Laman

Kamis, 20 Oktober 2011

Doktrin Wahabi Menyebabkan Kontradiksi Kronis Dalam Memahami Ajaran Islam



Doktrin Wahabi Menyebabkan Kontradiksi Kronis Dalam Memahami Ajaran Islam

Diantara sekian banyak doktrin-doktrin Wahabisme yang  terkadang sekaligus jadi semacam yel-yel/jargon/slogan  adalah:
“Kebenaran hanya satu yaitu Salafi (Wahabi)”,
“Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits”,
“Muwahidun, Penegak Tauhid”,  dll.
Ada doktrin paling populer yang dipahami secara salah yaitu doktrin/slogan “Kembali kepada Al-Qur’an dan  Sunnah Rasulullah Saw. menurut pemahaman para Sahabat Nabi Saw,”  sehingga apa saja yang mereka anggap  tidak ada perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung mereka anggap sebagai bid’ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw:  “… kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar” (setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka).




Di sisi lain, doktrin Wahabi ternyata bisa menimbulkan kontradiksi pemahaman yang kronis  terhada suatu permasalahan agama. Lihatlah sebagai contohnya, dalam situs resmi salah seorang pendakwah ajaran sesat Wahabi, bernama Abdurrahman Damasyqiyyah, berkata:  “Saya katakan bahwa boleh untuk kaum perempuan untuk ziarah kubur dengan dasar hadits ini……”   Sementara pemuka Wahabi lainnya, Syaikh  Ibnu Utsaimin, dalam bukunya berjudul Fatawa Muhimmah, h. 149-150, cet. Riyad, berkata:  “Haram ziarah kubur bagi kaum perempuan, itu termasuk dari dosa besar, sekalipun yang diziarahi makam nabi (Muhammad)”.  Kalau di antara sesama Wahabi  saja  saling bertentangan, maka tak heran jika mereka  juga bertentangan dengan selain pengikut Wahabisme.
Itu hanya salah satu bukti bahwa dasar ajaran Wahabi menyebabkan sikap “SEENAK PERUTNYA SENDIRI” dalam prakteknya. Yang  satu mengatakan boleh ziarah kubur, yang lainnya mengatakan haram. Kontradiksi yang kronis ini bisa diibaratkan bagaikan surga dan neraka, yaitu kontradiksi yang  seharusnya tidak bisa dimaklumi begitu saja.   Nah, untuk melihat bagaimana doktrin Wahabi itu menyebabkan kontradiksi pemahaman ajaran Islam,  mari kita ikuti sorotan tajam dari Dean Sasmita. Selamat menyimak semoga bermanfaat…..  

KONSEP  ‘PEMIKIRAN WAHABI’  YANG DITULARKAN PADA PENGIKUTNYA (DOKTRIN)
Kaum Salafi & Wahabi tidak menggunakan metodologi ulama ushul(ulama yang ahli mengenai pembahasan dasar-dasar ajaran agama) di dalam membahas dalil-dalil tentang bid’ah, maka mereka terjebak di dalam pembahasan dan fatwa yang tidak seragam. Apalagi mereka hanya merujuk pendapat ulama salaf tanpa melalui mata-rantai penjelasannya dari para ulama setelah mereka, maka keseragaman paham itu menjadi hal yang kemungkinannya sangat kecil.
Oleh karena itu, antara mereka saja banyak terjadi kontradiksi dan perbedaan pendapat. Hal ini terjadi karena masing-masing mereka selalu berupaya merujuk langsung suatu permasalahan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama salaf. Tentunya, kapasitas keilmuan dan kemampuan yang berbeda dalam memahami dalil, akan memunculkan perbedaan pandangan dalam menyimpulkan dalil tersebut.
Asal tahu saja, proses seperti inilah yang banyak memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu di Indonesia, di mana setiap pelopornya merasa berhak mengkaji dalil secara langsung dan memahaminya menurut kemampuannya sendiri masing-masing.
Sungguh berbeda dari ajaran mayoritas ulama yang mentradisikan proses ijazah (pernyataan pemberian ilmu atau wewenang dari seorang guru kepada murid), serta pembacaan dan pengajaran kitab-kitab para ulama secara berantai dan turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga apa yang dipahami oleh seorang guru yang hidup di masa lampau akan sama persis dengan yang dipahami oleh seorang murid yang hidup belakangan, berapapun jarak antara masa hidup keduanya. Maka kita dapat melihat perbedaan yang nyata antara pengikut paham Salafi & Wahabi dengan para pengikut ulama mayoritas dalam ungkapan-ungkapan penyampaian mereka.
Kita pasti banyak menemukan (dalam kitab-kitab mereka ataupun dalam buku-buku terjemahannya bahkan dalam gaya bicara mereka yang dilanjutkan oleh para pengikutnya), dimana kaum Salafi & Wahabi akan banyak berkata, “Berdasarkan firman Allah …” atau “Berdasarkan sunnah/hadis Rasulullah Saw. …”.  Sedangkan para pengikut ulama mayoritas banyak berkata, “Menurut Imam Nawawi di dalam kitab beliau …, menurut Imam Ghazali di dalam kitab beliau …, telah disebutkan oleh Imam as-Subki di dalam kitab beliau …, Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami di dalam kitab beliau berkata …,” dan lain sebagainya.
Bilamana mereka menanyakan, bukankah lebih tinggi al-Qur’an dan hadits daripada pendapat para ulama? Benar, tetapi masalahnya bukan pada al-Qur’an atau hadistnya, melainkan pada pemahamannya. Dengan begitu seharusnya mereka juga bertanya, mana yang lebih bagus dan lebih selamat; menyampaikan ayat al-Qur’an dan hadist dengan pemahaman sendiri, atau menyampaikan pemahaman para ulama tentang ayat al-Qur’an atau hadist? Terbukti, ternyata kaum Salafi & Wahabi banyak keliru menempatkan dalil karena mereka memahami dalil tersebut secara dzahir dan harfiyah (tekstual).
Maka itu, bahwa fatwa-fatwa kaum Salafi & Wahabi sebagaimana kita tahu,selalu terkesan aneh, kontradiktif sehingga sangat berbahaya bagi persatuan dan kebersamaan umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan Cuma itu, bahkan paham ini mengandung penyimpangan di dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang diyakini oleh mayoritas ulama dari zaman ke zaman.
Bila paham Salafi & Wahabi ini dipegang seseorang secara pasif (untuk pribadi) dan bijaksana (dalam menyikapi perbedaan), maka bahaya tadi dapat dihindari dengan sendirinya. Tinggal ia saja harus menelitinya kembali dengan disertai disimplin ilmu dan dibimbing guru. Tetapi bila paham ini diyakini sebagai “yang benar” dan yang tidak sejalan dengannya adalah “sesat”, maka paham ini berarti mengandung ekslusivisme (merasa istimewa sendiri) yang akan memunculkan sifat sombong pada diri pengikutnya.
Lihat saja mereka, teman-teman kita yang masih sekolah setingkat SLTA sampai Mahasiswa dan kebanyakan tidak mengenyam pendidikan pesantren, begitu bergelora keadaan semangatnya dalam berdakwahnamun secara tidak disadari telah menggunakan konsep pemikiran diatas. Dan bila paham ini dipegang secara aktif (dipromosikan dan didakwahkan), maka akan terbuka peluang-peluang terjadinya bahaya seperti terpecahnya muslim secara internal. Jika sudah seperti itu keadaannya, siapa yang beruntung dan bersorak gembira ? ..iblis dan yahudi, so pasti !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar