Laman

Kamis, 13 Oktober 2011

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 90-94



Tafsir Surat Ali Imran Ayat 90-94
Ayat ke 90-91
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.


Manusia bebas dalam memilih jalannya dan antara kufur dan iman. Ia dapat memilih salah satunya. Sebagian masyarakat mengimani karena taqlid kepada nenek moyang atau hawa nafsu atau kondisi zaman, namun lantaran keimanan orang-orang ini tidak memiliki pondasi yang benar, maka dengan mudah ia melepaskannya dan menjadi kufur dan bahkan mungkin saja mereka tenggelam dalam kekafiran melebih lain-lainnya.
Orang-orang ini begitu tenggelam dalam kekufuran dan penyelewengan, sehingga kondisi untuk kembali dan islah pada diri mereka telah musnah dan sedemikian tenggelam dalam egoisme dan kealpaan sehingga tidak ada yang dapat menyadarkan mereka melainkan lonceng kematian dan kemenangan muslimin. Sudah jelas bahwa taubat atas dasar takut mati tidaklah punya nilai. Karena taubat haruslah berdasarkan penyesalan internal, bukannya faktor-faktor seperti ketakutan atau kematian yang dipaksakan dari luar terhadap manusia. Bukan hanya taubat lisan yang menyelamatkan orang-orang seperti ini, melainkan tidak ada harta yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa Tuhan pada hari kiamat dan tidak ada teman yang jadi penyelamat mereka dari api neraka.
Dari dua ayat ini, kita dapat memetik beberapa pelajaran:
1. Memelihara dan mempertahankan iman lebih penting dari iman itu sendiri. Banyak sekali orang menjadi kafir setelah beriman.
2. Tuhan menerima taubat, namun sebagian kehilangan peluang untuk kembali karena tak henti-hentinya mengulangi dosa.
3. Jangan kita terlalu optimis dengan masa sekarang, di mana setiap mukmin diancam dengan mati dalam kafir.
Ayat ke 92
Artinya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Kata di atas dalam bahasa arab memiliki arti yang luas dan mencakup segala jenis kebaikan dalam pikiran atau perbuatan, sebagaimana dalam al-Quran keimanan kepada Tuhan dan perbuatan atau amalan seperti shalat, jihad dan tepat janji dihitung sebagai substansi bir. Ayat ini menyebut infak di jalan Allah sebagai salah satu dari contoh bir dan kebaikan diartikan bilamana manusia menafkahkan sesuatu yang disukainya kepda orang lain.
Dinukilkan bahwa di malam perkawinan Sayyidah Fathimah as, seorang miskin meminta pakaian usang Sayyidah Fatimah, namun beliau menginfakkan pakaian baru perkawinannya kepada wanita miskin tadi. Ini adalah substansi ayat yang menyatakan, infakkanlah dari apa yang engkau suka, bukannya yang diminta oleh orang miskin, karena kemungkinan mereka itu menerima hal yang sudah tua dan usang karena tercekik kemiskinan. Bagaimanapun juga, infak memiliki arti yang luas yang meliputi segala bentuk bantuan kepada orang lain, baik berupa sedekah dan pemberian, maupun berupa qardhul hasanah, baik berupa wakaf dan nazar.
Dari ayat di atas, kita dapatkan beberapa pelajaran:
1. Dari segi agama, kebaikan bukan hanya terletak pada salat dan ibadah. Membantu orang-orang lemah dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat adalah di antara tugas muslimin.
2. Karena Tuhan membandingkan apa yang kita infakkan, maka sebaiknya kita infak sesuatu yang terbaik dan jangan kita bakhil tentang jumlahnya.
3. Syuhada mencapai derajat tertinggi bir (kebaikan). Karena, mereka menginfakkan modal yang paling besar yaitu jiwanya di jalan Allah.
4- Dalam infak, intinya adalah pada kualitas bukannya pada kuantitas, artinya baik walaupun sedikit.
5- Dalam Islam, tujuan infak bukan hanya mengenyangkan perut orang-orang lapar, melainkan pertumbuhan ekonomi yang menafkahkan juga dimaksudkan. Menghilangkan keterikatan hati dari mahbub imajinasi dan khayali menyebabkan mekarnya jiwa kedermawanan dan pengorbanan.
Ayat ke 93-94
Artinya:
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar".
Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim.
Di antara keberatan yang dimiliki oleh yahudi Madinah terhadap Rasul Saw adalah syariat Islam. Mereka menilai syariat Islam bertentangan dengan syariat Musa dan Isa as. Mereka mencontohkan bahwa dalam agama nabi-nabi sebelumnya, daging dan susu unta adalah haram, namun dalam Islam adalah halal. Ayat ini menjawab keberatan mereka itu demikian, "Daging dan susu unta adalah di antara makanan yang dalam syariat Nabi Musa adalah halal. Hanya Nabi Ya'qub yang menghindari daing dan susu unta lantaran keduannya itu berbahaya bagi tubuh Nabi Ya'qub dan Bani Israel mengira ini adalah pengharaman syariat dan selamanya. Padahal hal itu merupakan suatu perbuatan pribadi, bukan hukum Tuhan.
Kelanjutan ayat menyatakan, "Pondasi syariat Nabi Musa adalah Taurat, bukannya ucapan dan apa yang didengar oleh kalian. Jika dalam Taurat, sesuatu dinilai haram, maka anda harus memandangnya haram, jika tidak kalian telah menisbatkan sesuatu kepada Tuhan tanpa alasan."
Dari dua ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1. Janganlah mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Tuhan. Kita harus menerima apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Tuhan, bukannya dari yang kita dengar dari mulut masyarakat ataupun yang kita saksikan dalam tradisi masyarakat.
2. Konsep dasar bahan makanan adalah kehalalannya. Maksudnya untuk membuktikan kehalalan sesuatu, kita tidak memerlukan argumen. Melainkan kalau kita hendak mengatakan sesuatu itu haram, kita harus membawakan dalil.
3. Jangan kita mengemukakan pandangan dan akidah pribadi atas nama agama, dimana kita telah melakukan kezaliman dalam hak agama, pimpinan dan masyarakat. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar