Laman

Kamis, 02 Februari 2012

Kedustaan Penulis Kitab Lillahi Tsumma Lil-Tarikh “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” [Sayyid Husain Al Musawi] Kitab Lillahi Tsuma Lil-Tarikh yang ditulis oleh orang yang menyebut dirinya Husain Al Musawi termasuk kitab yang menjadi andalan salafy nashibi untuk merendahkan mahzab syiah. Banyak pengikut salafiyun yang tidak henti-hentinya berhujjah dengan kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?”. Judul yang provokatif dan tentu saja para pembaca akan sulit menemukan hal-hal yang baik di dalam kitab tersebut. Pokok bahasan ini bisa dibilang sudah basi dan cukup banyak para pengikut syiah yang telah membahas kitab ini. Mereka pengikut syiah menyatakan kalau penulis kitab ini “fiktif” dan kitab tersebut penuh dengan kedustaan. Tentu saja adalah hak syiah untuk membela diri dari siapapun yang merendahkan mahzab mereka. Kami telah membaca sebagian tulisan pengikut syiah tersebut dan berusaha menelitinya dengan bantuan teman-teman yang memang lebih kompeten untuk itu. Berikut adalah sedikit bukti yang menunjukkan kedustaan yang ada di dalam kitab tersebut. Ternyata jati diri Husain Al Musawi tidaklah dikenal di kalangan syiah, pernyataan bahwa ia seorang mujtahid, murid Syaikh Muhammad Kasyf Al Ghita, pernah belajar di Najaf dan sebagainya hanya bersumber dari kitab itu sendiri. Dengan kenyataan ini terdapat tiga kemungkinan Husain Al Musawi benar akan kesaksiannya mengenai dirinya sendiri tetapi Syiah berusaha menyangkalnya Husain Al Musawi berdusta akan kesaksiannya mengenai dirinya oleh karena itu Syiah tidak mengenalnya Husain Al Musawi itu tidak pernah ada, tokoh ini adalah tokoh fiktif dan orang yang menulis kitab tersebut menggunakan nama palsu Husain Al Musawi Sangatlah sulit untuk membuktikan dengan pasti yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut yang benar. Tetapi secara metodologis kita dapat menggunakan metode sederhana yang sesuai dengan standar ilmu hadis atau rijalul hadis. Dalam ilmu jarh wat ta’dil seseorang itu dinilai tsiqat atau tidak, pendusta atau tidak diantaranya dengan menilai riwayat-riwayat yang dibawakan oleh orang tersebut. Apakah benar adanya ataukah suatu kedustaan?. Jika terbukti bahwa seseorang itu berdusta maka riwayatnya tidak bisa diterima dan tetaplah jarh “kadzab” padanya. Oleh karena itu kami akan menggunakan kesaksian sang penulis kitab tersebut “Husain Al Musawi”. Penulis kitab tersebut berkata وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته Dan diakhir pembahasan tentang khumus ini, saya tidak akan melewatkan perkataan seorang teman yang utama, penyair besar dan terkenal, Ahmad Ash Shaafiiy An Najafiiy rahimahullah, dan saya mengenal beliau setelah saya mencapai derajat ijtihad [mujtahid]. Kami menjalin pertemanan yang sangat baik walaupun terdapat perbedaan umur yang jauh, dimana dia lebih tua dari saya tiga puluh tahun atau lebih. Dia berkata kepada saya “Anakku Husain, janganlah kamu kotori dirimu dengan khumus karena ia adalah haram”. Dia berdiskusi dengan saya tentang khumus sampai saya merasa yakin akan keharamannya. [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 95-96] Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini]. Dengan berdasarkan data ini maka dapat diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun 1314+30=1344 H atau lebih. Kemudian sang penulis berkata في زيارتي للهند التقيت السيد دلدار علي فأهداني نسخة من كتابه (أساس الأصول) جاء في (ص51) (إن الأحاديث المأثورة عن الأئمة مختلفة جداً لا يكاد يوجد حديث إلا وفي مقابله ما ينافيه، ولا يتفق خبر إلا وبإزائه ما يضاده) وهذا الذي دفع الجم الغفير إلى ترك مذهب الشيعة Dalam kunjungan saya ke india, saya bertemu dengan Sayyid Daldar Ali, dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yaitu Asaas Al Ushul. Disebutkan dalam halaman 51 “bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam sangat bertentangan . Tidak ada satu hadispun kecuali ada hadis lain yang menafikannya, tidak ada suatu khabar yang sesuai kecuali terdapat kabar yang menantangnya”. Inilah yang menyebabkan sebagian besar manusia meninggalkan mahzab syiah [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 134] Disebutkan bahwa Sayyid Daldar Ali bin Muhammad An Naqawiiy penulis kitab Asaas Al Ushul wafat pada tahun 1235 H [Adz Dzarii’ah ilaa Tashanif Asy Syii’ah 2/4 Syaikh Agha Bazrak Ath Thahraani] Berdasarkan keterangannya sendiri maka Husain Al Musawi diperkirakan lahir pada tahun 1344 H atau di atas tahun tersebut dan berdasarkan keterangannya sendiri Husain Al Musawi bertemu dengan Sayyid Daldar Ali yang wafat pada tahun 1235 H. Bagaimana mungkin Husain Al Musawi yang belum lahir bisa bertemu dengan Sayyid Daldar Ali?. Bukankah Husain Al Musawi lahir lebih dari 100 tahun setelah wafatnya Sayyid Daldar Ali. Bagi kami, ini jelas sekali menunjukkan kedustaan yang nyata. Pengakuan Husain Al Musawi di atas itu sudah pasti dusta. Jika seseorang telah terbukti berdusta dalam kitab yang ia tulis maka sangatlah wajar untuk meragukan keabsahan isi-isi kitabnya. Tidak diragukan lagi kalau Husain Al Musawi itu seorang pendusta atau mungkin saja ia adalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada tetapi dibuat-buat oleh penulis kitab tersebut. Wallahu ‘alam Aneh bin ajaib ternyata bukti seperti ini luput dari pandangan salafy nashibi. Tentu saja jika para salafy hanya menelan bulat setiap apa yang mereka baca maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak melihat kedustaan sang penulis. Tetapi bukankah para salafy itu membanggakan diri sebagai seorang yang objektif dan ilmiah seperti yang diumbar-umbar oleh Mamduh Farhan Al Buhairi [penulis gen syiah], orang yang memberikan kata pengantar untuk tulisan Husain Al Musawi. Sungguh manis di mulut tetapi pahit di hati, begitulah orang-orang yang mengidap penyakit “Syiahpobhia” di hatinya. Begitu besarnya kebencian mereka terhadap Syiah sehingga membuat mereka jatuh dalam kedustaan.



Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?
Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya. Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat tersebut tidaklah tsabit.




وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي

Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah, memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam, dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471]
Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat [cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.
Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf. Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no 1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus].
Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H. Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun 9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H. Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.
Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus.
.
.
Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah

قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin ‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.
Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in
  • Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
  • Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
  • Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100]
  • Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162]
  • Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121]
Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.
Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9]
Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391]
.
.
Riwayat ini juga diriwayatkan dengan sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim

حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422]
Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman
  • Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
  • Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228]
Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ  وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ  قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj. Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291]
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”. Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua riwayat
  1. Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit]
  2. Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.
Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.
Fadhl bin Muhammad memang dikenal meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal darinya adalah

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ

Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.
Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Uwais seorang yang dhaif.

3 komentar:

  1. Buku yang bagus, semoga Allah SWT mengampuni kesalahan penulisnya dan juga melindungi kami dan keluarga kami dari penyakit kudiSyiah..."bersatu melawan Zionisme, Illuminati dan kudiSyiah"

    BalasHapus
  2. Banyakulah Khemangi8 Mei 2012 pukul 12.46

    "Tidak syiah-tidak zionis"...smoga Alloh SWT menjaga & melindungi kaum Suni di iran, menganugrahkan mereka derajat syuhada dan menghancurkan syiah dimanapun mereka berada

    BalasHapus
  3. Ada kejadian nyata ;

    seorang sahabat mengatakan kalau kita ikut pengajian dimasjid mazhab sifulan, kita diberikan buku2 gratis

    sahabat yg ditawari tadi mengajak sahabatnya pergi kepasar, dan sesampai dipasar, sahabat ini menawar pisang," bu, berapa harga pisang ini?", siibu penjual menjawab 10.000,- nak ", kalau yg ini berapa bu?" yang 7000,- " kalau yg ini ( pisang yg udah agak kehitaman dan banyak lembeknya )" kalau yg ini nak, gratis, ambil aja kalau mau.

    Kalau buku sekelas " MENGAPA SAYA KELUAR DARI SYIAH " dikatakan buku yg bagus, saya yakin, Al-Quran pun kalian anggap tidak ada harganya. Dari judul berbahasa indonesia saja sudah ada penipuan dari judul bahasa aslinya dalam bahasa arabnya " LILLAH TSUMMA LITTARIKH ", silahkan tanya orang yg mengerti sedikit saja bahasa arab, apa kedua judul itu cocok atau tidak, dan kalau anda masih memiliki akal yg sehat dan sedikit memiliki nurani, coba baca buku sanggahannya yang berjudul " DEMI ALLAH, JUNJUNGLAH KEBENARAN ".

    Seorang temen satu kampus dulu mendapatkan beasiswa dan bersekolah diIran, dan sekarang sudah berjalan 9 tahun, dan dia mengatakan, saya tetap sunni ( AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH ), dan saya sangat dihormati dinegri SYIAH ini.

    Kalau yg namanya belajar, apalagi mau melakukan studi banding, jgn menilai org lain dari sudut pandang pribadi dan golongan, tapi masukilah mereka dengan jiwa yang adil dan netral.

    Kalau sunni diIran sudah pasti aman dan terjaga, tapi kalau syiah dinegri mayoritas sudah pasti teraniaya, terdzalimi.

    TIDAK ADA SATU ORANGPUN YANG MENGAKU PERCAYA KEPADA ALLAH SWT, PERCAYA KEPADA RASULALLAH SAW MENGAKUI AL-QUR'AN DAN HADIST NABI SAW SEBAGAI TOLOK UKUR DALAM BERAGAMA, NAMUN MEYAKINI MUTLAK KATA DARI SELAIN MEREKA.

    BalasHapus