Laman

Senin, 02 Juli 2012

Penciptaan Nabi Adam as Dalam Kacamata Filsafat:


Penciptaan Nabi Adam as Dalam Kacamata Filsafat:

Soal:
Sdh menjadi ketetapan Tuhan untuk menjadikan manusia sbgai khalifah di bumi. Dan, sepengetahuan saya,nabi Adam as adalah golongan hamba yang mukhlas (maksum) yang tak pernah melanggar syari'at dan tak tersentuh sdktpun oleh iblis.
Nah, bukankah pelanggaran nabi Adam as atas perintah untuk tidak menyentuh buah "Khuldi" telah menyalahi syari'at, dan juga dalam kalamullah dituliskan pelanggaran itu atas bisikan iblis. Ini berarti telah membatalkan ke-mukhlas-annya.
Mengenai ketetapan Tuhan, apakah ketetapan-Nya untuk menjadikan nabi Adam as sebagai khalifah di bumi ini atas pengetahuan-Nya bahwa nabi Adam as akan melanggar perintah-Nya?
jawab:

(1) Pengetahuan ini tdk terlalu penting untuk diketahui. Konsen kita mesti kepada akidah dan fikih sebagai aplikasinya. Karena dua hal inilah yg paling inti dan melandasi apakah kita masuk surga atau neraka. Kalau kita mau membingungkan banyak hal yg tdk inti, maka saya takut hal itu datang dari pengganggu pikiran kita supaya konsen kita melenceng ke tempat yg tidak seharusnya, atau ke tempat yg tidak afdhal. Dan ketahuilah bahwa banyak sekali yg kita tidak tahu, seperti jin dan sebagainya. Nah, kalau kita terlalu terganggu dengan semua itu, maka kita akan meninggalkan dua asas penting kehidupan tersebut. Jadi barhati-hatilah dalam hidup yang cuma sekali ini. Jadi, kalaulah masih ada juga pertanyaan dan pencarian kepada yang tidak terlalu afdhal itu, maka janganlah sampai merusak konsentrasi kita dalam keduanya itu.
msh panjang uraiannya ini lho kakak

(2) Dalam jawaban ini, bagi statemen yang memerlukan mukaddimah, tapi yang sudah dibahas di catatan2 lainnya, maka saya tidak akan mengurai lagi dalil-dalinya, dan akan mencukupkan dengan memberikan isyarat kepada perujukannya saja.

(3) Sesuai dengan rincian yang ada di “Pokok2 dan Ringkasan Ajaran Syi'ah” dan lebih tepatnya di “Wahdatul Wujud”, telah dibahas tentang 3 tingkatan alam: (a) Alam-Akal (dari Akal-satu s/d Akal-Akhir). (b) Alam-Barzakh (tengah antara Alam-Akal dan Alam-Materi yang juga disebut dengan “Para Malaikat Pengatur”. (c) Alam-Materi.

(4) Alam-Akal juga disebut dengan Jabarud, Surga Muqarrabin, Malaikat-Tinggi atau 'Aliin. Dan Akal-Akhir juga disebut dengan “Kitab Terjaga” atau “al-Lauhu al-Mahfuzh” (bc: Ilmu Tuhan, bkn penentuan terhadap nasib manusia, lihat Pokok2 dan Ringkasan Ajaran Syi'ah bag:2 tentang ke-Adilan Tuhan).
Barzakh juga disebut dengan Malakut, Khayal (bkn khayalan manusia), Mitsal, Kitab Qada dan Qadar (bc: Ilmu Tuhan yang masih bisa berubah, bukan penentuan nasib yang bisa berubah, lihat Pokok2 dan Ringkasan Ajaran Syi'ah bag: 2 tentang ke-Adilan Tuhan). Sedang Alam-Materi juga disebut dengan Nasut, Gerak, Jaman, Proses...dst.

(5) Letak surga-neraka dalam Filsafat dan Irfan, ada di Alam-Barzakh atau Alam-Tengah itu. Neraka adalah maqam terdekat dengan materi dan surga di atas maqam surga dan lebih jauh dari maqam materi.
(6) Ketiga alam itu, satu sama lainnya, terkait dengan sistem sebab akibat, dimana yang atas menyebabkan yang di bawahnya dalam wujud dan keberadaan. Jadi yang atas menjadi tangan Tuhan untuk mewujudkan yang dibawahnya, seperti mani untuk mewujudkan tubuh manusia.

(7) Karena yang atas yakni yang lebih dekat dengan Tuhan maqamnya (bukan tempat), adalah sebab bagi yang dibawah, maka yang dibawab sama sekali tidak akan bisa melepaskan diri darinya. Dan sudah tentu yang di atas akan menjadi semacam ruh dan asas bagi keberadaan yang dibawah. Jadi, sebagaimana badan manusia ada dalam keasasan mani yang telah menjadinya, maka alam atau wujud yang dibawah, ada dalam keasasan yang di atas tanpa bisa berpisah sedikitpun.

(8) Karena penciptaan Alam-Materi melalui Barzakhi, maka masing-masing esensi yang ada di Alam-Materi ini, memiliki sebab tersendiri di Alam-Barzakh. Karena esensi api tidak mungkin diakibatkan oleh esensi air, atau esensi apapun selainnya, karena antara sebab dan akibatnya harus memiliki kesejenisan dan kemiripan (karenanya biji padi tidak mungkin mengakibatkan pohon kelapa dan semacamnya).
Dengan demikian maka setiap esensi di Alam-Materi ini, memiliki esensi di Barzakh itu yang telah mewujudkannya dan mengeturnya. Yakni memiliki malaikat tersendiri di sana. Itulah yang dalam Filsafat dikenal dengan tuhan-Spesies, atau tuhan-Esensi (semuanya dengan “t” kecil), atau “Malaikat-Pengatur” atau “Mudabbiraati Amran” (QS: 79: 5)

(9) Karena Neraka adalah yang tidak menyenangkan bagi manusia, artinya yang tidak selaras atau tidak berkesesuaian dengan manusia, seperti api, nanah, bangkai.....dst, maka berarti Neraka itu adalah maqam capaian manusia dengan tidak bertauhidnya, tidak berfikihnya......dst dimana letak maqam tersebut di bagian paling bawah dari Alam-Barzakh manakala nanti kembali atau mati. Tentu saja yang mengatur mereka nanti adlaah tuhan-spesies dari masing-masing yang tidak menyenangkan itu yang, dalam istilah agama dikenal dengan “Malaikat-Neraka” atau “Malaikat-Penjaga-Neraka”.

Begitu pula tentang surga, yakni yang menyenangkan dan berkesesuaian dengan esensi manusia, maka surga juga merupakan tempat atau maqam yang akan dicapai oleh manusia karena tauhidnya, fikihnya ...dst dimana akan menempati di atas maqam neraka itu. Hal itu karena Surga maqam yang lebih jauh dari keterikatan dan kesukaan kepada dunia-fana dan kesukaan kepada kenikmatan-abadi. Karena itulah orang yang cinta dunia sulit memasuki surga.
Sebaliknya dengan neraka, karena ia adalah tempat yang ketidak manusiaan, ketidak langgengan dalam kenikmatan (bc: kenikmatan dunia)....dst, maka ianya lebih dekat dengan alam-materi. Karena itulah yang masuk ke neraka adalah orang-orang yang mencintai dunia.

(10) Pewujudan dari Alam-Materi yang memiliki ruh, dan semua materi memiliki ruh, maka dengan dua proses. (a) Proses materinya, seperti dari mani ke darah, ke daging, ke janin dan bayi. (b) Peniupan ruhnya ketika badaniahnya sudah siap menerimanya. Tentu saja peniupan di sini bukan seperti meniup balon. Karena peniupan di sini adalah non materi.

(11) Nabi Adam as dan siti Hawa as, dicipta Tuhan dari tanah. Berarti mereka as ada di bumi, bukan di surga. Jadi proses pemersiapan peniupan ruhnya itu alias pembentukan badaniahnya, adalah di bumi dengan tanah, bukan di surga yang non materi itu (barzakh tadi). Karena alam-Materi adalah Alam yang memiliki Matter, dan Barzakhi yang tidak memiliki matter atau material walaupun memilki bentuk-bentuk dan sifat-sifatnya (selain matter, bendawiyah atau volume/isi) seperti bentuk ular bagi esensi ular, panas dan bentuk api bagi esensi api ....dst. Jadi Barzakh adalah non materi, walau tidak murni seperti Alam-Akal.

(12) Ketika peniupan ruh oleh Tuhan melalui malaikatNya, dan ketika setiap esensi di Alam-Materi diatur oleh malaikat tersendiri sebagai tuhan atau pengatur spesiesnya itu, dan ketika manusia dengan akalnya merupakan makhluk materi termulia atau tertinggi kedudukannya, maka sudah tentu malaikat pengaturnya juga akan lebih tinggi dari malaikat-malaikat pengatur esensi yang lainnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa ia memiliki maqam di atas surga sekalipun. Oleh kerana itulah Insan Kamil, tidak pernah melirik surge,karena yang mereka idam-idamkan selalu adalah Allah yang milyarand derajat atau bahkan tidak-terbatas-derajat-ada di atas surga.

(13) Ketika tubuh nabi Adam as dan siti Hawa as sudah siap ditiupi ruh dari Allah melalui malaikat pengururnya (tuhan-spesiesnya) yang ada di atas surga itu, maka sudah tentu ruh mereka akan melewati surga tersebut.

(14) Karena keduanya as, adalah manusia pertama dan sudah tentu tidak memiliki guru dalam Alam-Materi nanti, maka sebelum mereka bangun dari tidur pertamanya itu, yakni ketika sudah ditiupkan ruh ke badan mereka dan mereka sudah mulai hidup dan bernafas, maka Tuhan memperlihatkan surga kepada mereka supaya tahu bahwa yang takwa akan memasukinya dan memperlihatkan syetan yang diketahui Tuhan akan memusuhinya kelak kalau sudah bangun. Maka terjadilah apa yg terjadi itu.

(15) Ketika syetan tidak mau sujud kepada nabi Adam as, maka syetan yang dari Jin itu yang karena hebatnya ibadahnya telah memiliki maqam surga dan malaikat surgawi itu, diusir dari surga yakni dari maqam surga, yakni makam Barzakhi yg di atas neraka. Tp syetan tetap memiliki posisi di Barzakh itu sebagai calon penghuninya nanti yang, sebelum kiamat masih disebut maqam atau posisi saja. Yakni belum bisa merasakannya sebelum qiamat tiba.

(16) Di lain pihak, nabi Adam as yg menempati surga sudah tentu ada di atas makam neraka dan di atas makam syetan.

(17) Akan tetapi, karena ruh manusia yang dalam hal ini adalah nabi Adam as adalah wujud non materi dan membentang secara bukan materi dari badaniahnya yang ada di bumi dan surga, maka ruh nabi Adam as tentu saja memiliki posisi neraka juga. Karena neraka ada di antara surga dan Alam-Materi sebagaimana maklum.

(18) Dalam buku-buku akhlak dan filsafat serta Irfan, telah dibuktikan bahwa ruh manusia memiliki 4 daya, tambang, nabati, hewani dan akli. Nah, posisi ke nerakaan ruh manusia itu adalah daya-hewaninya, dan surga adalah ruh-aklinya. Oleh karena itu yg mengumbar daya-hewaninya adalah orang-orang yang akan memasuki neraka.
Tapi yang mengekangnya sesuai perintah akalnya (bc: akal dan agama, karena akal bisa mengeri banyak hal dengan pasti, dan agama juga akan diterima manakala akal itu ada), maka ia akan menempati makam surga dan nanti setelah kiamat akan menikmatinya. Ruh yang berdaya hewani itulah yang dikatakan Hawa Nafsu atau Nafsu atau Nafsu Hewani atau Nafsu Makan, Minum, Seksual ..dst.
Akan tetapi yang sdh diarahkan oleh akal maka ia akan menjadi Nafsu seperlunya dan pengejawantahannya karena idaman akalnya, yakni maknawiat dan surga serta cinta Tuhannya. Jadi nafsu yang sudah dikontrol dengan akal alias jinak, tidak layak lagi dikatakan pengumbaran walau secara lahir tetap merupakan penyaluran. Tapi karena sudah bukan idaman dan kerinduan terhadap obyek penyalurannya itu, maka ia hanya merupakan jalan hidup yang harus dilalui tanpa harus membuatnya singgah dan apalagi menikmatinya. Oleh karenanya bagi orang berakal, penyaluran nafsu hewani itu tdk beda dengan bernafas dimana dari satu sisi merupaan keharusan, dan dari sisi yang lain merupakan ketidak perhatian, ketidak cintaan, ketidak nikmatan, ketidak asyikan, ketidak mampiran, ketidak peluangan konsentrasi dan fokus pada akidah dan fikih, ketidak manisan dihadapan manisnya akidan dan fikih......dst.

(19) Nah, ketika manusia sempurnapun memiliki Daya-Hewani itu, maka neraka itu tetap bergelora dalam dirinya. Akan tetapi tidak membakar apapun karena ianya sudah dalam taklukan akal dan surganya serta cintanya pada Kekashinya. Dan ingat, Nnafsu-Hewani ini bukan nafsu bejat saja, tapi apa saja yang berhubungan dengan kematerian manusia secara filosofis atau niscaya, seperti makan, minum, tidur, sek …dst atau bahkan kemerasa-perluan kepada semua itu sekalipun, seperti ingin makan, ingin tidur, …dst.

(20) Oleh karena syetan sudah dikeluarkan dari makam atau posisi surga, maka ia tidak bisa lagi mengganggu nabi Adam as dari dalam surga. Karena itulah ia mengganggunya dari Daya-Hewaninya itu supaya ia as memakan buah Khuldi tersebut.

(21) Yang perlu sekali diingat bahwa karena surga itu non materi dan apapun dia, sudah pasti tidak memiliki syariat dan aturan karena dia merupakan makam yang dihasilkan dari usaha dimana sudah pasti tidak mungkin ada usaha lagi di sana. Karena kalau ada usaha lagi nanti disana, maka sesuai dengan aturan keadilan Tuhan, diharuskan ada surga lagi di atas surga karena kalau manusia menaati aturan Tuhan di surga harus diganjarnya, dan begitu pula, harus ada neraka di makam surga itu karena kalau manusia tidak taat maka harus masuk nerakaNya.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa larangan atau anjuran apapun yang ada di surga bukanlah larangan-fikih atau hukum, akan tetapi merupakan larangan-anjuran atau larangan-akhlak alias keutamaan saja (Irsyadi). Oleh karena itulah maka pelanggaran nabi Adam as, buakn merupakan dosa, karena dilakukan di dalam surga, dan dilakukan dalam mimpi pertamnya. Namun demikian, karena mimpi seorang nabi juga wahyu, maka bisa dikaktakan sebagai pelanggaran dalam alam pewahyuan (maksudnya melihat dirinya dalam wahyu yang dilihatnya itu sebagai orang yang melanggar anjuranNya, jadi bukan melanggar wahyu) atau pelanggaran dalam alam mimpi.

(22) Dan karena buah Khuldi itu adalah buah kelanggengan, maka sangat bisa diartikan makanan-bumi. Karena makanan bumi ini adalah alat pelanggeng kehidupan badaniah manusia. Jadi, sebenarnya ketika nabi Adam as mengingini buah Khuldi itu, maka ia as sudah merasa lapar. Tapi laparnya itu berupa keinginan kepada buah kelanggenngan tersebut.
Jadi, sebenarnya wahyu Tuhan yang mengatakan "jangan dekati pohon ini..." sangat bisa diartikan "Kalau kamu masih ingin di surga ini dan tetap mengkasyafinya, maka jangan makan sekalipun perutmu sudah mulai merasakan lapar karena tubuh tanahmu sudah mulai hidup". Artinya Allah memberi peluang kepada nabi Adam as untuk bisa lebih lama menikmati keindahan surga sebelum bangun dari tidur pertamanya itu. Yakni seakan-akan Tuhan ingin mengatakan bahwa kalau kamu ingin melihat surga ini terus, maka kamu tidak boleh bangun dari tidurmu sekalipun kelaparan.

(23) Akan tetapi karena nabi Adam as adalah manusia badani, selama apapun beliau as bisa bertahan untuk tidak bangun dan untuk tidak makan, maka akhirnya tetap ingin makan juga. Dan kala itulah keinginan makan beliau as itu tertajalli dalam kasyafnya itu dengan mengingini makan buah kelanggengan tersebut. Maka makanlah beliau as dalam kasyafnya itu. Artinya, di alam materi ini beliau as sudah memutuskan dengan sebenar-benar keputusan bahwa beliau as mau bangun dan menjalani kehidupan alam materinya sebagaimana tugasnya sebagai KhalifahNya.

(24) Jadi tidak ada dosa bagi beliau as. Tapi karena beliau as salah satu insan kamil dan bahkan yang pertamanya lagi, dan begitu pula sebagai nabi pertama juga, maka sudah pasti ketidak taatan dalam tingkatan kasyaf atau mimpi itupun merupakan ketidak enakan bagi beliau as dan merupakan dosa bagi beliau as sebagai adab makam keinsan kamilan atau adab kenabiannya. Maka dari itulah beliau as meminta maaf dan ampunan kepadaNya. Persis seperti orang sakit yang tidak bisa duduk untuk menemui tamu kehormatannya dimana ia minta maaf untuk itu sekalipun tidak salah secara hakikatnya.

(25) Dan ketika nabi Adam as sudah memutuskan untuk makan supaya langgeng alias hidup karena memang sudah lapar, maka Tuhan mengeluarkannya dari surga, yakni dari makam surga yang dikasyafinya itu.
Dan dengan penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa kepengusiran Tuhan dari surga terhadap nabi Adam as itu, bukan kepengusiran kehinaan, tapi sangat natural dan alami. Maksudnya adalah Tuhan menyuruhnya bangun dari mimpi wahyunya itu atau dari kasyafnya itu. Jadi, dari pihak nabi Adam as tidak ada dosa, dan dari pihak Tuhan juga tidak ada kebencian, kepenghardian dan penghinaan atau pengusiran. Jadi, kata “Keluarlah dari surga” artinya adalah “Bangunlah dan jalanilah hidupmu sebagaimana mestinya di bumi ini”.
Begitu pula dapat diketahui dengan gamblang, bahwa kepenggangguan syetan terhadap nabi Adam as itu hanyalah keinginan syetan untuk mempercepat pergulatannya dengan manusia di bumi dimana kalau nabi Adam as tidak bangun, maka hal itu tidak bisa segera dimulai. Dan kalau kepenggangguannya belum bisa dimulai, maka ia tidak akan dapat segera membuktikan kepada Tuhan tentang kebenarannya bahwa ia (jin) lebih baik dari manusia. Karena sewaktu ditegur oleh Tuhan mengapa ia tidak mau sujud kepada nabi Adam as, ia menjawab bahwa ia lebih utama dari manusia. Dan ketika Tuhan murka kepadanya, iapun menantang Tuhan dengan memberinya perpanjangan umur untuk digunakan dalam pembuktian terhadap dakwaannya itu, yakni pengakuan bahwasannya jin yang dicipta dari api lebih baik dari manusia yang dicipta dari tanah).

(26) Surga nabi Adam as ini dalam filsafat dikenal dengan Surga-Nuzuli atau Surga-Turun. Yakni yang dimasuki dikala ruh nabi Adam as sedang dalam proses penurunannya ke bumi. Sedang surga yang akan dihumi penghuninya setelah hari kiamat kelak diistilahkan dengan Surga-Shu’udi atau Surga-Naik. Yakni surga yang dimasuki karena kenaikan derajat manusia dengan amal-amalnya. Dan karena itulah, menurut para filosof, sekalipun secara esensi kedua surga itu adalah sama, namun orang yang masuk ke dalam Surga-Turun itu bisa keluar, tapi yang masuk ke Surga-Naik, tidak bisa keluar dan abadi di dalamnya.

(27) Akan tetapi, kita bisa mengambil pelajaran dari terjadinya Isra’ Mi’rajnya Nabi saww dimana beliau saww juga memasuki surga dan bisa keluar, dan dimana surga itu tidak bisa dikatakan Surga-Turun karena beliau saww memasukinya disebabkan ikhtiar beliau saww yang begitu hebat hingga dapat memasukinya sebelum hari kiamat, maka rahasia bisa keluar dan tidak bisanya itu, bukan karena turun dan naiknya ruh, yakni turun karena peniupan pertamanya dan naik karena penyempurnaan dengan ilmu dan amalnya, akan tetapi karena perbedaan yang ada pada yang memasukinya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa surga-neraka dalam pandangan Filsafat dan Irfan, adalah Non Materi Barzakhi. Dengan demikian, maka badaniah manusia ini, sudah tentu tidak akan bisa memasukinya karena badaniah yang Materi ini berada dibawah Non Materi Barzakhi. Jadi, yang akan memasuki surga-neraka itu nantinya, adalah Ruh manusia saja, bukan badaniahnya.
Oleh karena itulah, maka ruh yang dapat memasukinya, tapi ianya masih menyatu dengan materi, baik secara kuat, seperti orang hidup di bumi ini, seperti nabi Adam as atau nabi Muhammad saww, atau baik kebersatuannya dengan materi itu secara tidak terlalu kuat, seperti orang yang mati sebelum kiamat (Karena kiamat adalah hancur dan tiadanya alam materi, bukan hancurnya permukaan bumi saja, sebagaimana akan dijelaskan di Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.
Oleh karenanya orang yang mati sebelum kiamat ruhnya masih mengatur putaran-putaran atom tulangnya dimana itulah keberhubungannya dengan materi dan dimana karena itulah kita disunnahkan mengucap salam langsung kepada mereka ketika mendatangi kuburan mereka, yakni mengucap “asalamualaikum ya ahlalqubur” yakni “keselamatan atas kalian wahai orang-orang kubur”, dan bukan “assalamuaihim” yakni “keselamatan atas mereka”, dimana hal itu karena mereka memang berhadapan dengan kita mendengar kita), maka siapapun yang memasuki surga dikala itu, maka ia tidak akan dapat menikmatinya sebagaimana niscayanya, dan juga, bagi yang hubungannya masih kuat dan aktif dengan materinya, yakni yang masih hidup, maka tidak juga bisa abadi di dalamnya. Jadi, mereka bukan hanya bisa keluar dari surga, tapi justru tidak bisa selamanya di dalamnya. Hal itu, karena ruh yang memasukinya masih terikat dengan badan aktifnya dimana badan hidupnya ini menuntut kepengaturannya, seperti makan, minum, berjalan ...dst.

(28) Penutup dan Anjuran (1): Ilmu ini tdk wajib diketahui dan dipercaya. Tapi terhadap kemaksuman semua nabi merupakan keharusan bagi muslimin karena tanpanya, mk tak seorang nabipun yang dapat diparcaya sepenuhnya hingga ajarannya juga tidak bisa dipercaya secara penuh bahwa ianya dari Tuhan. Mungkin anda berkata “Bukankah kalau nabi-nabi melakukan kesalahan pasti akan diingatkan oleh Tuhan”.
Jawabnya adalah dingatkan dan sebagainya itu adalah dari berita nabi-nabi tersebut. Nah, tahu dari mana bahwa nabi itu telah mengabarkan semua ingatan Tuhan terhadap dirinya itu? Yakni tahu dari mana dalam kesalahannya itu tidak terjadi kesalahan lagi? Misalanya nabi salah dalam hukum atau akhlak, baik dalam prakteknya atau pemahamanya, lalu tahu dari mana dalam pembenaran Tuhan itu tidak terjadi lagi kesalahan hukum dan akhlak tersebut. Atau nabi salah dalam ingatan atau dalam pengucapan, lalu tahu dari mana bahwa dalam pembenaran Tuhan itu tidak terjadi lagi kesalahan ingatan dan pengucapan?
Kalau anda berkata "Bukanlah hal itu ada di Qur an dan Qur an itu tidak bisa disaingi, jadi yang tidak ada ya...pasti tidak ada".
Jawabnya adalah bahwa memang benar bahwa Qur an itu dari Tuhan dan tidak ada yang bisa menyaingi kemu’jizatan sastranya sekalipun satu ayat dari padanya, akan tetapi dari mana bahwa sebagian Qur an atau ayatnya tidak disampaikan, terkhusus yang mengingati kesalahan nabi? Dari mana kita tahu bahwa Qur an itu sudah lengkap, termasuk ayat-ayat pengingat dan penegur nabi itu?

Dengan demikian maka selain di ayat-ayat yang sudah jelas tentang ketinggian akhlak dan keuswatun hasanaan nabi serta kemaksuman para nabi itu, maka dengan akal yang sehat dan dalil yang gamblang dapat dibuktikan bahwa semua nabi itu harus maksum. Karena kalau tidak maksum, maka kebenaran dan kelengkapan agamanya, sama sekali tidak akan bisa diyakini bahwasan ianya dari Tuhan. Sedang yang sepintas nampak dalam ayat dan riwayat tentang kesalahan sebagian nabi, maka semua itu tidak seperti lahiriahnya dan memiliki penjelasan hingga tidak kontradiksi dengan kemesti maksuman para nabi. Sudah tentu masih banyak lagi dalil-dalil lainnya tentang kemaksuman para nabi ini.

(27) Penutup dan Anjuran (2): Bagi yang tidak mendalami ilmu agama dan filsafat secara akademis, maka sangat dianjurkan uantuk jangan terlalu memilkirhal hal-hal yang tidak terlalu prinsip dan tidak terlalu mempengaruhi kahiduapn secara esensial, seperti masalah surga nabi Adam as ini. Oleh karena itulah kalau ada pertanyaan-pertanyaan yang berat, maka tidak usah banyak dipikir, dan kalau dipikirpun, maka jangan sampai mengurangi konsentrasinya kepada akidah dan fikih dengan pengejawantahan yang harus selalu semakin hari semakin baik. Jadi, harus tahu betul mana-mana yang sampingan (spt surga nabi Adam as ini), dan mana-mana yang asas (akidah dan fikih).

(27) Penutup dan Anjuran (3): Seperti yg saya tulis di dinding saya itu, maka ilmu apapun dan setinggi apapun dia, tanpa pengejawantahan yang cermat dan nikmat, maka ianya tidak akan terwaba mati. Karena di alam kematian-badani ini,kita akan menjadi s ruhani seutuhnya. Oleh karenanya di sana hanya ada ilmu Khudhuri, bukan Hushuli yang argumentatif ini. Dan karena khudhuri itu adalah kemelengketan obyek nyata dari ilmunya dalam ruh kita, bukan foto copynya seperti copy-an manisnya gula, atau seperti argumentasi AdaNya, maka kemelengketan itu tidak akan bisa terjadi tanpa dilatih untuk melengketkannya. Dan usaha melengketkannya itulah yang dikatakan amal dan perbuatan atau aplikasi. Sedang kemelengketannya itu dikenal dengan kesubstansian. Jadi amal dan aplikasi adalah proses untuk menjadikan ilmu hushuli kita menjadi khudhuri. Yakni proses perubahan atau pergerakan ruh dalam ilmunya dari Hushuli menjadi Khudhui, yakni dari Aksiden menjadi Substansi. Jadi barang siapa yang hanya memanisi ilmu dan mengasyikinya, maka dia tidak jauh beda dari yang anti ilmu atau orang bodoh yang tidak tahu.

(28) Penutup dan Anjuran (4): Aplikasi itu tidak akan membuahkan apapun kecuali dengan sandaran yang benar. Jadi kalau fikih, maka jalannya ada dua secara umum. Yakni menjadi mujtahid atau taklid buta kepada mujtahid. Taklid buta ini dikarenakan dengan ketidak pahaman terhadap dalil seandainya dalil itu dijelaskan kepadanya. Yakni dalil Qur an dan haditsnya itu tidak akan dimengerti, karena untuk mengeri keduanya (sekalipun kelihatan mudah) harus belajar secara akademis sekitar 30-40 th.
Saya ingat sewaktu guru saya menjelaskan satu ayat tentang kapan ibadah yang terlihat sangat mudah, beliau menjelaskannya sampai satu tahun lamanya. Jadi ibarat air yg dianggap mudah bagi orang awam, ia tidak mudah dan harus belajar sampai ke tingkat doktoral bagi orang yang mendalami tenaga oksigen atau hidrogen yang diantaranya bisa memiliki kekuatan melebihi nuklir.

Sedang taklid itu bukan hanya dalam shalat dan puasa dan semacamnya,tapi dalams segala hal yang mengandungi hukum seperti tabligh, berjuang, berekonomi, berpolitik, berbudaya, bermusik....dst.Lihat Selengkapnya

(29) Penutup dan Anjuran (5): Aplikasi dalam akidah, adalah dengan fikih itu. Begitu pula pengaplikasian dalam filsafat dan Irfan. Jadi, tanpa berfikih, maka ilmu-ilmu Teologi, Filsafat dan Irfan, akan menjadi nol besar kalau badan kita ini sudah ditinggalkan ruh kita.
Dan Pengerfanan atau penyufian atau pengkhusyukan yang diluar aplikasi fikih dalam keseharian kita dimana hal ini sudah dianggap oleh sebagian orang sebagai pensucian hati dan penyufian atau pengerfanan atau pemakrifatan, ditambah dengan nyaringnya tangisan dan hitamnya dahi tempat bersujud, maka semua itu, tanpa berfikih yang cermat, yakni tanpa berfikih dengan taklid yang benar, maka juga akan menjadi sia-sia semata.
Jadi, kita harus taklid dalam segala hal dengan buta dari sisi dalilnya dan dengan benar dari sisi pengertian dan pengamalannya. Baru setelah kita berfikih dengan cermat itulah maka terjadi peningkatan terhadap ilmu-ilmu yang kita gali secara mendalam seperti ilmu Kalam, Filsafat, Irfan, Tafsir ...dst itu.

(30) CAtatan: Tentang kewajiban aplikasi yang dengan taklid dalam segala hai itu adalah untuk orang2 Syi'ah dan begitu pula untuk saudara2 kita Sunni (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi), bukan saudara2 yg lain seperti yang anti taklid seperti wahhabi dan Muhammadiah di Indonesia. Jadi, bagi mereka aplikasi fikihnya adalah sesuai dengan keyakinan mereka sendiri-sendiri, yakni dengan tidak boleh taklid dan harus berdalil sendiri dengan Qur an dan hadits walau tidak belajar apapun dan bahkan walau lewat terjemahan. Yang jelas, bagi setiap muslim yang belum benar secara jalan, pahaman dan cara penerapannya, dan bahkan bagi kafirin sekalipun, dimana kebenaran itu belum sampai kepada mereka dan/atau sudah sampai tapi belum dipahami dengan benar, maka bagi mereka masih terbuka pintu surga dengan pengaplikasian masing-masing yang diyakininya benar itu.
Akan tetapi, akan sangat tidak akli dan Qur ani, manakala ada pemaksaan diatanra yang berbeda itu. Karena ketidak pemaksaan Islam dalam Qur an, termasuk ayat2 yang Muhkamat, yakni jelas dan tidak meragukan. Jadi, sekalipun dari satu sisi, yang salah itu dimaafkan, tapi kalau memaksakan kepada yang lainnya dan tidak memberikan kebebasan, maka jangan dalam keadaan salah itu, bahkan kalaulah dalam keadaan benar sekalipun, tidak akan dimaafkan Allah. Karena dia telah merusak agama atas nama agama. Dan kebenaran dalam satu sisi atau tingkatan, tidak berarti mesti benar di tingkat atau sisi yang lainnya seperti tentang kebebasan ini.
Dan tentu saja ketidak pemaksaan salam agama adalah ketidak penggganguan, ketidak penindasan dan semacamnya. Bagaimana mungkin bisa dikatakan tidak dipaksa, kalau karena ketidak pemilihan mereka terhadap ajaran yang dianggap benar itu, lalu ditintas dan diganggu? Apalagi samapai-sampai membuat orang lain bertaqiah terhadapnya? Lalu anehnya, mengapa yang bertakiah yang dianggap munafik, tapi yang menyebabkan takiah tidak dikatakan penjahat dan penindas? Jadi bagi yang Sunni yang menurut Syi'ah salah itu, tetap akan dibukakan pintu surga yang sangat besar. Karena kesalahannya disebabkan ketidak sampaian kebenaran Syi'ah kepadanya dan/atau kebelum terpahaminya dengan benar tentang Syi'ah yang sampai kepadanya itu. Tentu saja asal tidak mengganggu dan memaksa serta menindas orang atau golongan lain (seperti Syi’ah) sebagaimana maklum. Dan bagi yang Syi'ah, tetap sangat terbuka pintu neraka yang sangat besar. Karena ilmu Syi'ahnya bisa saja salah hingga kalau sengaja dalam kesalahannya itu (seperti tidak taklid dalam fikih dsb) atau semi sengaja seperti sok tahu agama padahal tidak pernah belajar agama secara akademis yang dalam, maka tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Karena ia telah menentang dalil gamblang akal, yaitu profesionalisme. Dan kalaulah benar dalam beberapa halpun, tapi kalau dipaksakan kepada orang lain (seperti dengan ejekan, gangguan dsb), dan tidak mau memberikan kebebasan kepada orang atau golongan lain, atau dengan kata yang lebih jelas, tidak mau melakukan persatuan Islam yang diwajibkan oleh para marja' dan Wilayatulfakih, maka meraka tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan ke dalam neraka. 


Wassalam. Sudah. Semoga bermamfaat bagi saya dan segenap pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar