Laman

Kamis, 20 Oktober 2011

Ibnu Taymiyah Berbohong Atas Nama Sahabat dalam Mengutamakan Abu Bakar & Umar atas Imam Ali as. (4)



Akar argumentasi mereka yang mengutamakan Khalifah Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as. adalah adanya beberapa riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar dan juga penukilan ucapan atas nama Imam Mulia Ali ibn Abi Thalib as. serta beberapa riwayat atas nama nabi Suci Muhammad saw. Dan kerenanya tidak sedikit mereka yang tertipu dengan gemerlapnya status semu penukila itu!
Penukilan yang tidak akurat itu telah dijadikan Pedoman Kudus sementara orang yang tidak mungkin bias dan atau boleh diperdebatkan keotentikannya dan tidak akan pudar tinggak keakutananya.



Dari sini, kami memandang perlu utmuk menyemprnakan kajian dalam msalah ini dengan membahasnya di sini.
Kita akan awali dengan meneliti hadis Ibnu Umar, setelahnya kita akan lanjutkan dengan hadis atas nama Imam Ali as.dan sabda Nabi saw.
           Hadis Ibnu Umar
Adapun tentang hadis Ibnu Umar yang mengatakan bahwa para sahabat mengutamakan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman, dan setelahnya para sahabat Nabi saw. itu sama-sama dalam nilai dan keutamannya, adalah sebagai berikut ini.
Diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Umar, iaberkata:
كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. (رواه البخاري)
“Kami membanding-bandingkan yang terbaik di antara manusia di zaman Rasulullah saw. maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman bin Affan.” (HR. Bukhari)
Dalam redaksi lain diriwayatkan:
 كُنَّا نَقُوْلُ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ. (رواه أبو داود في كتاب السنة باب التفضيل والترمذي وقال حديث حسن صحيح).
“Kami mengatakan dan Rasulullah swa. masih hidup bahwa yang paling utama dari umat Nabi saw. setelah beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata: Hadits hasan sahih)
Dua riwayat di atas perlu dipertanyakan kesahihannya. Bahkan kepalsuan riwayat-riwayat seperti itu sudah tanpak nyata bagi Anda yang mau berpkir jernih dan kritis.
Meskipun hadis itu diriwayatkan oleh Imam Bukahri dalam kitabShahih-nya, para ulama besar Ahlusunnah tidak sedikit yang meragukannya dan bahkan ada yang menolaknya. Mereka mengatakan bahwa Imam Bukhari salah dalam meriwayatkan hadis tersebut, karena beberapa alsaan:
A)               Hadis tersebut bertentangan dengan akidah Ahlusunah sendiri yang meyakini bahwa urutan keutamaan sahabat Nabi adalah sebagai berikut, Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali as. Ahlusunnah sepakat bahwa Ali adalah sahabat paling utama setelah ketiga sahabat di atas, yang masih diperselisihkan di antara mereka adalah apakah Ali lebih utama dari Utsman atau tidak? Jumhur Ahlusunnah (dan kini menjadi pendapat resmi yang dibakukan) adalah Utsman lebih utama. Dari sini dapat dimengerti mengapa Ibnu Abdil Barr dalam kitabIstî’âb-nya bersikeras menolak hadis Ibnu Umar, ia berkata, “Muhammad ibn Zakaria, Yahya ibn Abdurahman dan Abdurahman ibn Yahya berkata, Ahmad ibn Sa’id ibn Haram berkata, Ahmad ibn Khuld berkata, Marwan ibn Abdul Malik berkata, ‘Aku mendengar Harun ibn Ishaq berkata, ‘Aku mendengar Yahya ibn Ma’in berkata, ‘Barangsiapa mengatakan Abu Bakar, Umar dan Utsman dan Ali serta mengakui keutamaan Ali maka ia penganut sunnah.’ Lalu aku sebutkan kepadanya orang-orang yang berkata, ‘Abu Bakar, Umar dan Utsman, kemudian diam (tidak menyebut Ali dalam urutan keutamaan)’, maka ia marah dan berkata kasar tentahg mereka.’” Yahya sendiri menyakini Ali lebih afdhal dari Utsman. Abu Amr (Ibnu Abdil Barr) berkata, “Barangsiapa berpendapat seperti hadis Ibnu Umar, ‘Kami berkata di masa Rasulullah saw., ‘Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian diam (maksudnya tidak mengutamakan Ali di atas sahabat lain) itulah yang diingkari oleh Yahya ibnu Ma’in dan ia berkata kasar tentang mereka. Sebab yang mengakatan demikian itu berpendapat bertentangan dengan apa yang disepakati oleh Ahulusunah dari kalangan Salaf dan Khalaf dari kalangan Ahli Fikih dan Ahli Hadis, sebab Ali adalah palingafdhal-nya sahabat setelah Utsman. Ini tidak diperselisihkan oleh mereka, yang mereka perselisihkan hanyalah apakah Ali lebih afdhal dari Utsman atau tidak, sebagaimana kalanganSalaf berselisih tentang mana yang lebih afdhal, Ali atau Abu Bakar?
B)               Andai disimpulkan bahwa sikap Ibnu Umar itu mewakili para sahabat dan Nabi pun telah mendiamkan dan dengan demikian hal itu berarti sunnah taqrîriyah, maka kesimpulan itu akan mempersulit para ulama yang meyakininya, sebab redaksi seperti itu jika dipahami demikian ia meniscayakan keharusan juga menerima anggapan tentang hukum dibolehkannya menjual ummahatul awlâd (budak yang telah melahirkan anak dari tuannya), sebab dalam hadis Jabir dan Ibn Sa’id disebutkan redaksi demikian:
كُنَّا نَبِيْعُ أُمَهاتِ الأولادِ عل عَهْدِ رسولِ الله (ص).
“Kami di masa Rasulullah saw. menjual ummahatul awlâd.”Padahal tidak satupun ulama yang membolehkan hukum tersebut.
C)               Andai benar hadis itu telah diucapkan oleh Ibnu Umar, maka perlu dimengerti bahwa tidak sedikit sabahat yang bertentangan dengan pendapat Abdullah ibn Umar yang ia atas-namakan para sahabat. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa di antara para sahabat ada yang berpendapat seperti kaum Syi’ah dalam mengutamakan Ali di atas para sahabat lain ….[1] Dan kesaksian Ibnu Khaldun ini ‘…dan diantara para sahabat ada yang berpendapat seperti kaum Syi’ah…’ tentunya tidak tepat, sebab mereka bukan berpendapat seperti pendapat kaum Syi’ah, akan tetapi justru sahabat-sahabat mulia itulah yang dikiuti oleh golongan Syi’ah. Sebab mereka itu adalah generasi pertama Syi’ah. Jadi jelaslah bahwa di antara para sahabat Nabi saw. ada yang mengunggulkan Imam Ali di atas para sahabat lain!
D)               Masalah tafdhîl di antara sahabat Nabi saw. sudah menjadi masalah politik dan sengketa kemazhaban di kalangan kaum Muslim sejak masa silam. Ia telah menjadi pilar doktrin Ahlusunah dan dijadikan pijakan dalam menilai seseorang. Jadi tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan kemazhaban mendorong sebagian perawi untuk memalsu hadis tersebut atas nama Ibnu Umar, seperti pemalsuan-pemalsuan lain yang diilhami oleh fanatisme mazhabiyah! Sebab –seperti telah dimaklumi- pemalsuan demi mazhab adalah hal lumrah dilakukan para perawi tertentu.
        Tentang Ibnu Umar
 Ibnu Umar sendiri disinyalir kurang simpatik terhadap Imam Ali as. Banyak bukti yang menguatkan dugaan itu, di antara adalah:
A)               Ibnu Umar Tidak Sudi Membaiat Imam Ali as. dan Mengakuinya Sebagai Khalifatil Muslimin.
Al Hakim meriwayatkan, ‘… kemudian Ali as. mengutus orang untuk mendatangi Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdullah ibn Umar, Muhammad ibnMaslamah, (setelah mereka berkumpul) Ali berkata kepada mereka, ‘Telah sampai kepadaku dari kalian begini dan begitu.’…. Abdullah ibn Umar berkata kepada Ali, ‘Demi Allah dan demi kekerabatan, jangan paksa aku sesuatu yang aku tidak mengenalnya. Demi Allah aku tidak akan membaiatmu sehingga seluruh kaum Muslimin bersepakat berdasarkan apa yang disatukan Allah.”
Sibthu Ibnu Jauwzi dalam Tadzkirah-nya menegaskan ketidak-sudian Ibnu Umar membaiat Ali as., ia berkata, “Ibnu Jarir berkata, ‘Di antara yang engan membaiat Ali adalah Hassân ibn Tsâbit, Abu Sa’id al Khudiri, Nu’man ibn Basyir, Rafi’ ibn Khadij bersama beberapa orang lainnya, dan tentang  Zaid ibn Tsabit, Muhammad ibn Maslamah terdapat perbedaan. Dan menurut selain Ibnu Jarir yang tidak membaiat adalah Qudamah ibn Madz’un, Abdullah ibn Sallâm, Mughirah ibn Syu’bahm Abdullah ibn Umar, Sa’ad, Shubaib, Zaid ibn Tsabit, Usamah ibn Zaid, Ka’ab ibn Malik. Dan ada sekelompok lainnya melarikan diri ke kota Syam, mereka itu disebut dengan kelompok Utsmaniyah.[2]  
B)               Ia merelakan diri untuk membaiat Yazid dan mengakuinya sebagai yang laik menduduki jabatan sebagai Khalifah Rasulullah saw.
Banyak data-data sejarah yang membuktikan hal tersebut. Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Mu’awiyah berpidato dalam rangka meminta baiat setia dari umat Islam untuk Yazid putranya sebagai Khalifah sepeninggalnya, berita itu sampai kepada Abdullah ibnu Umar, ia datang menemui Ummul Mukminin Hafshah saudarinya, ia berkata kepadanya: Perkara ini seperti telah Anda saksikan, tidak dijadikan untukku sedikitpun dari perkara ini (khilafah). Hafshah berkata: datangi, sesungguhnya mereka sedang menantimu. Saya khawatir jika kamu menahan diri (tidak berangkat) akan terjadi perpecahan. Hafshah memaksanya berangkat. Setelah orang-orang bubar, Muawiyah berkata, “Barang siapa yang hendak berbicara hendaknya ia menampakkan tanduknya (dirinya). Kamilah yang paling berhak terhadap khilafah ini dari ia dan ayahnya. Habib ibn Maslamah berkata: Mengapa tidak kamu jawab!”
Ibnu Umar berkata, “Maka saya lepas selendang saya dan saya ingin berkata, ‘Yang lebih berhak atas perkara ini adalah orang yang telah memerangimu dan memerangi ayahmu atas dasar Islam.’ Lalu saya takut saya mengucapkan sesuatu yang akan memecah belah persatuan dan mencucurkan darah serta difahami selain yang saya maksud. Kemudian saya teringat apa yang disiapkan Allah di dalam surga (bagi yang meninggalkan dunia).’”
Habib berkata, “Kamu telah dipelihara dan diselamatkan.”[3]
Bahkan lebih dari itu, Ibnu Umar memaksakan sikapnya kepada orang-orang dekatnya yang terkait dengannya, seperti ditegaskan dalam banyak data sejarah. Ketika penduduk kotasuci Madinah yang terdiri dari sisa-sisa para sahabat Nabi saw. dari kalangan Anshar dan Muhajirin dan putra-putra mereka, -setelah mendapat keyakinan pasti akan kefasikan Yazid- sang Khalifah yang baru ditunjuk ayahnya, ketika delegasi penduduk Madinah menyaksikannya sendiri dengan mata kepala mereka- menolak kekhilafahan Yazid dan mengusir gubenur yang ditunjuk Yazid. Mereka melakukan pemberontakan atas kekuasaan Yazid yang dipimpin oleh putra-putra sahabat seperti  Abdullah putra Handhalah –yang digelari oleh Nabi saw.Ghasîlul malaikah (yang dimandikan malaikat), Abdullah ibn Muthî’ dan kawan-kawan. Setelah mampu meraih simpatik penduduk kota Madinah dan mereka pun mempersiapkan pertempuran yang besar, datanglah Ibnu Umar kepada Abdullah ibn Muthî’ seraya menegur bahwa sikap membatalkan baiat itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap Allah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Ketika penduduk Madinah mencopot Yazid ibn Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan para pembantu dan putra-putranya, lalu ia berkata,“Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Kelak di hari kiamat akan dikibarkan bendera (sebagai tanda pengkhianataanya_pen) bagi setiap orang yang pengkhianat.’” Dan sesungguhnya kita telah memberikan baiat kepada orang itu (Yazid) atas dasar baiat Allah dan Rasul-Nya, dan saya tidak mengetahui ada pengkhianatan yang lebih besar dari seseorang yang telah berbaiat atas dasar baiat Allah dan Rasul-Nya kemudian mengobarkan peperangan atasnya. Dan saya tidak mengetahui seorang dari kalian melepas baiat (Kepada Yazid) dan memberi baiat kepada orang lain untuk khilafah melainkan itu artinyaputus hubungan dengan saya!.[4]
Imam Muslim dalam shahihnya, Kitabul Imarah meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar mendatangi Abdullah ibn Muthî’ ketika terjadi peristiwa al Hurrah[5] pada masa Yazid ibn Mu’awiyah, lalu Ibnu Muthii’ berkata: hamparkan untuk Abu Abdir Rahman (panggilan Ibnu Umar_pen) sandaran. Ibnu Umar berkata: saya datang bukan untuk duduk, akan tetapi saya datang untuk menyampaikan sebuah hadis yang saya dengan dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Barang siapa melapas tangan dari ketaatan maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah baginya. Dan barang siapa mati sementara tiada ikatan baiat pada lehernya maka ia mati dalam kaadaan jahiliah.”[6]
Sikap dan semangat Ibnu Umar untuk bergegas membaiat Yazid ibn Mu’awiyah itu sebenaranya dikarenakan ia khawatir mati jahiliyah, sebab katanya, barangsiapa bermalam tanpa ada ikatan baiat di lehernya, maka jika ia mati  maka ia mati jahiliyah. Jadi ia khawatir bermalam tanpa ada ikatan baiat kepada Yazid.
Ketika mensyarahi hadis Bukhari di atas, Ibnu hajar berkata, “Ketika Muawiyah mati, Ibnu Umar mengirim sepucuk surat kepada Yazid berupa baiat setianya untuk Yazid.”
Selain bukti-bukti di atas, dapat ditambahkan di sini, bahwa Ibnu Umar ketika menyebut-nyebut para Khalifah yang saleh, ia menyebut Mu’awiyah dan Yazid, sementara itu ia tidak memasukkan nama Ali sebagai Khalifah! Baca Tarikh al Khulafa’; as Suyuthi:167-168.
Jadi ringkas kata, hadis Ibnu Umar yang Anda sebutkan itu perlu Anda renungkan kembali.
                    Tentang Hadis Imam Ali as.
Meraka juga mengandalkan riwayat nukilan dari Imam Ali as., seperti di bawah ini;
Dari Muhammad Ibn al Hanafiyah-putra Imam Ali as.-:
قُلْتُ ِلأَبِيأَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ ?؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَلْتُثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: عُمَرُ. وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاريكتاب فضائل الصحابة باب 4 وفتح البارى 7/20)
“Aku bertanya kepada bapakku, “Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah? Ia menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya (lagi), “Kemudian siapa?” Ia menjawab, “Umar.” Dan aku khwatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan, “Kemudian engkau?” Beliau menjawab, “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin.”(HR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah, bab 4)
Dalam riwayat lain Imam Ali as. dinukil mengancam untuk mencambuk orang yang mengutamakan dirinya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
 لاَ أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يُفَضِّلُنِيْ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِيْنَ.
“Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku di atas Abu Bakar dan Umar, kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.”[7]
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra. menceritakan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai berikut:
إِني لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُو اللهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبِي يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْكُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ ِلأَنِيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ ? يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَهُمَا، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ. (رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر)
“Sungguh aku berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar ibn al Khaththab ketika telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di kedua pundakku berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan Abu Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah bersabda, ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. Hadis-hadis dari Ali ibn Abi Thalib.’”
Entah apa alasan dan motivasinya, sehingga mendadak tumbuh semangat ganjil dari sebagian pihak untuk mengusung ucapan Imam Ali as. sebagai hujjah dan senjata ampuh untuk mendukung pandangan mereka yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar lebih afdhal dan utama atas Imam Ali as. sendiri. Sementara itu semengat serupa atau dengan kualitas yang lebih rendah sekalipun tidak tampak dari mereka dalam menjadikan Ali as. Sebagai rujukan dan panutan dalam urusan agama!
Tetapi terlepas dari itu semua, pembaca dapat meraba adanya ukiran palsu pada riwayat-riwayat seperti itu atas nama Imam Ali as. Coba pembaca renungkan ucapan palsu yang dinisbatkan kepada Imam Ali as. bahwa beliau akan mencambuk orang yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pembohong/pendusta! Ketika dikomfirmasi sumber hadis di atas, ternyata ustadz as Sewed menyebutMajmû Fatâwa-nya Ibnu Taimiyah! Lagi-lagi Majmû Fatâwayang merangkum fatwa-fatwa musuh bebuyan Syi’ah untuk menghujat Syi’ah. Itu aneh kan?! Selain itu, di mana letak kebohongan dan dusta orang yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar itu?! Anggap benar doqma Ahlusunnah dan Wahabi bahwa Ali tidak lebih afdhal dari keduanya, tetapi apa itu beratrti dusta, ia hanya salah dalam berpendapat?! Bukankah masalah ini sifatnya ijtihadiyah, dan dasarnya bukan nash qath’i tetapi sesuatu lain seperti akan- disebtu nanti.
Lalu mengapa mereka yang membawa-bawa nama Imam Ali as. tidak menyadari akan hal ini? Apakah mereka hendak menuduh Imam Ali as. sebagai seorang yang bodoh dan “ngawur” dalam menetapkan sangsi hukum? Seperti kebiasaan Syeikhul Islam-nya kaum Wahabi yang tidak segan-segan menuduh Imam Ali as. sering berlaku ngawur?! Sedangkan hadis kedua yang dikutip dari riwayat Bukhari dari Imam Ali as. adalah riwayat yang patut mengundang kecurigaan, sebab:
Pertama,  hadis itu mengambarkan seakan Imam Ali as. adalah seorang asing atau orang yang sama sekali tidak dikenal atau tidak diperhitungkan oleh kaum Muslimin di Madinah saat itu; saat-saat menjelang dikebumikannya Khalifah Umar ibn al Khaththab… Jenazah Umar sudah diletakkan di atas keranda, lalu Ali menerobos barisan para pelayat… tidak seorangpun menggubrisnya… tiba-tiba Ali meletakkan kedua sikunya di atas pundak Ibnu Abbas untuk menyaksikan jenazah Umar… Subhanallah… alangkah asingnya Ima Ali di tengah-tengah kerumunan jama’ah kaum Muslimin yang sedang melayat Khalifah mereka?! Seakan beliau sebagai rakyat jelata di antara kaum Muslimin?! Demikinkah kalian menggambarkan hubungan Imam Ali dengan Khalifah kalian?!
Kedua,  hadis ini dari sisi sanad bermasalah… ia dari riwayat al Walîd ibn Shaleh adh Dhabbi al Jazari an Nakhâs… Imam Ahmad tidak sudi menulis hadis darinya, sebab ia pendukung aliran ra’yu dan Imam Ahmad pernah menyaksikannya shalat, ternyata tidak becus shalatnya dalam pandangan Ahmad! Ibnu Hajar yang terpaksa mengungkap data rahasia ini tidak mampu mengelaknya, ia hanya mengatakan bahwa Bukhari hanya sekali ini saja meriwayatkan hadis darinya(!?) dan kata Ibnu Hajar, pada dasarnya, Bukhari sendiri tidak berhujjah dengannya, fa dzahara anna al Bukhari lam yahtajja bihi, maka tampaklah bahwa Bukhari sendiri tidak berhujjah dengannya.[8] 
Ketiga,  redaksi yang digunakan dalam riwayat adalah menyalahi kaidah bahasa Arab yang baku… (saya tidak ingin mengungkapnya di sini, sebab ia secara tekhnis adalah sajian untuk kaum santri), dan Ibnu Hajar sendiri mengakuinya… kerenanya ia membela Bukhari dengan mengatakan, “kan tidak semua redaksi hadis di atas dari jalur lain seperti ini juga, ia dengan radaksi yang benar.”[9] Dan sepertinya si pemalsu lupa memaksukkan tambahan setelah kalimat, “…aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar” dan aku nanti juga dikuburkan bersama Abu Bakar dan Umar, dan kelak di surga juga sederajat dengan Abu Bakar dan Umar, dan dan …agar sekalian lengkap episode pemalsuannya, sehingga tidak perlu ada kata-kata di akhir episode ini (BERSAMBUNG).
Jika demikian adanya, adalah hal menggelikan kesimpulan ustadz as Sewed yang mengatakan, “Hadist-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidhah yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar ra.”Bukti apa wahai ustadz yang kamu maksud? Apa hadis-hadis palsu yang tidak jelas maknanya itu yang kamu maksud? Mâ lakum Lâ ta’qilûn?! Afalâ Tatafakkarûn?!
                    Tentang Hadis Nabi saw.
Selain itu, mereka juga mengandalkan hadis sabda Nabi saw. dari riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash, seperti berikut ini:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً.
“Bahwasanya Rasulullah saw. telah mengutus pasukan dalam perang Dzatus Salâsil. Maka aku mendatanginya, dan bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau saw. menjawab, “Aisyah.” Aku berkata, “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab, “Ayahnya.” Aku berkata, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Umar.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang.” (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah,4/1856 no. 2384)
Adapun tentang hadis yang mereka atas-namakan Nabi suci saw. adalah tidak dapat diajukan sebagai bukti di sini, sebab:
Pertama, Itu hanya riwayat Ahlusunnah sendiri. Sementara itu perbedaan dalam masalah ini adalah antara Syi’ah dan Ahlusunah, atau setidaknya melibatkan Syi’ah, sehingga hadis-hadis riwayat Ahlusunnah tidak cukup untuk diangkat sebagai dalil!
Kedua,  Hadis pertama dari riwayat Amr ibn al ‘Ash, si penabur fitnah dan penasehat Mu’awiyah dalam merancang perang Shiffin… ‘Amr ibn al ‘Ash adalah musuh bebuyutan Imam Ali as., setelah sebelumnya getol memusuhi Nabi saw. dan sebagaimana disabdakan dalam hadis shahih bahwa barang siapa membenci Ali maka ia adalah seorang munafik.
Dan dari sisi lain hadis itu disinyalir terputus mata rantai sanadnya, hal mana merusak kualitas hadis sahih yang mensyaratkan bersambungnya sanad, sebab Abu Utsman tidak mendengar dari ‘Amr ibn al ‘Âsh. Demikian dipastikan al Ismaili, sebagai dikutip Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri-nya.[10] Jadi sudikan kita menerima konsep agama kita dari seorang munafik?
Ketiga, Selain itu hadis tersebut kisah penyampaian ucapan (yang dinisbatkan kepada Nabi saw.) adalah seusai perang Dzatus Salâsil, dimana Nabi saw. menunjuk ‘Amr ibn al ‘Âsh sebagai pimpinan dan panglima pasukan dalam peperangan itu yang membawai sahabat-sahabat besar, tidak terkecuali Abu bakar dan Umar,[11] hal mana semua pasti menyimpulkan bahwa penunjukkan itu meniscayakan adanya keunggulan pada sisi ‘Amr yang tidak dimiliki Abu bakar dan Umar[12]… dan itu artinya ‘Amr menyandang keutamaan yang tidak disandang Abu bakar dan Umar… oleh sebab itu kuat kemungkinan perlu dilangsirkan edisi sabda yang menandingi bahkan mengusir anggapan seperti itu dari benak setiap yang membacanya… untuk itu edisi ini diluncurkan… dan untuk mempertegasnya dinisbatkannya hadis kepada ‘Amr –sang panglima yang membawahi Abu Bakar dan Umar-.
Keempat, Hadis ‘Amr itu bertentangngan dengan hadis-hadis sahih yang sangat banyak jumlahnya yang menegaskan bahwa Ali as. adalah sahabat paling dicintai Nabi saw. Ibnu Hajar menyebutkan sebuah hadis dari Aisyah yang mengakui bahwa Ali lebih dicintai Nabi ketimbang Abu Bakar, ayahnya sendiri. Hadis itu diakui kesahihannya oleh Ibnu Hajar. Ibnu Hajar berkata, “Ahmad, Abu Daud dan an Nasa’i meriwayatkan, dan ia mensahihkannya dengan sanad dari Nu’man ibn Basyir, ia berkata, ‘Abu Bakar meminta izin masuk ke rumah Nabi saw., lalu ia mendengar suara keras Aisyah, ia sedang mengangkat suaranya seraya berkata:
لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّ علِيًّا أَحَبُّ إليكَ مِنْ أبي
“Aku benar-benar telah tahu bahwa Ali lebih engkau cintai ketimbang ayahku.”[13]
Hadis ini memiliki nilai penting sebab ia adalah ucapan Aisyah sendiri, yang dalam hadis ‘Amr dikatakan sebagai yang paling dicintai Nabi saw., dan Nabi-pun men-taqirir/membenarkannya dan tidak meyalahkan Aisyah dengan mengatakan misalnya, ‘tidak benar ucapanmu bahwa Ali lebih aku cintai, tetapi engkau dan ayahmu-lah yang paling aku cintai’! Jadi tidaklah beralasan pengunggulan hadis ‘Amr atas hadis Aisyah dengan mengatakan bahwa hadis ‘Amr memuat ucapan Nabi sa. Sementara hadis Aisyah hanya memuat taqrîrbeliau saja! Sebab pada hadis Aisyah terdapat banyak pendukung eksternal dan internal.
Pendukung eksternal seperti:
(1) Perawinya yaitu Aisyah lebih utama di banding ‘Amr,
(2) Perawinya adalah yang terkait langsung dengan masalah yang dibicarakan, sedang dalam hadis ‘Amr ia tidak termasuk yang dinominasikan dalam pengunggulan.
(3) Pada riwayat ‘Amr, periwayatnya adalah musuh bebuyutan Imam Ali as. sehingga sangat mungkin kedengkian dan permusuhan itu mendorongnya membuat-buat hadis atas nama Nabi saw., sementara Aisyah bukan seorang yang patut dicurigai mendukung dan membela Ali as. sehingga kecintaannya itu dikhawatirkan mendorongnya memalsu-malsu ucapan demikian.
(4) Hadis ’Amr dan hadis-hadis lain yang semakna hanya diriwayatkan Ahlusunnah, tanpa Syi’ah, sementara hadis keunggulan Imam Ali dan bahwa beliau adalah sahabat paling dicintai Nabi saw. telah disepakati diriwayatkan oleh kedua belah pihak; Sunni dan Syi’ah.
Bukti lain! Telah diriwayatkan dengan berbagai jalur periwayatan (sanad) bahwa Nabi saw. diberi hadiah seekor burung panggang, lalu beliau bersabda memohon kepada Allah SWT:
اللَّهُمَّ إئْتِنِي بِأَحَبِّ خَلْقِكَ إلَيْكَ يَأْكُلُ مَعِيْ هَذَا الطَيْرَ.
“Ya Allah datangkan kepadaku makhluk-Mu yang paling Engkau cintai agar makan bersamaku burung ini.”[14]
Lalu Ali datang dan Anas pun menolaknya dengan alasan bahwa Nabi saw. sedang sibuk tidak dapat menerima kehadiran siapapun, sementara itu Nabi saw. menantikan kedatangan Ali as. untuk makan bersama beliau hidangan tesebut, hinga ketiga kalinya, Ali meminta izin dan Nabi pun mendengar suara Ali, kemudian mempersilahkannya masuk dan menanyakan keterlambatannya. Ali berkata bahwa ia telah datang namun Anas menolaknya dengan alasan bahwa Anda sibuk. Nabi saw. menegur Anas atas ulahnya, setelahnya Ali makan bersama beliau hidangan tersebut.[15]
Dari hadis ini terlihat jelas bahwa Nabi saw. hendak menegaskan bahwa Ali as. adalah hamba yang paling dicintai Allah SWT.
Dan karenanya para ulama’ Ahlusunnah kebingungan menghadapi hadis ini, sebab ia dengan tegas mengatakan bahwa Ali adalah hamba paling dicintai Allah, dan itu artinya beliau lebih mulia dari Abu Bakar ash Shiddiq dan yang demikian itu bertentangan dengan keyakinan mereka! Maka sebagian dari mereka mengambil jalan pintas dengan menganggapnya hadis palsu, dengan demikian semuanya beres!
        Benang Merah Masalah Tafdhîl
Adalah hal tidak berdasar ketika ada yang mengklaim bahwa masalah pengutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali as. adalah prinsip yang telah di-ijma’-kan sejak masa para sahabat Nabi mulia saw. dan ijma’ itu didasarkan pada nash-nash pasti tentangnya! Sebab dengan merunut benang kusut dalam masalah ini akan terlihat jelas:
Pertama,  bahwa masalah ini adalah bersifat ijtihadiyah.
Kedua,  dasar pengutamaan itu adalah dilihat dari sisi bahwa mereka itu berkuasa menjadi Khalifah secara berurutan; Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali, maka dari itu keunggulan mereka pun harus diurutkan persis seperti urutan kekhalifahan mereka! Ibnu Hajar menjelaskan dasar pengambilan keputusan itu oleh para ulama Ahlusunnah, setelah menyebutkan perbedaan dalam masalah itu, ia berkata:
فالْمسألَةُ إجتهادِيةٌ، و مُستَنَدُها أنَّ هؤلآءِ الأربعةُ أختارَهُمُ اللهُ تعالى لِخلافَةِ نبِيِّهِ و إقامَةُ دينِهِ، فَمَنزلَتُهُم عندَهُ بِحسَبِ ترتيبِهِمْ في الخلافَةِ، و الله أعلم.
Masalah ini bersifat ijtihadiyah, dan sandarannya adalah kerena mereka berempat telah dipilih Allah untuk kekhalifahan mengganti Nabi-Nya dan menegakan agama-Nya, maka kedudukan mereka di sisi-Nya sesuai dengan urutan kekhalifahan mereka. Allah a’lam.[16]
Terlepas dari banyaknya klaim dalam ucapan Ibnu Hajar di atas yang sulit ia buktian kebenarannya, seperti:
A) bahwa Allah telah memilih mereka untuk jabatan kekhalifahan(?), apa maksud kata-kata beliau itu? Apa dasarnya, apa sekedar secara defakto mereka memerintah maka dengan serta merta kita berhak mengatakan bahwa Allah telah memilih mereka?! Lalu mengapa kita tidak mengatakan juga bahwa Allah telah memilih Mu’awiyah, Yazid sebagai Khalifah Nabi saw.? bukankah mereka juga telah mengenakan baju kakhalifahan seperti juga Abu Bakar dan Umar mengenakannya!
B) Kesimpulan loncat yang tidak ketemu tautan logikanya dengan mengatakan, “maka kedudukan mereka di sisi-Nya sesuai dengan urutan kekhalifahan mereka” kesimpulan ini ditegakan di atas dasar bahwa Allah telah memilih mereka untuk kehkilafahan(?) yang mustahil dapat ia buktikan.
C) Apa kaitannya antara urutan kekhalifahan dengan urutan keutamaan? Bukankah mereka (kecuali Ibnu Taimiyah dan mereka yang mengikutinya) meyakini prinsip bahwa boleh jadi ada seorang yang lebih afdhal dari Khalifah yang berkuasa?, lalu kalau demikian, mengapa harus memaksa bahwa urutan keutamannya sesuai dengan urutan kekhalifahannya?. Kesimpulan itu adalah sebuah sabotase, mughalathah, dan kesimpulan yang lebih umum/luas dari klaimnya, dalam istilah logika disebut an Natîjah A’ammu min al Mudda’â. Ijmâ’ Baru Terbentuk Belakangan! Selain itu semua, Ibnu Hajar (seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, bukan Wahabi) telah mengakui bahwa klaim adanya ijmâ’ dalam masalah tafdhîlsejak masa para sahabat adalah tidak berdasar, ia hanyan isapan jempol para ulama yang tidak memiliki ketelian dalam mengkaji masalah ini. Setelah menyebutkan berbedaan pendapat dalam masalah ini, Ibnu Hajar berkata:
إِنَّ الإجماعَ إنْعَقَدَ بِآخِرَةٍ بَيْنَ أهْلِ السنةِ أنَّ تَرْتِيْبَهُمْ في الفضْلِ كَترتيبِهِمْ في الخلافَةِ، رضي الله عنهُم أجمعين.
“Ijmâ’ terbentuk belakangan di antara Ahlusunnah bahwa urutan keutamaan mereka sesuai dengan urutan mereka dalam Khilafah, semoga Allah meridhai mereka.”[17]

[1]Tarikh al Madzâhib al Islamiyah; Abu Zuhrah: 33.
[2]  Tadzkiratul Khawâsh:58.
[3] Shahih Bukhari: kitabul Maghazi, bab Ghazwah Khandaq, 5/140-141, hadis no.4108. (lihat Fath al Bâri, syarah Shahih Bukhari,15/287). Dan sebagian ulama’ memahami bahwa peristiwa ini terjadi setelah kegagalan tim tahkim.
[4] Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Idza Qala Inda Qaumin…( Lihat Fath al-Bari:27/79-82, hadis no.7111).
[5] Al-Hurrah tempat terjadinya pertempuran antara penduduk kota suci Madinah dengan pasukan Yazid, yang setelah kekalahan mereka, pasukan Yazid dibebaskan berbuat apa saja termasuk merampok harta, memperkosa putri-putri sahabat Nabi dan membunuh orang-orang sipil kota Madinah yang tidak berdosa. Sehingga diriwayatkan ratusan kaum lelaki dan wanita menjadi korban pembantaian berdarah dingin, sehingga tidak tersisa lagi sahabat Nabi saw. dan yang paling menyedihkan ialah banyak putri-putri sahabat yang diperkosa pasukan biadab atas seizin Yazid tersebut hamil, sampai-sampai ayah-ayah mereka ketika kemudian hari menikahkan putri-putri mereka tidak berani menjamin keperawanan gadis-gadis mereka. 
[6] Shahih Muslim dengan syarah An-Nawawi, 12/240
[7] Majmu’ Fatawa; Ibnu Taymiah,4/422 lihat juga Imamatul ‘Udhma:313.
[8] Fathu al Bâri14/178, pada syarah hadis no.3677.
[9] Fathu al Bâri14/179.
[10] Fathu al Bâri,16/195-196. Walaupun kemudian Ibnu Hajar menyimpulkan dengan tanpa dasar pasti adanya kebersambungan itu.
[11] Fathu al Bâri,16/196 dan Sirah an Nabawiyah (dicetak di pinggir as Sirah al Halabiyah),2/231-232. Bahkan di sana sebutkan bahwa dalam peperangan itu tanpa ketidak mengertian Umar akan taktik peparangan yang aling m,endasar sekalipun.
[12] Seperti yang juga disimpulkan ‘Amr sendiri. (baca Fathu al Bâri,16/196, bab Ghazwah Dzâtis Salâsil.
[13] Fathu al Bâri14/158-159.
[14] Sunan at Turmudzi dengan syarah Al Mubarakfuuri, 10/240-241, bab 95, hadis 3820 dan ia berkata, ”Ini adalah hadis hasan.” Al Bidayah wa An Nihayah,7/357 dan ia menggolongkannya hadis hasan. Dan At Taaj Al Jami’ Lil Ushul,3/334.
[15] Hadis riwayat At Turmudzi,10/223, bab87, hadis 3805. dan Khashaiâsh: 25, hadis 12 dengan tambahan: maka Abu Bakar datang, Nabi menolakknya masuk, Umar datang Nabipun menolaknya lalu datanglah Ali maka Nabi mengizinkannya. Dan dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Anas ibn Malik pembantu rumah tangga Nabi saw. berusaha menghalang-halangi Imam Ali as. untuk masuk menemui Nabi saw. dan ketika ditegur ia beralasan bahwa ia ingin kalau yang mendapatkan kemuliaan itu adalah seorang dari anggota sukunya. Dan sejarah mencatat bahwa di masa kekhilafahan Imam Ali as. ketika beliau berpidato dan meminta kesaksian dari para sabahat bahwa Nabi saw. pernah bersabda mengangkat Imam Ali di Ghadir Khum, lalu bangunlah beberapa orang sabahat yang bersaksi bahwa mereka mendengar Nabi bersabda demikian kecuali Anas dan beberapa sahabat lain enggan bersaksi dengan alasan berpura-pura lupa. Imam Ali mendo’akan mereka yang berpura-pura lupa agar tertimpa bala’ yang memalukan dan Anas terkena belang yang tidak dapat ia tutup-tutupi dengan kain serban sekalipun. Dan Anas mengakui bahwa belang itu adalah karena do’a Imam Ali as.
[16] Fathu al Bâri,14/170.
[17] Fathu al Bâri,14/169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar