Laman

Kamis, 13 Oktober 2011

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 77-82



Tafsir Surat Ali Imran Ayat 77-80
Ayat ke 77
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.


Bagi kesejahteraan umat manusia, Allah Swt memberinya petunjuk dari dua jalan. Salah satu dari jalan fitrah yang menggelegak dari dalam dan menunjukkan kebaikan dan keburukan kepada manusia. Yang kedua adalah wahyu yang bermuara dari ilmu Allah yang tidak terbatas dan di bawah nama agama serta perintah-perintah agama; membimbing manusia langkah demi langkah menuju tujuan sempurna.
Sekumpulan anjuran-anjuran fitrah dan agama adalah janji-janji ilahi yang telah ditandatangani oleh akal dan mewajibkan manusia melaksanakan hal itu. Namun sayangnya, sekelompok manusia telah melanggar janji dan untuk sampai kepada dunia mereka lebih mengutamakan hawa nafsu daripada kehendak Tuhan. Jelas prilaku tidak patut ini akan disusuli oleh pengaruh-pengaruh kemurkaan sebanding dengan keingkarannya dan yang terpenting ialah jauh dari kemurahan tuhan di hari dimana semuanya memerlukan kemurahan-Nya.
Dari ayat ini kita dapat petik beberapa pelajaran:
1. Melanggar perjanjian dan sumpah menyebabkan keluar dari agama dan masuk ke dalam api neraka.
2. Menjaga amanah adalah perjanjian Tuhan. Dalam ayat-ayat sebelumnya, pembicaraan soal amanah rakyat, ayat ini melihat penjagaan amanah sebagai salah satu dari perjanjian-perjanjian Tuhan yang semuanya harus dipelihara.
Ayat ke 78
Artinya:
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.
Sebagaimana dalam ayat-ayat sebelumnya, telah dikatakan bahwa salah satu sebab penyelewengan dan tersesatnya masyarakat di sepanjang sejarah adalah para cendekiawan (ulama) agama yang adakalanya untuk memelihara status sosial atau agamanya, dan seringkali juga karena dengki dan keras kepala mereka tidak bersedia memberitahukan masyarakat tentang hakikat yang sebenar dan bahkan lebih dari sekedar menyembunyikan, mereka menyelewengkan kebenaran dan mengemukakan akidah dan pemikirannya atas nama agama.
Al-Quran memperingatkan bahaya orang-orang seperti ini kepada kaum Muslimin, agar mereka tidak tertipu oleh lahiriyah orang-orang itu ataupun omongan menarik mereka, dan hendaklah mereka tahu betapa banyak orang mengatakan kebohongan yang paling besar di bawah nama agama serta menisbatkannya kepada Tuhan.
Dari ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1. Janganlah kita dengarkan segala omongan. Betapa sering perkataan indah yang dikira oleh manusia sebagai al-Quran, ternyata kontra dengan Quran. Hendaknya kita waspada karena terdapat beberapa orang yang menghancurkan agama atas nama agama.
2. Janganlah kita lalai terhadap bahaya para cendekiawan yang tidak bertakwa. Mereka mecampakkan rakyat ke jurang kesalahan dan kesesatan, juga berbohong atas nama tuhan dan menisbatkan perkataannya kepada Tuhan.
Ayat ke 79-80
Artinya:
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
Melanjuti ayat sebelumnya yang menjelaskan soal bahaya para cendikiawan agama yang menyesatkan, dua ayat ini ditujukan kepada mereka mengatakan bahwa bahkan para Nabi yang membawa kitab dari Allah dan berpijak pada kebijaksanaan serta mempunyai hak untuk memerintah, mereka tidak dapat mengajak manusia untuk menyembah diri mereka (nabi) melainkan mereka harus mengajak masyarakat untuk menyembah Allah. Lalu, bagaimana kalian yang hanya pengikut para Nabi dan guru kitab-kitab Samawi mengijinkan diri kalian campur tangan dalam perintah-perintah Tuhan, itupun seakan-akan kalian adalah Tuhan masyarakat?
Diharapkan kalian yang lebih banyak tahu soal kitab-kitab Samawi dan senantiasa mempelajari dan mengajarnya lebih dari orangl lain akan konsekwen kepada perintah-perintah-Nya dan jadilah ulama rabbani. Selain itu, menerima setiap bentuk rububiyah bagi manusia dan campur tangan dalam menetapkan hukum atau menukarnya, identik dengan kufur dan tidak seorang pun Rasul maupun rasul-rasul yang lain, atau bahkan para malaikat Ilahi yang merasa punya hak semacam ini. Lantas bagaimana kalian para cendikiawan (ulama) ahlul-kitab mengklaim diri sebagai Tuhan dan mendoktrin ideologi kalian kepada rakyat ataupun merubah perintah-perintah agama atas nama agama?
Dari ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1. Segala bentuk penyalahgunaan status, popularitas dan tanggung jawab adalah perbuatan terlarang. Bahkan para Nabi pun tidak berhak menyalahgunakan status dan kedudukannya yang tinggi.
2. Hanya ulam rabbani yang berhak menafsirkan al-Quran, sebagaimana halnya jalan untuk menjadi rabbani adalah akrab dengan al-Quran, belajar dan mengajarkannya.
3. Segala bentuk berlebih-lebihan, memiliki ideologi yang ekstrim mengenai para nabi dan auliya adalah terlarang. Mereka adalah hamba-hamba tuhan yang sampai pada derajat tinggi berkat ibadah dan ubudiyah, namun mereka tidak sekali-kali dianggap sebagai Tuhan.
4. Kufur bukan hanya mengingkari Tuhan, bahkan menerima segala peran manusia dalam peletakan undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang Tuhan juga berarti ingkar terhadap rubbubiyah Tuhan dan kufur kepadanya.
Ayat ke 81 dan 82
Artinya:
"Dan ingatlah, ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya."
Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu. Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
Dalam tafsir dan riwayat telah disebutkan bahwa Allah Swt telah mengambil janji dari Nabi-nabi sebelumnya seperti Musa dan Isa as bahwa hendaknya mereka memberikan kabar atau berita gembira akan kedatangan Rasul terakhir Muhammad Saw dan dengan menjelaskan keistimewaan dan sifat-sifatnya, mereka telah mewujudkan landasan-landasan keimanan masyarakat kepadanya, karena semua para Nabi adalah dari satu Tuhan dan kitab-kitab Samawi mereka membenarkan antara satu dengan lainnya serta membenarkannya. Maka dengan datangnya Rasul baru, para pengikut Nabi sebelumnya haruslah beriman kepadanya dan membantunya dalam menghadapi musuh.
Meskipun para Nabi itu tidak ada di zaman Rasulullah Saw sehingga mengimaninya secara langsung, namun yang penting kesiapan mereka untuk menerima perkara ini. Sebagaimana halnya para mujahidin di jalan Allah yang menuju ke medan perang siap untuk menerima syahadah, meskipun ada kemungkinan mereka tidak syahid. Dengan ungkapan lain pasrah diri dihadapan perintah Tuhan adalah penting, meski pun belum tersedia kondisi untuk menerapkan perintah tadi.
Dari ayat ini kita dapat petik beberapa pelajaran:
1. Perbedaan para Nabi dalam menjalankan risalah, sebagaimana halnya perbedaan para guru satu sekolah dalam bidang pengajaran. Tujuan mereka semuanya satu dan setiap guru memperkenalkan guru selepasnya kepada para murid untuk melanjutkan pelajaran.
2. Iman dengan sendirinya tidaklah cukup. Dukungan dan pertolongan agama dan para pemimpin agama juga diperlukan.
3. Meskipun semua para Nabi menerima antara satu dengan lainnya, namun tidak ada alasan para pengikut agama Ilahi menunjukkan fanatisme yang tidak berdasar. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar