Laman

Kamis, 02 Februari 2012

Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]



Ibnu Abbas dan Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]
Berkaitan dengan tulisan sebelumnya dengan judul yang sama, kami membaca tanggapan seorang salafy yang menurut kami tidak valid. Seperti yang pernah kami kemukakan dalam tulisan tersebut “Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah”kami tidak membahas tentang halal atau tidak-nya mut’ah tetapi membahas sikap Ibnu Abbas yang musykil terkait dengan nikah mut’ah.




Pada intinya terdapat riwayat yang menyatakan Ibnu Abbas telah mendengar teguran Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi anehnya setelah itu Ibnu Abbas tetap saja menghalalkan mut’ah. Maka disini terdapat tiga kemungkinan yang kami katakan sebelumnya
  • Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
  • Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
  • Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
.
.
Salafy yang kebingungan mencoba menjawab ketiga kemungkinan di atas dengan jawaban yang tidak valid dan seperti biasa tampak seperti dalih yang dicari-cari. Mengenai kemungkinan pertama ia berkata
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah benar, karena terbukti shahih. Adalah mengigau perkataan sebagian orang Syi’ah lain yang mengatakan hadits tersebut palsu saat ia merasa kebingungan dengan logika bingung yang disampaikan rekannya di atas.
Kami Jawab : perkataan yang ia maksud hadis Imam Ali benar adalah benar atau shahih dari segi sanadnya. Hadis tersebut secara sanad memang shahih. Tetapi yang jadi fokus dalam kemungkinan ini adalah matannya, matannya itu mengandung kemusykilan karena disini terdapat indikasi kalau Ibnu Abbas menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Imam Ali. Jika kita berasumsi Ibnu Abbas mustahil mendustakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kemungkinannya hadis Imam Ali itu tidak benar atau dengan kata lain hadis Imam Ali menegur Ibnu Abbas itu tidak shahih secara matan, inilah maksud dari kemungkinan ini. Bisa pembaca lihat perkataan salafy “terbukti shahih” hanya menunjukkan ia tidak mengerti kemungkinan yang kami katakan. Seolah-olah menurutnya hadis yang bersanad shahih sudah pasti benar dan tidak mungkin keliru. Padahal jika ia rajin membaca, ia dapat melihat berbagai hadis yang sanadnya shahih ternyata matannya tidak shahih [tergantung qarinah yang menentang matan tersebut].
.
.
Mengenai kemungkinan kedua dan ketiga salafy itu memberikan jawaban yang aneh yaitu
Ibnu ‘Abbaas tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya.
Kami jawab : Kalau salafy itu ingin mengatakan Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Imam Ali, maka bukankah itu berarti baik Ibnu Abbas dan Imam Ali sama-sama berpegang kepada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi secara simple baik pendapat yang menghalalkan mut’ah dan yang mengharamkan mut’ah itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau dikatakan Ibnu Abbas berpegang pada hadis marfu’ yang ia miliki dan menolak hadis marfu’ Imam Ali, bukankah ini menunjukkan Ibnu Abbas tidak menganggap Imam Ali bisa dipercaya dalam hadis tersebut, kalau ia menganggap Imam Ali bisa dipercaya soal hadis tersebut maka ia akan menerima bahwa mut’ah telah diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Khaibar.
Perlu diketahui pendapat Ibnu Abbas ini ternyata diikuti oleh sebagian besar sahabat, salah satu dalilnya adalah hadis Jabir dimana ia mengatakan kalau “kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar dan Umar”. Lafaz “kami” yang diucapkan Jabir merujuk pada sebagian besar sahabat Nabi [sebagaimana yang dikenal dalam Ulumul hadis].
Jadi penolakan Ibnu ‘Abbaas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat sama dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.
Baru beberapa saat yang lalu ia mengatakan kalau Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] anehnya sekarang ia mengatakan Ibnu Abbas mengalami syubhat. Ucapan ini hanya “omong-kosong”, tidak ada satupun pernyataan atau petunjuk Ibnu Abbas mengalami syubhat. Telah ternukil banyak perkataan Ibnu Abbas yang menyatakan dengan tegas akan halalnya mut’ah. Jadi dimana syubhat yang salafy itu katakan. Dan perkataan paling aneh adalah soal “ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Siapa yang ia katakan tidak tahu? Ibnu Abbas kah, bukankah Imam Ali telah menyampaikan hadisnya. Sahabat lain mana yang ia maksud, Apakah Jabir bin Abdullah dan sebagian besar sahabat yang bermut’ah di zaman Abu Bakar dan Umar?. Apakah mereka tidak ikut di Khaibar sehingga mereka tidak tahu hadis tersebut. Bukankah Jabir juga meriwayatkan hadis larangan memakan daging keledai di Khaibar, ini berarti Jabir ikut dalam perang Khaibar tetapi mengapa ia tidak tahu hadis pelarangan mut’ah di Khaibar malah tetap menghalalkan mut’ah?.
Soal hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah, apakah Imam Ali tidak ikut dalam Fathul Makkah?. Apakah Imam Ali tidak tahu kalau mut’ah telah dibolehkan saat Fathul Makkah?. Artinya pelarangan di Khaibar itu sudah dihapus oleh kebolehan di Fathul Makkah. Bukankah mengingatkan atau menegur seseorang dengan hadis yang sudah dihapus adalah keliru, Kalau memang Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas maka hadis yang seharusnya disebutkan adalah hadis pengharaman di Fathul Makkah bukan di Khaibar. Apakah Imam Ali tidak bisa memahami hal sederhana seperti itu?. Bukankah Jabir dan sebagian besar sahabat lainnya juga ikut dalam Fathul Makkah, lantas mengapa mereka tidak tahu hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah padahal kalau menurut hadis Fathul Makkah, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah di hadapan banyak orang [para sahabat] pada saat Fathul Makkah.
.
.
Adakah salafy mengerti kemusykilan-kemusykilan ini?. Tidak ada, matanya hanya terbentur pada kata mut’ah haram atau mut’ah dilarang, tanpa ia memikirkan bagaimana kaitannya hadis tersebut dengan hadis lain. Tidak jarang ia berhujjah dengan hadis yang ternyata memiliki pertentangan satu sama lain dan ia mencari takwil untuk mendamaikan pertentangan yang dimaksud [seperti biasa takwil kuno yang turun temurun diwariskan]. Kami akan sedikit menyinggung contoh yang ia sebutkan yaitu soal hadis larangan mut’ah pada tahun Al Fath dan pada tahun Authas. Salafy itu mengatakan Tahun Al Fath dan Tahun Authaas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah membolehkan mut’ah selama tiga hari adalah tahun yang sama, jadi keduanya bisa dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan.
Kami jawab : ini adalah takwil kuno yang lemah. Lafaz yang digunakan dalam hadis itu adalah ‘Aama Al Fath dan ‘Aama Authas yang diartikannya Tahun Al Fath danTahun Authaas. Maksud Al Fath disana adalah merujuk pada peristiwa Fathul Makkah yang terjadi pada tahun 8 H. Jika seorang sahabat membawakan hadis dengan menggunakan lafaz ‘Aama Al Fath maka itu menunjukkan kalau peristiwa yang dimakud terjadi saat Fathul Makkah, bukannya peristiwa itu bisa terjadi di saat kapan saja pada tahun 8 H. Begitu pula jika sahabat membawakan hadis dengan lafaz‘Aama Authaas maka maksud sahabat itu adalah peristiwa itu terjadi saat perang Authaas, memang perang Authaas terjadi pada tahun 8 H tetapi bukan berarti lafaz ‘Aama Authas menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di bulan apa saja pada tahun 8 H.  Peristiwa Fathul Makkah dan peristiwa Perang Authaas terjadi pada saat yang berbeda  dan tempat yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Perang Authaas terjadi setelah Fathul Makkah. Jika salafy mengklaim kalau mut’ah telah diharamkan selama-lamanya di Fathul Makkah maka mengapa pula pada saat perang Authaas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkannya selama tiga hari.
Kalau salafy itu ingin mengatakan bahwa lafaz ‘Aama Authas yang diucapkan sahabat adalah perstiwa Fathul Makkah, maka alangkah anehnya sahabat itu menyebut peristiwa saat Fathul Makkah dengan lafaz ‘Aama Authaas padahal saat Fathul Makkah belum terjadi perang Authaas. Perlu diketahui Hadis Imam Ali soal larangan mut’ah di Khaibar juga  ada yang menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ حُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan hasan putra Muhammad bin Ali dari Ayah keduanya dari Ali radiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah pada tahun Khaibar dan melarang makan daging keledai [Shahih Bukhari 7/95 no 5523]
Hadis Imam Ali di atas menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar untuk menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di Khaibar. Apakah karena perang Khaibar terjadi pada tahun 7 H maka dikatakan kalau peristiwa itu bisa saja terjadi pada bulan mana saja pada tahun 7 H?. Misalnya peristiwa itu terjadi pada bulan lain bukan saat perang Khaibar tetapi tetap pada tahun 7 H, apakah para sahabat akan mengatakan dengan lafaz‘Aama Khaibar? Hanya orang aneh yang tidak mengerti bahasa arab yang akan mengiyakannya. Nah faktanya begitulah yang ditunjukkan salafy, jika kepepet ia akan berpura-pura tidak mengerti bahasa arab yang penting ia mendapatkan dalih untuk membela pendapatnya. Suatu peristiwa yang ditunjukkan dengan lafaz ‘Aama Khaibar maka peristiwa itu terjadi saat perang Khaibar begitu pula jika lafaz yang digunakan ‘Aama Fath dan ‘Aama Authas berarti peristiwa itu terjadi saat Fathul Makkah dan saat perang Authas. Setting tempatnya berbeda [Fathul Makkah dan Authas], waktunya juga berbeda maka peristiwa yang dimaksud adalah dua peristiwa yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Belum lagi ditambah dengan adanya hadis shahih bahwa mut’ah diizinkan saat Haji Wada kemudian diharamkan. Padahal Haji Wada itu terjadi setelah Fathul Makkah dan perang Authas. Banyak sekali kemusykilan yang perlu diselesaikan mengenai hadis-hadis mut’ah.
.
.
Perkara seperti ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’iy, atau para ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga hal. Perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri). Masalah ru’yatullah saat Mi’raj. Dan yang lainnya masih banyak. Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus-Sunnah yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan dieksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada. Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah pribadi sempurnah yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbaas dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Kami jawab : kalimat demi kalimat yang disampaikan salafy itu tidak berkaitan langsung dengan kasus yang kami tunjukkan dimana Imam Ali menyampaikan hadis langsung kepada Ibnu Abbas. Perkara perselisihan sebagian sahabat memang sering terjadi dan itu disebabkan perbedaan hadis yang sampai kepada mereka. Perhatikan pada kata hadis yang sampai pada mereka. Jika telah sampai hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun itu dari sahabat lain, para sahabat tetap akan mengambil hadis shahih tersebut dan meninggalkan pendapat mereka.  Dan kalau mereka tidak mengetahui suatu hadis shahih kemudian sahabat lain menyampaikan hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] maka mereka akan menerimanya. Tentu lain ceritanya kalau mau dikatakan sahabat yang dimaksud tidak dipercaya oleh sahabat lain maka ada kemungkinan sahabat yang dimaksud belum bisa menerima keshahihan hadis yang disampaikan sahabat lain tersebut.
.
.
Salafy itu sebenarnya tahu kemusykilan sikap Ibnu Abbas sehingga pada akhirnya ia mau menyatakan kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari pandangannya dengan membawakan atsar dari Mustakhraj Abu Awanah

قال يونس قال ابن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز ، وأنا جالس أنه ، قال ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Kami jawab : Tidak ada masalah sebenarnya dengan hadis riwayat Abu Awanah di atas, hanya saja salafy yang dimaksud melakukan kesalahan dalam menerjemahkannya. Hadis di atas adalah penggalan dari hadis berikut

قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk, ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini” [Mustakhraj Abu Awanah no 4057].
Jadi hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalahhadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bukan hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ibnu Abbas karena tidak dikenal Rabi’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Perkataan terakhir soal Ibnu Abbas adalah perkataan Az Zuhri [Ibnu Syihab] bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah seperti menurut terjemahan salafy itu. Ibnu Hajar berkata

وأخرج البيهقي من طريق الزهري قال ما مات بن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا وذكره أبو عوانة في صحيحه أيضا

Dan dikeluarkan Al Baihaqi dari jalan Az Zuhri yang berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”  dan disebutkan pula oleh Abu Awanah dalam Shahihnya [Talkhis Al Habiir 3/158 no 1506]
Jelas seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kalau perkataan soal ruju’nya Ibnu Abbas adalah perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Riwayat Abu Awanah ini adalah satu kesatuan dengan riwayat perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dalam Shahih Muslim sebelumnya dengan sanad dari Yunus dari Ibnu Syihab, kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri juga membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dan ia [Az Zuhri] memberikan komentar akhir kalau Ibnu Abbas telah menarik fatwanya. Jadi pernyataan ruju’nya Ibnu Abbas adalah pendapat Az Zuhri semata yang tidak shahih sanadnya kepada Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah, menegaskan tentang Ayat Al Qur’an yang menghalalkan mut’ah kemudian mengkritik Umar dimana Ibnu Abbas yang menyatakan seandainya mut’ah tidak dilarang Umar maka tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka. Ditambah lagi dengan fakta bahwa beberapa sahabat dan murid Ibnu Abbas seperti Atha’ dan Sa’id bin Jubair juga menghalalkan mut’ah. Jadi kabar ruju’nya Ibnu Abbas dari fatwanya itu kabar yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
.
.
Tambahan
Kami melihat bantahan lanjutan dari salafy tersebut. Sungguh tidak bisa dimengerti orang yang sudah biasa bergelut dalam ilmu hadis masih saja serampangan dalam membantah ketika telah jelas ditunjukkan kekeliruannya. Sekali lagi mari kami perjelas, lihat baik-baik terjemahan salafy itu
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Yang kami katakan sebagai kesalahan penerjemahan adalah pada kata yang kami cetak tebal. Ia disana adalah Ibnu Syihab Az Zuhriy. Jadi disini maksudnya Yunus berkata kalau ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Perkataan tentang Ibnu Abbas ini bukanlah hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana Ibnu Syihab saat itu sedang duduk. Yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ dari ayahnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] melarangnya.
Terdapat bukti yang jelas akan hal ini kalau saja salafy itu menelitinya terlebih dahulu bukannya sibuk membantah orang. Abu Awanah bukan satu-satunya yang meriwayatkan hadis ini. Seperti yang kami katakan sebelumnya hadis Abu Awanah no 4057 adalah gabungan hadis yang awalnya menceritakan perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim. Selain Abu Awanah, hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi. Perhatikan ketiga riwayat mereka
Riwayat Abu Awanah

حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا : أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب ، قال : حدثني عروة بن الزبير ، أن عبد الله بن الزبير ، قام بمكة ، فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم ، يفتون بالمتعة ، يعرض بابن عباس ، قال محمد بن يحيى : برجل ، وقال غيره : ابن عباس ، فناداه ابن عباس : إنك جلف جاف ، فلعمري لقد كانت المتعة تعمل في عهد إمام المتقين ، يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال له ابن الزبير : فجرب بنفسك ، فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك ، قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند ابن عباس جاءه رجل  فاستفتاه في المتعة ، فأمره ابن عباس بها ، فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري : مهلا يا ابن عباس قال ابن عباس : أما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين ، قال ابن أبي عمرة : يا أبا عباس إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها ، كالميتة ، والدم ، ولحم الخنزير ، ثم أحكم الله الدين ، ونهى عنها  قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس كان يفتي بها ، ويغمص ذلك عليه أهل العلم فأبى ابن عباس أن ينتقل عن ذلك ، حتى طفق بعض الشعراء يقول : يا صاح هل لك في فتيا ابن عباس ؟ هل لك في ناعم خود مبتلة تكون مثواك حتى يصدر الناس ؟ قال : فازداد أهل العلم لها قذرا ، ولها بغضا حين قيل فيها الأشعار قال يونس : قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعةقال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالسأنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Riwayat Muslim dalam Shahih Muslim 2/1023 no 1406

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال  إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها
قال ابن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس

Riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi 7/205 no 13942

وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنبأ أبو علي الحسين بن علي الحافظ أنبأ محمد بن الحسن بن قتيبة ثنا حرملة بن يحيى أنبأ بن وهب أخبرني يونس قال قال بن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة ويعرض بالرجل فناداه فقال إنك جلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل في عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك قال بن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فقال له بن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال بن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن يضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها قال بن شهاب وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Perhatikan baik-baik, pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Abu Awanah terjemahannya adalah sebagai berikut
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.
Pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Muslim terjemahannya adalah sebagai berikut
 Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk
Dan begitu pula pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Baihaqi, terjemahannya sebagai berikut
Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk
Dari ketiga riwayat di atas [Abu Awanah, Baihaqi dan Muslim] dapat diketahui kalau sebenarnya hadis yang diceritakan oleh Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu Ibnu Syihab Az Zuhri sedang duduk adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya sebelumnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] melarangnya. Sedangkan tambahan akhir pada riwayat Abu Awanah adalah perkataan Yunus kalau Ibnu Syihab Az Zuhri berkata“tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Hal ini bahkan telah jelas dinyatakan oleh Ibnu Hajar kalau itu adalah perkataan Az Zuhri.
Secara keseluruhan Ibnu Syihab Az Zuhri menceritakan hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang mut’ah dimana Ibnu Abbas menghalalkannya dan Ibnu Zubair mengharamkannya kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri mengutip hadis lain dimana Rabi’ bin Sabrah meriwayatkan dari ayahnya kalau mut’ah telah dilarang Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dimana hadis itu diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz ketika Ibnu Syihab Az Zuhri duduk bersamanya. Sebagai penutup Ibnu Syihab mengakhiri dengan perkataannya kalau Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwanya. Ini semua disampaikan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri kepada Yunus bin Yazid. Jadi terjemahan yang tepat untuk lafaz akhir Abu Awanah

قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالسأنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis [yaitu riwayat dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk. [Yunus berkata] Ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”.
Dengan merujuk pada riwayat Muslim dan Baihaqi maka perkataan Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk adalah terikat dengan perkataan sebelumnya dan hadis yang dimaksud adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya tentang larangan mut’ah. Sedangkan lafaz annahu qalaa : tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya tidak terkait dengan hadis Rabi’ bin Sabrah, lafaz ini adalah lafaz Yunus bin Yazid dan hu dalam kata annahumerujuk pada Ibnu Syihab Az Zuhri. Ingat riwayat Muslim dan Baihaqi berhenti pada kata wa ana jalis kalau perkataan tentang Ibnu Abbas adalah hadis Ibnu Sabrah maka bagaimana menjelaskan hadis riwayat Muslim dan Baihaqi yang terpotong pada kata wa ana jalis. Apalagi dalam Talkhis Al Habir Ibnu Hajar telah menyebutkan kalau perkataan tentang Ibnu Abbas itu adalah perkataan Az Zuhri.
Nah bukti-bukti telah ditunjukkan, kalau Salafy itu masih berkeras kepala ya silakan saja. Bukankah salah satu bentuk kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain?. Agak sedikit aneh, biasanya salafy itu memiliki metode mengumpulkan riwayat yang sama dari berbagai sumber baru kemudian menarik kesimpulan walaupun kami juga harus mengakui bahwa ini bukan pertama kalinya salafy itu melakukan kesalahan penerjemahan karena lalai memperhatikan hadis yang sama dari kitab lain. Mungkin pembaca masih ingat dengan diskusi kami dengannya soal hadis Ibnu Zubair yang ia kira sebagai hadis Sa’id bin Al ‘Ash, itu kesalahan penerjemahan karena tidak memperhatikan hadis yang sama dalam kitab-kitab lain.
.
.

Bagaimana? Bukankah jelas tidak ada satupun penjelasan salafy itu yang memuaskan. Ia hanya sibuk dengan usahanya mengharamkan mut’ah dengan dalil-dalil yang sudah sangat dikenal [baik yang pro dan yang kontra]. Kalau cuma sibuk membawakan dalil, maka baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan sama-sama memiliki dalil. Yang harusnya dibahas panjang lebar adalah bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan yang tampak dari berbagai dalil tersebut kalau cuma mengulang apologi dan dalih kuno yang ternyata masih banyak lubangnya maka apalah gunanya. Apalagi berbasa-basi menyindir kalau hadis Imam Ali itu keliru maka Imam Ali kalah alim dari Ibnu Abbas? Lha apa salafy itu gak berpikir dengan benar, dengan logika salafy itu kalau hadis Imam Ali benar apakah Imam Ali itu juga kalah alim dari Sabrah? karena hadis larangan di Khaibar sudah dihapuskan dengan kebolehan di Fathul Makkah.
Dan sindiran lain salafy itu, seandainya riwayat Imam Ali palsu atau tidak ada. Kira-kira apa sikap yang seharusnya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah ?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Kok salafy ini tidak bisa berpikir dengan baik, kenapa ia tidak berpikir kira-kira apa sikap seharusnya ada pada diri Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nikah mut’ah?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. Riwayatnya sudah jelas ada, eh salafy itu malah memakai bahasa sindiran yang seharusnya menyindir dirinya sendiri. Apa ia mampu menjawab sikap Ibnu Abbas? Harusnya bagaimana?. Begitulah akibatnya kalau membantah dahulu berpikir kemudian walhasil bantahannya gak kena malah berbalik menjadi boomerang. Salam Damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar