Fungsi Ahlulbait as. Dalam Sabda-Sabda Nabi saw.
A) Ahlulbait Adalah Bahtera Keselamatan
Dalam hadis sahih dari Abu Dzarr, “aku mendengar Rasululah sa. besabda:
أَلآ إِنَّ مَثَلَ أَهْلِ بيتِيْ فيكُمْ مَثَلُ سَفينَةِ نُوحٍ مِنْ قَوْمِهِ، مَنْ رَكِبَها نَجَا و مَنْ تَخَلَّفَ عَنْها غَرِقَ وَ مَثَلُ بَابِ حِطَّةٍ فِيْ بَنِيْ اِسْرَائِيْلَ .
Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbait-ku di tengah-tengah kalian bagaikan bahtera Nuh di tengah-tengah kaumnya, barang siapa berlayar bersamanya ia selamat dan barang siapa ketinggalan (tidak mau berlayar berasamanya) ia tenggelam dan mereka bagaikan pintu (pengampunan)Hitthah pada Bani Israil.[1]
Ibnu Hajar berkata “Telah datang dari banyak jalur sebagiannya menguatkan sebagian yang lain bahwa “perumpamaan Ahlulbait-ku di tengah-tengah kalian bagaikan bahtera Nuh”….
(setelah menyebutkan beragam redaksi dan jalur hadis ini, ia berkomentar:)
Dan sisi keserupaan diserupakannya Ahlulbait dengan behtera Nuh dalam hadis-hadis yang telah lewat adalah: Barang siapa mencintai mereka, mengagungkan mereka sebagai terima kasih atas nikmat yang diberikan oleh pengagung mereka saw. dan mengambil petunjuk dengan bimbingan ulama dari mereka pastilah ia selamat dari kegelapan penentangan (agama) dan barang siapa meninggalkannya (enggan menaiki bahtera) pastilah ia akan tenggelam dalam lautan kekafiran nikmat dan binasa dalam padang pasir penyimpangan/penentangan.”[2]
B) Ahlulbaat as. Adalah Pengaman Bagi Umat Islam
Dalam banyak sabda juga Nabi saw. menerangkan funsi kendali dan pengaman yang diperankan Ahlulbait as.
Nabi saw. bersabda:
اَلنُّجُوْمُ اَمَانٌ لأَهْلِ السَّمَاءِ وَاَهْلُ بَيْتِى اَمَانٌ لأَهْلِ الأَرْضِ.
Bintang-bintang adalah pengaman bagi penghuni langit dan Ahlulbaitku adalah pengaman bagi penghuni bumi.[3]
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:
اَلنُّجُوْمُ اَمَانٌ لاَهْلِ السَّمَاءِ وَاَهْلُ بَيْتِى اَمَانٌ لأُمَّتِى.
Bintang-bintang adalah pengaman bagi penghuni langit dan Ahlulbaitku adalah pengaman bagi umatku.[4]
Dalam redaksi lain diriwayatkan:
اَلنُّجُوْمُ اَمَانٌ لاَهْلِ السَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتْ اَتَاهَا مَا يُوْعَدُوْنَ. وَاَنَا اَمَانٌ لأَصْحَابِى مَاكُنْتُ، فَإِذَا ذَهَبْتُ اَتاَهُمْ مَا يُوْعَدُوْنَ، وَاَهْلُ بَيْتِى اَمَانٌ لأُمَّتِى فَإِذَا ذَهَبَ اَهْلُ بَيْتِى اَتَاهُمْ مَا يُوْعَدُوْنَ.
Bintang-bintang sebagai pengaman penghuni langit. Jika (apabila) bintang-bintang itu sirna, datanglah kehancuran yang dijanjikan atas mereka. Dan aku adalah pengaman bagi sahabat-sahabatku. Jika aku pergi (wafat), datanglah kepada mereka apa yang dijanjikan (berupa bahaya). Dan Ahlulbaitku adalah pengaman bagi umatku. Jika mereka pergi (ke rahmatullah), datanglah kepada umatku apa yang dijanjikan.
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim dari Jabir bin Abdillah ra.
Dalam redaksi keempat, Rasulullah saw. bersabda:
اَلنُّجُوْمُ اَمَانٌ لاَهْلِ الأَرْضِ مِنَ الْغَرْقِ وَاَهْلُ بَيْتِى اَمَانٌ لاُمَّتِى مِنَ اْلاِخْتِلاَفِ، فَاِذَا خَالَفَتْهَا قَبِيْلَةٌ مِنَ الْعَرَبِ آخْتَلَفُوْا فَصَارُوْا حِزْبَ اِبْلِيْسَ .
Bintang-bintang (di langit) adalah petunjuk keselamatan bagi penghuni bumi dari bahaya tenggalam. Dan Ahlulbaitku adalah penyelamat umatku dari bahaya perselisihan dan perpecahan. Bila salah satu dari qabilah-qabilah Arab menyeleweng dan menentang, niscaya mereka akan bercerai berai dan menjadi kelompok iblis.[5]
Ibnu Hajar menegaskan bahwa nyang dimaksud dengan AHlulbait as. yang mereka itu berfungsi sebagai penganan adalah para ulama dari mereka, sebab merekalah bagaikan bintang yang apabila ia sirna pastilah kebinasaan akan dialami oleh penduduk bumi ini.[6] Jadi dengan demikian fungsi keberadaan Ahlulbait as. di tengah-tengah umat manusia sangatlah sentral dan menentukan kestabilan jagat alam. Sebagaimana juga Ahlulbait as. sebagai pengaman umat dari perpecahan dan perselisihan dalam agama!
Ibnu Hajar juga menegaskan ketika menerangkan hadis Tsaqalain bahwa di sepanjang abad, pastilah selalu ada seorang –minimal- dari kalangan Ahlulbait yang mampu menjalankan fungsi sebagai pendamping Al Qur’an, Pengaman umat dan jagat alam dan sebagai bahtera Nuh![7]
Demikianlah Nabi Muhammad saw. yang tidak berbicara melainkan berdasar wahyu Ilahi suci… dan begitulah para ulama Islam memahami fungsi-fungsi Ahlulabit sasuai yang disabdakan Nabi saw.!
Adapun Ibnu Taymiah
Adapun Ibnu Taymiah, ia memandang lain keberadaan Ahlulbait Nabi saw…. ia melihat bahwa keberadaan Ahlulbait as. sama sekali tidak ada guna dan mashlahatnya bagi hamba-hamba Allah Swt.
Keberadaan Imam Ali as. tidak ada guna dan mashlahatnya!
Keberadaan Imam Hasan dan Husain as. tidak ada guna dan mashlahatnya!
Keberadaan Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husain as. tidak ada guna dan mashlahatnya!
Keberadaan Imam Muhammad ibn Ali Al Baqir as. tidak ada guna dan mashlahatnya!
Keberadaan seluruh Ahlulbait Nabi itu tidak ada guna dan mashlahatnya kecuali jika kereka mampu memipin umat Islam dan memberikan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran dan kejayaan dari agama Islam! Dan kenyataannya, mereka semua tidak memberikan sumbangan apapun untuk itu semua!
Mungkin Anda akan bergegas mengingkari apa yang saya katakan di atas, dan spontan menuduh saya berbohong, menuduh palsu “Syeikhul Islam” dan membuat-buat fitnah keji!! Pasti sebagian kalau tidak seluruh kaum Wahhabi/Salafi akan segera melontarkan doa ekstrim La’natullah ‘Alal Kâdzibîn/semoga laknat dan kutukan Allah atas para pembohong. Doa yang selama ini mereka menyucikan mulut-mulut mereka dari memanjatkannya atas Mu’awiyah bahkan Yazid sekali pun!
Tapi tidaklah baik gegabah menolak sesuatu yang belum kita ketahui, sebab kata Imam Ali :
betapa banyak kebenaran itu pada sesuatu yang belum kalian ketahui!
Jadi lebih baik And abaca langsung apa kata Ibnu Taymiah dalam Minhâj as Sunnah-nya yang sangat dibanggakan kaum Wahhabi dan hamper-hampir disejajarkan dengan kitab suci, La ya’tîhil Bâthilu….
Ketika membantah keberadaan Imam Kedua Belas kaum Syi’ah Imamiyah, ia berkata, “Dan seperti diketahui dengan pasti bahwa si imam yang dinanti-nanti yang ghaib dan hilang itu tidak memberikan sedikitpun mashlahat dan kelemah-lembutaan, baik ia diyakini sudah mati, seperti diyakini Jumhur maupun ia masih hidup seperti disangkan kaum Imamiyah. Demikian juga denga kekek-kakeknya yang terdahulu, tidak terjadi dengan sebab mereka mashlahat dan kelemah-lembutan apapun yang terjadi dari keberadaan seorang imam ma’shum yang memiliki kekuasaan, sultan, sebagaimana Nabi saw. ketika dikota Madinah setelah hijrah! Beliau adalah imamnya kaum Mukminin yang wajib mereka ta’ati dan dengannya mereka mendapatkan kebahagiaan!!”[8]
Jadi jelas dalam pandangan dan keyakinan Ibnu Taymiah bahwa tidak pernah terjadi mashlahat dari keberadaan kake moyan Imam Muhammad ibn Hasan al ‘Askari cucu kesembilan Imam Husain as.!
Mengapa demikian? Jawabnya sederhana. Sebab mereka tidak memiliki sultan, kekuasaan seperti yang dimiliki Nabi saw. setelah hijrah ke kota suci Madinah dan membangun pemerintahan! Di antara Ahlulbait Nabi saw. yang pernah memiliki kekuasaan pun seperti Imam Ali as. ternyata hanya membawa bencana dan petaka bagi agama dan umat Islam! Hanya pertumpahan darah-darah sesame Muslim! Kekuasaan tidak berkembang, bahkan makin melemah! Dll yang dituduhkan Ibnu Taymiah terhadap pemerintahan Imam Ali as.
Jadi mashlahat keberadaan mereka hanya jika mereka berkuasa dan memegang kendali pemerintahan! Jika tidak? Jawabnya sudah jelas dalam pandangan Ibnu Taymiah!
Anda berhak bertnya kepada Ibnu Taymiah, lalu bagaimana keberadaan dan fungsi Nabi saw. sebelum hijrah? Apakah tidak ada mashlahat dan kelemah-lembutannya untuk umat Islam dan umat manusia?!
Tidakkah diutusnya seorang nabi itu ada mashlahatnya?! Apakah kemashlahatan dari diutusnya seorang nabi itu hanya akan terwujud setelah ia memiliki kekuasaan dan dita’ati manusia?!
Lalu bagaimana bayangan kita jika Nabi saw. tidak ditakdirkan memiliki kekuasaan dan membangunpemerintahan, apakah kita akan mengatakan keberadaan beliau tidak ada mashlahatnya?!
Lalu bagaimana dengan para nabi as. yang tidak memiliki kekuasaan dan bahkan dikejar-kejar kaum dan dibunuh, apakah keberadaan mereka itu sis-sia dalam pandangan Ibnu Taymiah?!
Seakan Ibnu Taymiah ingin mengeskan bahwa mashlahat yang terealsasi dengan keberadaan penguasa yang kuat itu tidak akan terwujud dengan kehadiran seorang nabi yang tidak memilikim kekuasaan dan tidak dita’ati kaumnya. Jadi ringkas kata, keberadaan beribu-ribu nabi yang diutus Allah itu tidak ada mashlahatnya barang sedikitpun!
Ketika ingin mempertahan apa yang ia yakini, Ibnu Taymiah mengtatakan bahwa sepeninggal Nabi saw. tidak ada seorang penguasa yang diyakini kemaksumanannya (oelh pengikutnya) kecuali Ali as. di masa kekhalifahannya… sementara itu –masih kata Ibnu Taymiah- kemashlahatan yang terjadi di masa kekhalifahan ketiga pendahulunya jauh lebih nyata disbanding di masa kekhalifahan Ali… bahkan masa kekhalifahan Ali adalaah masa peperangan saudara, masa fitnah dan perpecahan dan ketercerai-beraian!
Ringkas kata, mashalahat itu hanya akan terwujud dengan kekuasaan! Karenanya tidak heran jika kemudian Ibnu Taymiah sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa klaim adanya mashlahat pada keberadaan imam Ahlulbait as. adalah sebuah kepalsuan belaka! Ia berkata, “Maka dapat diketahui dengan pasti bahwa apa yang mereka (Syi’ah) aku berupa kelemah-lembutan dan mashlahat yang terwujud dengan keberadaan para imam yang maksum adalah palsu/batil secara pasti, bâthilatun qath’an.”[9]
Mengapa demikian?
Sebab –dalam pandangan Ibnu Taymiah- tidak terwujud kekuasaan dan umat tidak masuk dalam keta’atan kepada Ali as.!
Apa yang akan dikatakaan seorang yang berakal waras yang melewati sebuah desa yang mayoritas penduduknya terbelakang, bodoh, bahkan tentang dasar-dasar pertanian…. Mayoritas mereka dikuasai oleh sikap menentang…. Mereka congkak dan malas bahkan untuk sekedar menabur benih di lading, sementara langit tak pernah kikir mengirimkan airn hujan untuk kesuburan lading-ladang mereka… apa yang akan ia katakana jika ternyata ia menyaksikan mereka itu hidup dalam kesengsaraan… dan hampir binasa karena kelaparan… apakah ia akan mengatakan bahwa tidak ada mashlahat barang sedikit pun dari keberadaan hujan? Dan apa yang mereka klaim tentang mashlahat hujan itu adalah kepalsuan belaka, bâthilatun qath’an?!
Jika ada yang mengatakan demikian pastilah itu omongan jahiliyah yang paling duungu! Orang-orang idiot sekalipun tidak sudi mengucapkannya!
Apa mashlahat dari keberaadaan bahtera Nuh ketika kaumnya enggan menaiki dan beryalar dengannya?
Apakah ada seorang yang masih tersisa keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya untuk mengatakan bahwa tidak ada mashlahat pada keberadaan bahtera Nuh, sebab kaumnya hidup dal;am perselisihan, pembangkangan yang kemudian berakhir dengaan kebinasaan mereka ditelah air banjir besar kecuali sekelompok mkecil yang beriman kepada Nuh dan menaiki bahtera tersebut?!
Apa yang ia katakana jauh dari “bahasa langit”, jauh dari kamus norma-norma yang dikenal dan diperkenalkan oleh Nabi Islam Muhammad saw.
Siapakah yang tidak mengenal keagungan Nabi Isa as. walaupun tidak sedikit dari kaumnya menentang dakwahnya dan tidak memanfa’at keberadaan sumber mata air jernih kerasulannya?!
Atau ia akan mengatakan bahwa keberadaan Nabi Isa tidak ada mashlahatnya?!
Siapakah orang waras yang akan mengingkari bahwa keberadaan Nabi Yahya as. adalah kebaikan murni, mashlahat murni, dan kelemah-lembutan Allah yang murni bagi kaumnya, walaupun para penyembah dunia dan nafsu seraakah menelantarkannya, tidak memanfa’atkan keberadaannya bahkan membantainya dengan keji?!
Coba Anda renungkan, Kitab Allah yang tiada kebatilan di dalamnya, yang menunjuki jalan yang aqwam dan merangkum kebaikan dunia akhirat bagi umat manusia… ia telah ditinggalkan dan dicampakkan manusia… antara mereka yang kafir dengannya…. Yang menentangnya… yang jahil akan isi, kandungan dan keagungannya.. yang muslim tapi keimanan belum bertsemayam di dalam qalbunya…. Mereka semua tidak mampu memanfa’atkannya sedikit pun, lalu apakah Anda mengatakan dengan tanpa tanggung jawab bahwa penurunan Kitab Suci ini sia-sia dan bâthilatun qath’an,sebuah kebatilan semata?! Jika demikian kita sudak kembali kepada omongan kaum jahiliyah dan jahil lagi bodoh!!
Cahaya di atas cahaya… Allah akan menunjuki kepada Cahaya-Nya siapa yang ia kehendaki… dua pusaka agung yang ditinggalkan di tengah-tengah umat oleh Rasulullah saw. barang siapa berpegang teguh dengannya pasti ia akan selamat dari kesesatan! Pasti!
Sebuah ramuan matematik pasti:
- Tsaqalain/Dua Pusaka (Al Qur’an Dan Ahlulbait)+Berpegang Teguh dengan keduanya= Selamat dari kesesatan!
- Tsaqalain/Dua Pusaka; Al Qur’an +Dan Ahlulbait= Tidak akan berpisah selamanya.
Jadi hasilnya:
o Kitab Allah+ Ahlulbait as.+Berpegang Teguh dengan keduanya= Tidak akan tersesat selamanya.
Inilah kesimpilan yang pasti yang semestinya kita imani.
Tanah yang subur+ Pengairan yang cukup+Pemanfa’atan yang sempurna= Kekayaan dan panen raya yang melimpah.
Jadi apakah waras seorang yang berburuk sikap dan tidak memanfa’atkan tanah yang subur dan air yang cukup menimpakan kecaman dan membebankan kesalahan kegagalan kepada tanah yang subur dan air yang cukup!
Dahulu, di masa kanak-kanak kita sering didongengi oleh nenek-nenek kita adanya seorang yang dungu seperti itu, lalu kita berhayut dalam tawa ejekan akan kebodohan yang pencela… sampai-sampai dikhawatirkan ruyh kita melayang karena dalamnya tawa kita… tapi kini kita dikagetkan dengan keputusan seperti itu dilontarkan seorang “Anak Taymiah” Yang disanjung bak nabi dan rasul oleh sekelompok kaum dungu lagi tak berwawasan.
Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilahi Râji’ûn.
[1]HR. Al-Hakim, Al Mustadrak,3/163 hadis no.4720 dan dan ia menshahihkannya berdasarkan syarat Imam Muslim, Ibnu Syahr Asyub. Manaqib.1,295, Al-Nabhani, Al Arba’un Haditsan: 216 dari riwayat Ath Thabarani, tafsir Ibnu Katsir,4/123, Majma’ az Zawâid,9/168, tafsir Rûh al Ma’âni,25/32 dan ash Shawâiq al Muhriqah; Ibnu Hajar al Haitami: 152-153.
[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Manaqib dari Imam Ali as., sebagaimana juga diriwayatkan oleh banyak muhaddis lain seperti:
1. Muhibbuddin ath Thabari, dalam Dzakhair al-Uqbaa: 17.
2. Al-Sakhawi, dalam Istijla’ irtiqaa’ al-Ghuraf.
3. Al-Samhudi, dalam Jawahir al-’Aqdain.
4. Ibnu Hajar al-Haitami, dalam Shawâiq:235 – 236.
5. Al-Aidrus al-Yamani, dalam Al-Iqd al-Nabawi.
6. Ibnu Syihab al-’Alawi, dalam Rasyfat al-Shadi:78.
7. Mulla Ali al-Qari, dalam Al-Mirqât:5/610.
8. Ibnu Bakatsir al-Makki, dalam Wasilat al-Ma’âl.
9. Mahmud al-Syaikhani al-Qadri, dalam As Sirath as Sawiy.
10. Al-Amir al-Shan’âni, dalam Al-Raudlah al-Nadiyah.
11. Ahmad Zaini Dahlan, dalam Al-Fath al-Mubin, dicetak di pinggir Sirah Zaini Dahlan, juz II, hal. 279.
12. Al-Qanduzi al-Hanafi, dalam Yanâbi’, bab ketiga:19-20.
13. Al-Zarandi, dalam Nadzmu Al-Durar:234.
1. Al-Thabari, dalam Dzakhair al-Uqba, bab kelima, dari Iyâs bin Salamah, dari ayahnya.
2. Az Zarandi, dalam Nadzmu al-Durar:234.
3. Ibnu Hajar, dalam Shawâiq: 235.
4. Al-Muttaqi al-Hindi, dalam Kanzul Ummal,13/83.
5. Al-Suyuthi, dalam Al-Jami’ al-Shaqhir:189 dan ia menggolongkannya sebagai hadis hasan, dan dalam Ihya’ al-Mait, hadis ke 21.
6. Waliullah al-Laknuni al-’Azizi, dalam Al-Siraj al-Munir, 3/388.
7. Babshal Al-Hadlrami, dalam Al-Durar al-Naqiyah:29.
Dan beberapa ulama’ lain, seperti Abi Ya’la, Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Amr al-Ghiffari, Musaddad, al-Thabarani, Al-Badkhisyani dan Muhammad Shadrul-Alam.
[5] Hadis ini diriwayatkan oleh banyak ulama’ diantaranya Al-Hakim, dalamAl-Mustdrak,3/149, dari Ibnu Abbas, dan ia berkata,”Sanadnya shahih, tapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Dan dari Al-Hakim dikutib oleh beberapa ulama, seperti:
A. Al-Muttaqi al-Hindi, dalam Kanzul Umal,6/217.
B. Al-Suyuthi, dalam Ihya’ al-Mait:hadis 35.
C. Ibnu Hajar, dalam Shawâiq:234.
D. Al-Shabban, dalam Isqâf al-Râqhibîn’, 130.
E. Al-Qanduzi al-Hanafi, dalam Yanâbi’:298. Dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar