Laman

Kamis, 02 Februari 2012

Kekonyolan Salafy Membela Abu Bakar Tetapi Merendahkan Ahlul Bait



Kekonyolan Salafy Dalam Membela Abu Bakar Dan Merendahkan Ahlul Bait
Pernahkah anda membaca blog yang ngaku-ngaku salafy, nah kalau pernah maka anda akan melihat jika ia menulis bantahan kepada Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] maka tidak segan-segan ia merendahkan Ahlul Bait. Kalau ada orang yang mengutip riwayat kesalahan sahabat maka ia akan meradang setengah mati melemparkan celaan keras seolah-olah orang tersebut melakukan maksiat. Tetapi jika mereka bernafsu membantah Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] ia dengan gampangan mengutip riwayat yang menyalahkan Ahlul Bait.




Contohnya ia tidak segan-segan menulis tulisan dengan judul Ali bin Abi Thalib Shalat Sambil Mabuk. Sebuah judul yang lebih layak untuk dikatakan provokatif dan bermental nashibi. Sungguh menyedihkan, kebencian mereka terhadap Syiah membuat mereka menghalalkan apa yang mereka haramkan pada orang lain. Mengingat Ali bin Abi Thalib sendiri adalah sahabat dan ahlul bait Nabi, maka dengancaranya yang ia pakai untuk menuduh orang sebagai Syiah maka ia lebih layak untuk dikatakan seorang rafidhah nashibi yang mengaku salafy.
Baru-baru ini ada yang membuat tulisan dengan judul Pengakuan Imam Maksum Bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Pernah Marah Kepadanya. Inti tulisan tersebut adalah untuk membela Abu Bakar dari kemarahan Sayyidah Fathimah bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah menurutnya tidak berkonsekuensi apa-apa bagi Abu Bakar bahkan menurutnya Sayyidah Fathimah telah tersilap atas sikap marahnya. Salafy yang bermental nashibi itu mau mementahkan hadis “kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahan Nabi”. Bagaimana caranya? Ia berusaha membawakan riwayat bahwa Nabi pun pernah marah kepada Ahlul Bait. Inti dari Syubhat-nya kalau Abu Bakar mau dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah maka Ahlul Bait juga pantas dicela atas kemarahan Nabi. Kalau ahlul bait tidak layak dicela atas kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Abu Bakar pun tidak layak dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah.

حدثنا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني علي بن الحسين: أن الحسين بن علي أخبره: أن علي بن أبي طالب أخبره: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Al-Husain : Bahwasannya Al-Husain bin ‘Aliy pernah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi dan membangunkannya dan Faathimah di satu malam, lalu bersabda : “Tidakkah kalian berdua akan shalat (tahajjud) ?”. Lalu aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami”. Maka beliau berpaling ketika kami mengatakan hal itu dan tidak kembali lagi. Kemudian kami mendengar beliau membaca firman Allah sambil memukul pahanya : ‘Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah’ (QS. Al-Kahfi : 54)” [Shahih Bukhaariy no. 1127. Lihat juga no. 4724 & 7347 & 7465].
Nashibi itu membawakan riwayat di atas dan sebelumnya ia berkata “Nah, sekarang saya ajak Pembaca sekalian untuk menyaksikan pengakuan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah marah dan menghardik dirinya”.
Perhatikan kata-kata yang ia ucapkan bahwa Ali [radiallahu ‘anhu] mengaku Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah dan menghardik dirinya. Kemudian lihat kembali riwayat di atas dan silakan dicek para pembaca “adakah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik Ali bin Abi Thalib?”. Tidak ada, itu cuma khayalan atau persepsinya yang lahir dari mental nashibi dan kebencian terhadap orang yang ia tuduh Syiah.
Siapa yang dihardik oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam riwayat di atas?. Kalau ia tidak mampu memahami riwayat tersebut maka kami bisa memberikan bantuan untuk memahaminya. Tentu kami memaklumi keterbatasan dirinya dalam memahami riwayat yang berkaitan dengan ahlul bait. Riwayat di atas menyebutkan peristiwa dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengajak Sayyidah Fathimah dan Imam Ali untuk shalat malam. Imam Ali menjawab “Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami”. Jawaban ini tidak disukai oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga Beliau langsung pergi dan mengutip ayat“manusia ada makhluk yang paling banyak membantah”.
Sekarang kita tanya pada salafy nashibi itu, adakah pelanggaran Syariat disini yang menurut nashibi itu telah membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik ahlul bait. Tidak ada, ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kekecewaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah karena pada saat itu jawaban Imam Ali terkesan enggan melakukan shalat malam yang memang bukan perkara yang diwajibkan. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan Ahlul Bait-nya agar bersegera dalam beribadah baik itu yang diwajibkan atau tidak. Kami tidak menolak riwayat ini tetapi kami yakin setelah Imam Ali mendengar jawaban Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menyiratkan ketidaksukaan dan kekecewaan maka Imam Ali dan Sayyidah Fathimah bersegera melakukan ibadah shalat malam seperti yang dianjurkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Silakan lihat, kami tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menerima riwayat tersebut. Kami juga tidak perlu membuat pembelaan ngawur dan mengait-ngaitkannya dengan kasus Abu Bakar. Apa mau nashibi itu dengan mengutip riwayat ini dan mengaitkannya dengan kasus Abu Bakar?. Apa yang ia inginkan dengan menunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah kepada Ahlul Bait?.
Kami mengakui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah tidak suka, kecewa atau marah terhadap Ahlul Bait. Terdapat riwayat yang menyebutkan soal itu dan dalam riwayat tersebut juga dijelaskan kalau Ahlul Bait bersegera dalam mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ahlul Bait menjadikan kemarahan atau ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu sebagai hujjah sehingga mereka bersegera meninggalkan perkara yang tidak disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan Abu Bakar yang berkeras pada pendiriannya sehingga Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengannya sampai Beliau wafat.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ أَنَّ جَدَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا أَسْمَاءَ حَدَّثَهُ أَنَّ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَةَ هُبَيْرَةَ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهَا خَوَاتِيمُ مِنْ ذَهَبٍ يُقَالُ لَهَا الْفَتَخُ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَعُ يَدَهَا بِعُصَيَّةٍ مَعَهُ يَقُولُ لَهَا يَسُرُّكِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ فِي يَدِكِ خَوَاتِيمَ مِنْ نَارٍ فَأَتَتْ فَاطِمَةَ فَشَكَتْ إِلَيْهَا مَا صَنَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَانْطَلَقْتُ أَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ خَلْفَ الْبَابِ وَكَانَ إِذَا اسْتَأْذَنَ قَامَ خَلْفَ الْبَابِ قَالَ فَقَالَتْ لَهَا فَاطِمَةُ انْظُرِي إِلَى هَذِهِ السِّلْسِلَةِ الَّتِي أَهْدَاهَا إِلَيَّ أَبُو حَسَنٍ قَالَ وَفِي يَدِهَا سِلْسِلَةٌ مِنْ ذَهَبٍ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا فَاطِمَةُ بِالْعَدْلِ أَنْ يَقُولَ النَّاسُ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَفِي يَدِكِ سِلْسِلَةٌ مِنْ نَارٍ ثُمَّ عَذَمَهَا عَذْمًا شَدِيدًا ثُمَّ خَرَجَ وَلَمْ يَقْعُدْ فَأَمَرَتْ بِالسِّلْسِلَةِ فَبِيعَتْ فَاشْتَرَتْ بِثَمَنِهَا عَبْدًا فَأَعْتَقَتْهُ فَلَمَّا سَمِعَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّى فَاطِمَةَ مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku Zaid bin Salaam : Bahwasannya kakeknya pernah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Abu Asmaa’ pernah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Tsaubaan maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan kepadanya : “Anak perempuan Hubairah pernah bertamu ke kediaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan di tangannya ada cincin-cincin emas bernama Al-Fatah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memukul-mukulkan tongkat kecil ke tangannya, dan bersabda kepadanya : “Apakah engkau senang jika Allah mengenakan cincin-cincin dari api neraka ke tanganmu?”. Anak perempuan Hubairah itu lalu mendatangi Fathimah dan mengadukan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Tsaubaan berkata : Aku dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beranjak, lalu beliau berdiri di balik pintu. Dan kebiasaan beliau bila meminta ijin masuk (rumah), beliau berdiri di balik pintu. Lalu Faathimah berkata kepada anak perempuan Hubairah : “Lihatlah kalung ini yang dihadiahkan Abu Hasan (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) kepadaku”. Saat kalung emas itu ada di tangan Faathimah, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuinya dan bersabda : “Wahai Fathimah ! Demi tegaknya keadilan, (senangkah engkau) seandainya orang-orang berkata : ‘Faathimah binti Muhammad mengenakan kalung dari api neraka ?”. Lalu beliau mencela Faathimah dengan keras, setelah itu beliau pergi dan tidak duduk. Kemudian Faathimah memerintahkan agar kalung itu dijual, kemudian harganya dibelikan budak kemudian dimerdekakan. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu, beliau bertakbir dan bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka” [Musnad Ahmad 5/278 no 22451 dengan sanad yang shahih].
Riwayat di atas juga pernah dikutip oleh salafy nashibi itu dan ia berkata “Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits ini adalah bahwa Faathimah binti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pribadi maksum. Ia bisa berbuat keliru, karena barangkali ia belum mengetahui larangan tersebut dari ayahnya shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Kami sendiri tidak pernah menyatakan Sayyidah Fathimah maksum seperti yang disinggung nashibi ini. Pandangan kami soal Ahlul Bait adalah mereka adalah pegangan dalam Syariat sebagai salah satu tsaqalain yang harus dipegang teguh sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perkara berbagai riwayat yang menunjukkan ketidaktahuan ahlul bait atau mereka pernah salah dan diingatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu tidak menafikan fakta bahwa pada akhirnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan jaminan bahwa mereka adalah pegangan umat islam agar tidak tersesat.
Berbicara soal konsep maksum, mari kita tanya nashibi itu apakah Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] pernah salah dan lupa? adakah contoh riwayat Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] pernah salah dan lupa?. Kalau menurut nashibi itu ada maka kami tanya lagi apakah itu berarti Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak maksum?. Sepertinya nashibi sendiri mengalami inkonsistensi dalam menyatakan kemaksuman Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Mereka mengatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] bisa salah dan lupa tetapi mereka tetap menyatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] maksum.
Ia juga berkata : Selain itu, dapat kita ketahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah karena melihat adanya pelanggaran syari’at. Tidaklah ia mengecam dengan keras dan mengancam dengan api neraka jika perbuatan itu bukan satu larangan dalam syari’at.
Kalau begitu kami tanya wahai nashibi, mana pelanggaran syariat yang anda maksud. Apakah seorang wanita memakai perhiasan emas adalah pelanggaran syariat dalam islam?. Kami pribadi tidak melihat ada pelanggaran syariat disitu tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] khawatir bahwa hal-hal yang duniawi seperti itu dapat melalaikan pemakainya sehingga terjatuh dalam api neraka. Apalagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan agar Ahlul bait-nya hidup dalam keadaan zuhud. Inilah yang tampak dalam ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimanakah sikap Sayyidah Fathimah terhadap hal ini?. Lihat baik-baik ternyata Sayyidah Fathimah bersegera melepaskan kalung emas tersebut karena hal itu membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak suka. Kami jelas berbeda dengan salafy yang bermental nashibi, ia mengira duduk persoalannya adalah wanita dilarang atau diharamkan memakai perhiasan emas dan Sayyidah Fathimah tidak tahu akan hal itu. Sehingga ketika Sayyidah Fathimah memakai kalung emas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjadi marah. Jadi intinya salafy itu menuduh Imam Ali memberikan barang haram kepada Sayyidah Fathimah dan sayyidah Fathimah memakai barang haram tersebut. silakan pembaca lihat betapa kejinya tuduhan nashibi kepada Ahlul bait
Lucunya salafy ini tidak membaca bahwa dalam riwayat di atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pergi tanpa mencabut kalung tersebut dari Sayyidah Fathimah. Kalau memang hal itu diharamkan maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan segera mencabutnya. Tidak terpikirkan oleh kami Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pergi dan membiarkan Sayyidah Fathimah memakai kalung emas yang diharamkan.
Salafy berkata : Keridlaan Faathimah tidak membuat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kendur, karena syari’at tidaklah diukur dari keridlaan ataupun kemarahan seseorang selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syari’atlah yang menjadi tolok ukur dalam menghukumi sesuatu.
Lha salafy ini tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Kalau ia bisa berkata Syariat tidak diukur dari keridhaan ataupun kemarahan seseorang selain Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah syariat. Riwayat di atas justru menunjukkan bagaimana Ahlul Bait bersegera meninggalkan apa yang tidak disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun itu termasuk perkara yang dibolehkan.
Bukankah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mengatakan kalau kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahannya. Apa yang membuat Sayyidah Fathimah marah maka membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah, itulah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah syariat. Jadi kemarahan Sayyidah Fathimah adalah hujjah sebagaimana halnya kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seharusnya sikap Abu Bakar setelah menyaksikan kemarahan Sayyidah Fathimah maka ia merujuk sikap dan pernyataannya kemudian membenarkan Sayyidah Fathimah karena kemarahannya adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah Ahlul Bait ketika mereka melihat ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka bersegera meninggalkan perkara tersebut walaupun perkara tersebut dibolehkan. Tidak ada satupun diantara mereka yang berkata “memakai perhiasan emas bagi wanita itu halal” [walaupun Nabi memang menghalalkannya].
Fakta riwayat menunjukkan Abu Bakar malah berkeras pada hadis yang ia riwayatkan sehingga Sayyidah Fathimah marah kepadanya sampai Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Kalau hadis tersebut benar maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah menunjukkan kemarahannya, Beliau akan berpegang pada hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Kemarahannya menunjukkan bahwa ia menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar.
Jika ahlul bait dan sahabat bertentangan dalam masalah Syariat maka kami berpegang pada Ahlul Bait. Abu Bakar boleh saja mengaku ia meriwayatkan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Sayyidah Fathimah adalah ahlul bait yang menjadi pegangan bagi umat termasuk Abu Bakar, Sayyidah Fathimah adalah orang yang kemarahannya adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sayyidah Fathimah adalah orang yang paling tahu dalam masalah ini dibanding Abu Bakar.
Salafy nashibi bersikeras membela Abu Bakar bahwa hadis Abu Bakar benar kalau begitu maka konsekuensinya salafy nashibi menuduh Sayyidah Fathimah mendustakan hadis shahih [kami berlindung kepada Allah SWT dari tuduhan seperti ni]. Lha apa lagi artinya Sayyidah Fathimah marah sampai beliau wafat kepada Abu Bakar [padahal Abu Bakar hanya menyampaikan hadis tersebut] selain Sayyidah Fathimah mendustakan hadis yang dibawa Abu Bakar. Kan tidak masuk akal Sayyidah Fathimah menerima hadis tersebut tetapi marah sampai Beliau wafat. Akankah salafy nashibi menjawab dilema yang mereka hadapi? Jangan-jangan mereka malah tidak paham dilema yang kami sampaikan. Yah akal yang kerdil dan kebencian kepada ahlul bait memang sudah jadi penyakit lama kaum nashibi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar