Laman

Jumat, 18 November 2011

Menengok Konferensi Internasional Cendikiawan Muslimah di Tehran



Untuk kesekian kalinya, Tehran kembali menggelar sebuah konferensi besar. Kali ini Tehran menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Cendikiawan Muslimah bertemakan "Spritualitas, Kesucian, dan Keluarga". Konferensi dua hari ini, yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Februari lalu, diikuti oleh lebih dari 50 pakar dari berbagai negara termasuk dari Iran. Konferensi ini diselenggarakan untuk mengkaji persoalan krisis spritualitas dan rapuhnya bangunan keluarga di era modern serta upaya mencari solusi atas persoalan tersebut.


Konferensi ini dibuka dengan pesan Presiden Republik Islam Iran, Dr. Mahmoud Ahmadinejad. Dalam pesannya itu, Presiden Ahmadinejad menegaskan, "Kasih sayang dan cinta, merupakan bagian dari substansi hakiki manusia. Kalbu suci kaum perempuan dan ibu adalah sumber cinta dan kasih sayang. Para ibu adalah sumber cinta ilahi. Seluruh kasih sayang manusia tumbuh berkembang dalam buaian kasih sayang perempuan dan ibu. Saat bapak, ibu, dan anak-anak berada di bawah satu atap dan hidup bersama, seluruh ruang rumah akan dipenuhi dengan ketenangan dan rasa aman".
Presiden Iran menambahkan, "Kesucian dan kehormatan, merupakan penjamin sistem keluarga dan masyarakat. Pakaian yang tepat tergolong sebagai jelmaan kesucian. Keluarga yang suci itu seperti pohon yang penuh buah bagi seluruh manusia. Karena manusia-manusia teladan lahir dari keluarga yang suci dan teladan".
Ibu Zuhreh Tabib Zadeh, Penasehat Presiden Iran Urusan Perempuan dan Keluarga, merupakan salah seorang pembicara dalam konferensi ini. Menurutnya, krisis spiritual merupakan krisis umat manusia saat ini. Ia memamaparkan, "Di Barat, kehormatan manusia, khususnya kehormatan kaum perempuan, telah lama diabaikan. Kini, di dunia Barat, peran keluarga dan ibu, isteri dan andil positif perempuan sebagai pendidik tak lagi banyak dibicarakan. Kian meningkatnya angka kelahiran di luar nikah, maraknya fenomena single parents, tumbuhnya kecanduan terhadap narkoba dan penyakit jiwa, merupakan sejumlah dampak dari dekadensi moral dan krisis spritualitas di era modern. Zuhreh menilai, agama dan spritualitas merupakan mata rantai yang hilang dalam pandangan dan pemikiran kemanusiaan Barat.
Dalam konferensi ini, dibentuk beragam komisi khusus untuk mengkaji pelbagai persoalan dan makalah yang diajukan para peserta. Ibu Nadrimah Munir Zakay, merupakan salah seorang pembicara di Komisi Kesucian dan Jilbab. Dia menyatakan, jilbab merupakan salah satu unsur kesamaan di antara tiga agama samawi; Yahudi, Kristen, dan Islam. Prinsip-prinsip jilbab bagi perempuan, telah dipaparkan dalam ayat-ayat suci Al-Quran dan hadis Nabi. Kaum perempuan pun menerimanya sebagai simbol ketaatan dan penghambaan Ilahi.
Di bagian lain orasinya, Nadrimah menegaskan, "Melihat sikap anti-jilbab yang diterapkan oleh sejumlah pemerintahan negara-negara Eropa, khususnya di kawasan Balkan, harus kita ketahui, bahwa mayoritas perempuan Balkan meyakini hijab sebagai perkara yang sakral, simbol ketaatan kepada Tuhan dan tanda identitas keyakinan dan kepribadian mereka".
Pembicara lainnya dalam Konferensi Internasional Cendikiawan Muslimah adalah Ibu Zahra Gonzales dari AS. Dalam orasinya ia menegaskan bahwa jilbab merupakan busana untuk melindungi perempuan dari penyakit sosial dan mental. Lebih jauh ia memaparkan, "Jilbab tergolong sebagai pondasi utama keluarga yang sehat. Mengingat bahwa masyarakat yang sehat berakar dari keluarga yang sehat pula, maka jilbab merupakan juga sebagai pondasi masyarakat yang sehat. Selain itu, penerapan jilbab memiliki pengaruh yang kuat dalam menekan hedonisme dan gaya hidup yang berlebihan di lingkungan sosial dan keluarga". Ibu Gonzales menambahkan, "Jilbab bisa mengubah pandangan perempuan terhadap masalah seperti sikap pamer, dan hubungan tidak sehat. Jilbab bisa mendorong mereka menuju tujuan utama hidup, pada jalan kebahagiaan sejati".
Sementara itu, pembicara dari Iran diwakili oleh Ibu Vahideh Ameri. Dalam orasinya ia memaparkan hubungan antara jilbab dan kesucian. Ia menuturkan, "Menurut hukum Islam, yang dimaksud dengan jilbab, adalah busana khusus perempuan yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Ifaf atau kesucian juga merupakan perintah positif yang tebentuk di dalam batin seseorang, sehingga ia mampu mengendalikan hawa nafsunya". Vahideh menilai, sikap berhias diri dengan artian memamerkan kecantikan untuk menarik perhatian lelaki, merupakan sikap yang bertentangan dengan kesucian dan tergolong sebagai akhlak yang hina".
Selain komisi kesucian dan jilbab, konferensi ini juga memiliki komisi khusus krisis spiritual. Ibu Jamilah Umar Chami dari Kenya, merupakan salah seorang pembicara di komisi ini. Tema pembicaraan yang ia presentasikan berkaitan dengan hubungan pemahaman spritual seseorang dengan ketaatan beragamanya. Dalam orasinya ini ia menuturkan, "Di setiap masyarakat, terdapat tiga faktor yang saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan agama. Jika salah satu dari ketiga faktor tersebut mengalami kerusakan. Maka yang lainnya pun akan mengalami hal yang sama. Menurut Ibu Umar Chami, agama merupakan faktor yang paling sensitif.
Ia menambahkan, "Kita saat ini berhadapan dengan pelbagai penyakit agama dan keyakinan. Karena kita telah mengabaikan sebagian ajaran ilahi. Generasi muda kita banyak menghabiskan waktunya hanya untuk meniru mode, tradisi dan gaya hidup di belahan dunia lain. Mereka tidak memiliki model yang jelas dan diterima sebagai busana di lingkungan kerjanya sendiri. Karena itu, kaum perempuan berusaha memilih jenis kerja yang bisa menjamin keamanan dirinya. Oleh sebab itu, taraf pengetahuan dan kesadaran kaum perempuan terhadap dirinya, Islam dan dunia harus ditingkatkan lagi."
Meski dunia modern berhasil meraih kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemajuan tersebut juga membuahkan beragam dampak buruk, seperti runtuhnya bangunan keluarga, meningkatnya angka perceraian, dan kriminalitas. Dr. Rahim Pour Azghadi, seorang cendikiawan terkenal asal Iran yang turut berbicara di konferensi ini menegaskan, "Runtuhnya keluarga, berarti hancurnya masyarakat. Menurut agama, rumah bukan sekedar bangunan bata dan semen, tapi sebagai pusat kebahagiaan untuk menumbuhkan perkembangan lelaki dan perempuan dan anggota keluarga lainnya. Model kehidupan Barat dalam masalah keluarga merupakan model sekuler dan materialistik. Dalam dua abad belakangan ini, model semacam itu telah mengakibatkan runtuhnya cinta dan harapan di tengah keluarga. Materialisme memandang keluarga hanya sebagai hubungan lelaki dan perempuan yang berdasarkan pada persaingan maksimalis dan kesepakatan minimalis. Dalam model keluarga seperti ini, posisi cinta, tanggung jawab, dan kepercayaan telah digantikan oleh egoisme dan prasangka buruk."
Dr. Rahim Pour menambahkan, "Kini di dunia Barat, atas nama kemajuan, moral dan spritualitas dihancurkan. Keluarga menjadi terhina, sementara generasi mudanya terabaikan tanpa didikan orang tua. Kekerasan di tengah keluarga, aborsi, perselingkuhan, berubahnya perempuan sebagai perangkat seks telah menjadi gejala yang lumrah di Barat. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Kini, Kita harus berjuang menghadapi tragedi tersebut. Lelaki dan perempuan harus berjihad moral. Mereka harus berjihad mempertahankan keutuhan keluarga".
Seminar Internasional Cendikiawan Muslimah ditutup dengan dicetuskannya sebuah deklarasi. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan, "Mengingat kian majunya perangkat media massa dan perubahan cepat nilai-nilai dan norma budaya, kami menegaskan pentingnya harmonisasi dan kesatuan langkah dalam melakukan aktifitas budaya dan pendidikan. Kami menghendaki pula adanya pertukaran pandangan di antara seluruh komunitas Islam terkait hal ini".
Di bagian lain deklarasi tersebut dinyatakan, "Kami perempuan muslimah berkumpul bersama, di tahun yang dinamakan sebagai tahun persatuan nasional dan solidaritas Islam. Kami berkumpul untuk menetapkan kebijakan bersama dalam rangka mewujudkan persatuan yang berporoskan pada Al-quran dan Sunnah Nabi, dan berupaya mencari solusi baru bagi dunia yang saat ini haus akan keadilan. Kami menghendaki penguatan dan pengembangan hubungan ilmiah di berbagai bidang dan terciptanya ajang bersama dialog ilmiah dan produksi ilmu pengetahuan, lewat pertukaran pemikiran". (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar