksimalnya, pengetahuan akan sebab-sebabnya bisa dianggap sebagai mukjizat selama sebab-sebab itu belum diketahui. Adapun mengingkari sebab-sebab yang bisa diketahui melalui eksperimen empirik berarti menolak prinsip kausalitas, dan ini sulit diterima.
Jawab: prinsip kausalitas hanya menetapkan bahwa setiap realitas akibat memiliki sebab tertentu. Namun, statemen ini tidak berarti bahwa setiap sebab dapat diketahui melalui eksperimen ilmiah. Bahkan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini, karena lahan eksperimen itu terbatas pada hal-hal fisikal, dan sama sekali tidak dapat memastikan ada tidaknya hal-hal metafisikal, atau ada tidaknya pengaruh mereka.
Adapun penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab misterius, tidaklah tepat. Sebab, jika pengetahuan ini dapat diperoleh melalui sebab-sebab yang wajar, maka tidak akan ada bedanya dengan kejadian biasa lainnya, dan tidak dapat dikatakan sebagai perkara yang luar biasa.
Dan jika pengetahuan itu diperoleh melalui cara yang tak wajar, maka ia adalah perkara yang luar biasa, yang bersandar pada izin khusus Allah SWT dan munculnya itu sebagai bukti atas kebenaran klaim kenabian, juga tentunya bisa di-kategorikan sebagai mukjizat ilmu (mu'jizat ilmiyah), sebagaimana pengetahuan Isa as tentang apa yang akan dimakan oleh masyarakat dan apa yang akan mereka simpan dalam rumah-rumah mereka. Kenyataan ini dianggap sebagai mukjizat beliau. Akan tetapi, kita tidak dapat membatasi mukjizat hanya pada pengetahun seperti itu saja lalu menafikan selainnya.
Akhirnya, tersisa satu persoalan di sini, yaitu mengenai perbedaan antara peristiwa-peristiwa ini dengan peristiwa-peristiwa lain yang luar biasa sehubungan dengan hukum kausalitas.
Keraguan Kedua
Sunnatullah (hukum cipta Allah) berlaku bahwa setiap fenomena itu terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Al-Qur'an menjelaskan, "Engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu pergantian dan juga engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu perubahan." (QS. Al-Isra’: 77)[1]
Namun, kejadian luar biasa itu merupakan perubahan dan pergantian pada sunnahtullah dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Jawab: keraguan ini sama dengan keraguan pertama dengan sedikit perbedaan, bahwa keraguan pertama berdasarkan argumentasi akal, sedangkan keraguan kedua bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an.
Jelas bahwa membatasi sebab-sebab berbagai kejadian hanya pada sebab-sebab wajar sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah adalah pandangan yang tidak berdasar. Sama halnya dengan pengakuan seseorang yang membatasi sebab panas hanya pada api sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Terhadap pandangan semacam ini perlu ditegaskan bahwa beragamnya sebab bagi berbagai akibat, dan adanya sebab-sebab luar biasa yang menempati sebab-sebab yang wajar merupakan kejadian yang selalu terjadi di alam ini, dan dianggap sebagai salah satu sunnatullah.Sedangkan membatasi sebab-sebab hanya pada sebab-sebab biasa dan wajar merupakan perubahan atas sunnatullah itu sendiri, yang dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Alhasil, menafsirkan ayat-ayat yang menafikan perubahan dan pergantian dalam sunnatullahsebegitu rupa sehingga tidak ada sesuatu lain yang menempati posisi dan peran sebab-sebab biasa dan bahwa hal itu dianggap sebagai sunnatullah yang tidak berubah, adalah penafsiran yang keliru. Karena, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan terjadinya mukjizat dan peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai dalil yang kuat atas kesalahan penafsiran tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mencari penafsiran yang benar dalam kitab-kitab tafsir. Pada kesempatan ini kami akan menyinggungnya secara ringkas. Bahwa ayat-ayat Al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk menafikan penceraian akibat dari sebabnya, tidak menafikan berbilang dan beragamnya sebab, tidak pula menafikan sebab yang tak wajar yang menempati sebab yang wajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa kadar minimal yang bisa ditarik dari ayat-ayat tersebut ialah adanya pengaruh dari sebab-sebab yang tak wajar.
Keraguan Ketiga
Terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan desakan dan tuntutan yang berkali-kali dari sebagian orang agar Rasul saw mendatangkan mukjizat. Namun, beliau tidak mengabulkan tuntutan itu. Jika mukjizat adalah pembuktian atas kenabian, mengapa Rasul tidak menggunakan cara tersebut untuk membuktikan kenabiannya?
Jawab: ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tuntutan yang mereka nyatakan atas dasar ingkar atau motif selain mencari kebenaran, setelah hujah atas mereka itu sempurna, dan setelah adanya bukti kebenaran kenabian Nabi saw dengan tiga cara; dalil yang benar, kabar dari para nabi sebelumnya dan menampakkan mukjizat. Maka, Hikmah Ilahiyah menuntut agar beliau tidak memenuhi tuntutan mereka tersebut.
Penjelasannya: bahwa tujuan ditampakkannya mukjizat—sebagai kejadian unik di dalam sistem cipta yang berkuasa di alam ini, yang terkadang terjadi demi memenuhi permintaan manusia (seperti peristiwa unta Nabi Saleh as), atau terjadi tanpa permintaan mereka (seperti mukjizat Nabi Isa as)—untuk memperkenalkan para nabi dan menyempurnakan hujah Allah SWT atas manusia, bukan untuk memaksa mereka agar menerima dakwah, tunduk dan taat secara terpaksa kepada para nabi, juga bukan untuk menghibur mereka dengan mempermainkan tata hukum kausalitas. Tujuan semacam ini tidak harus mengabulkan setiap tuntutan manusia. Bahkan, memenuhi tuntutan mereka terkadang bertentangan dengan tujuan dan Hikmah Ilahiyah, seperti menuntut perbuatan yang malah menutup pintu kehendak, usaha dan kebebasan, atau menuntut manusia untuk menerima dakwah para nabi, atau menuntut karena pengingkaran, atau karena tujuan-tujuan selain mencari kebenaran.
Apabila tuntutan-tuntutan semacam itu dipenuhi, justru mukjizat akan menjadi bahan olokkan, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikannya sekadar mengisi waktu mereka di dalam hiburan dan hal-hal yang sia-sia tersebut, atau mereka akan berkumpul dan mengerumuni para nabi hanya untuk kepentingan pribadi belaka. Dari sisi lain pintu ujian, cobaan dan usaha bebas akan tertutup karena manusia akan mengikuti para nabi secara terpaksa akibat tunduk kepada faktor-faktor keterpaksaan. Kedua sisi tersebut bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah dan tujuan ditampakkannya mukjizat tersebut.
Adapun selain tuntutan-tuntutan tersebut dan ketika Hikmah Ilahiyah sendiri yang menuntutnya, para nabi pasti akan memenuhi permintaan manusia, seperti halnya berbagai mukjizat yang pernah didatangkan oleh Rasul saw. Sebagian mukjizat beliau dinukil secara mutawatir di dalam banyak riwayat. Mukjizat yang terbesar dan abadi adalah Al-Qur'an Al-Karim. Hal ini akan kami bahas pada pelajaran berikutnya.
Keraguan Keempat
Dari kaitannya dengan izin khusus Allah, mukjizat dapat dijadikan sebagai bukti atas adanya hubungan khusus antara Allah dengan pembawa mukjizat tersebut yang membuktikan bahwa izin khusus Allah itu telah diberikan kepadanya.
Artinya, mukjizat tersebut terjadi melalui kekuasaan dan kehendaknya. Akan tetapi, secara logis hubungan ini tidak melazimkan adanya ikatan yang lain antara Allah SWT dan pembawa mukjizat, misalnya ia sebagai rasul-Nya yang telah menerima wahyu dari-Nya. Jadi, mukjizat tidak bisa dianggap sebagai dalil akal atas kebenaran klaim seseorang sebagai nabi. Maksimalnya, dalil itu hanyalah dalil dugaan (dzanni) dan persuasif (iqna'i).
Jawab: perbuatan luar biasa, sekalipun yang Ilahi, tidak menunjukkan adanya hubungan wahyu dengan sendirinya. Juga, karomah para wali itu tidak mungkin dianggap sebagai dalil atas kenabian mereka. Akan tetapi, fokus kita di sini adalah seseorang yang mengklaim kenabian dan menampakkan mukjizat sebagai dalil atas kebenaran klaimnya tersebut.
Atas dasar itu, jika kita berasumsi bahwa orang yang mengaku nabi itu dusta, ia telah melakukan maksiat paling besar, dan perbuatannya tersebut akan berdampak buruk, di dunia maupun di akhirat. Jelas, orang seperti ini sama sekali tidak patut untuk menjalain hubungan khusus itu dengan Allah SWT. Selain itu, Hikmah Ilahiyah tidak mungkin membekali orang tersebut dengan kemampuan menampakkan mukjizat yang akan dijadikan sebagai alat untuk menyesatkan dan menyelewengkan umat mansuia.
Kesimpulannya, akal itu dapat mengetahui dengan jelas bahwa seseorang yang pantas menjalin hubungan khusus dengan Allah SWT dan layak untuk dibekali kemampuan menampakkan mukjizat, hanyalah orang yang tidak mungkin berbuat khianat kepada Tuhannya dan tidak akan menjadikan mukjzat itu sebagai alat untuk menyesatkan dan menyeng-sarakan manusia selama-lamanya.
Dengan demikian, menampakkan mukjizat merupakan dalil akal yang pasti untuk membuktikan kebenaran dan kejujuran seseorang atas pengakuannya sebagai nabi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah statemen prinsip kausalitas itu? Dan apakah kelaziman yang muncul darinya?
2. Mengapa mengakui prinsip kausalitas tidak menafikan ihwal mukjizat?
3. Mengapa penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab yang tidak diketahui itu tidak benar?
4. Apakah mengakui mukjizat menafikan sunnatullah pada perubahan di alam ini? Mengapa?
5. Apakah para nabi itu mendatangkan mukjizat di awal kenabian mereka? Ataukah mereka mendatangkannya untuk memenuhi tuntutan sebagian orang?
6. Mengapa para nabi tidak memenuhi setiap tuntutan orang agar menampakkan mukjizatnya?
7. Jelaskanlah pikiran berikut ini: bahwa mukjizat bukanlah dalil dugaan untuk memuaskan semata, tetapi ia adalah dalil akal untuk membuktikan kebenaran pengakuan kenabian seseorang!

[1] Al-Ahzab: 62, Al-Fathir: 43, dan Al-Fath: 23.





9. Beberapa Keistimewaan Para Nabi

Beberapa Keistimewaan Para Nabi
Berbilangnya para Nabi
Sampai di sini, kita telah membahas tiga masalah pokok mengenai prinsip Kenabian, dan kita sampai pada satu kesimpulan bahwa beranjak dari dangkalnya pengetahuan manusia untuk mencapai berbagai pengetahuan yang dapat menyampaikannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka Hikmah Ilahiyah menuntut dipilihnya seorang atau beberapa nabi yang diberi berbagai ajaran dan hakikat yang penting untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara utuh dan selamat dari berbagai kekaburan dan penyimpangan.
Dari sisi lain, para nabi itu dituntut menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat sehingga hujjahmenjadi lengkap atas mereka. Cara yang terbaik dan lebih merata untuk hal ini ialah dengan memperlihatkan mukjizat. Dan kami telah membuktikan masalah tersebut melalui dalil akal. Akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan banyaknya jumlah para nabi, kitab-kitab dan ajaran-ajaran samawi. Apabila kita berasumsi bahwa kondisi kehidupan umat manusia itu memungkinkan seorang Nabi untuk menerangkan apa yang mereka butuhkan sampai penghabisan alam ini, dimana setiap individu atau kelompok di sepanjang sejarah dapat mengenal tugas-tugas dan kewajibannya melalui risalah nabi tersebut, maka hal itu tidak menyimpang dari dalil-dalil. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa:
Pertama: usia manusia itu—siapa pun, termasuk para nabi—terbatas. Dan hikmah diciptakannya makhluk tidak menuntut nabi yang pertama agar hidup sampai penghabisan alam untuk membimbing seluruh umat manusia seorang diri.
Kedua: bahwa situasi dan kondisi kehidupan manusia pada setiap zaman dan tempat tidaklah sama, khususnya dengan melihat adanya kesulitan yang berangsur-angsur yang menimpa hubungan sosial, tentunya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tata hukum dan sistem sosial. Bahkan terkadang hal itu menuntut dibentuknya undang-undang yang baru. Jika diasumsikan bahwa penjelasan dan penyampaian undang-uundang semacam itu dilakukan oleh seorang nabi yang diutus sebelum ribuan tahun, sudah pasti penjelasan dan penyampaian undang-undang tersebut akan menjadi sia-sia belaka, di samping juga sangat sulit menjaga dan menjalankannya di dalam bidang-bidang tertentu.
Ketiga: pada umumnya, di masa lampau belum ada sarana informasi dan media cetak untuk menyebarkan dakwah para nabi yang memungkinkan seorang nabi untuk dapat menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Keempat: ajaran para nabi itu terkadang mengalami penyimpangan, penyelewengan dan penafsiran yang keliru—akibat beberapa faktor—di tengah masyarakat yang menerima ajaran tersebut di sepanjang berlalunya masa. Kemudian selang beberapa masa, boleh jadi ajaran tersebut telah berubah menjadi agama yang kabur dan menyimpang. Sebagaimana dapat kita perhatikan hal ini yang terjadi pada ajaran Nabi Isa as yang telah berubah menjadi agama yang berideologi trinitas.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut menjadi jelas Hikmah Ilahi dalam hal berbilangnya para nabi dan berbedanya syariat-syariat samawi tentang sebagian hukum ibadah dan sosial, walaupun syariat-syariat itu sama di dalam prinsip-prinsip akidah dan akhlak, juga di dalam hukum-hukum pribadi dan sosial. Misalnya, shalat disyariatkan pada semua agama samawi, kendati umatnya berbeda cara melakukannya atau berbeda kiblatnya. Demikian pula dengan zakat dan infak. Zakat dan infak ini disyariatkan dalam semua ajaran samawi, sekalipun kadar dan tempatnya berbeda-beda.
Di atas segalanya, diwajibkan bagi setiap orang untuk mempercayai seluruh nabi tanpa membeda-bedakan kenabian mereka, apalagi mendustakan ajaran dan hukum-hukum yang mereka bawa. Karena mendustakan seorang saja di antara mereka berarti mendustakan semuanya. Dan mengingkari satu hukum Ilahi saja itu berarti mengingkari seluruh hukum-hukum Allah SWT. Tentunya, tugas setiap umat pada setiap zaman ialah mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi mereka pada zamannya masing-masing.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa sekalipun akal manusia mampu mengetahui hikmah berbilangnya para nabi, keragaman kitab-kitab samawi dan perbedaan syariat Ilahi, namun akal tidak dapat mengetahui secara pasti ihwal kapan dan di mana nabi yang baru itu harus diutus dan syariat yang baru itu harus diturunkan. Akal manusia hanya mampu mengetahui bahwa nabi yang baru itu tidak perlu diutus lagi apabila kehidupan masyarakat berada pada kondisi dimana seluruh dakwah para nabi itu sampai dan didengar oleh seluruh umat manusia, dan tetap terjaga keutuhannya untuk generasi yang akan datang, dan perubahan kondisi sosial tidak menuntut penurunan syariat yang baru, atau pengubahan atas hukum-hukum yang ada.
Jumlah Para Nabi
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa akal tidak mempunyai jalan lain untuk mengetahui jumlah para nabi dan kitab-kitab samawi, dan tidak mudah baginya untuk membuktikan hal-hal yang semacam ini kecuali bersandar kepada penjelasan wahyu. Meskipun Al-Qur'an telah men-jelaskan bahwa Allah SWT telah mengutus setiap nabi untuk setiap umat, akan tetapi tidak menjelaskan jumlah yang pasti, baik jumlah umat maupun jumlah para nabinya. Al-Qur'an hanya menyebutkan nama-nama sejumlah kira-kira 20 nabi atau lebih sedikit, dan menjelaskan kisah-kisah sebagian mereka tanpa menjelaskan nama-nama mereka.
Di dalam sebagian riwayat yang datang dari Ahlul Bait as dijelaskan bahwa Allah SWT telah mengutus sebanyak 124.000 nabi, dan mata rantai para nabi itu dimulai dari Nabi Adam as (bapak manusia) dan diakhiri oleh Nabi Muhammad saw.
Di samping status kenabian yang menunjukkan kedudukan khas Ilahi, nabi-nabi Allah itu mereka memiliki sifat-sifat yang lain seperti: an-nadzir atau al-mundzir (pemberi ancaman), al-basyir atau al-mubasysyir (pemberi harapan). Dan mereka termasuk as-shalihin (orang-orang soleh) dan al-mukhlashin(orang-orang yang dituluskan oleh Allah). Bahkan sebagian dari mereka telah mencapai derajat ar-risalah (kerasulan). Dalam sebagian riwayat diterangkan bahwa rasul Allah itu sebanyak 313 orang. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan membahas istilah an-nubuwah dan al-risalah dan perbedaan antara nabi dan rasul.
Kenabian dan Risalah
Kata ar-rasul berarti pembawa risalah. Dan kata an-nabi, bila diderivasi dari kata naba'a, berarti pembawa berita penting. Akan tetapi, bila diambil dari kata nubuw, maka ia berarti seseorang yang mencapai peringkat tinggi nun mulia.
Sebagian ulama meyakini bahwa pengertian an-nabi itu lebih luas daripada pengertian al-rasul, karena nabi ialah seseorang yang menerima wahyu dari Allah SWT, apakah ia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain ataukah tidak. Sedangkan rasul ialah seorang yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT seraya diperintahkan untuk menyampaikannya.
Akan tetapi, penafsiran ini tidaklah tepat. Karena dalam Al-Qur'an telah disinggung sifat an-nabisetelah al-rasul. Padahal sesuai dengan penafsiran di atas, seharusnya sifat yang mengandung pengertian al-'alim—yaitu an-nabi—disebutkan sebelum sifat khusus, yakni al-rasul. Di samping itu, tidak ada dalil yang menunjukan kekhususan perintah menyampaikan wahyu itu atas para rasul saja. Terdapat di dalam beberapa riwayat, bahwa pemegang kedudukan kenabian itu hanya dapat melihat Malaikat Wahyu di dalam mimpi, dan mendengar suaranya ketika terjaga saja. Sedangkan pemegang kedudukan risalah itu dapat menyaksikan Malaikat Wahyu ketika ia terjaga pula. Meski begitu, perbedaan semacam ini tidak dapat diterapkan pada pengertian dua kata tersebut. Barangkali yang bisa diterima adalah bahwa mishdaq nabi—bukan pengertiannya—itu lebih umum ketimbang mishdaq rasul. Artinya, seluruh nabi itu memiliki kedudukan kenabian. Adapun kedudukan risalah hanya dikhususkan pada sekelompok dari mereka.
Adapun jumlah para rasul—berdasarkan riwayat terdahulu, adalah 313 orang. Tentunya, kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan seluruh nabi. Sebagaimana di antara para rasul itu sendiri tidak sama kedudukan, derajat dan keutamaan satu sama lainnya, sebab sebagian mereka dapat mencapai kedudukan imamah juga.
Nabi-nabi Ulul 'Azmi
Al-Qur'an menyebut sejumlah nabi sebagai ulul azmi, akan tetapi tidak menjelaskan ciri-ciri mereka. Dari riwayat-riwayat Ahlul Bait as, dapat dipahami bahwa jumlah nabi ulul azmi itu adalah lima, yaitu—sesuai runutan zamannya—Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Adapun keistimewaan yang mereka sandang, di samping sifat tabah yang tinggi dan istiqomah yang teguh, Al-Qur'an pun telah menyinggung bahwa masing-masing mereka mempunyai kitab dan syari'at yang khas. Dan syari'at mereka itu diikuti oleh nabi yang lainnya, yang semasa atau yang datang kemudian, sampai diutus nabi ulul ‘azmi yang lain dengan membawa kitab dan syari'at yang baru.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sangat mungkin dua orang nabi itu bertemu dan berkumpul dalam satu masa, sebagaimana Nabi Luth hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as, Nabi Harun as dengan Nabi Musa as, dan Nabi Yahya as dengan Nabi Isa as
Beberapa Catatan Penting
Di akhir pelajaran ini, kami akan menyinggung beberapa masalah secara singkat:
Pertama, antara satu nabi dengan nabi yang lain, terdapat kesaksian yang saling membenarkan; nabi sebelumnya memberikan kabar gembira tentang kedatangan nabi berikutnya. Oleh karena itu, seorang yang mengaku sebagai nabi, apabila ia diingkari oleh para nabi sebelumnya, atau yang sezaman dengannya, maka ia dianggap sebagai pendusta.
Kedua, para nabi Allah sama sekali tidak meminta balasan dari umat manusia atas risalah dan tugas yang mereka bawa. Dan Rasul saw sama sekali tidak pernah meminta upah dari umatnya atas risalah yang beliau sampaikan, selain wasiat beliau agar mereka mencintai Ahlubait beliau. Dan beliau sangat menekankan agar mereka mengikuti dan berpegang teguh pada Ahlubait. Pada hakikatnya, maslahat wasiat Rasul saw tersebut hanya untuk umat manusia itu sendiri.
Ketiga, sebagian nabi Allah itu mempunyai kedudukan Ilahi lainnya, seperti kekuasaan memutuskan hukum pengadilan. Sebagian dari para nabi terdahulu yang mempunyai kedudukan tersebut adalah Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as Dari surah An-Nisa’ ayat 64—yang menjelaskan wajibnya mentaati semua rasul secara mutlak—dapat dipahami bahwa para rasul itu memiliki kedudukan tersebut.
Keempat, sebagian jin—sebagai makhluk yang memiliki kewajiban syariat dan kebebasan memilih, dimana manusia tidak dapat melihat mereka pada kondisi yang wajar—dapat mengetahui dakwah dan ajaran para nabi Allah. Sebagian dari mereka yang saleh dan bertakwa telah beriman. Di antara mereka adalah pengikut Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana sebagian mereka ada juga yang kafir dan ingkar kepada para nabi karena mengikuti setan yang terkutuk.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Jelaskan hikmah dan sebab berbilangnya para nabi!
2. Apakah tugas umat manusia terhadap dakwah dan ajakan para nabi?
3. Dalam kondisi yang bagaimanakah nabi yang baru itu tidak perlu diutus?
4. Sebutkan jumlah para nabi dan rasul?
5. Apakah perbedaan antara nabi dan rasul? Dan apakah hubungan antara keduanya ditinjau dari sisi arti (konsep) dan wujud mereka?
6. Dengan kedudukan Ilahi apakah sebagian nabi itu mengungguli yang lainnya?
7. Siapakah para nabi ulul ‘azmi itu? dan apakah ciri-ciri dan keistimewaan mereka?
8. Apakah mungkin sejumlah nabi berkumpul pada satu masa? Jika mungkin terjadi, tunjukkan faktanya!
9. Apakah sifat-sifat para nabi Allah lainnya?
10. Bagimanakah sikap jin terhadap para nabi dari sisi kekafiran dan keimanannya?



9. Manusia dan Para Nabi

Manusia dan Para Nabi
Ketika Al-Qur'an menyebutkan para nabi terdahulu, menjelaskan sebagian dimensi kehidupan mereka yang penuh berkah, serta menghilangkan upaya-upaya penyelewengan—secara disengaja maupun tidak—dari lembaran sejarah mereka yang gemilang, itu berarti bahwa Al-Qur'an menaruh perhatian yang besar terhadap umat manusia dalam menyikapi mereka.
Di satu sisi, Al-Qur'an menjelaskan sikap umat manusia terhadap para nabi Allah dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka mengingkari para nabi tersebut. Di sisi lain, Al-Qur'an memberikan gambaran ihwal petunjuk, hidayah dan pendidikan para nabi dan cara-cara memberantas faktor-faktor kekufuran dan kemusyrikan. Al-Qur'an juga menjelaskan hubungan-hubungan sabab-akibat dalam pengelolaan masyarakat, khususnya hubungan imbal-balik antara manusia dan para nabi yang meliputi hal-hal penting dan berbagai manfaat yang membuahkan hasil pendidikan yang unggul.
Pembahasan semacam ini, walaupun tidak berhubungan secara langsung dengan masalah-masalah akidah dan Kalam, akan tetapi mengingat hal ini dapat menjelaskan masalah-masalah kenabian dan dapat menghilangkan berbagai kesamaran, dan mengingat pengaruhnya yang positif dalam upaya perbaikan dan pembinaan umat manusia, serta kandungan pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah yang sebegitu penting, maka pembahasan mengenai hal itu amat berguna dan diperlukan. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan berbagai hal penting yang berkaitan pada pelajaran ini.
Sikap Umat Terhadap Para Nabi
Ketika para nabi menyeru umat manusia untuk menyembah Allah Yang Esa, mentaati segenap ajaran-Nya, meninggalkan tuhan-tuhan mereka yang batil, menolak ajakan setan dan penguasa zalim, memerangi kezaliman, kerusakan, maksiat dan berbagai perbuatan mungkar, mereka menghadapi penentangan dari masyarakat, terutama dari para penguasa yang zalim, orang-orang kaya, orang-orang yang suka berfoya-foya, dan orang-orang yang bangga dengan harta dan kedudukan, atau dengan ilmu, budaya dan pendidikan mereka. Mereka mengerahkan semua tenaga dan kekuatan untuk menghadapi para nabi, menghadang dakwah mereka dan mengajak kelompok-kelompok lainnya untuk bersekongkol dengan mereka dan menghalangi orang-orang dari mengikuti kebenaran.
Akan tetapi secara berangsur-angsur, sebagian kelompok yang mayoritas berasal dari golongan bawah menerima dakwah para nabi. Sedikit sekali masyarakat yang terbentuk di atas akidah yang benar, keadilan dan ketaatan kepada perintah Allah dan para nabi-Nya, sebagaimana yang terlihat pada masa Nabi Sulaiman as. Meski begitu, sebagian ajaran para nabi dapat menyusup ke tengah-tengah budaya masyarakatnya lalu menyebar ke masyarakat yang lain sehingga banyak yang mengambil manfaat darinya. Bahkan terkadang sebagian ajaran para nabi itu dilontarkan sebagai penemuan baru para pemimpin kekufuran, padahal mereka menukilnya dari syariat-syariat samawi, kemudian mereka melontarkannya sebagai pandangan yang baru tanpa menyebutkan sumbernya yang asli.
Faktor dan Motif Penentangan
Di samping faktor-faktor umum seperti: rasa ingin bebas dan mengikuti hawa-nafsu, terdapat faktor-faktor dan motif-motif lainnya dalam penentangan terhadap para nabi, antara lain sifat congkak, egoisme, dan arogansi. Galibnya, sifat-sifat ini tampak di kalangan elite dan kaya di masyarakatnya. Faktor lainnya adalah fanatisme, berpegang teguh pada tradisi leluhur mereka yang keliru. Demikian pula mempertahankan kepentingan ekonomi dan status sosial merupakan motif yang kuat bagi orang-orang kaya, para penguasa dan para ilmuwan dalam mengambil sikap terhadap para nabi.
Dari sisi lain, kebodohan dan tidak adanya kesadaran masyarakat juga berperan besar yang membuat mereka tertipu dan jatuh ke dalam perangkap thaghut (para penguasa zalim), bertaklid buta kepada para tokoh, dan mengikuti kebanyakan orang, serta menyebabkan manusia lebih condong mengikuti dugaan dan keyakinan mereka serta menolak agama yang hanya diikuti oleh kelompok kecil saja. Terlebih lagi, orang-orang mutadayyin (yang taat pada agama) tidak mempunyai kedudukan sosial yang berarti di tengah masyarakat, bahkan mereka itu adalah orang-orang yang tersingkir dari kaum elite dan mayoritas. Di samping itu semua adalah tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa.
Metode Penentangan
Para penentang nabi telah menggunakan berbagai macam metode untuk menentang dakwah para nabi. Di antara metode tersebut ialah:
a. Menghina dan Mengejek
Pada mulanya, mereka berusaha membunuh para nabi, atau menyingkirkan mereka dengan cara menghina dan mencemooh sehingga masyarakat mengambil sikap acuh tak acuh terhadap dakwah para nabi.
b. Dusta dan Fitnah
Lalu, mereka menggunakan cara-cara bohong, fitnah dan tuduhan yang keji; bahwa Rasul itu, misalnya, dungu atau gila. Tatkala beliau mendatangkan mukjizat, mereka menuduhnya sebagai penyihir. Mereka juga menyebut risalah nabi itu sebagai semata-mata dongeng dusta.
c.Debat dan Mughalathah
Ketika para nabi berbicara di hadapan umat dengan bahasa yang penuh hikmah dan argumentasi yang kuat, atau berdialog dengan mereka melalui debat sebaik mungkin, menasihati dan mengingatkan mereka akan bahaya kekafiran, kemusyrikan dan pengingkaran, menjelaskan kepada mereka bahwa iman dan ibadah kepada Allah SWT. itu akan mendatangkan keuntungan, dan memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin dan orang-orang yang beramal saleh akan kebahagiaan dunia dan akherat.
Melihat kondisi semacam ini, para tokoh kafir berusaha mencegah umat dari mendengarkan ajakan para nabi tersebut. Kemudian mereka berusaha menjawab ajakan tersebut dengan logika yang lemah. Mereka juga berusaha menipu masyarakat dengan retorika yang secara lahiriah menarik, serta mencegah mereka dari mengikuti ajakan para nabi. Untuk itu, biasanya mereka menggunakan cara-cara dan adat yang biasa dipakai oleh nenek moyang mereka dalam menghadapi ajakan para nabi itu, misalnya dengan harta dan kekuatan materi yang mereka miliki.
Kaum penentang selalu menjadikan para pengikut nabi yang miskin dan lemah sebagai dalil atas ketidakbenaran akidah dan perilaku mereka. Kemudian mereka mencari-cari berbagai alasan untuk membendung dakwah nabi seperti: mengapa Allah tidak mengutus para nabi-Nya itu dari malaikat? Atau, mengapa Allah tidak mengutus malaikat bersama para nabi? Atau, mengapa para nabi itu tidak memiliki kekayaan yang melimpah dan kehidupan yang menonjol? Puncak penentangan ialah tatkala mereka mengatakan, "Kami tidak akan beriman sampai Allah menurunkan wahyu kepada kami sendiri, atau kami dapat melihat Allah dengan jelas dan mendengar perkataan-Nya tanpa perantara."
d. Ancaman dan Propaganda
Metode lain yang digunakan oleh kebanyakan umat sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur'an ialah mengancam para nabi dan pengikut mereka, dan menakut-nakuti dengan berbagai macam intimidasi, seperti mengusir mereka dari kota, melempari mereka dengan batu-batu, atau membunuh mereka.[1]Dari sisi lain, mereka menggunakan propaganda yang memikat, terutama melalui harta yang melimpah demi mencegah manusia dari mengikuti ajakan para nabi.[2]
e.Kekerasan dan Pembunuhan
Akhirnya, melihat kesabaran dan keteguhan para nabi, dan menyaksikan ketegaran pengikut mereka yang setia, dan setelah merasa putus asa dari berbagai sarana dan cara untuk membendung dakwah para nabi, mereka membunuh para nabi itu agar umat manusia terhalangi dari wujud mereka sebagai karunia Ilahi yang paling besar dan penyelamat masyarakat yang agung.[3]
Sunnatullah dalam Pengelolaan Umat
Sesungguhnya tujuan utama diutusnya para nabi ialah untuk membimbing umat manusia agar memperoleh pengetahuan yang cukup, menyampaikan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menutupi kekurangan mereka—lantaran terbatasnya akal dan pengalaman mereka—dengan menurunkan wahyu. Singkatnya, tujuan utama itu ialah menyempurnakan hujjah atas mereka.[4] Akan tetapi, ketika para nabi itu diutus, Allah SWT dengan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan melalui pengaturan-Nya yang bijaksana, melengkapi mereka dengan kondisi jiwa sehingga mereka dapat menerima dakwah nabi dan membimbing manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan.
Mengingat faktor terbesar pengingkaran, penyimpangan dan penolakan terhadap Allah dan para nabi adalah rasa tidak butuh[5] dan lalai akan sebegitu luasnya kebutuhan makhluk, maka Allah Yang Mahabijak menyiapkan kondisi dan sebab-sebab yang mendorong manusia agar dapat menyadari kebutuhan dan kepentingan mereka, juga untuk menyelamatkan mereka dari kelalaian, kecongkakan dan fanatisme.[6] Maka itu, Allah menguji mereka dengan berbagai macam ujian, bencana dan musibah agar mereka merasa dan mengakui kelemahannya kemudian tunduk di hadapan Allah SWT.
Akan tetapi faktor inipun tidak berpengaruh secara merata dan menyeluruh, sebab masih banyak sekali manusia—khususnya orang-orang yang memiliki kekayaan materi yang melimpah—yang hidup dalam usia yang panjang di dalam kesenangan dan kezaliman terhadap orang lain. Dalam gambaran Al-Qur'an, mereka bagaikan batu bahkan lebih keras.[7] Mereka tidak sadar akan kelalaian mereka, bahkan senantiasa tenggelam dan terus berjalan dalam kesesatan, sakalipun mereka telah ditimpa berbagai bencana. Nasehat dan peringatan para nabi tidak lagi berarti bagi mereka sama sekali. Dan ketika Allah mengangkat azab dan bencana dari mereka lalu mengembalikan nikmat-Nya kepada mereka, mereka berkata, "Kesusahan sudah biasa terjadi di dunia ini, seperti yang menimpa nenek-nenek moyang kita",[8] lalu mereka kembali berbuat maksiat dan menumpuk harta kekayaan dan menghimpun kekuatan. Mereka lalai bahwa semua itu merupakan ujian Ilahi yang dapat membuat mereka sengsara, baik di dunia maupun di akhirat.
Alhasil, ketika pengikut dan pembela para nabi telah mencapai jumlah yang memungkinkan untuk membentuk sebuah masyarakat yang mandiri, dapat menjaga dan membela diri serta memerangi musuh-musuh Allah, mereka diperintahkan untuk melakukan jihad.[9] Ketika itulah azab Allah akan ditimpakan kepada orang-orang yang kafir melalui kekuatan orang-orang mukmin.[10] Jika kondisi tidak memungkinkan, kaum mukmin diperintahkan oleh para nabi untuk menghindar dan menjauhi orang-orang kafir karena azab dan bencana Ilahi—melalui jalan lainnya—akan diturunkan ke atas umat penentang yang tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya, dan mereka tidak mungkin kembali ke naungan Ilahi.[11]Inilah sunnatullah yang tidak mungkin berubah dan berganti dalam mengatur kehidupan umat manusia.[12][]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Terangkan sikap-sikap umat manusia terhadap dakwah para nabi?
2. Sebutkan faktor-faktor dan motif yang mendorong mereka sehingga menentang nabi!
3. Apakah sarana yang digunakan oleh orang-orang yang menentang nabi?
4. Sebutkan sunnatullah sekaitan dengan diutusnya para nabi dan sikap umat terhadap mereka!

[1] Lihat surah Ibrahim: 13, Hud: 91, Maryam: 36, Yasin: 18, dan Ghafir: 26.
[2] Lihat surah Al-Anfal: 36.
[3] Lihat surah Ibrahim: 12, Al-Baqarah: 61, 87, 91, Ali ‘Imran: 21 dan 112, 181, Al-Ma’idah: 70, dan An-Nisa': 155.
[4] Lihat surah An-Nisa': 65, dan Thaha: 134.
[5] Lihat surah Al-'Alaq: 6.
[6] Lihat surah Al-An'am: 42 dan Al-A'raf: 94.
[7] Lihat surah Al-An'am: 43 dan Al-Mu'minun: 76.
[8] Lihat surah Al-A'raf: 95, 182, 183, Ali ‘Imran: 178, At-Taubah: 55-58, dan Al-Mu'minun: 54-56.
[9] Lihat surah Ali ‘Imran: 146.
[10] Lihat surah At-Taubah: 14.
[11] Lihat surah Al-'Ankabut: 40, dan di surah-surah lainnya.
[12] Lihat surah Fathir: 43, Ghafir: 85, dan Al-Isra': 77.




 11. Nabi Islam


Nabi Islam

Mukadimah

Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di berbagai penjuru dunia. Mereka melakukan tugas dengan sebaik-baiknya dalam memberi petunjuk dan mendidik umat, serta meninggalkan berkah yang besar pada mereka. Para nabi telah mendidik masyarakat atas dasar akidah yang benar dan nilai-nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada umat lainnya. Bahkan sebagian dari mereka telah berhasil membangun masyarakat mukmin yang berdiri di atas landasan Tauhid dan keadilan. Para nabi itu sendiri berperan sebagai pembimbing dan pemimpin mereka.
Di antara para nabi, ada yang mempunyai keistimewaan di atas yang lainnya. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as, karena Allah SWT telah menurunkan kepada mereka kitab-kitab samawi yang mencakup berbagai hukum yang bersifat individu maupun sosial, berbagai ajaran dan tugas moral, serta undang-undang yang sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Kitab-kitab dan ajaran tersebut berada di tengah mereka, yang darinya mereka mendapatkan arahan menganai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Namun, ada sebagian kitab-kitab itu hilang sama sekali di sepanjang zaman, ada pula yang telah diselewengkan dan diubah, baik teks maupun maknanya. Akibatnya, agama-agama dan syariat-syariat samawi tersebut menjadi pudar, sebagaimana Taurat Musa as telah mengalami perubahan yang tidak sedikit. Sementara dari Injil Isa as, tidak ada yang tersisa selain yang ditulis oleh para pengikut setia beliau yang mereka kumpulkan atas nama "Kitab Suci".
Seseorang yang secara seksama mencermati Taurat dan Injil (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang beredar di masyarakat sekarang ini, akan mengetahui bahwa kitab-kitab itu bukanlah kitab yang diturunkan kepada Isa dan Musa as Karena, Taurat menggambarkan Allah SWT secara antro-pomorfis (kemanusia-manusiaan); Dia tidak mengetahui banyak persoalan[1] dan seringkali menyesali perbuatan-Nya.[2] Atau, ketika Allah bergulat dengan nabi Ya'qub as dan tidak mampu mengalahkannya, Dia memohon kepadanya agar melepaskan-Nya supaya umat manusia tidak melihat Tuhan mereka dalam keadaan tak berdaya.[3]
Selain itu, banyak sekali perbuatan tercela yang dinisbahkan kepada para nabi Allah. Misalnya berzina dengan seorang wanita muhshanah (yang bersuami)—wal'iyadzubillah—dinisbahkan kepada Nabi Daud as.[4] Minum arak dan zina dengan wanita muhrim (orang yang haram untuk dinikahi) dinisbahkan kepada Nabi Luth as.[5] Taurat juga menyebutkan secara rinci ihwal wafat, sakaratulmautdan tempat wafat Nabi Musa as.[6] Tidakkah kisah-kisah tersebut sudah cukup untuk membuktikan bahwa kitab itu tidak benar jika dinisbahkan kepada Nabi Musa as?
Adapun kitab Injil, kondisinya lebih buruk lagi dari Taurat, karena sampai hari ini tidak ada kitab apapun yang diturunkan kepada Nabi Isa as Bahkan kaum nasrani sendiri tidak mengakui bahwa Injil yang ada saat ini adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Isa as, sebab kitab yang beredar pada masa sekarang ini mengandung sebagian tulisan yang dinisbahkan kepada sebagian pengikut beliau. Di samping membolehkan minum khamar, tersebut di dalam kitab itu bahwa membuat khamar termasuk mukjizat Isa as.[7]
Alhasil, wahyu yang diturunkan kepada dua nabi besar kita itu, Isa a. dan Musa as, telah mengalami perubahan dan penyelewengan serta tidak mungkin dijadikan pedoman untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Adapun mengapa dan bagaimana bisa terjadi penyelewengan tersebut, merupakan persoalan yang panjang dan bukan tempatnya untuk dibahas di sini.[8]
Pada abad keenam setelah kelahiran Nabi Isa as, ketika seluruh alam diliputi kegelapan, kejahilan dan kezaliman, dan pelita hidayah Ilahi telah padam di seluruh penjuru dunia, Allah SWT mengutus nabi-Nya yang terakhir dan yang paling utama di satu tempat yang paling terbelakang, mundur dan penuh kezaliman, untuk menerangi seluruh umat manusia dengan obor wahyu sampai akhir masa, untuk menyampaikan Kitab Ilahi yang abadi dan terjaga dari perubahan dan pengubahan kepada seluruh umat manusia, dan untuk mengajarkan ilmu hakiki, kebenaran dari langit, hukum-hukum dan undang-undang Ilahi, serta untuk membimbing seluruh manusia menuju kebahagiaan yang abadi, di dunia dan akhirat.[9]
Imam Ali as di dalam sebuah khutbahnya telah menjelaskan kondisi dunia ketika Rasul saw diutus, "Allah mengutus Rasul-Nya ketika masa para rasul sebelumnya telah jauh berlalu, umat manusia dalam keadaan tidur lelap yang panjang, api fitnah dan kerusakan tersebar di mana-mana, peperangan sedang berkecamuk, maksiat dan kebodohan menyelimuti dunia, angkuh dan congkak tampak jelas, daun-daun pohon kehidupan manusia telah layu menguning dan tidak diharapkan lagi buahnya karena airnya telah kering, sinar hidayah telah lama padam, bendera kesesatan berkibar-kibar, keburukan dunia menyerang umat, ia menampakan wajah masam kepada pencarinya, buahnya adalah fitnah, makanannya adalah bangkai, syiarnya adalah rasa takut dan tempat berlindungnya adalah pedang."[10]
Sejak diutusnya Nabi Muhammad saw, setelah masalah Tauhid, pembahasan tentang kenabian dan risalah beliau serta kebenaran agama Islam merupakan tema yang penting bagi setiap orang yang mencari kebenaran. Dengan terbukti kebenaran hal-hal itu yang melazimkan kebenaran Al-Qur'an dan validitasnya sebagai satu-satunya kitab samawi yang beredar di kalangan umat manusia dan terjaga dari perubahan dan penyimpangan, umat manusia akan mendapatkan petunjuk—sampai akhir kehidupan—kepada satu-satunya jalan untuk membuktikan berbagai keyakinan yang benar, mengenal nilai-nilai luhur akhlak, tugas-tugas dan hukum-hukum praktis, sekaligus menjadi kunci pemecahan atas berbagai pandangan dunia dan ideologi.
Dalil atas Risalah Nabi Islam
Telah kami jelaskan pada pelajaran 27, bahwa kita dapat membuktikan kenabian para nabi melalui tiga jalan: pertama, melalui biografi dan cara hidup mereka sambil bersandar pada bukti-bukti yang meyakinan. Kedua, melalui berita dari nabi-nabi sebelumnya. Ketiga, melalui mukjizat mereka.
Tiga cara tersebut telah terpenuhi pada Nabi Muhammad saw. Bahkan penduduk kota Makkah yang hidup semasa dengan beliau selama 40 tahun, menyaksikan kehidupan beliau dari dekat. Mereka sedikit pun tidak menjumpai titik lemah dan keraguan dalam kehidupan beliau yang penuh dengan kemulian dan keluhuran. Mereka mengenal sifat jujur dan amanah beliau, sampai-sampai mereka memberikan julukan al-amin (orang yang tepercaya). Maka itu, tidak ada sedikit pun kemungkinan dusta pada diri orang seperti beliau.
Dari sisi lain, terdapat berita dari para nabi sebelumnya tentang kedatangan Nabi saw.[11]Sehingga sekelompok dari ahlulkitab menunggu-nunggu saatnya. Mereka telah mengetahui sebagian tanda-tanda beliau yang jelas dari kitab-kitab mereka.[12] Kepada kaum musyrikin Arab mereka berkata, bahwa sebentar lagi akan datang seorang nabi dari suku Arab keturunan Nabi Ismail as Nabi itu akan membenarkan nabi-nabi sebelumnya dan agama-agama Tauhid.[13] Sebagian ulama Yahudi dan Nasrani telah beriman kepada nabi tersebut berdasarkan kabar yang menggembirakan itu.[14]Walaupun sebagian mereka menolak untuk memeluk Islam lantaran hawa-nafsu dan bisikan setan. Al-Qur'an telah memberikan isyarat tentang ini, "Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil telah mengetahuinya?" ( QS. As-Syu'ara: 197)
Pengetahuan para ulama Bani Israil ihwal Nabi Muhammad saw—berdasarkan kabar yang mereka terima dari nabi-nabi sebelumnya—merupakan bukti yang jelas atas kebenaran risalahnya dan dalil yang meyakinkan bagi seluruh ahlulkitab. Selain itu, pengetahuan mereka merupakan bukti yang kuat, bahwa para nabi yang memberikan kabar itu sendiri adalah benar. Hal itu juga menjadi bukti atas manusia lainnya, bahwa Nabi Muhammad saw adalah benar. Karena, kebenaran pengetahuan para ulama Bani Israil itu dan kesesuaian tanda-tanda nabi yang akan datang pada sosok Muhammad saw terbukti melalui penyaksian langsung dengan mata kepala dan akal mereka.
Ironisnya, bahwa Injil dan Taurat yang telah mengalami distorsi (tahrif), walaupun mereka telah berusaha kuat untuk menyembunyikan kabar gembira tersebut, masih saja bisa ditemukan sebagian tanda-tanda yang jelas yang menjadi bukti bagi para pencari kebenaran.[15] Sebagaimana banyak pemuka Yahudi dan Nasrani yang tulus pada kebenaran, telah mendapatkan hidayah melalui tanda-tanda dan kabar gembira yang masih tersisa di dalam Taurat dan Injil tersebut.
Buku-buku sejarah dan hadis sebegitu banyak mencatat mukjizat-mukjizat yang jelas dari Rasul saw, melebihi batas mutawatir.[16] Di samping mukjizat-mukjizat yang menjadi bukti atas orang-orang yang semasa beliau untuk kemudian menjadi referensi bagi selain mereka, kepedulian Allah menghendaki adanya mukjizat lain yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad saw dan agamanya yang kekal. Mukjizat itu ialah Al-Qur'an Al-Karim yang abadi dan menjadi bukti atas seluruh manusia sepanjang masa. Untuk itu, kami akan membahas kemukjizatan Al-Qur'an pada pelajaran berikutnya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Sebutkan kondisi kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi terdahulu!
2. Sebutkan bukti-bukti penyelewengan di dalam Taurat!
3. Tunjukkan bahwa Injil yang ada sekarang ini tidak dianggap sebagai kitab yang otentik!
4. Jelaskan pentingnya masalah "risalah Nabi Muhammad saw"!
5. Terangkan cara-cara untuk membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw!

[1] Lihat Taurat, kitab Kejadian, bab 3, no. 8-12.
[2] Ibid, bab. 6, no. 6.
[3] Ibid, bab. 32, no. 24-32.
[4] Lihat Perjanjian Lama, kitab 2, Samuel, bab 11.
[5] Lihat Perjanjian Lama, kitab Kejadian, bab. 19, ayat 30-38.
[6] Lihat Perjanjian Lama, kitab Ulangan, bab. 34.
[7] Lihat Perjanjian Baru, Yohanes, bab. 3.
[8] Bisa dirujuk ke Izhhar al-Haq, Rahmatullah Hindi, atau Al-Huda ila Dinil Mushthafa, karya Allamah Balaghi, atau Rahe Saodat, Allamah Sya'rani.
[9] Lihat surah Al-Jumu'ah: 2-3.
[10] Nahjul Balaghah, khotbah ke-187.
[11] Lihat surah Ash-Shaff: 6.
[12] Lihat surah Al-A'raf: 157, Al-Baqarah: 146, dan Al-An'am: 20.
[13] Lihat surah Al-Baqarah: 89.
[14] Lihat surah Al-Ma’idah: 83 dan Al-Ahqaf: 10.
[15] Di antara mereka adalah Mirza Muhammad Ridha, seorang pemikir besar Yahudi di Tehran, penulis Iqamah asy-Syuhud fi Radd al-Yahud, Baba Qazweini Yazdi, penulis Mahdhar asy-Syuhud fi Radd al-Yahud, Prof. Abdul Ahad Dawud, seorang uskup dan penulis Muhammad fi Taurat wa Injil.
[16] Lihat Bihâr al-Anwâr, jild. 17, hal. 225 s/d  jilid 18. Lihat juga kitab-kitab induk hadis dan sirah.




12. Mukjizat Al-Qur'an

Mukjizat Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai Mukjizat
Al-Qur'an merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mampu mendatangkan kitab sepertinya, meskipun seluruh manusia dan jin berkumpul untuk melakukan hal itu.[1] Bahkan, mereka tidak akan mampu sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh surat saja,[2] atau malah satu surat pendek sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja.[3]
Oleh karena itu, Al-Qur'an menantang seluruh umat manusia untuk melakukan hal itu. Dan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi tantangan tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu dan risalah Nabi Muhammad saw dari Allah SWT.[4]
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur'an telah membuktikan pengakuannya sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasul saw, pembawa kitab ini, tersebut telah menyampaikannya kepada umat manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat atas kenabiannya hingga akhir masa.
Hari ini—setelah 14 abad berlalu—bahana suara Ilahi itu masih terus menggema di tengah umat manusia melalui media-media informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan maupun lawan. Itu semua merupakan hujjah atas mereka.
Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw—sejak hari pertama dakwahnya—senantiasa menghadapi musuh-musuh Islam dan para pendengki yang sangat keras. Mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Ilahi ini. Setelah putus asa lantaran ancaman dan tipu daya mereka tidak berpengaruh sama sekali, mereka berusaha melakukan pembunuhan dan pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun mengalami kegagalan berkat inayah Allah SWT dengan cara menghijrahkan Nabi saw ke Madinah secara rahasia pada malam hari.
Setelah hijrah, Rasul saw menghabiskan sisa-sisa umurnya yang mulia dengan melakukan berbagai peperangan melawan kaum musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi. Dan semenjak wafatnya hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan musuh-musuh Islam dari luar senantiasa berusaha memadamkan cahaya Ilahi ini. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan dalam rangka ini. Seandainya mereka mampu menciptakan sebuah kitab sepadan Al-Qur'an, pasti mereka akan melakukannya, tanpa ragu sedikitpun.
Di zaman modern sekarang ini, dimana kekuatan adidaya dunia melihat bahwa Islam adalah musuh terbesar yang sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka, maka itu mereka senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan dan sarana yang mereka miliki berupa materi, strategi, politik, dan informasi. Seandainya mereka mampu menjawab tantangan Al-Qur'an, dan sanggup menulis satu baris saja yang menandingi satu surat pendek darinya, pasti mereka sudah melakukannya dan menyebarkannya melalui media informasi dunia. Karena memang cara semacam itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia) merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif dalam menghadapi Islam dan menahan perluasannya.
Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai kesadaran yang cukup merasa yakin—setelah memperhatikan hal-hal tersebut—bahwa Al-Qur'an merupakan kitab samawi yang istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak mungkin pula bagi setiap individu atau kelompok manapun untuk mendatangkan kitab yang sepadan dengannya, sekalipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan dan pelatihan demi hal itu.
Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan, yaitu luar biasa, tak bisa ditiru dan dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa Al-Qur'an merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi Allah. Dan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi umat Islam. Al-Qur'an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir masa, kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya. Sebegitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara khusus.
Unsur-Unsur Kemukjizatan Al-Qur'an
Setelah secara global kita mengetahui bahwa Al-Qur'an merupakan kalam dan mukjizat Ilahi, kami akan menjelaskan lebih luas lagi unsur-unsur kemukjizatan kitab suci ini.
1. Kefasihan dan Keindahan Al-Qur'an
Unsur pertama kemukjizatan Al-Qur'an ialah kefasihan dan balaghah-nya. Artinya, untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam setiap masalah, Allah SWT menggunakan kata dan kalimat yang paling lembut, indah, ringan, serasi, dan kokoh. Melalui cara tersebut, Dia menyampaikan makna-makna yang dimaksudkan kepada para mukhathab (audiens), yaitu melalui sastra yang paling baik dan mudah dipahami.
Tentunya, tidak mudah memilih kata dan kalimat yang akurat dan sesuai dengan makna-makna yang tinggi dan mendalam kecuali bagi orang yang telah menguasai sepenuhnya ciri-ciri kata, makna yang dalam dan hubungan imbal balik antara kata dan maknanya agar dapat memilih kata dan ungkapan yang paling baik dengan memperhatikan seluruh dimensi, kondisi dan kedudukan makna yang dimaksudkan. Pengetahuan lengkap tentang hal itu tidak mungkin dapat dicapai oleh siapapun kecuali dengan bantuan wahyu dan ilham Ilahi
Sesungguhnya setiap manusia dapat mengetahui sejauh mana kandungan Al-Qur'an yang mencakup nada malakuti dan irama yang syahdu. Setiap orang yang mengetahui bahasa Arab, ilmu kefasihan dan keindahannya (Balaghah), pasti dapat menyentuh keunggulan sastra Al-Qur'an.
Adapun untuk mengetahui kemukjizatan Al-Qur'an dari unsur balaghah, kefasihan dan keindahan bahasanya, tidaklah mudah kecuali bagi orang-orang yang memiliki pengalaman dan spesialisasi di dalam pelbagai ilmu sastra Arab dan melakukan perbandingan antara keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an dan berbagai macam bahasa yang fasih dan baligh, serta menguji kemampuan mereka dengan melakukan analogi dalam hal itu. Pekerjaan semacam ini tidak sulit dilakukan kecuali oleh para penyair dan sastrawan Arab, karena keistimewaan orang-orang Arab yang paling menonjol pada masa diturunkannya Al-Qur'an ialah ilmu Balaghah dan sastra. Puncak kemahiran mereka pada masa itu tampak ketika mereka mengadakan pemilihan bait-bait kasidah dan syair—setelah diadakan penelitian dan penilaian—yang merupakan kegiatan seni dan sastra yang paling besar.
2. Ke-ummi-an Nabi saw
Kendati ukurannya tidaklah besar, Al-Qur'an adalah kitab suci yang mancakup berbagai pengetahuan, hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk mengkaji secara mendalam setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa yang lama agar dapat diungkap secara bertahap sebagian rahasianya, dan agar hakikat kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah, kecuali bagi orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari Allah SWT.
Al-Qur'an mengandung berbagai ilmu pengetahuan yang paling tinggi, paling luhur dan berharga nilai-nilai akhlaknya, paling adil dan kokoh undang-undang pidana dan perdatanya, paling bijak tatanan ibadah, hukum-hukum pribadi dan sosialnya, paling berpengaruh dan bermanfaat nasehat-nasehat dan wejangannya, paling menarik kisah-kisah sejarahnya, dan paling baik metode pendidikan dan pengajarannya. Singkat kata, Al-Qur'an mengandung seluruh dasar-dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia untuk merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Semuanya itu dirangkai dengan susunan yang indah dan menarik yang tidak ada bandingannya, sehingga semua lapisan masyarakat dapat mengambil manfaat darinya sesuai dengan potensi mereka masing-masing.
Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini mengungguli kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan menakjubkan adalah bahwa kitab agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak pernah belajar dan mengenyam pendidikan sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak pernah—walaupun hanya sejenak—memegang pena dan kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.
Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, ia tidak pernah terdengar ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan wahyu Ilahi yang beliau sampaikan pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata yang khas dan berbeda sama sekali dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan yang jelas antara kitab tersebut dengan seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan dengan ini, Allah SWT berfirman, "Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu tidak pernah menulis satu buku dengan tanganmu. Karena jika kamu pernah membaca dan menulis, maka para pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu [terhadap Al-Qur'an]". (QS. Al-'Ankabut: 48)
Pada ayat yang lainnya Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Jikalah Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak pula memberi tahukannya kepadamu.' Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?"(QS.Yunus: 16)
Dan kemungkinan besar bahwa ayat 23 surah Al-Baqarah yang menegaskan, "Dan jika kalian masih merasa ragu terhadap apa yang kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah yang serupa dengannya," menunjukan unsur kemukjizatan ini. Yakni, kemungkinan besar kata ganti "nya" yang terdapat pada kata "serupa dengannya" itu kembali kepada kata "hamba Kami".
Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi—tentu mustahil—bahwa ratusan kelompok yang terdiri dari para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling membantu itu mampu membuat kitab yang serupa dengan Al-Qur'an. Namun, tidak mungkin bagi satu orang yang ummi (tidak belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Qur'an dengan segenap keistimewaan dan keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari kemukjizatan kitab suci itu.
3. Konsistensi Kandungan Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sebuah kitab suci yang Allah turunkan selama 23 tahun dari kehidupan Nabi Muhammad saw, yaitu masa-masa yang penuh dengan berbagai tantangan, ujian dan berbagai peristiwa yang pahit maupun yang manis. Akan tetapi, semua itu sama sekali tidak mempengaruhi konsistensi dan kepaduan kandungan Al-Qur'an serta keindahan susunan katanya. Kepaduan dan ketiadaan ketimpangan dari sisi bentuk dan kandungannya merupakan unsur lain dari kemukjizatan Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur'an. Seandainya Al-Qur'an itu datang dari selain Allah, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan." (QS. An-Nisa': 82)
Penjelasannya: minimalnya, setiap manusia menghadapi dua perubahan. Pertama, pengetahuan dan pengalamannya itu akan bertambah dan berkembang. Semakin bertambah dan berkembangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuannya, akan semakin mempengaruhi ucapan dan perkataannya. Sudah sewajarnya akan terjadi perbedaan yang jelas di antara ucapan-ucapannya itu sepanjang masa dua puluh tahun.
Kedua, berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan berdampak pada berbagai kondisi jiwa, emosi dan sensitifitasnya, seperti putus asa, harapan, gembira, sedih, gelisah, dan tenang. Perbedaan kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar dalam cara pikir seseorang, baik pada ucapannya maupun pada perbuatannya. Dan, dengan banyak dan luasnya perubahan tersebut, maka ucapannya pun akan mengalami perbedaan yang besar. Pada hakikatnya, terjadinya berbagai perubahan pada ucapan seseorang itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwanya. Dan hal itu pada gilirannya tunduk pula kepada perubahan kondisi lingkungan dan sosialnya.
Kalau kita berasumsi bahwa Al-Qur'an itu ciptaan pribadi Nabi saw sebagai manusia yang takluk kepada perubahan-perubahan tersebut, maka—dengan memperhatikan berbagai perubahan kondisi yang drastis dalam kehidupan beliau—akan tampak banyaknya kontradiksi dan ketimpangan di dalam bentuk dan kandungannya. Nyatanya, kita saksikan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi dan ketimpangan itu.
Maka itu, kepaduan, konsistensi dan ketiadaan kontradiksi di dalam kandungan Al-Qur'an serta ihwal kemukjizatannya ini merupakan bukti lain bahwa kitab tersebut datang dari sumber ilmu yang tetap dan tidak terbatas, yakni Allah Yangkuasa atas alam semesta, dan tidak tunduk pada fenomena alam dan perubahan yang beraneka ragam.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Jelaskan bahwa Al-Qur'an mengklaim sebagai mukjizat yang abadi!
2. Terangkan sebuah dalil secara global atas kemukjizatan Al-Qur'an!
3. Apakah kita dapat berasumsi bahwa tidak ada seorangpun yang ingin menciptakan serupa Al-Qur'an? Ataukah mungkin sudah ada orang yang melakukan itu, hanya saja kita tidak mengetahuinya? Dan mengapa?
4. Jelaskan unsur balaghah atau keindahan sastra sebagai kemukjizatan Al-Qur'an!
5. Apakah hubungan antara ke-ummi-an Nabi saw dan kemukjizatan Al-Qur'an?
6. Bagaimana mungkin bahwa tidak adanya ikhtilaf di dalam Al-Qur'an itu sebagai bukti mukjizatnya?

[1] Lihat surah Al-Isra': 88.
[2] Lihat surah Hud: 13.
[3] Lihat surah Yunus: 38.
[4] Lihat surah Al-Baqarah: 23-24.







13. Keutuhan Al-Qur'an dari Perubahan


Keutuhan Al-Qur'an dari Perubahan

Mukaddimah

Argumentasi atas pentingnya kenabian—sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu—menuntut sampainya risalah Ilahi kepada umat manusia dalam bentuknya yang tetap utuh; tidak mengalami distorsi (tahrif), sehingga mereka dapat memanfaatkannya demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Maka itu, tidak perlu lagi membahas terjaganya Al-Qur'an sejak diturunkan hingga disampaikan kepada umat manusia, sebagimana kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, semua kitab samawi mengalami perubahan setelah sampai di tangan manusia, atau ditinggalkan setelah disampaikan lalu hilang. Kita saksikan pada zaman sekarang ini, bahwa kitab Nabi Nuh as dan Ibrahim as telah hilang sama sekali. Sementara kitab Nabi Musa as dan Nabi Isa as yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Kenyataan seperti ini menimbulkan pertanyaan berikut ini: "Melalui jalan apakah kita dapat mengetahui bahwa kitab yang ada pada kita sekarang ini, yang bernama Al-Qur'an, adalah satu-satunya kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tidak tersentuh oleh perubahan dan penyimpangan, dan tidak mengalami penambahan ataupun pengurangan?
Tentunya, setiap orang yang tahu—walaupun sedikit—akan sejarah Islam, serta kepedulian Rasul saw dan para khalifahnya yang maksum terhadap penulisan dan pencatatan ayat-ayat Al-Qur'an, dan kepedulian kaum muslimin dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur'an—sebagaimana dinukil bahwa dalam sebuah peperangan telah terbunuh sebanyak 70 orang laki-laki penghafal Al-Qur'an—dan juga setiap orang yang tahu bahwa Al-Qur'an dinukil secara mutawatir selama 14 abad, dan tahu akan kepedulian mereka dalam menghitung ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-hurufnya, tentu tidak akan terlintas di benaknya kemungkinan terjadinya perubahan dan penyelewengan di dalam Al-Qur'an.
Akan tetapi, terlepas dari bukti-bukti sejarah yang meyakinkan tersebut, kita dapat membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan dengan dua dalil, yaitu dalil akal dan dalil wahyu. Dalil pertama adalah untuk membuktikan tidak adanya tambahan pada Al-Qur'an. Setelah itu, kita akan membuktikan tidak adanya kekurangan padanya berdasarkan ayat-ayatnya sendiri. Oleh karena itu, kami akan membahas masalah keutuhan Al-Qur'an dari perubahan melalui dua sisi, penambahan dan pengurangan, secara terpisah.
Al-Qur'an Tidak Mengalami Penambahan
Seluruh kaum muslimin percaya bahwa Al-Qur'an tidak mengalami penambahan, bahkan hal ini adalah kesepakatan antara orang-orang yang telah mengetahuinya di seluruh dunia, karena tidak ada satu faktor pun yang memungkinkan terjadinya tambahan pada kitab tersebut, juga tidak ada bukti sama sekali atas kemungkinan seperti itu. Kendati demikian, kita dapat menggugurkan asumsi adanya penambahan melalui dalil akal, sebagaimana berikut ini:
Apabila disumsikan adanya tambahan satu poin utuh ke dalam Al-Qur'an, ini berarti adanya kemungkinan untuk diciptakan yang serupa dengannya. Asumsi semacam ini tidaklah sesuai dengan kemukjizatan Al-Qur'an, dan dengan ketidakmampuan manusia untuk menciptakan padanannya.
Bahkan, jika kita berasumsi bahwa Al-Qur'an mengalami tambahan pada satu kalimat atau satu ayatnya yang pendek seperti kata mudhammatan, hal itu merusak kepaduan bahasanya, keluar dari bentuk aslinya dan dari kemukjizatannya. Jika demikian halnya, maka Al-Qur'an akan dapat ditiru dan dibuatkan padanannya, sebab tata ungkap Al-Qur'an dan susunan bahasa yang mengandung mukjizat amat terkait pula dengan pemilihan kata dan kalimat, sehingga kemukjizatannya hilang dengan asumsi perubahan, walaupun sedikit.
Jadi, dalil atas kemukjizatan Al-Qur'an itu sendiri merupakan dalil atas keutuhan Al-Qur'an dari penambahan. Begitu pula dengan dalil tersebut, akan ternafikan kekurangan pada kata-kata dan kalimat-kalimat, hal yang mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur'an dari kemukjizatannya. Adapun tidak hilangnya satu surat atau satu poin penuh yang tidak membuat seluruh ayat-ayatnya itu keluar dari kemukjizatannya, maka hal ini memerlukan argumen yang lain.
Al-Qur'an Tidak Mengalami Pengurangan
Ulama Islam dari Ahli Sunnah maupun Syi'ah telah menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami pengurangan ataupun penambahan. Untuk membuktikan kebenaran tersebut mereka mengajukan berbagai dalil. Sayangnya, lantaran penukilan sebagian riwayat palsu ke dalam kitab-kitab hadis kedua madzab itu, penafsiran yang keliru dan pemahaman yang salah terhadap sebagian riwayat yang muktabar, sebagian mereka menganggap atau malah meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur'an itu telah raib. Namun, selain adanya berbagai bukti sejarah yang akurat atas keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan, penambahan atau pengurangan, juga adanya dalil mukjizat yang menafikan raibnya sebagian ayat-ayat yang dapat merusak sistem bahasa Al-Qur'an, kita pun dapat membuktikan keutuhannya dari keraiban satu ayat atau satu surat berdasarkan Al-Qur'an sendiri.
Setelah dapat dibuktikan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an yang ada sekarang ini adalahKalamullah yang masih otentik, maka seluruh kandungan ayat-ayatnya—yang merupakan dalil wahyu yang paling kuat—pun menjadi bukti. Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an ialah bahwa Allah SWT telah berjanji untuk menjaga kitab suci ini dari berbagai perubahan. Tidak seperti dengan kitab-kitab samawi yang lain; yang penjagaannya dibebankan ke atas umat manusia itu sendiri. Allah berfirman, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr, dan sung-guh Kami pula yang akan menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Ayat ini terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikra", menekankan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan oleh Allah SWT, dan di dalam penurunannya tidak mengalami perubahan apapun. Dan, kalimat kedua, "sungguh Kami pula yang akan menjaganya" kata "sungguh" (inna) diulang kembali, dan bentuk kalimatnya (haiat)—yang menunjukkan kontinuitas (istimrar)—menekankan bahwa Allah SWT benar-benar berjanji untuk menjaga Al-Qur'an dari berbagai distorsi (tahrif) sepanjang masa.
Namun begitu, perlu diperhatikan bahwa meskipun ayat ini menunjukkan tidak adanya penambahan pada Al-Qur'an, namun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk menafikan adanya tambahan adalahistidlal dauri (pembuktian berputar-putar tanpa henti), karena bisa juga ayat ini diasumsikan sebagai sebagai tambahan pada Al-Qur'an, maka itu menafikan asumsi tersebut berdasarkan ayat ini tidaklah benar. Karenanya, kita dapat menggugurkan asumsi penambahan itu melalui dalil yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur'an. Setelah itu barulah kita dapat menggunakan ayat ini untuk membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari hilangnya satu ayat atau satu surat penuh (dengan bentuk yang tidak mengakibatkan rusaknya kemukjizatan struktur bahasanya). Jadi, kita dapat memastikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan; penambahan maupun pengurangan, berdasarkan penjelasan komplikatif dari dalil akal dan dalil wahyu di atas ini.
Akhirnya, kami perlu menekankan bahwa terjaganya Al-Qur'an dari berbagai perubahan tidak berarti bahwa setiap kitab Al-Qur'an yang beredar sekarang ini dianggap terjaga pula sepenuhnya dari kesalahan tulis dan baca, tidak juga berarti bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kesalahan penafsiran atau penyelwengan makna, atau ayat-ayat dan surat-suratnya telah disusun sesuai dengan runutan penurunannya. Jadi, maksud dari keterjagaan Al-Qur'an dari berbagai perubahan ialah bahwa kitab suci itu tetap utuh di tengah umat manusia sehingga setiap pencari kebenaran akan dapat menjumpai seluruh ayat-ayatnya seperti saat ia diturunkan, tanpa adanya penambahan atau pengurangan.
Dengan demikian, terjadinya kekurangan atau kesalahan cetak pada sebagian kitab Al-Qur'an, atau terdapat perbedaan cara baca, perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau terjadi penyelewengan makna dan penafsiran yang beraneka-ragam, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari penyimpangan dan perubahan yang telah kami jelaskan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Mengapa keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan itu perlu dibahas?
2. Apakah bukti-bukti sejarah atas terjaganya Al-Qur'an dari perubahan?
3. Apakah argumentasi atas keutuhan Al-Qur'an?
4.Apakah dalil atas tiadanya penambahan pada Al-Qur'an?
5.Apakah dalil atas tiadanya pengurangan pada Al-Qur'an?
6. Apakah dalil itu juga dapat membuktikan ketiadaan penambahan pada Al-Qur'an? Mengapa?
7. Jelaskan statemen berikut ini: "Adanya kekurangan dan kesalahan di sebagian Al-Qur'an, terjadinya perbedaan qirâat (bacaan), atau perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau adanya penafsiran yang menyimpang dan maknanya yang diselewengkan, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari perubahan"!




14. Universalitas dan Keabadian Islam


Universalitas dan Keabadian Islam

Telah kita ketahui dari pelajaran yang lalu bahwa mengimani seluruh nabi dan membenarkan semua risalah mereka adalah perkara yang penting. Mengingkari salah seorang dari mereka, atau salah satu hukum dan syariat mereka berarti mengingkari seluruh syariat Ilahi, dan hal ini sama dengan kekufuran Iblis. Karenanya, setelah terbukti risalah nabi Islam saw, hal penting lainnya ialah mengimani risalah beliau tersebut dan segenap ayat yang turun kepadanya serta seluruh hukum dan ajaran yang datang dari Allah SWT. Akan tetapi, beriman kepada setiap nabi dan kitabnya tidak berarti kita pun harus menjalankan syariatnya.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa seluruh kaum muslimin diwajibkan beriman kepada seluruh nabi as dan semua kitab samawi mereka, kendati tidak mungkin dan bahkan tidak boleh mengamalkan syariat-syariat yang telah lalu tersebut. Sebagaimana pada pelajaran yang lalu, kewajiban setiap umat ialah mengamalkan syariat dan ajaran nabi yang diutus kepada mereka. Maka itu, seluruh umat manusia diwajibkan untuk mengamalkan syariat Islam itu apabila telah terbukti bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu tidak hanya untuk satu umat saja (bangsa Arab), juga tidak ada nabi lain yang akan diutus setelahnya untuk menghapus risalahnya itu.
Dengan kata lain, Islam adalah agama yang universal dan abadi. Untuk itu, poin yang perlu kita bahas berikutnya adalah: apakah risalah Nabi Muhammad saw itu bersifat universal dan abadi? Ataukah khusus untuk satu kaum atau pada zaman tertentu saja?
Yang jelas, masalah ini tidak dapat dibahas hanya dengan jalur akal, tetapi harus mengikuti metode kajian di dalam ilmu-ilmu naqli dan sejarah. Artinya, kita harus merujuk referensi-referensi yang valid. Tentu, bagi orang yang telah membuktikan dan meyakini kebenaran Al-Qur'an, kenabian Muhammad saw dan kemaksuman beliau, tidak ada sumber dan referensi yang lebih valid selain Al-Qur'an dan Sunnah.

Universalitas Islam

Universalitas Islam dan ketakterbatasannya untuk satu kaum atau kawasan tertentu, adalah salah satu kepercayaan yang dharuri (jelas dan pasti) dalam agama Ilahi ini. Bahkan orang-orang nonmuslim pun mengetahui bahwa risalah Islam itu mendunia, tidak terbatas pada suatu daerah saja.
Di samping itu, banyak bukti-bukti sejarah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw telah mengirimkan surat dakwahnya kepada penguasa-penguasa dunia pada saat itu, seperti Kaisar Romawi, Kisra Iran, raja-raja di Mesir, Syam (Suriah), Habasyah dan para pemimpin suku-suku Arab. Beliau juga mengutus duta-duta khusus kepada setiap penguasa itu untuk mengajak mereka kepada Islam, dan memberikan peringatan kepada mereka akan dampak buruk dari pengingkaran mereka terhadap agama suci ini.
Jika Islam bukan agama universal, dakwah seluas itu tidak akan dijalankan, dan setiap bangsa mempunyai alasan yang kuat tatkala mereka tidak memeluk Islam. Maka itu, tidak bisa dipisahkan antara iman pada kebenaran Islam dan keharusan beramal sesuai dengan syariatnya. Dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk konsisten pada agama Ilahi ini.
Dalil-dalil Al-Qur'an atas Universalitas Islam
Telah kami singgung pada pelajaran yang telah lalu, bahwa Al-Qur'an itu sendiri—yang telah dibuktikan validitasnya—merupakan dalil dan referensi yang paling akurat untuk membuktikan persoalan ini. Dan setiap orang yang secara global saja menelaah kitab suci Ilahi ini, akan mengetahui dengan jelas bahwa dakwah Al-Qur'an itu bersifat universal, tidak khusus untuk suatu kaum atau suatu bahasa saja.
Di antara dalil Al-Qur'an atas universalitas Islam ialah ayat-ayat yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan "ya ayyuhannas" (wahai sekalian manusia!), atau "ya Bani Adam" (wahai anak-anak Adam). Dan Al-Qur'an memandang bahwa petunjuknya itu tertuju kepada seluruh umat manusia (an-nas) dan seluruh alam (al-'alamin). Bahkan serta menegaskan Al-Qur'an telah menekankan melalui satu ayatnya ihwal risalah Nabi Muhammad saw.sebagai misi dunia untuk segenap manusia yang mendengarnya.[1]
Dari sisi lain, dengan nada kecaman, Al-Qur'an berbicara kepada pengikut agama-agama yang lain dengan ungkapan ahlulkitab dan membuktikan kebenaran risalah Nabi saw atas mereka.[2] Al-Qur'an juga memandang bahwa tujuan penurunannya kepada Nabi saw adalah untuk mengangkat Islam dan mengunggulkannya di atas seluruh agama.[3] Dengan mempelajari ayat-ayat tersebut, tidak ada lagi keraguan akan universalitas dakwah Al-Qur'an dan Islam yang suci ini.
Keabadian Islam
Selain sebagai argumentasi atas universalitas Islam seperti ungkapan umum Bani Adam, an-nas, al-'alamin, dan ungkapan umum lainnya yang ditujukan kepada umat-umat selain bangsa Arab serta kepada pengikut agama lainnya seperti ungkapan "ya ahlal kitab, ayat-ayat itu juga—secara ithlaq zamani (kemutlakan waktu)—menafikan batasan masa tertentu, terutama pada ungkapan "liyudhhirahu 'aladdini kullih" (demi mengunggulkan Islam di atas segenap agama), sehingga tidak tersisa lagi keraguan akan hal ini. Kenyataan ini pun dapat disimak pada dua ayat 41 dan 42 dari surah Fushilat,"Dan Al-Qur'an itu sungguh kitab yang mulia, yang tak tersentuh kebatilan, dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Mahabijaksana dan Mahaagung."
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab suci Al-Qur'an sama sekali tidak pernah mengalami kehilangan validitas dan akurasinya. Begitu pula dalil-dalil yang membuktikan diakhirinya kenabian oleh Nabi Muhammad saw—sebagaimana akan dibahas pada pelajaran berikutnya—menggugurkan seluruh dugaan tentang dihapusnya agama Ilahi ini melalui nabi atau syariat yang lain.
Sehubungan dengan keabadian Islam ini, terdapat riwayat yang banyak sekali, seperti "Halal Muhammad adalah halal sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram sampai hari kiamat."[4]
Di samping itu, kelanggengan Islam—sebagaimana keuniversalannya—termasuk daruriyat (doktrin yang jelas dan pasti) agama Ilahi ini, dan tidak perlu kepada dalil selain dalil-dalil yang membuktikan kebenaran Islam.
Menjawab beberapa Keraguan
Aneka ragam peraguan dari musuh-musuh Islam yang berusaha keras menentangnya dan mencegah penyebarannya, telah diupayakan untuk membuktikan bahwa Islam hanya diturunkan untuk bangsa Arab saja, dan risalahnya tidak meliputi segenap umat manusia. Dalam rangka melontarkan keraguan-keraguan tersebut, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw hanya diperintah oleh Allah untuk memberikan hidayah kepada keluarga, kerabat dan kabilahnya atau warga Mekkah dan sekitarnya saja.[5]
Misalnya, setelah menyinggung orang-orang Yahudi, Shabiin dan Nasrani, ayat 69 Al-Ma'idah menyatakan bahwa sumber kebahagiaan itu terletak pada iman dan amal saleh saja, tanpa menyinggung peran Islam dalam meraih kebahagiaan tersebut. Di samping itu, Fiqih Islam tidak mengakui ahlulkitab itu sama dengan kaum musyrikin. Bahkan, Fiqih Islam menganggap bahwa apabila ahlulkitab membayar jiz'yah (pajak) sebagai ganti dari khumus (khums) atau zakat yang diwajibkan atas kaum muslimin, mereka mendapatkan jaminan keamanan di dalam negara Islam dan dibolehkan mengamalkan syariat mereka. Ini adalah dalil atas kebenaran seluruh agama.
Menjawab keraguan ini kami katakan bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga Nabi saw atau penduduk Mekkah, hendak menjelaskan tahap-tahap dakwah, dimana dakwah beliau dimulai dari keluarga terdekat, lalu meningkat sampai ke seluruh warga Mekkah dan sekitarnya, kemudian meluas sampai ke seluruh manusia di muka bumi ini. Dan ayat-ayat ini tidak mempersempit (takhsis) makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi Muhammad saw, karena—di samping bentuk ungkapan ayat-ayat tersebut (berkenaan dengan keluarga Nabi) menolak penyempitan atas makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi saw—penyempitan ini justru melazimkan penyempitan yang lebih banyak, yang ganjil dan keliru menurut opini masyarakat luas (urful 'uqola').
Adapun ayat 69 Al-Ma'idah hendak menjelaskan kenyataan bahwa sekedar memeluk agama ini atau agama itu tidaklah cukup untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi, faktor utama kebahagiaan ialah iman yang hakiki dan melakukan tugas-tugas yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Sesuai dengan argumen-argumen yang menunjukkan atas universalitas dan keabadian Islam, tugas seluruh umat manusia setelah datangnya Nabi Muhammad saw adalah mengamalkan syariat dan hukum Islam.
Adapun keutamaan yang diberikan Islam kepada ahlulkitab di atas seluruh orang-orang kafir tidak berarti mereka dibolehkan untuk tidak memeluk Islam dan tidak melaksanakan hukum-hukumnya, akan tetapi keutamaan itu hanyalah belas-kasih duniawi (irfaq duniawi) Islam terhadap hak-hak mereka demi beberapa maslahat. Dan dalam pandangan Syi'ah, belas-kasih itu bersifat sementara, dan pada saat kehadiran Imam Mahdi afs nanti akan diputuskan hukum final mereka, dan sikap Islam terhadap mereka kelak sama dengan sikapnya terhadap orang-orang kafir. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah SWT: "liyudhhirahu 'Aladdini Kulih" (untuk mengunggulkan Islam di atas segenap agama).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Dalam kondisi bagaimanakah seluruh umat manusia itu diwajibkan mengikuti syariat Islam?
2. Jelaskan dalil-dalil Al-Qur'an atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
3. terangkan dalil-dalil yang lain atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
4. Jelaskan statemen berikut ini: "Sesungguhnya ayat-ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memberikan hidayah kepada keluarga dan kerabatnya yang paling dekat kemudian kepada penduduk Mekkah tidak menunjukkan dikhususkannya risalah tersebut hanya kepada mereka saja"!
5. Jelaskan bahwa ayat 69 Al-Ma'idah tidak menunjukkan diampuninya umat apapun meskipun tidak mengikuti Islam!
6. Jelaskan statemen berikut ini: bahwa diizinkannya Ahli Dzimmah (orang kafir yang mendapatkan perlindungan di dalam pemerintahan Islam) untuk mengamalkan syariat mereka tidak berarti bahwa mereka itu dibolehkan untuk tidak mengikuti syariat Islam"!

[1] Lihat surah Al-'An'am: 19.
[2] Lihat surah Ali 'Imran: 64, 70, 71, 98, 99, 110, dan Al-Ma'idah: 15, 19.
[3] Lihat At-Taubah: 33, Al-Fath: 28, dan Ash-Shaff: 9.
[4] Riwayat ini bisa Anda lihat pada Al-Kâfi, jilid 1/58 dan jilid 2/17, Biharul Anwar jilid 2/260 dan jilid 4/288, danWasaiul asy-Syi'ah, jilid18/124.
[5] Lihat surah Asy-Syu'ara: 7 dan 214, Al-An'am: 92, As-Sajadah: 3, Al-Qashahs: 46, Yasin: 5-6, dan Al-Ma'idah: 69.




15. Akhir Kenabian

Akhir Kenabian
Berangkat dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan diutusnya seorang nabi untuk melakukan dakwah dan penyebaran Islam, sebagaimana pada para nabi terdahulu, baik mereka hidup sezaman dengan pemegang syariat seperti: Nabi Luth as yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as dan mengikuti syariatnya, atau para nabi yang diutus setelah nabi pemegang syariat, akan tetapi mereka mengikutinya, seperti kebanyakan nabi-nabi Bani Israil.
Untuk itu, kita harus membahas akhir dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw secara khusus, sehingga tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi selain beliau.
Dalil Al-Qur'an atas Akhir Kenabian
Salah satu doktrin pasti Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau. Bahkan non-muslim pun mengetahui bahwa kenyataan ini merupakan bagian akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Karenanya, masalah ini sama dengan masalah-masalah pasti agama lainnya yang tidak membutuhkan dalil. Meski demikian, kita dapat mengambil kesimpulan dari Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang mutawatir. Allah SWT berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dari laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi." (QS. Al-Ahzab: 40)
Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh nabi. Sebagian musuh-musuh Islam melontarkan dua kritik sehubungan dengan ayat tersebut:
Pertama, bahwa kata al-khatam mengandung arti selain makna penutup, yaitu khatamul yad, artinya cincin hiasan di jari tangan. Jadi, Amaksud dari khatam dalam ayat ini ialah penghias, yakni bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah penghias para nabi sebelumnya, bukan sebagai penutup.
Kedua, kalaupun al-khatam diartikan dengan arti konvensionalnya (yakni penutup), berarti mata rantai kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad saw, tetapi tidak menunjukkan diakhirinya mata rantai kerasulan para rasul oleh beliau.
Terhadap kritik pertama perlu ditegaskan bahwa makna al-khatam adalah sesuatu yang digunakan untuk mengakhiri sesuatu lainnya. Maka itu, cincin pun dinamakan sebagai al-khatam, karena ia digunakan untuk mengakhiri surat-surat atau yang semacamnya. Yakni, al-khatam bisa berarti tanda tangan atau stempel, maka Nabi Muhammad saw adalah stempel atau pemungkas para nabi sebelumnya.
Jawaban atas kritik kedua ialah bahwa setiap nabi itu memiliki kedudukan sebagai rasul di samping kedudukan mereka sebagai nabi. Dan dengan berakhirnya mata rantai para nabi, berakhir pula mata rantai kerasulan mereka. Sebagaimana telah disinggung pada pelajaran 29, bahwa meskipun pengertian an-nabi tidak lebih umum (luas) dari pengertian ar-rasul, akan tetapi dari sisi wujud di luar, yang pertama lebih umum daripada yang kedua.
Dalil Riwayat atas Diakhirinya Kenabian
Terdapat ratusan riwayat yang menegaskan diakhirinya kenabian oleh nabi Muhammad saw. Di antaranya adalah hadis Al-Manzilah.[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Syi'ah mau-pun Ahli Sunnah dari Rasul saw secara mutawatir, sehingga tidak ada keraguan sedikit pun bahwa hadits-hadits tersebut merupakan sabda beliau. Yaitu ketika beliau keluar menuju perang Tabuk dan meninggalkan Imam Ali as untuk menggantikan beliau di kota Madinah. Ketika itu, Imam Ali as menangis. Kemudian Rasul saw berkata kepadanya, "Wahai Ali, tidakkah engkau senang bahwa kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku."
Dalam riwayat yang lain Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, ketahuilah, tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada umat lagi setelah kalian."[2]
Di dalam hadis yang lainnya lagi Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada sunnah lagi setelah sunnahku."[3]
Kandungan hadist-hadis semacam ini pun banyak dinukil di dalam khutbah-khutbah Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah,[4] juga di dalam berbagai riwayat, doa-doa dan ziarah-ziarah para Imam suci as yang tidak dapat kami sampaikan pada tempat yang terbatas ini.
Falsafah Diakhirinya Kenabian
Telah kami singgung pada pelajaran 29 bahwa hikmah dan falsafah banyaknya para nabi dan diutusnya mereka secara bertahap adalah bahwa dari satu sisi, tidak mungkin bagi satu orang untuk menyampaikan risalah Ilahi dan meyebarkannya—pada masa-masa dahulu—ke seluruh penjuru dan ke segenap bangsa.
Dari sisi lain, semakin luas dan rumitnya komunikasi dan terjadinya berbagai fenomena sosial yang baru menuntut undang-undang yang baru pula, atau menuntut perubahan undang-undang yang lama. Sebagaimana perubahan dan penyelewengan akibat campur tangan individu atau kelompok orang-orang yang bodoh menuntut perbaikan ajaran-ajaran Ilahi melalui nabi lainnya.
Namun begitu, dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang nabi sehingga ia dapat menyampaikan risalah Ilahi ke seluruh umat manusia di muka bumi ini dengan bantuan para pengikut dan khalifahnya, dan syariat, hukum-hukum dan ajaran-ajarannya dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat pada masa itu dan untuk masa yang akan datang, serta meliputi seluruh tuntutan yang penting sesuai dengan konteks kontemporer, serta terjaminnya keutuhan dan keterjagaan risalah dari berbagai perubahan dan penyimpangan, maka tidak perlu lagi diutusnya nabi yang lain.
Akan tetapi, pengetahuan manusia biasa tidak mungkin dapat menentukan situasi, kondisi dan faktor-faktor semacam itu. Adapun Allah SWT dengan ilmu-Nya yang tak terbatas dan meliputi segala sesuatu, tentu dapat menentukan kapan terealisasinya kondisi tersebut. Oleh karena itu, hanya Allahlah yang dapat mengabarkan diakhirinya kenabian, sebagaimana hal itu Dia lakukan di dalam kitab samawi-Nya yang terakhir.
Hanya saja diakhirinya kenabian tidak berarti terputusnya hubungan hidayah—sama sekali—dari Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya di bumi. Sesungguhnya Allah SWT melimpahkan ilmu gaib-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh tatkala maslahat-Nya menuntut demikian, kendati tidak melalui jalur wahyu kenabian.
Sebagaimana diyakini oleh Syi'ah, bahwa ilmu-ilmu gaib itu telah Allah SWT anugerahkan kepada para imam maksum as poin penting ini akan kita bahas pada pelajaran-pelajaran mengenai "Imamah dan Kepemimpinan" yang akan datang selekas ini, Insya Allah.
Menjawab Beberapa Keraguan
Dari uraian-uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai falsafah dan hikmah diakhirinya kenabian, yaitu:
Pertama, dengan bantuan para khalifah dan pengikut-pengikut setia, Nabi Muhammad saw dapat menyampaikan risalahnya ke seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Kedua, kitab samawi Nabi Muhammad saw senantiasa terjamin utuh dari penyelewengan dan perubahan.
Ketiga, syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia hingga akhir masa.
Berkenaan dengan kesimpulan ketiga, terdapat tanggapan kritis, yaitu bahwa pada masa-masa dahulu tampak kesulitan-kesulitan dalam interaksi dan komunikasi sosial yang menuntut dibuatnya hukum-hukum yang baru atau diubahnya hukum-hukum yang lama, sehingga diutuslah nabi yang lain. Kenyataan ini pun tetap berlaku sekalipun Nabi Muhammad saw itu telah diutus, sebab telah terjadi berbagai perubahan yang drastis dan cepat yang membuat hubungan sosial menjadi semakin rumit.
Lalu, bagaimana mungkin kondisi semacam ini—yakni setelah wafat Nabi saw—tidak menuntut diturunkannya syariat yang baru?
Jawab: sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran yang lalu, bahwa manusia biasa tidak dapat menentukan berbagai perubahan yang menuntut diubahnya syariat Islam yang prinsipal, sebab kita tidak mengetahui dasar-dasar hukum, syariat serta hikmah-hikmahnya. Bahkan—melalui argumen-argumen atas langgengnya Islam dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw—kita dapat menyingkap tidak perlunya mengubah syariat dan hukum-hukum Islam secara mendasar.
Memang benar, kita tidak dapat mengingkari adanya fenomena-fenomena sosial yang baru yang menuntut hukum-hukum yang baru pula. Akan tetapi, bukankah di dalam syariat Islam telah tersedia dasar-dasar dan kaidah-kaidah umum, sehingga—berbekal pada dasar-dasar tersebut—dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat juz'i (parsial) oleh pihak-pihak yang berwenang untuk kemudian diterapkan. Penjelasan terinci poin terakhir ini secara khusus dapat dijumpai di dalam Fiqih Islam, yaitu pada tema "Kewenangan-kewenangan Pemerintahan Islam (Imam Maksum as dan Wali Faqih).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Setelah keabadian Islam dapat dibuktikan, apakah urgensi isu diakhirinya kenabian?
2. Bagaimana kita dapat membuktikan diakhirinya kenabian dengan dalil-dallil Qur'an?
3. Jelaskan keraguan-keraguan yang dilontarkan sekitar dalil tersebut beserta jawabannya!
4. Sebutkan tiga riwayat yang menjelaskan diakhirinya kenabian!
5. Mengapa mata rantai kenabian itu ditutup dengan datangnya Nabi Muhammad saw?
6. Apakah berakhirnya kenabian berarti ditutupnya jalan untuk memperoleh pengetahuan Ilahi? Mengapa?
7. Apakah perubahan-perubahan sosial pascahidup Nabi saw. menuntut dibuatnya syariat yang baru? Mengapa?
8. Apakah cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kepada hukum-hukum yang dapat mengatasi berbagai kasus kontemporer?

[1] Biharul Anwar, jilid 37/254-289, Sahih al-Bukhari, jilid 3/58, Sahih Muslim, jilid 2/323, Sunan Ibnu Majah, jilid 1/28,Mustadrakul Hakim, jilid 3/109, dan Musnad Ibnu Hambal, jilid 1/28, 331 dan jilid 2/ 369, 437.
[2] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 1/15 dan Al-Khishal, jilid 1/ 322dan  jilid 2/487.
[3] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 18/555, Man La Yahdlarahul Haqih, jilid 4/163, Kasyful Ghumah, jilid1/21, dan Biharul Anwar , jilid 22/531.
[4] Lihat Nahjul Balaghah , khutbah no. 1, 69, 83, 87, 129, 168, 193, dan 230.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar