Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-183 Ayat ke-180:Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma'ruf (adil dan baik), ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Setiap satu dari kita para manusia, satu hari datang ke dunia dan akan meninggalkan dunia pula pada satu hari yang lain. Kita datang ke dunia dengan tangan kosong, dan akan meninggalkan dunia juga dengan tangan kosong. Dalam hal ini, kita harus pergi dengan meninggalkan seluruh harta benda, uang, rumah, mobil dan pabrik yang kita punyai.
Berdasarkan undang-undang Islam, setiap orang yang meninggal dunia, maka dua pertiga dari hartanya akan dibagikan kepada anak-anak dan isterinya atau orang lain yang mewarisinya, dan hal ini tidak memerlukan wasiat. Akan tetapi setiap orang bisa mewasiatkan sepertiga dari hartanya. Ayat ini membicarakan hal ini menyatakan bahwa orang-orang yang bertakwa yang hartanya halal dan merupakan sumber kebaikan serta berkah, ketika hampir dengan kematian harus memikirkan ibu-bapanya dan karib kerabatnya dengan berwasiat untuk mereka, karena isteri dan anak-anak secara alami akan mewarisi dua pertiga hartanya. Sudah tentu wasiat haruslah logis dan diterima akal sehat, bukannya berdasarkan setimen emosional dan kecintaan yang tidak bertempat, atau berdasarkan perasaan benci dan dendam permusuhan dengan memberikan kepada sebagian orang dan menyebabkan sebagian yang lain dirugikan. Harus diperhatikan bahwa wasiat merupakan satu bentuk berpikiran ke depan untuk mengantisipasi kekurangan, dan hal ini bisa mendatangkan balasan pahala dan ganjaran selepas kematian. Dari ayat ini kita mendapat pelajaran bahwa ibu dan bapa mempunyai hak yang besar di pundak seseorang, dan sebagai menghargai jasa mereka kita harus mewasiatkan sebagian harta untuk mereka selain dari warisan yang diwarisi. Ayat ke-181: Artinya:
Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Terkadang anak-anak dan karib kerabat mengubah wasiat dengan sebab tertentu biarpun mereka mendengar dan mengetahui wasiat itu sendiri. Umpamanya seseorang mewasiatkan sebagian uangnya kepada si fulan yang miskin. Akan tetapi anaknya mengubah wasiat tersebut dengan memberikan fakir tersebut barang lain dan bukannya uang. Berkaitan hal ini, al-Quran mengatakan bahwa orang yang berwasiat akan mendapatkan pahalanya dan orang yang mendapat uang tadi juga tidak berbuat salah karena tidak mengetahuinya. Hanya orang yang mengubah wasiat setelah mengetahuinya yang melakukan perbuatan dosa. Karena pemilikan selepas kematian tetap dihormati dan tidak ada orang yang berhak membelanjakan harta benda simati biarpun anak-anaknya. Dari ayat ini kita dapat memetik pelajaran bahwa adalah wajib mengamalkan apa yang diwasiatkan dan setiap perubahan terhadapnya merupakan satu pengkhianatan, dan Allah Swt mengetahuinya dan mampu membalasinya. Ayat ke-182: Artinya:
(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan (menyuruh orang yang berwasiat berlaku adil) antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat sebelum ini membicarakan bahwa siapa yang mengubah wasiat setelah mengetahuinya berarti ia melakukan dosa, akan tetapi terkadang orang yang mewasiatkan mewasiatkan sesuatu tidak pada tempatnya, dan menimbulkan fitnah di dalam keluarga, atau mewasiatkan hartanya melebih sepertiga dari yang dibenarkan sedangkan ia tidak dibenarkan untuk berbuat demikian, atau mewasiatkannya kepada urusan yang mendatangkan dosa. Untuk semua alasan ini, dibenarkan untuk mengubah wasiat tersebut sesuai dengan kepentingan dan bisa menciptakan perdamaian dikalangan orang-orang yang mewarisinya. Dari ayat ini kita dapat memetik pelajaran bahwa tidak ada jalan buntu dalam Islam dan setiap kali timbul satu masalah yang lebih penting, hal itu harus diperhatikan. Menghormati wasiat adalah penting, akan tetapi menjauhi dari timbulnya fitnah adalah lebih penting. Sebagaimana berbohong itu hukumnya haram, akan tetapi terkadang untuk melindungi nyawa dari si penzalim, maka berbohong itu menjadi wajib hukumnya Ayat ke-183: Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Salah satu dari perintah Tuhan adalah berpuasa yang mana perintah ini tidak hanya milik Islam, karena pada agama-agama terdahulu, puasa sudah diwajibkan. Puasa adalah jenis ibadah yang tak tampak. Jika orang lain, dapat melihat, shalat dan ibadah haji kita, namun puasa bukanlah perkara yang dapat dilihat dan kecil sekali kemungkinan berpura-pura dan riya'. Puasa menguatkan kehendak dan iradah manusia. Seseorang yang selama sebulan mencegah diri dari makan dan minum serta kelezatan-kelezatan yang halal (masyru'), maka ia akan dapat mengontrol dan menjaga diri dari harta dan mahram orang lain. Puasa merangsang dan memperkokoh intuisi insani dan agama. Seseorang yang merasakan pahitnya kelaparan selama sebulan, maka ia akan memahami dengan baik susahnya kelaparan dan akan tenggelam dalam memikirkan kaum miskin. Puasa juga memberikan satu peluang bagi meninggalkan dosa. Mayoritas dosa bersumber dari perut dan syahwat, dan dengan berpuasa dua sumber ini akan terkendalikan, akan mebngurangi kefasadan dan meningkatkan taqwa. Namun perlu diingat di sini bahwa, meninggalkan makanan dan minuman, adalah bentuk lahiriyah puasa. Orang-orang suci dan auliya, disamping mencegah diri dari makan dan minum, juga memperhatikan sisi batiniyahnya serta menghindari dosa. Dari ayat ini, kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran sebagai berikut:
1. Diantara tanda keimanan adalah berpuasa yang memperkuat jiwa takwa dalam diri manusia.
2. Melaksanakan perintah-perintah Tuhan adalah menguntungkan kita, bukannya Tuhan memerlukan salat dan puasa kita. (IRIB) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar