Ali orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw
Rasulullah saw, oleh Al-Quran disebutkan hidup berdasarkan nilai-nilai ilahiah sebagaimana disebutkan oleh ayat 'sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas akhlak yang agung', adalah seorang contoh pribadi yang berbeda dengan masyarakat jazirah Arab lainnya dari sisi keyakinan, pemikiran, perilaku dan akhlak. Semenjak kecilnya ia senantiasa berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai risalah para Nabi. Lebih-lebih sesuai dengan nilai yang dibawa oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil AS. Dalam masalah kehidupan qana'ah (sifat merasa cukup) yang dicontohkan Nabi, tidak akan ditemukan kesesuaian dengan nilai yang dianut oleh masyarakat jahiliah. Dengan dasar ini, ia membangun sebuah keluarga mukmin yang terdiri dari dirinya sendiri dan Khadijah serta Ali bin Abi Thalib.
Sesuai dengan ajaran yang dibawanya Nabi memiliki tugas untuk mengubah sejarah yang ada. Ia harus membuka sebuah jalan alternatif di tengah-tengah aliran global yang ada masa itu. Ia akan berjuang melawan penyimpangan yang berkuasa dengan keluarga yang telah dibangunnya. Ia akan menciptakan gelombang yang menderu-deru, mengubah perlahan-lahan arus penyembahan berhala dan semangat jahiliah dari permukaan bumi. Ali bin Abi Thalib AS. adalah orang yang dibesarkan di keluarga wahyu belum pernah menyembah berhala seumur hidupnya. Ia belum pernah melakukan kesyirikan kepada Allah. Ketika wahyu turun kepada Nabi saw Ali bin Abi Thalib berada di sampingnya. Ia orang pertama yang beriman kepada risalah Nabi sebagaimana buku-buku sejarah menjadi saksi peristiwa agung itu.
Dari Anas bin Malik berkata, 'Kenabian diturunkan kepada Muhammad saw pada hari senin dan Ali bin Abi Thalib melakukan salat pada hari selasa.
Diriwayatkan juga dari Salman Al-Farisi berkata, 'Orang pertama dari umat Islam yang sampai pada telaga Kautsar Nabi adalah orang yang pertama memeluk Islam dan itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Dari Abbas bin Abdul Mutthalib pernah mendengar Umar bin Khatthab berkata, 'Jangan mengucapkan sesuatu tentang Ali bin Abi Thalib kecuali terkait dengan kebaikan. Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah berkata, 'Pada diri Ali bin Abi Thalib ada tiga kekhususan'. Mendengar sabda Nabi aku ingin sekali memiliki satu dari tiga kekhususan yang dimiliki Ali bin Abi Thalib itu. Setiap satu kekhususan bagiku lebih berharga dari bumi dan seisinya. Hal ini dikarenakan aku, Abu Bakar, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan seorang dari sahabat Nabi menyaksikan Rasulullah saw menepuk pundak Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Wahai Ali! Engkau adalah orang yang paling pertama memeluk Islam. Engkau adalah orang yang pertama beriman. Posisimu dibandingkan denganku seperti posisi Harun di sisi Musa. Pendusta adalah orang yang mengatakan bahwa ia mencintaiku namun dalam hatinya ia membencimu wahai Ali.
Bila diyakini bahwa para sejarawan sependapat akan Ali bin Abi Thalib merupakan orang pertama yang memeluk Islam, sayangnya mereka berselisih pendapat pada umur Ali bin Abi Thalib ketika menyatakan keislamannya. Mengkaji secara serius untuk mendapatkan umur Ali bin Abi Thalib ketika memeluk Islam tidaklah menjadi masalah yang begitu penting. Hal ini dikarenakan ia belum pernah kafir sehingga kemudian memeluk Islam atau pernah syirik setelah itu beriman. Ali bin Abi Thalib sendiri berkata, 'Aku dilahirkan atas fitrah'. Atas dasar ini, ahli hadis sepakat untuk menghormati keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib. Kehormatan oleh mereka diwujudkan dengan menambah kata Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhahu. Islam bersemayam di lubuk hatinya yang paling dalam setelah dibesarkan di kamar risalah. Ia makan dari tangan kenabian. Dan akhlak Nabi membuatnya lebih baik.
Ustad Al-'Aqqad berbicara tentang Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
'Lewat penelitian yang serius dapat dipastikan bahwa Ali bin Abi Thalib dilahirkan dalam kondisi Islam. Kami melihat kelahirannya dengan pandangan akidah dan ruh. Ia membuka matanya dengan Islam. Ia belum pernah menyembah berhala sebelum memeluk Islam. Ia besar dan dididik di rumah tempat dakwah Islam bermula. Ia memahami bagaimana cara beribadah lewat salat yang dilakukan oleh Nabi dan istrinya yang suci sebelum mengetahuinya dari salat ibu bapaknya.
Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat
Imam Ali bin Abi Thalib hidup bersama Rasulullah dengan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan Nabi. Ia memandang Nabi sebagai teladan sempurna yang dapat memenuhi tuntutan keingintahuan dan kejeniusannya. Ali bin Abi Thalib mengaplikasikan semuanya dalam perilaku dan pergerakannya. Ia mencontoh perilaku Nabi dan taat padanya terkait dengan perintah maupun larangan. Perilaku ini dilakukan sejak diutusnya Muhammad saw menjadi Nabi hingga akhir hayat Nabi. Oleh para sejarawan sepakat bahwa ia belum pernah membantah ucapan Rasulullah saw seumur hidupnya.
Imam Ali bin Abi Thalib sendiri menjelaskan bahwa ia adalah orang pertama yang melakukan salat setelah Nabi. Ia berkata, 'Tidak ada seorang pun yang mendahuluiku melakukan salat selain Rasulullah saw'.
Diriwayatkan juga dari Habbah Al-'Irni, ia berkata, 'Pada suatu hari aku melihat Ali bin Abi Thalib tertawa. Aku sebelumnya belum pernah melihatnya tertawa lebih dari tawanya kali ini hingga terlihat gigi taringnya. Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata, 'Ya Allah, Aku belum pernah melihat seorang hamba terbaik sebelum ku selain Nabi umat ini'.
Dalam tafsir ayat 'Dan rukulah kalian bersama orang-orang yang melakukan ruku' dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Ayat ini turun berkenaan dengan Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib. Mereka berdua adalah orang yang paling pertama melakukan salat dan ruku.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasul bersabda, 'Para malaikat bersalawat kepadaku dan kepada Ali tujuh kali. Hal itu dikarenakan kalimat syahadatain (Asyhadu An Laa Ilaaha Illah Allah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah) tidak akan diangkat ke langit kecuali melaluiku dan Ali'.
Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat jamaah dalam Islam
Rasulullah sebelum memulai dakwahnya bila hendak melakukan salat ia keluar menuju jalan setapak menuju gunung di Mekkah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia membawa Ali bin Abi Thalib bersamanya dan keduanya melakukan salat sesuai yang diinginkan Allah. Setelah usai melakukan salat mereka berdua kembali. Keduanya senantiasa melakukan hal ini tanpa sepengetahuan Abu Thalib, seluruh paman-paman, dan kabilahnya. Sehingga pada suatu hari Abu Thalib melewati mereka dan melihat apa yang tengah mereka lakukan. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, 'Apa yang aku lihat ini? Sepertinya engkau tengah melakukan perbuatan atas sebuah agama?
Nabi segera menjawab, 'Ini adalah agama Allah, malaikat, agama utusan-utusan sebelumnya dan agama ayah kita Ibrahim. Allah telah mengutusku sebagai Nabi kepada hamba-hambaNya. Wahai paman! Engkau adalah orang yang tepat untuk kuberikan nasihat dan kuajak menuju petunjuk dan kebenaran. Engkaulah orang yang paling tepat mengiakan seruanku dan yang paling tepat untuk menolongku mengemban agama ini'.
Ali bin Abi Thalib juga ikut berkata, 'Wahai Ayah! Aku telah beriman kepada Rasulullah. Aku telah mengikutinya dan salat bersamanya karena Allah swt'.
Abu Thalib menjawab, 'Wahai anakku! Muhammad saw yang aku ketahui tidak akan meninggalkanmu kecuali dalam kebaikan. Ikutlah dengannya'.
Contoh lain dari sikap pamannya Abbas yang diriwayatkan oleh 'Afif Al-Kindi. Ia berkata:
'Aku adalah seorang kaya. Suatu saat aku pergi melakukan haji. Aku menemui Abbas bin Abdul Mutthalib untuk menjual beberapa barang. Demi Allah, Aku berada di sampingnya ketika di Mina ketika muncul seorang dari kemah yang berdekatan dengan milik Abbas. Orang tersebut melihat ke matahari. Setelah melihat matahari telah tergelincir ia pun berdiri melakukan salat. Saat itu juga keluar seorang wanita dari kemah tadi dan berdiri di belakang sambil ikut melakukan salat. Muncul juga seorang anak kecil dari kemah tadi dan berdiri di samping lelaki tadi dan ikut melaksanakan salat bersamanya. Aku bertanya dengan penuh keheranan, 'Apa ini Abbas?' Itu adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Mutthalib'. Ku lanjutkan pertanyaanku, 'Lalu wanita itu siapa?' 'Istrinya Khadijah binti Khuwailid', jawab Abbas. 'Anak kecil itu siapa?', tanyaku lagi. Abbas menjawab, 'Itu Ali bin Abi Thalib anak pamannya'. 'Apa yang sedang dilakukan oleh Muhammad?' tanyaku tidak habis mengerti. Lagi-lagi Abbas menjawab, 'Ia tengah melakukan salat. Ia mengaku dirinya sebagai nabi. Sampai saat ini belum ada yang mengikuti ajarannya kecuali istri dan anak pamannya. Ia juga berkata bahwa akan menguasai pundi-pundi kekaisaran Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi)'.
Setelah terbentuknya inti dari umat Islam yang terdiri dari Rasulullah, Ali dan Khadijah, tersebarnya berita tentang agama baru di tengah-tengah masyarakat Quraisy, mulai banyak orang yang mendapat hidayah dari Allah yang pada akhirnya memeluk Islam, ketika kaum muslimin mulai kuat, ketika berlalu beberapa tahun dirasa Islam semakin kuat dan mampu untuk menampakkan diri secara terbuka di hadapan masyarakat serta mampu berhadap-hadapan terkait dengan masalah agama dan akidah, Allah swt memerintahkan Nabi untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Para sahabat yang sebelumnya bila hendak melakukan salat pergi ke tempat-tempat sepi untuk menunaikannya di sana. Pada suatu ketika, saat sebagian sahabat melakukan salat di tempat sepi dekat gunung sebagian dari kaum musyrikin mengetahui perbuatan itu. Mereka yang mengetahui adalah Abu Sufyan bin Harb dan Al-Akhnas bin Syirriq dan selainnya. Mereka mencaci maki para sahabat yang tengah melakukan salat bahkan membunuh mereka.
Ali pada masa dakwah terang-terangan
Hadis Yaum Al-Indzar
Hadis Yaum Al-Indzar (hari peringatan) adalah peristiwa khusus tentang pertemuan keluarga Nabi dengan undangan dari beliau untuk meminta baiat dari mereka dan menolongnya kelak. Orang pertama yang mengumumkan dirinya dan siap memenuhi ajakan Rasulullah pada hari itu adalah Ali bin Abi Thalib. Para ahli tafsir dan sejarawan, salah satunya adalah Thabari, dalam buku-buku sejarah dan tafsir mereka menuliskan bahwa ketika ayat Wa Andzir 'Asyirataka Al-Aqrabin (beri kabar keluarga dekatmu) turun kepada Nabi ia merasa sulit karena tahu bagaimana permusuhan yang ditunjukkan oleh kabilah Quraisy. Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib untuk membantunya menyebarkan agama Allah ini.
Imam Ali bin Abi Thalib AS. berkata,' Rasulullah memanggilku dan berkata, 'Wahai Ali, Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengabarkan agama Allah ini kepada keluarga terdekat. Perintah ini membuat aku kebingungan. Aku tahu bahwa kapan saja aku berinisiatif untuk mengabarkan mereka, aku dapat membayangkan kebencian mereka. Sampai saat ini aku belum melakukan apa-apa hingga Jibril mendatangiku dan berkata, 'Wahai Muhamamd! Bila engkau tidak melakukan perintah Allah maka Ia akan mengazabmu'. Oleh karenanya, Ali! Buatkanlah makanan dari segantang gandum. Campurkan kaki seekor kambing . Siapkan seteko susu untuk minum nanti. Setelah itu undang keluarga Abdul Mutthalib agar aku dapat berbicara dan menyampaikan apa yang telah diperintahkan kepadaku.
Ali melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi kemudian ia mengundang keluarga Abdul Mutthalib. Mereka yang diundang kira-kira berjumlah empat puluh orang laki-laki. Di antara mereka terlihat paman-pamannya Abu Thalib, Hamzah, Abbas, Abu Lahab. Mereka yang hadir menyantap makanan yang dihidangkan. Ali bin Abi Thalib menginformasikan, 'Mereka makan hingga kenyang. Yang tertinggal adalah bekas-bekas tangan mereka. Demi Allah! Bila salah seorang dari mereka meminta tambah niscaya aku akan membawa lagi untuk mereka semua'.
Setelah selesai makan kepada Ali, Nabi berkata, 'Beri mereka minum! Aku membawa susu yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua minum hingga kenyang. Demi Allah! Setiap satu orang dari mereka minum seteko. Ketika Rasulullah saw hendak berbicara dengan mereka, Abu Lahab dengan sigap berkata, 'Tuan rumah telah menyihir kalian yang hadir. Yang hadir pun bubar sementara Nabi belum sempat berbicara apapun. Kembali Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib pada hari kedua untuk melakukan apa yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah mereka selesai makan dan minum, Nabi segera berkata, 'Wahai keluarga Abdul Mutthalib! Demi Allah! Tidak ada seorang pemuda sebaik aku yang membawa sesuatu kepada kaumnya. Aku membawa ajaran tentang kebaikan dunia dan akhirat kalian. Allah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian mengimani ajaran-Nya. Siapa dari kalian yang bersedia membantuku menyebarkan perintah Allah ini niscaya ia akan menjadi saudaraku, pengemban wasiatku (washi) dan khalifahku di antara kalian sepeninggalku. Semua terdiam tidak menyambut apa yang disampaikan Nabi kecuali Ali. Ia berteriak dengan lantang, 'Wahai Nabi Allah! Aku siap menjadi pembantumu. Nabi kemudian memegang tengkuk Ali seraya berkata, 'Ini adalah saudara, pengemban wasiatku dan khalifahku di antara kalian. Dengarkan apa yang diucapkan dan taatilah ia. Mereka yang hadir berdiri sambil berkata kepada Abu Thalib, 'Muhammad telah memerintahkanmu untuk mendengarkan dan menaati anakmu sendiri'.
Dengan demikian, Yaum Ad-Dar (hari kejadian penyampaian dakwah pertama di rumah), merupakan pengumuman resmi tahapan baru dalam kehidupan Nabi dan keberlangsungan kehidupan dakwah Islam. Telah terjadi penantangan dua arah antara Islam dan kesyirikan.
Siapa saja yang mengikuti dengan teliti sejarah Nabi Muhammad saw, memahami semua detil permasalahan semenjak awal terbentuknya pemerintahan Islam dan penetapan syariat yang berkenaan dengannya, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan yang senantiasa sesuai dengan perintah ilahi, akan menemukan bahwa Ali bin Abi Thalib selalu menjadi pendamping Nabi baik dalam melaksanakan perintah atau berperang dengan musuh. Ali bin Abi Thalib senantiasa membantu Nabi, bersama-sama membangun hingga maut menjemput Nabi. Yaum Al-Indzar dan Yaum Ad-Dar adalah titik tolak perjuangan Islam. Saat itu tak ada penolong bagi Muhammad seperti Ali bin Abi Thalib. Semboyan, Semangat, perjuangan dan pengorbanan Ali bin Abi Thalib hanya untuk Nabi dan kemenangan Islam.
Ali sejak dakwah terang-terangan hingga hijrah
Quraisy terlalu lemah untuk dapat memadamkan dakwah Islam dan mencegah Nabi untuk berdakwah. Rencana-rencana makar yang telah mereka susun dan usaha menakut-nakuti bahkan penyiksaan telah mereka lakukan namun tetap menemui jalan buntu. Semua ini berkat Abu Thalib. Abu Thalib bagaikan benteng kokoh yang senantiasa melindungi Rasulullah. Abu Thalib juga selalu berusaha untuk menghalau ejekan dan gangguan orang-orang Quraisy. Melihat sikap dan posisi Abu Thalib yang demikian Quraisy secara pengecut mempergunakan anak-anak untuk maksud-maksud jeleknya. Anak-anak oleh mereka diperintahkan untuk mengejek Nabi dan melemparinya dengan batu. Pada kondisi seperti inilah peran Ali bin Abi Thalib menjadi dibutuhkan. Ayahnya jelas tidak akan berhadap-hadapan dengan anak kecil dan mengusir mereka. Abu Thalib adalah tokoh kabilah Hasyim. Apa yang akan dikatakan orang bahwa tokoh sebesar Abu Thalib harus berurusan dengan anak-anak. Ali maju ke depan untuk menghalau gangguan yang ditimbulkan oleh anak-anak suruhan Quraisy.
Ali bin Abi Thalib di Syi'b Abi Thalib
Islam dengan cepat menyebar di kota Mekkah. Islam. Islam telah menjelma menjadi sesuatu yang setiap saat dapat merobek-robek tempat pembaringan kabilah Quraisy. Islam perlahan-lahan muncul sebagai bahaya besar yang siap menghancurkan kepentingan-kepentingan mereka. Quraisy akhirnya harus mengambil sikap keras untuk membungkam suara Islam. Mereka sengaja hendak menggunakan pedang untuk niat mereka namun, Abu Thalib tidak melemah dalam usahanya melindungi Rasulullah. Ia masih memiliki wibawa dan posisi yang diperhitungkan di kalangan para pemimpin Quraisy. Kondisi inilah yang selalu menjadi penghalang mereka untuk melenyapkan Nabi. Membunuh Nabi sama artinya secara terang-terangan mengajak Abu Thalib berhadap-hadapan sekaligus keluarga Bani Hasyim. Quraisy mengenal betul akan risiko yang akan ditanggung oleh mereka dengan tindakan itu.
Melenyapkan Nabi dengan adanya Abu Thalib di sampingnya adalah tidak mungkin tapi, menyiksa bahkan membunuh kaum muslimin yang lemah dari kalangan budak dan fakir miskin adalah pekerjaan yang mudah. Penyiksaan yang mereka lakukan bertujuan agar keluar dari agama Islam dan tidak lagi berhubungan dengan Muhammad saw. Sayangnya jalan ini pun tidak banyak memberikan hasil selain semakin kokoh dan bersikeras untuk tetap dalam agama Islam serta konsekuensi dalam ajaran Islam. Rasulullah melihat kondisi yang sangat sulit bagi pengikutnya ini membuat ia berpikir untuk mencari jalan keluar terbaik. Jalan keluar itu adalah pergi berhijrah ke Habasyah.
Setelah sebagian para sahabat pergi berhijrah ke Habasyah maka yang tinggal di Mekkah sebagian besarnya adalah mereka yang memiliki posisi di tengah-tengah masyarakat. Untuk menyiksa dan membunuh bagi Quraisy sudah tidak memungkinkan lagi. Cara lain sudah tidak terpikirkan lagi oleh mereka. Yang ada hanya bagaimana cara melemahkan Nabi dan kemudian membunuhnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memblokade Bani Hasyim dan yang ikut bersama mereka secara ekonomi dan sosial. Kesalahan Bani Hasyim dan yang ikut dengan Nabi adalah karena mereka menolong Nabi selama ini. Dimulailah peperangan negatif dengan Bani Hasyim.
Reaksi umat Islam dan Bani Hasyim dalam menghadapi sikap Quraisy kali ini adalah dengan berkumpul di Syi'b Abu Thalib. Hal ini agar perlindungan yang dapat diberikan kepada Nabi lebih baik dan terpadu. Dengan berkumpul mereka dapat membuat garis pertahanan dari kemungkinan serbuan Quraisy.
Sikap kehati-hatian demi menjaga keselamatan Rasulullah, ditunjukkan oleh Abu Thalib dengan meminta anaknya untuk tinggal dan tidur di tempat Nabi pada waktu malam agar lebih dapat menjaga keselamatan Rasulullah dari pembunuhan dan kekejian musuhnya di luar Syi'b. Ali bin Abi Thalib mendengar permintaan ayahnya dan betapa pentingnya pekerjaan ini untuk segera dilakukan langsung melakukannya dan tidur di atas pembaringan Nabi mengorbankan dirinya demi berlangsungnya risalah dan hidup pembawa risalah.
Pengorbanan dan perilakunya menantang bahaya tidak cukup sampai di situ saja. Ali bin Abi Thalib bahkan terkadang secara sembunyi-sembunyi keluar dari Syi'b untuk mencarikan makanan buat mereka yang terkepung di sana ke kota Mekkah. Hal ini dilakukannya bila melihat mereka sampai pada kondisi di mana apa saja yang ditemukan di atas tanah di makan oleh mereka.
Perbuatan yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib di masa-masa sulit seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Perbuatan yang dilakukannya karena memiliki hati pemberani, kesadaran terhadap misi Islam dan cinta yang tulus terhadap Rasulullah saw. Pada pengepungan itu, Ali bin Abi Thalib sedang melalui masa remajanya. Usia Ali pada waktu itu berumur 17 tahun. Keluar dari Syi'b Abi Thalib ia telah berumur 20 tahun. Masa pengepungan di Syi'b selama 3 tahun. Masa tiga tahun yang dilewatinya selama di Syi'b memberikan sebuah pengalaman baru dalam kehidupannya. Ia telah terbiasa menghadapi bahaya. Ali tumbuh menjadi pemuda pemberani. Ia mampu menghadapi masalah baru dan penting yang menimpanya. Kondisi ini membuatnya lebih dekat dengan Nabi. Sebagaimana ia juga mempelajari bagaimana harus bersabar, taat dan lebur dalam Zat Allah swt dan kecintaan terhadap Nabi.
Ali bin Abi Thalib dan hijrah ke Thaif
Kejadian yang menimpa Rasulullah saw telah semakin banyak dan berat. Quraisy semakin intens mengganggu Nabi. Lebih-lebih sepeninggal Abu Thalib. Ketiadaan Abu Thalib membuat tak ada lagi yang ditakuti oleh Quraisy untuk mengganggu Muhammad saw. Hal ini dapat diketahui lewat ucapan Nabi, 'Selama ini Quraisy tidak dapat berbuat banyak terhadapku. Semua ini berlaku hingga Abu Thalib meninggal'.
Mencermati kondisi yang dihadapi, Nabi bermaksud merubah tempat dakwahnya ke tempat yang lebih aman. Tempat aman akan lebih memberi kesempatan lebih banyak untuk berdakwah menyebarkan Islam. Dan dengan ini penyebaran Islam ke Jazirah Arab bahkan ke seluruh dunia lebih mudah. Untuk memulai idenya ia melirik kabilah-kabilah Arab dan dimulainya dengan Thaif. Nabi pergi ke Thaif dan tinggal di sana selama sepuluh hari. Masa tinggalnya di sana tidak mendapat jawaban yang seperti diharapkan bahkan oleh mereka anak-anak, pembantu, dan budak-budak diperintahkan untuk melempar Nabi dengan batu. Lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib yang menyertai Nabi dan Zaid bin Haritsah maju ke depan menyongsong lemparan-lemparan itu agar tidak mengenai Nabi. Usaha yang dilakukan membuat mereka harus menerima lemparan dan keduanya terluka. Usaha yang dilakukan dengan mengorbankan dirinya tidak sepenuhnya berhasil karena Nabi pun terluka oleh lemparan mereka. Betis Nabi terluka dan mengalirkan darah.
Diriwayatkan bahwa Nabi melakukan beberapa kali hijrah yang dilakukannya ke kabilah-kabilah Arab untuk menyebarkan dan menjaga Islam. Selama perjalanan yang sering dilakukannya Ali bin Abi Thalib yang senantiasa bersamanya. Nabi bersama Ali bin Abi Thalib pergi ke Bani 'Amir bin Sha'sha'ah dan kepada Rabi'ah dan Bani Syaiban.
Ali bin Abi Thalib pada baiat 'aqabah kedua
Beberapa pemuka kaum muslimin yang datang dari Madinah (pada waku itu bernama Yatsrib) sempat melakukan pertemuan bersejarah dengan pemimpin mereka Rasulullah saw. Pertemuan tersebut dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi di rumah Abu Thalib. Dalam pertemuan itu Nabi disertai oleh pamannya Hamzah dan Abbas serta anak pamannya Ali bin Abi Thalib. Dalam pertemuan itu dilakukan baiat kepada Rasulullah.
Pertemuan yang dilakukan benar-benar dirahasiakan sehingga ketika telah selesai pembaiatan tidak satu pun dari muslimin yang mengetahui kejadian tersebut. Sayangnya, di satu sisi yang lain kabar ini ternyata telah tersebar di kalangan kaum musyrikin. Kaum musyrikin berkumpul mengurung tempat pertemuan dalam kondisi bersenjata. Melihat kondisi ini, Hamzah dengan disertai Ali bin Abi Thalib keluar sambil menghunus pedangnya. Dengan penuh kegeraman mereka bertanya kepada Hamzah tentang pertemuan yang dilakukan di dalam rumah. Hamzah mengingkari adanya pertemuan di rumah itu. Mendengar jawaban Hamzah mereka semua kembali dengan tangan hampa.
Keberadaan Ali bin Abi Thalib pada kejadian penting itu, lagi-lagi, menunjukkan peran penting Ali bin Abi Thalib terkait saat-saat genting dakwah Islam dan sejarah risalah Islam. Kehadirannya pada proses-proses penting sebagai penolong dan pembantu Nabi memberikan wajah baru bagi Nabi dan perlindungan Bani Hasyim atasnya. Hal ini juga menambah kepercayaan dan ketenangan yang lebih terhadap dakwah dan risalah Islam.
Kehadiran Ali bin Abi Thalib pada masa-masa kritis tidak luput dari arahan-arahan yang cerdas dari Nabi. Ia memperbantukan seorang yang terkenal keberaniannya dari Bani Hasyim. Hamzah dan Ali bin Abi Thalib dua pemberani Bani Hasyim. Keduanya terkenal akan kekuatan dan keseriusannya dalam menggalang kekuatan yang cukup untuk melindungi Nabi dan Risalah.
Ali bin Abi Thalib dan malam hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah
Perjanjian 'aqabah kedua antara Nabi dan kaum Aus dan Khazraj membuka peluang baru dalam berdakwah. Perjanjian 'aqabah kedua merupakan titik tolak dakwah Islam yang lebih luas. 'Aqabah kedua adalah pandangan besar bangunan masyarakat mukmin. Semua ini dikarenakan Islam telah menyebar di Madinah lewat para pendakwah yang tidak mengharap apa-apa kecuali kerelaan ilahi. Mereka mengorbankan dirinya demi Allah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Usaha ini menghasilkan sebuah hasil sebuah tempat yang memberikan keamanan sekaligus sebagai pusat penting pengkristalan proses pemikiran, pendidikan dan dakwah Islam di masyarakat Jazirah Arab.
Saat sikap ekstrim para pemimpin Quraisy memuncak dalam menyiksa dan menekan kaum muslimin agar meninggalkan agama Islam dan sebisanya mematahkan pertolongan Nabi untuk mereka, tiba masanya Nabi untuk memerintahkan sahabat-sahabatnya melakukan hijrah ke Madinah. Nabi berkata, 'Allah telah menyiapkan sebuah tempat untuk kalian di mana kalian akan merasakan keamanan dan persaudaraan di sana'. Berdasarkan perintah Nabi, para sahabat meninggalkan Mekkah dengan bentuk konvoi kecil-kecilan dalam beberapa kelompok secara sembunyi-sembunyi dari incaran Quraisy.
Semua penderitaan yang menimpa Nabi baik dari dekat atau jauh, tekanan-tekanan, menyifatinya sebagai pembohong dan ancaman-ancaman, tidak membuat beliau surut dalam berdakwah. Harapan Nabi hanyalah muncul sebagai pemenang dalam perjuangan ini dan kemenangan dakwah Islam. Beliau sendiri berkata, 'Tidak seorang pun berkaitan dengan dakwah ilahi pernah mendapat gangguan seperti yang ku alami'. Kepercayaannya yang mutlak kepada Allah swt lebih kuat dari pada persekongkolan Quraisy. Orang-orang Quraisy tahu betul bila Nabi berhasil dengan niatannya ini niscaya bahaya besar akan menghantui mereka. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun yang akan datang, bila Nabi berhasil bergabung dengan para sahabatnya yang telah terlebih dahulu sampai di Madinah, ia akan menjadikannya sebagai pusat dan titik tolak dakwah Islam ke seantero dunia. Mengingat bahaya besar yang muncul, mereka mulai mengambil sikap, sebelum segalanya berlalu, untuk mulai bersiap-siap melenyapkan dan membunuh Nabi. Usaha mereka di dasari dengan sebuah argumentasi bahwa tanggung jawab pembunuhan ini jangan hanya ditanggung oleh sebuah kabilah saja tetapi, ditanggung oleh semua kabilah. Dengan cara itu, Bani Hasyim dan Bani Mutthalib tidak mungkin akan berperang meminta pertanggungjawaban semua kabilah. Para penolong Nabi dari kedua kabilah ini pasti dengan secara terpaksa akan memaafkan perbuatan ini.
Rencana ini dimatangkan di Dar An-Nadwah (tempat pertemuan). Setelah banyak usulan yang dikemukakan bagaimana cara membunuh Muhammad saw akhirnya, disetujui bahwa setiap kabilah menyiapkan dan mengirimkan seorang pemuda yang terkenal. Setiap mereka dibekali dengan sebuah pedang yang sangat tajam. Mereka diminta untuk berkumpul dan bersiap-siap di luar rumah Muhammad saw. Rencananya mereka akan membunuhnya dengan sekali tebasan secara serempak. Malam pembunuhan juga sudah ditetapkan.
Malaikat Jibril mendatangi Nabi dan mengabarkan apa yang sedang terjadi. Nabi diminta untuk tidak tidur di atas tempat tidurnya. Lebih dari itu, Nabi diizinkan untuk melakukan hijrah. Setelah diberi tahu oleh Jibril, Nabi mendekati Ali bin Abi Thalib dan menyampaikan apa yang akan terjadi dan memintanya untuk tidur di tempat tidurnya sebagaimana ia biasa tidur. Nabi mewasiatkan Ali untuk melindungi apa yang menjadi tanggungannya dan menyampaikan amanat yang selama ini dijaga oleh Nabi. Nabi bersabda, 'Bila engkau yakin secara penuh dengan apa yang kuperintahkan kepadamu maka, engkau telah dipersiapkan untuk melakukan hijrah ke Allah dan Rasul-Nya. Dan, mulai berjalan ketika suratku sampai kepadamu'. Di sinilah tampak keagungan lembaran-lembaran kehidupan Ali bin Abi Thalib. Ia menerima perintah Nabi dengan jiwa yang tenang, sabar dan penuh keimanan. Sikap Ali bin Abi Thalib memberikan gambaran bagaimana ketaatan mutlak dalam melaksanakan hal-hal yang penting dengan penerimaan yang sadar dan pengorbanan yang agung demi akidah dan Sang Pencipta. Kondisi itu tercermin dari pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi, 'Apakah bila aku melakukan itu engkau akan selamat wahai Rasulullah? Demi keselamatanmu aku siap menyerahkan jiwaku'. Nabi menjawab, 'Iya, memang demikian yang dijanjikan oleh Allah kepadaku'. Mendengar jawaban Nabi, Ali bin Abi Thalib kemudian tertawa menunjukkan rasa senangnya yang tak terkira. Setelah itu ia kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersujud. Berterima kasih akan kabar yang disampaikan oleh Nabi bahwa beliau akan selamat dengan perbuatannya tidur di atas tempat tidur Nabi.
Setelah itu, Nabi meraih tubuh Ali bin Abi Thalib dan mendekapnya sambil menangis terharu menemukan sikap Ali. Ali bin Abi Thalib mendapatkan dirinya menangis karena merasa akan berpisah dengan Nabi.
Malam tiba. Ali bin Abi Thalib memakai kain Rasulullah yang biasa dipakainya. Kemudian direbahkan tubuhnya di pembaringan Nabi. Dengan penuh ketenangan dan keberanian Ali bin Abi Thalib gembira dapat mewakili Nabi dan dengan perbuatannya ini Nabi selamat. Pada saat itu, para pemuda Quraisy mendatangi rumah Nabi dengan segala kebencian yang memenuhi diri mereka dan dengan pedang terhunus siap menebas leher Ali bin Abi Thalib yang disangka Nabi. Perlahan-lahan mereka mulai mengepung rumah Nabi. Mereka memperhatikan pintu yang terbuka yang biasa dipakai Nabi secara seksama dan tempat di mana beliau tidur. Mereka menemukan ada sesosok tubuh yang terbaring di sana. Melihat itu, mereka yakin bahwa Nabi ada dan sedang tidur. Hal itu menambah keyakinan bahwa rencana yang telah disiapkan hampir pasti berhasil. Ketika sepertiga terakhir malam tiba, Nabi keluar dari rumah. Sebelumnya beliau bersembunyi di sebuah tempat di dalam rumah. Nabi keluar menuju gua Tsur. Ia menyembunyikan dirinya di sana untuk sementara waktu dan kemudian melanjutkan perjalanannya yang kemudian dikenal dengan hijrah Nabi.
Waktu yang ditentukan telah tiba. Para pemuda Quraisy serentak menyerang rumah Nabi. Yang berada paling depan adalah Khalid bin Walid. Pada saat yang bersamaan Ali bin Abi Thalib melompat dari tempat tidurnya langsung menyambar pedangnya. Ali bin Abi Thalib berhadap-hadapan dengan mereka. Para pemuda Quraisy merasa ketakutan di hadapan Ali bin Abi Thalib. Serentak juga mereka berlari keluar rumah. Mereka menanyainya tentang Muhammad. Ali menjawab, 'Aku tidak tahu ke mana ia pergi'.
Demikianlah bagaimana Allah berencana untuk menyelamatkan Nabi-Nya dan menyebarluaskan dakwah agamanya.
Sikap Ali bin Abi Thalib patut dicontoh, penuh keberanian dan cara yang unik memberikan sebuah bentuk bagaimana seseorang harus melakukan pengorbanan. Para revolusioner mendapat sebuah teladan bagaimana harus berbuat demi mengubah dan memperbaharui dalam masalah akidah dan jihad. Yang menjadi tujuan Ali hanya satu. Kerelaan Allah atasnya dan keselamatan Nabi Allah serta tersebarnya dakwah Islam. Sebuah ayat turun terkait dengan pengorbanan Ali. Allah berfirman, 'Dan dari sebagian manusia ada yang menjual dirinya karena mengharapkan ridha Allah. Dan Allah Maha Penyayang hamba-Nya'.
Kebanggaan Allah dan malaikat-Nya terkait dengan sikap Ali bin Abi Thalib
Perbuatan Ali bin Abi Thalib tidur di tempat pembaringan Nabi dengan nyata membuka kedok permusuhan Quraisy. Rencana dan harapan yang sudah dibuat sedemikian rupa untuk membunuh Nabi gagal. Pertarungan ini adalah simbol keruntuhan setan dan kemenangan iman. Belum pernah tercatat sebuah perbuatan seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dalam nilai dan pahala. Bagaimana tidak, Allah dan para malaikat merasa bangga dengan pengorbanan yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib sesuai dengan riwayat:
'Pada malam itu Ali bin Abi Thalib tidur di pembaringan Rasulullah saw. Allah berkata kepada malaikat Jibril dan Mikail, 'Aku telah menjadikan kalian berdua bak saudara. Umur salah satu dari kalian lebih panjang dari yang lainnya. Siapa dari kalian yang ingin berkorban demi kehidupan yang lain?
Salah satu dari keduanya memilih kehidupan dan kedua-duanya mencintainya. Kemudian Allah berkata kembali kepada keduanya, 'Apakah kalian berdua tidak ingin seperti Ali bin Abi Thalib ketika Aku menjadikannya saudara Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib tidur di pembaringan Nabi dan mengorbankan jiwanya demi Muhammad. Turunlah kalian berdua ke bumi dan lindungi Ali bin Abi Thalib dari musuh-musuhnya. Mereka berdua turun. Jibril berada di sisi kepala sementara Mikail berada tepat pada kakinya. Setelah itu Jibril berkata, 'Selamat, selamat. Siapa yang dapat melakukan hal yang sama seperti yang engkau lakukan wahai Ali bin Abi Thalib. Allah membanggakanmu di hadapan malaikat di atas langit ketujuh?'
Pekerjaan-pekerjaan penting setelah malam hijrah
Fajar menyongsong keesokan harinya. Hari pertama hijrah di bawah lindungan keselamatan dan keamanan dari Allah, Nabi dengan berpegangan pada rencana sebelumnya tetap melanjutkan perjalanan menuju Madinah pusat risalah Islam yang baru. Rahasia-rahasia kebaikan hati Ali bin Abi Thalib seakan-akan pecah. Ia telah melalui malam yang sangat menakutkan dalam hidupnya. Malam yang setiap kemungkinan buruk dan tidak diinginkan dapat terjadi. Untungnya ia melaluinya dengan selamat. Ia telah melakukan pekerjaan penting dengan sangat baik. Ali bin Abi Thalib melakukannya dengan ketepatan, ketelitian dan kesadaran yang tinggi.
Pekerjaan-pekerjaan penting setelah kejadian malam itu telah menunggu Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang pun yang sanggup melakukannya selainnya. Salah satu tugas berat itu adalah mengembalikan amanat yang sempat dititipkan kepada Nabi kepada pemiliknya. Mengembalikan amanat orang-orang musyrik yang sebelumnya meyakini akan keikhlasan dan kepercayaan yang dimilikinya. Di lingkungan orang-orang Quraisy Nabi dikenal sebagai As-Shadiq Al-Amin (orang jujur dan tepercaya). Begitu juga, bila ada orang-orang Arab yang hendak menunaikan haji biasanya mereka menitipkan barang-barangnya, baik perhiasan maupun harta lainnya, kepada Nabi. Mereka tahu betul bahwa Nabi bukan orang yang suka merusak perjanjian yang dilakukannya. Ia tidak mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Mereka betul-betul tahu bahwa bila kondisi sesulit apa pun, bahkan sampai pada usaha pembunuhan pada dirinya, yang sedang menimpanya ia tidak akan memanfaatkan kesempatan untuk mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Kondisi di mana mampu membuat seorang yang berakal pun dengan cepat dapat melupakan semua itu. Tanpa melupakan satu hal lagi, Nabi menyerahkan urusan ini kepada orang yang benar tahu apa yang harus dikerjakannya dan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Orang tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib yang benar-benar tahu tentang Nabi dan siapa-siapa saja yang menitipkan harta kepada Nabi. Ia juga seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Ali bin Abi Thalib kemudian mengembalikan semua amanat kepada pemilik-pemiliknya. Itu dilakukannya di depan Ka'bah sambil berteriak dengan suara tinggi, 'Wahai orang-orang Mekkah, siapa yang merasa memiliki amanat? Apakah ada yang memiliki wasiat? Apakah ada yang merasa memiliki barang-barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw? Setelah dibagi dan menunggu tidak ada lagi yang datang Ali bin Abi Thalib kemudian pergi menyusul Nabi ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekkah selama tiga hari'.
Ali bin Abi Thalib berhijrah
Rasulullah saw telah sampai di Quba dengan selamat. Nabi dijemput oleh sekumpulan orang-orang Anshar. Dari sini Nabi menulis surat dan mengirimkannya kepada Ali bin Abi Thalib agar ia segera berangkat dan bergabung dengannya. Yang mengirimkan surat tersebut Abu Waqid Al-Laitsi. Ketika surat tersebut sampai di tangan Ali bin Abi Thalib, ia pun segera mempersiapkan kendaraan dan bahan makanan yang dibutuhkan selama perjalanan. Ia meminta kepada sebagian kaum muslimin yang masih tinggal, sebagian besar dari kalangan mustadh'afin, agar dengan diam-diam, tanpa membawa sesuatu yang berat, untuk berkumpul di Dzi Tuwa (tempat dekat Mekkah) pada tengah malam. Dengan datangnya surat Nabi dimulailah pekerjaan berat ketiga yang harus dilakukan Ali. Pekerjaan itu adalah melakukan perjalanan dengan para wanita ke Madinah. Hijrah yang dilakukannya bersama beberapa wanita yang bernama Fathimah; Fathimah binti Rasulullah, Fathimah binti Asad (ibunya), Fathimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib, Fathimah binti Hamzah. Ikut bersama mereka Aiman budak Rasulullah dan Abu Waqid Al-Laitsi.
Abu Waqid Al-Laitsi bertugas menjaga dan mengatur unta-unta. Karena diterpa keletihan yang sangat ia mengusulkan jalur yang lebih cepat agar musuh-musuh tidak dapat mengejar mereka.
Ali bin Abi Thalib berpendapat untuk tetap dengan kecepatan gerak unta yang sudah ada. Hal itu karena bersama mereka wanita-wanita Bani Hasyim. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abu Waqid, 'Kasihanilah wanita-wanita! Mereka lemah. Akhirnya Ali bin Abi Thalib mengambil inisiatif untuk mengendalikan konvoi. Ia mengatur sedemikian rupa agar tidak terlalu cepat. Ia berusaha agar mereka yang ikut bersamanya merasa aman dan tenang dengan mengucapkan syair:
Tinggikan persangkaanmu kepada Allah
Apa pun yang kau pikirkan hanya Allah yang akan mencukupimu
Ali bin Abi Thalib tetap melanjutkan perjalanan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa hingga sampai pada jalan menuju desa yang bernama Dhajnan. Di sana ia bertemu dengan orang-orang yang dikirim oleh Quraisy untuk menangkap dan mengembalikan Ali bin Abi Thalib dan orang-orang yang bersamanya ke Mekkah. Mereka terdiri dari tujuh orang penunggang kuda yang menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Bersama mereka budak Harb bin Umaiyah yang bernama Jinah. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abu Waqid dan Aiman, 'Ikatlah unta-unta'. Ia maju kemudian menurunkan para wanita setelah itu menghadap para penunggang kuda dengan menghunus pedangnya. Mereka berkata kepadanya, 'Wahai pengkhianat! Apakah engkau menganggap akan selamat dengan para wanita? Pulanglah kau sudah tidak memiliki ayah lagi!' Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Bila aku tidak melakukan apa yang kalian inginkan? Mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib mereka semakin marah dan benci sambil melanjutkan, 'Engkau boleh memilih pulang dengan beradu senjata atau kami akan memulangkanmu dengan memperbanyak rambutmu sehingga engkau akan terlihat lebih lemah dari orang mati'.
Sebagian dari mereka mendekat kumpulan unta dan menakut-nakuti agar para wanita merasa ketakutan. Ali bin Abi Thalib menghalangi apa yang ingin dilakukan mereka. Jinah dengan cepat menuju Ali bin Abi Thalib ingin memenggal kepalanya. Ali bin Abi Thalib menghindar tebasannya dan dengan cepat ia melayangkan dengan cepat pedangnya tepat mengarah kepala Jinah. Badannya terbelah dua. Saking kuat dan cepatnya pukulan Ali bin Abi Thalib pedangnya sampai melukai pundak kuda Jinah. Ali bin Abi Thalib setelah menjatuhkan Jinah memburu penunggang kuda lainnya. Melihat itu, mereka segera menggerakkan kudanya berlari menjauhi Ali bin Abi Thalib saking takutnya.
Mereka berkata, 'Wahai Ali, tahan dirimu'. Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Aku ingin pergi menemui saudara dan anak pamanku Rasulullah. Barang siapa yang merasa gembira dan senang dagingnya tercincang dan darahnya mengalir maka mendekatlah'. Mereka lari terbirit-birit ke belakang ketakutan.
Ali bin Abi Thalib berbalik menghadap Aiman dan Abu Waqid sambil berkata, 'Bukakan tali-tali pengikat unta. Mereka kemudian menaiki kendaraannya dan melanjutkan perjalanan hingga sampai di desa Dhajnan. Di sana mereka tinggal sehari semalam hingga seorang dari mustadh'afin sampai. Pada malamnya wanita-wanita melakukan salat dan berzikir; berdiri, duduk dan berbaring, hingga fajar menyingsing. Ali bin Abi Thalib mengimami salat subuh bersama mereka. Setelah menunaikan salat subuh secara berjamaah, mereka melanjutkan perjalanan melalui satu persatu rumah dan pada saat yang sama mereka tidak pernah lupa untuk berzikir kepada Allah hingga sampai di kota Madinah.
Sebelum mereka sampai di Madinah, wahyu turun menjelaskan kondisi mereka dan Allah telah menyiapkan pahala yang besar untuk mereka. Allah berfirman, 'Orang-orang yang mengingat Allah dalam kondisi berdiri, duduk dan berbaring dan memikirkan penciptaan langit ... Allah mengabulkan mereka ... orang-orang yang melakukan hijrah dan diusir dari rumah-rumah mereka dan diganggu di jalanku dan mereka yang berperang ... Aku akan memasukkan mereka ke dalam surga ... dan di sisi Allah pahala yang baik.
Rasullah ketika tiba di Quba, ia tinggal di tempat Amr bin 'Auf. Ia tinggal tidak lebih dari sepuluh hari. Nabi melakukan salat sehari-harinya dengan qashar (memendekkan salat). Maukah engkau tinggal bersama kami? Akan kami sediakan rumah dan tempat yang dapat dijadikan masjid. Nabi menjawab, 'Tidak. Aku menanti Ali bin Abi Thalib. Aku telah memintanya untuk menemuiku. Aku tidak akan mencari tempat tinggal terlebih dahulu hingga Ali bin Abi Thalib sampai. Aku tidak akan mendahuluinya insyaallah'.
Ali bin Abi Thalib beserta rombongan tiba. Terlihat kakinya yang melepuh dan sebagiannya malah terluka. Itu akibat perjalanan yang melelahkan dan cuaca yang sangat panas. Ali bin Abi Thalib dalam perjalanan tidak menaiki unta melainkan berjalan kaki. Nabi ketika melihat kondisi Ali bin Abi Thalib langsung menitikkan air mata. Nabi kemudian mengusap kedua kaki Ali bin Abi Thalib dengan tangannya. Luka-luka di kaki Ali bin Abi Thalib sembuh dan semenjak itu kakinya tidak pernah sakit.
Dengan kedatangan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersama rombongan dari Quba menuju Bani Salim bin 'Auf. Di sana Nabi menggariskan dan mendirikan masjid. Kiblat di tetapkan oleh Nabi. Nabi bersama rombongan melakukan salat dua rakaat dan kemudian berkhotbah dengan dua khotbah. Pada hari itu juga mereka menuju Madinah. Nabi menaiki untanya dan Ali bin Abi Thalib bersamanya lagi. Ali bin Abi Thalib berjalan sesuai dengan jalannya Nabi. Pada akhirnya Nabi turun dan tinggal, disertai Ali, di tempat Abu Ayub Al-Anshari. Mereka tinggal di sana hingga masjid dan rumah tempat tinggal mereka dibangun. Setelah rumah mereka dibangun Nabi menuju rumahnya dan Ali bin Abi Thalib tinggal di rumahnya sendiri.
Beberapa makna tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi
1. Tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi menunjukkan kematangan pribadi Ali bin Abi Thalib dalam kaca mata risalah Islam. Ia dianggap telah mampu memperagakan pribadi Nabi dalam menghadapi masalah-masalah sulit, kejadian-kejadian yang berat dan dalam melaksanakan perintah-perintah penting.
2. Proses penghancuran propaganda Quraisy yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dengan memakai kain Nabi yang biasa dipakai oleh Rasulullah saw dan tidurnya di pembaringan Nabi menunjukkan hubungan kekerabatan sebagai daya rekat paling awal. Ditegaskan lagi, daya rekat awal ini ditunjukkan dengan ungkapan jiwa Ali bin Abi Thalib adalah jiwa Rasulullah saw. Khususnya ketika Ali bin Abi Thalib menyelesaikan dengan baik pekerjaan-pekerjaan penting lainnya terkait dengan masalah materi dan sosial yang terkait erat dengan Nabi.
3. Ali bin Abi Thalib tinggal selam tiga hari di kota Mekkah menunjukkan keberaniannya. Ia dengan berani mengumumkan sikap awalnya. Ia tepat dengan jalur yang di siapkan oleh Nabi. Ia melakukan perintah Nabi dengan ketenangan penuh dan teliti. Setelah menyelesaikan semua itu, dengan keberanian penuh ia mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy bahwa ia akan melakukan hijrah ke Madinah.
4. Proses tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi menyingkap sisi-sisi lain dari keagungan kepribadian yang dimilikinya. Keagungan kepribadian Ali bin Abi Thalib dapat dinilai dari selain keberanian adalah kekuatan jiwa yang luar biasa, kekuatan badan, kematangan intelektual, kesadaran mutlak akan risalah dan penguasaannya terhadap perintah-perintah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar