Sejak manusia menjejakkan kaki di bumi, kaum pria dan wanita menghabiskan hidup mereka secara berdampingan dengan membentuk keluarga dan membesarkan anak-anak mereka dalam dekapan hangat kasih sayang. Keluarga menemukan bentuk alamiah dan idealnya ketika tidak ada satupun hal yang dapat memisahkan hubungan antara mereka. Orang-orang saleh khususnya Nabi Saw berupaya keras untuk institusi yang memberikan kebahagiaan ini.
Keluarga adalah sebuah kata yang sarat makna, saat kita menyelami kata ini, luapan rasa dan gelombang kasih sayang bangkit dalam diri kita. Keluarga adalah tempat yang teduh dan damai, ia juga basis sosial pertama dan vital dalam setiap masyarakat. Keluarga terbentuk tatkala sepasang pria dan wanita yang sudah memasuki usia balig sepakat menjalin ikatan suci melalui aturan dan hukum yang berlaku.
Para pakar masalah keluarga berkeyakinan bahwa masyarakat mana pun tidak dapat mengklaim diri memiliki kesehatan moral dan sosial kecuali jika masyarakat itu memiliki tatanan keluarga yang stabil. Pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga akan menciptakan stabilitas dan kekuatan kasih sayang di dalamnya. Tak diragukan lagi, keluarga-keluarga yang goyah dan lemah juga akan menggoncang sendi-sendi masyarakat. Di dalam masyarakat seperti ini, angka perceraian semakin meningkat dari hari ke hari dan berdampak pada runtuhnya pilar-pilar rumah tangga.
Para peneliti dan pakar masalah keluarga menjelaskan tugas apa saja yang dimiliki oleh sebuah keluarga, antara lain; mewujudkan ketenteraman psikis, menjalin hubungan kekeluargaan, menciptakan jalinan kasih antar anggota keluarga, juga mewujudkan pemahaman anggota keluarga akan hak dan tanggungjawab individu dan sosial. Ackerman seorang peneliti Amerika memperkenalkan keluarga sebagai sebuah institusi kasih sayang-sosial yang merupakan tempat berkembang dan tumbuhnya seseorang. Setiap orang akan merasa menjadi bagian dari keluarganya.
Dalam perspektif Islam, keluarga adalah sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa individu yang memiliki status sipil dan hukum yang terjalin lewat ikatan perkawinan. Setelah menikah, masing-masing pihak memiliki tugas dan hak-hak baru, dan di antara mereka juga akan terbentuk hubungan moral, kasih sayang, dan pranata baru.
Sekilas tampak bahwa unsur dasar pembentuk keluarga adalah keberadaan sepasang pria dan wanita, dan sesuai adat dan kebiasaan sosialnya satu sama lain sepakat untuk membentuk ikatan perkawinan yang nantinya hubungan itu akan menghadirkan anak di tengah mereka. Akan tetapi, pandangan luar ini tidak cukup. Sebab ada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu mengapa pria dan wanita ingin hidup berdampingan? Bukankah ini tuntutan fitrah dan kebutuhan alamiah manusia?
Perkawinan terjalin lewat berbagai macam motivasi dan dorongan. Ada yang menjalinnya karena motif ekonomi, sebagai contoh; ada keluarga yang mengawinkan anak gadisnya dengan pria kaya demi memperoleh hartanya. Demikian juga dengan kaum pria yang memilih menikah dengan perempuan kaya atau anak orang kaya demi hartanya. Sebagian perkawinan juga terjalin karena pengaruh dan kedudukan sosial atau politik. Keluarga-keluarga berpengaruh dan memiliki kedudukan sosial berusaha mengawinkan anak-anak mereka semata-mata untuk memperkuat pengaruh dan kedudukannya. Kecantikan juga motif lain dalam membentuk mahligai rumah tangga. Ada orang yang melihat kecantikan sebagai faktor penentu dalam perkawinan, tanpa mengindahkan nilai-nilai etika dan insani.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perkawinan yang dibangun atas dasar materi, kecantikan, dan kedudukan hanya menghasilkan sebuah keluarga yang menjadi ajang bagi masing-masing pihak untuk memanfaatkan harta, kecantikan, dan kedudukan pasangannya. Sebab, filosofi perkawinan dalam rumah tangga ini dibangun atas dasar-dasar lahiriah dan materi, sehingga keberlangsungannya juga sangat bergantung pada faktor-faktor ini.
Kehidupan berumah tangga akan memudar seiring dengan hilangnya salah satu dari faktor ini. Jika kita menyelami ajaran agama, kita temukan bahwa keluarga agamis memiliki identitas yang dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan saling pengertian. Dengan model ini, manusia dapat sampai pada pemenuhan kebutuhannya, antara lain; kasih sayang, materi, dan spiritualitas. Islam tidak menentang suami-istri menggunakan harta, kedudukan, dan kecantikan pasangannya. Akan tetapi, agama mengingatkan bahwa urusan materi jangan dijadikan landasan dalam membangun keluarga.
Berdasarkan ajaran al-Quran, memilih pasangan hidup berkaitan erat dengan fitrah manusia. Baik pria maupun wanita selama tidak menginginkan kebersamaan, tidak saling cinta dan mengerti, maka selama itu mereka tidak akan sempurna, karena laki-laki dan perempuan adalah dua jenis yang saling melengkapi. Memenuhi kebutuhan materi dan biologis semata tidak akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan. Kelahiran keturunan semata juga tidak akan membahagiakan kehidupan keluarga.
Allah Swt pencipta alam semesta telah menciptakan pria dan wanita dimana kebutuhan spiritual dan material akan terpenuhi saat mereka berdampingan. Karena dalam diri manusia terdapat benih-benih kasih sayang dan rahmat, dan lingkungan keluarga sebagai tempat untuk merealisasikannya. Allah Swt dalam al-Quran al-Karim surat ar-Ruum ayat 21 berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Ketika rasa saling memerlukan dan saling memahami sampai pada tingkatan yang menghanyutkan mereka ke dalam suka dan duka bersama, kehidupan juga terasa hampa dan dingin tanpa kehadiran salah satu dari mereka. Inilah rasa cinta dan kasih sayang yang ditekankan oleh al-Quran. Pria dan wanita saling membutuhkan. Ketenteraman akan terwujud saat mereka saling berjumpa. Kebutuhan biologis dan kebutuhan lainnya penting untuk dipenuhi dalam kehidupan keluarga. Akan tetapi, hal ini tidak cukup untuk kelangsungan sebuah keluarga. Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam mahligai rumah tangga adalah rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan istri hingga tercipta ketenteraman jiwa sebagaimana dilukiskan al-Quran. Jika bukan demikian, maka tidak ada alasan bagi laki-laki dan perempuan itu untuk menerima tanggungjawab besar hidup bersama.
Jika rumah tangga dibangun hanya atas dasar dorongan seksual dan kebutuhan biologis semata, dan antara mereka tidak ada sikap saling mengerti kebutuhan jiwa dan psikis pasangannya, rasa dahaga akan kasih sayang yang dirasakan oleh jiwa keduanya tidak akan terpuaskan. Dalam hal ini yang terlihat hanya kehampaan dan kegagalan. Rumah tangga yang selain memenuhi kebutuhan biologis juga memberikan kehangatan kasih sayang, maka keakraban di tengah mereka akan nampak. Mereka akan merasa terikat satu sama lain. Di sini, manusia dengan terilhami oleh ajaran-ajaran agama dapat memahami realita bahwa keluarga adalah tempat untuk mengisi kekosongan ruh dan jiwa suami-isteri. (IRIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar