mujtahid
DALAM peta sejarah sosial Islam, Mulla Shadra –pencetus mazhab “al-Hikmah al-Muta’aliyah” (Filsafat Hikmah)- diakui oleh para cendikiawan Muslim sebagai salah seorang filosof Muslim terbesar pada jamannya. Sebab jika kita membuka lembar sejarah, Mulla Shadra hidup pada abad pertengahan, yang menurut sebagian orang terutama Barat, menandainya dengan sebutan abad statis (jumud), taqlid atau kemunduran.
Dinamika pemikiran filsafat pada abad pertengahan merupakan bentuk kemajuan tersendiri. Namun sayangnya, hal ini tidak menjadi referensi yang cukup- untuk tidak menyebut paling utama- dalam melihat dinamika sejarah intelektual Muslim. Mungkin, karena wacana yang lebih terlihat dan nampak kepermukaann adalah aspek politik, sosial atau keagamaan. Namun, untuk menilai kebenaran sejarah yang sesungguhnya, dalam hal ini Mulla Shadra menjadi pioner intelektual dan meninggalkan pengaruh yang tidak kalah dengan para filosof pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan sebagainya.
Murtadha Mutahhari pernah menulis buku berjudul ”Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra” (2002). Karya itu sangat “padat dan berisi”. Meskipun sepintas sangat singkat, namun bobot substansinya sangat berwibawa, bahkan tidak kalah dengan buku-buku filsafat Islam lainnya. Kehadiran Mulla Shadra sebagai filosof, hampir mewarnai pemikiran sesudahnya, atau bahkan sampai sekarang relung-relung denyut nadinya masih dicari dan dikaji setiap orang. Tidak berlebihan, jika profil semisal Murtadha Muthahhari, sangat mengagumi ide-ide yang memuaskan, baik secara ruhani maupun intelektual (argumentatif).
Di samping sebagai filosof, Mulla Shadra juga dikenal memiliki keunggulan ilmu di bidang tafsir, hadits, dan gnosis (`irfan). Berbagai karya dan tulisannya dapat kita jumpai di perpustakaan, yang menjadi sumber rujukan yang paling utama, selain buku-buku filsafat Islam yang lain. Shadra tergolong pemikir yang energik dalam menuangkan gagasan-gagasan, terutama disiplin ilmu-ilmu tradisonal Islam.
Dalam spektrum pemikiran filsafat Islam, sosok Mulla Shadra dikenal sebagai penghubung yang mempertemukan aliran pemikiran yang berkembang di kalangan Muslim, yakni tradisi Aristotelian cum Neoplatonis yang diwakili figur al-Farabi (872-950 M) dan Ibn Sina (980-1037), filsafat Illuminasi Suhrawardi Kalam (teologi dialektis) yang pada saat itu memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nashir al-Din al-Thusi (w.1273).
Haidar Baqir dalam pengantar buku ini, menjelaskan bahwa terdapat empat aliran yang melatar-belakangi munculnya Filsafat Hikmah, di antaranya: pertama, pendekatan teologi dialektik (‘ilmu kalam), pendekatan paripatetisme (Masysya`iyyah), pendekatan illuminisme (Israqiyyah) dan pendekatan sufisme/teosofi ( tashawwuf atau Irfani), khususnya yang dikembangkan oleh Ibn `Arabi (hlm.15).
Sebagai pengagum Mulla Shadra, Muthahhari (penulis buku ini) mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, kata Muthahhari, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir di atas, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Lebih jauh lagi, filsafat Mulla Shadra disinyalir oleh pemikir sesudahnya memiliki kedalaman khas, yang tidak mudah dijangkau oleh setiap manusia, termasuk oleh pemikir Barat. Sedemikian canggihnya filsafat ini sampai-sampai kalangan Barat tidak mudah untuk bisa menelaahnya secara cermat, kata Muthahhari. Lebih lanjut, Muthahhari mengungkapkan bahwa uraian filosofis Mulla Shadra sulit tertandingi, baik dari kalangan filosof dan pemikir dunia Islam sendiri, maupun dari kalangan filosof Timur dan Barat sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar