Laman

Rabu, 19 Oktober 2011

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 128-133



Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 128-133
Ayat ke-128:
Artinya:
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.


Rahasia keberhasilan Nabi Ibrahim as dalam segala ujian, adalah penyerahan beliau dalam menghadapi perintah-perintah Ilahi. Contoh puncak dari kepasrahan Nabi Ibrahim as adalah penunjukan kesiapan beliau untuk menyembelih putranya Ismail. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as meminta kepada Allah, tidak hanya baginya atau putranya Ismail tetapi juga keturunan Beliau dijadikan manusia yang taat dan menerima perintah-perintah ilahi. Karena semua kesempurnaan ada dalam kehambaan kepada Allah dan penyembahan Zat Yang Maha Esa.
Pada dasarnya penyembahan harus dilakukan dalam bentuk yang khusus, sehingga jauh dari setiap bentuk bid'ah dan penyelewengan. Oleh sebab itu, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah, "Ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan dan sekaligus metodenya".
Ayat ke-129:
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Perhatian terhadap keturunan dari satu sisi dan pengambilan masa depan dari arah lain menyebabkan Nabi Ibrahim as dalam doa-doanya sebelum meminta bagi dirinya kepada Allah. Beliau beliau memikirkan hidayat dan kesejahteraan masa yang akan datang.
Sebagainama tidak memunginkan kebahagian manusia tanpa hidayah ilahi, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah supaya mengirimkan seorang rasul untuk umat yang bertanggung jawab atas pengajaran dan membimbing kepada mereka dan meningkatkan pengetahuan dan pandangannya.
Ayat ke 130-131:
Artinya:
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya:" Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".
Ayat ini memperkenalkan Nabi Ibrahim as sebagai seorang manusia tauladan dan pilihan Allah, sehingga ideologi beliau dianggap sebagai sebuah ideologi Ilahi, tauladan dan contoh manusia lain. Apakah bukan suatu kebodohan, jika seseorang meninggalkan ideologi semacam ini? Sebuah ideologi yang mampu membersihkan manusia dari segala macam kekotoran dan kehinaan, dan memilih jalan kesesatan syirik dan kafir? Padahal ajaran Nabi Ibrahim adalah ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia dan sesuai dengan rasio.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim s sedemikian berharganya, sehingga Nabi Besar Muhammad Saw merasa bangga bahwa jalan beliau adalah jalan Ibrahim. Seorang Nabi yang dengan dalil-dalil akal, membungkam hujjah orang-orang kafir, dan dengan penuh keberanian, seorang diri menghancurkan semua patung-patung dengan kapaknya.
Sementara itu, dalam penyerahan dirinya kepada Allah, ia meninggalkan isteri dan anaknya di padang pasir yang panas di kota Makkah dan pada kesempatan lain, ia membawa puteranya ke tempat penyembelihan, untuk membuktikan bahwa hatinya tidak pernah terpaut kepada isteri dan anaknya. Karena hanya Allah-lah yang ia cintai dan hanya Allah-lah tambatan hatinya.
Sangat jelas bahwa manusia seperti inilah yang akan dipilih oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Imam, serta sebagai contoh teladan bagi orang lain; dan menganggap penyimpangan dari jalannya sebagai kebodohan dan kejahilan.
Ayat ke-132:
Artinya:
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub, (Ibrahim berkata): "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Ayah yang baik, bukanlah ayah yang hanya memikirkan mencukupi kehidupan materi anak-anaknya, tetapi juga keselamatan pikiran dan akidah dan jauh dari penyimpangan dan kesesatan. Hal ini harus mendapat perhatian lebih dari segala sesuatu. Wali-wali Allah selalu menyerukan kepada anak-anaknya ke arah Allah dan wasiat mereka ketika akan meninggal tidak hanya dalam masalah pembagian warisan dan harta-harta dunia, tetapi juga mewasiatkan kepada tauhid dan ibadah.
Ayat ke-133:
Artinya:
Adakah kamu hadir ketika Yaqub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Sekelompok Yahudi percaya bahwa Nabi Ya'qub ketika meninggal mewasiatkan kepada anak-anaknya kepada sebuah agama yang dianut oleh Yahudi. Allah dalam membantah tuduhan ini berfirman, "Apakah kalian hadir ketika wafatnya Nabi Ya'qub, sehingga kalian berkata seperti ini? Padahal ia mengharapkan kepada anak-anaknya untuk menyerahkan diri kepada Allah dan anak-anaknya berjanji bahwa mereka hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai mana di ayat sebelumnya kita telah katakan bahwa orang tua harus merasakan tanggung jawab sehubungan pemikiran masa depan dan kepercayaan anak-anaknya. Dalam pelbagai kesempatan tertentu mereka justru harus mengawasi hal ini.

Salah satu argumentasi ke-Esa-an-Nya, seluruh Nabi mulai dari Ibrahim, Ismail dan Ishaq satu dalam mengakui ke-Esa-an Allah. Bila ada tuhan lain, maka sudah barang tentu ia juga harus mengutus nabi-nabi untuk membimbing manusia dan memperkenalkan dirinya kepada manusia.
Dari ayat-ayat di atas terdapat empat pelajaran yang bisa kita petik, antara lain:
1. Kita harus berserah diri kepada Allah yang merupakan rahasia keberhasilan ujian-ujian Ilahi, jiwa penyerahan diri dan menerima perintah dari-Nya.
2. Dalam doa, kita tidak boleh hanya berfikir keperluan materi saja, tetapi kita juga harus berdoa untuk kebahagian anak-anak dan keturunan generasi masa depan.
3. Orang bodoh tidaklah orang yang tidak mempunyai akal, tetapi orang bodoh adalah orang yang dengan memiliki akal dan pikiran mengalami kesesatan dan menjadi sumber kesesatannya dan keluarganya.
4. Nasib yang baik dan kekekalan iman ketika mau meninggal adalah penting. Bisa jadi orang-orang yang tadinya Muslim tetapi ketika meninggal dalam keadaan tidak Muslim. Oleh sebab itu, kita harus memikirkan penjagaan iman kita dan anak-anak kita dan jangan merasa puas atas keislaman kita sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar