Laman

Kamis, 02 Februari 2012

Apakah Sahabat Nabi Bisa Berdusta? Kritik Atas Keadilan Sahabat



Apakah Sahabat Nabi Bisa Berdusta? Kritik Atas Keadilan Sahabat
Doktrin keadilan sahabat yang berarti “semua sahabat adil” merupakan doktrin andalan dalam mazhab ahlus sunnah. Tetapi doktrin ini tidak bersifat mutlak jika dihadapkan pada berbagai riwayat dan sirah. Mengapa? Karena sahabat adalah manusia biasa seperti umat islam lainnya. Diantara sahabat terdapat mereka yang memiliki keutamaan besar tetapi terdapat sebagian sahabat yang tidak layak diutamakan, fasiq, berbuat maksiat dan berlaku zalim.




Di tangan kaum nashibi, doktrin “keadilan sahabat” menjadi begitu suci dan bias, dengan doktrin ini nashibi membela sahabat yang fasiq, zalim dan berbuat maksiat, dengan doktrin ini nashibi menganggap sahabat tidak tercela, dengan doktrin ini nashibi menganggap setiap aib sahabat harus dikatakan ijtihad dan mendapat pahala, dengan doktrin ini nashibi menginginkan apapun yang dilakukan sahabat mereka tetap orang yang paling utama. Intinya sahabat itu ma’shum menurut keyakinan nashibi tetapi untuk menyembunyikan keyakinan mereka, mereka bertaqiyah dengan berkata “kalau sahabat juga bisa salah dan yang ma’shum hanya Nabi dan Rasul”.
Bukti kalau mereka meyakini kema’shuman sahabat adalah jika anda atau siapapun menuliskan tentang kesalahan sahabat maka kaum nashibi akan meradang dan membantah dengan segala macam pembelaan, dalih dan penakwilan. Kalau memang sahabat bisa salah, maka mengapa mereka jadi carut marut sok membantah sana sini, yo wes terima saja. Kaum nashibi tidak terima karena dalam pandangan mereka sahabat itu ma’shum, jadi jika ada yang menyatakan kesalahan sahabat harus dibantah dan dituduh syiah rafidhah.
Ada diantara kaum nashibi ketika membela sahabat, ia berkata “sahabat tidak mungkin berdusta karena mereka semua adalah adil”. Pernyataan ini tidaklah benar, terdapat berbagai riwayat yang menunjukkan bahwa sahabat juga bisa berdusta. Doktrin keadilan sahabat bukan aksioma mutlak yang berdiri sendiri, ia harus disesuaikan dengan berbagai fakta riwayat yang ada. Doktrin keadilan sahabat menyatakan bahwa semua sahabat benar atau jujur dalam perkataan atau kesaksiannya, jika mereka menyampaikan sesuatu maka mereka tidak akan sengaja berdusta. Tetapi apakah benar demikian, apakah ada fakta riwayat yang menunjukkan sebaliknya?. Jawabannya ada, terdapat riwayat bahwa sahabat bisa berdusta dalam kesaksiannya atau perkatannya dan ini terjadi di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ حَدِيثِ الْمُتَلَاعِنَيْنِ فَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُتَلَاعِنَيْنِ حِسَابُكُمَا عَلَى اللَّهِ أَحَدُكُمَا كَاذِبٌ لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَيْهَا قَالَ مَالِي قَالَ لَا مَالَ لَكَ إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَذَاكَ أَبْعَدُ لَكَ قَالَ سُفْيَانُ حَفِظْتُهُ مِنْ عَمْرٍو وَقَالَ أَيُّوبُ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَجُلٌ لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ وَفَرَّقَ سُفْيَانُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى فَرَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَخَوَيْ بَنِي الْعَجْلَانِ وَقَالَ اللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ سُفْيَانُ حَفِظْتُهُ مِنْ عَمْرٍو وَأَيُّوبَ كَمَا أَخْبَرْتُكَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata Amru berkata aku mendengar Sa’id bin Jubair berkata aku bertanya pada Ibnu Umar tentang hadis Al Mutalaa’inain [suami istri yang meli’an] maka ia berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah berkata kepada suami istri yang meli’an “hisab kalian berdua terserah kepada Allah, salah seorang dari kalian berdua telah berdusta, tidak ada jalan bagimu untuk kembali pada istrimu. Laki-laki itu berkata “bagaimana hartaku?”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tidak ada harta bagimu, jika kamu benar atasnya maka itu sebagai mahar untuk menghalalkan farjinya tetapi jika kamu berdusta atasnya maka hal itu akan lebih jauh darimu. Sufyan berkata aku menghafalnya dari ‘Amru dan Ayub berkata aku mendengar Sa’id bin Jubair berkata aku berkata kepada Ibnu Umar ada seorang laki-laki meli’an istrinya. Ia berisyarat dengan kedua jarinya, Sufyan memisahkan antara kedua jarinya yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah memisahkan antara dua orang dari bani ‘Ajlan dan berkata Allah mengetahui bahwa salah seorang diantara kamu berdusta maka adakah diantara kamu yang ingin bertaubat? Beliau berkata tiga kali. Sufyan berkata aku menghafalnya dari ‘Amru dan Ayub seperti yang telah kukabarkan padamu [Shahih Bukhari 7/55 no 5312]
Sisi pendalilan dengan hadis ini adalah seorang sahabat Nabi menuduh istrinya berzina dan mengajukan perkara ini kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mereka saling mendustakan satu sama lain sehingga Allah SWT menurunkan syariat atas mereka dan memisahkan mereka berdua. Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa salah seorang diantara mereka telah berdusta. Suami yang berdusta atau istri yang berdusta. Yang manapun diantara mereka yang berdusta tetap saja mereka berdua adalah sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi hadis shahih ini membuktikan bahwa sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bisa saja berdusta atas apa yang ia ucapkan. Kedua sahabat yang dimaksud dalam hadis ini [suami dan istri] adalah orang dari bani Ajlan, terdapat riwayat yang mengatakan kalau mereka berdua adalah Uwaimir Al ‘Ajlani dan istrinya. Kisah ini juga terjadi pada sahabat yang lain

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ الْبَيِّنَةَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ فَقَالَ هِلَالٌ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنِّي لَصَادِقٌ فَلَيُنْزِلَنَّ اللَّهُ مَا يُبَرِّئُ ظَهْرِي مِنْ الْحَدِّ فَنَزَلَ جِبْرِيلُ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ { وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ إِنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ } فَانْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِلَالٌ فَشَهِدَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا وَقَالُوا إِنَّهَا مُوجِبَةٌ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَا تَرْجِعُ ثُمَّ قَالَتْ لَا أَفْضَحُ قَوْمِي سَائِرَ الْيَوْمِ فَمَضَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كِتَابِ اللَّهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Adiy dari Hisyaam bin Hassaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina di hadapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan Syariik bin Sahmaa’. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “buktikanlah atau had akan menimpamu”. Ia berkata “wahai Rasulullah jika salah seorang dari kami melihat istrinya dengan laki-laki lain apakah diharuskan baginya bukti?. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “buktikanlah atau had akan menimpamu”. Hilal berkata “demi Yang mengutusmu dengan haq sesungguhnya aku berkata benar dan semoga Allah SWT menurunkan sesuatu yang membebaskanku dari hadd. Kemudian Jibril turun dan menurunkan firman Allah “dan orang-orang yang menuduh istrinya –ia membacanya sampai- jika dia [suaminya] termasuk orang yang benar”. Akhirnya Nabi pergi dan mengutus seseorang kepada wanita itu, Hilal datang dan bersaksi. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa salah seorang dari kalian berdusta, maka apakah ada diantara kalian yang ingin bertaubat?”. Wanita itu berdiri dan bersaksi, ketika sampai pada kesaksian kelima, mereka menghentikannya dengan berkata “sesungguhnya itu [sumpah kelima] akan membawa laknat padamu”. Ibnu Abbas berkata “ia berhenti dan tampak ragu sehingga kami mengira ia akan mengaku, kemudian ia berkata “aku tidak akan mempermalukan kaumku” dan ia mengucapkannya. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “perhatikanlah ia jika ia melahirkan seorang anak yang hitam kedua matanya, besar kedua pantatnya dan besar kedua betisnya maka itu adalah anak Syarik bin Sahmaa’ akhirnya wanita itu melahirkan anak yang seperti itu. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “seandainya tidak berlalu keputusan Kitab Allah maka aku menegakkan hukuman padanya” [Shahih Bukhari 6/100 no 4747]
Sisi pendalilan hadis ini pun sama, diantara Hilal bin Umayah dan istrinya pasti ada yang berdusta. Keduanya termasuk sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan riwayat di atas membuktikan bahwa istri Hilal bin Umayah yang telah berdusta.
Catatan untuk kisah Hilal : Syarik bin Sahmaa’ yang dituduh Hilal berzina dengan istrinya juga termasuk sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam daftar sahabat Nabi dalam Al Ishabah dan menyebutkan bahwa ia termasuk yang ikut dalam perang uhud [Al Ishabah 3/344 no 3902]. Begitu juga yang dinyatakan As Shafadi bahwa ia dan ayahnya ikut dalam perang uhud [Al Wafi bil Wafayat 5/204]
Bagaimana menempatkan riwayat-riwayat ini kepada doktrin keadilan sahabat?. Jawabannya sederhana, doktrin keadilan sahabat itu harus disesuaikan dan berlaku pengecualian. Jika dikatakan semua sahabat adil maka itu bertentangan dengan riwayat shahih sehingga yang benar adalah tidak semua sahabat adil. Jangan pula diartikan bahwa semua sahabat adalah tidak adil, hal ini jelas keliru. Lebih aman untuk menyatakan sahabat Nabi adalah adil sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Hal ini jelas sangat berbeda dengan kaum nashibi yang menyatakan mustahil ada sahabat yang tidak adil. Salam Damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar