Setiap tahun, saat perayaan hari kemenangan Revolusi Islam Iran digelar, ada banyak kegiatan budaya yang diselenggarakan oleh warga maupun pemerintah Iran. Salah satu acara yang paling menarik adalah upacara pemberian penghargaan kepada para komponen bangsa yang banyak berjasa dan mengorbankan jiwa dan raganya untuk perjuangan Revolusi Islam. Karena itu, baru-baru ini, Tehran menjadi tuan rumah konferensi para syuhada perempuan. Konferensi digelar untuk mengenang dan memberikan penghargaan kepada lebih dari 6 ribu syuhada perempuan.
Agama-agama samawi, khususnya Islam, begitu memuliakan budaya pengorbanan dan kesyahidan. Sejatinya, sikap rela berkorban dan jihad memiliki makna dan penafsiran yang khas dalam kamus agama-agama ilahi. Berbeda dengan ideologi dan pemikiran materialistik, yang hanya menilai segala sesuatu dengan nilai-nilai duniawi, agama-agama samawi, menilai bahwa pengorbanan seorang insan tidak bisa diukur dengan standar materi, pengorbanan hanya bisa ditimbang dengan nilai-nilai transendental. Karena itu, keyakinan pada alam akhirat memiliki peran yang amat penting bagi insan beragama. Terdapat banyak ayat al-Quran yang memuji manusia-manusia yang mengorbankan harta, jiwa, dan raganya untuk berjihad di jalan Allah. Al-Quran menyebut mereka sebagai kelompok yang berjual-beli dengan Tuhannya. Pengorbanan mereka akan ditebus oleh Yang Maha Kuasa dengan surga dan ridha-Nya.
Bukan hanya Al-Quran saja, tapi terdapat banyak sabda-sabda Rasulullah yang memberikan kabar gembira bagi setiap mukmin yang berjihad dan mengorbankan dirinya di jalan kebenaran. Pada masa-masa awal penyebaran Islam, jihad di jalan Allah menjadi batu loncatan untuk meraih tingkat kesempurnaan yang paling luhur di sisi ilahi. Bagi orang-orang beriman, kesyahidan adalah kematian yang sadar, yang berbalut dengan kemuliaan dan kepahlawanan. Karena itu, mati syahid bisa dinilai sebagai fenomena yang paling luhur dalam kehidupan manusia. Mati syahid laksana cahaya yang cemerlang, yang menerangi kelamnya kehidupan. Mati syahid laksana pasokan darah yang menghidupkan raga masyarakat, yang menyegarkan kembali kalbu-kalbu dan jiwa yang layu. Sejatinya, para syuhada adalah pemandu umat manusia. Ibarat kata pujangga, ‘Akal tak mampu pahami langkahku, hanya cinta yang tahu ke mana ku pergi'.
Peran historis para pejuang muslim maupun muslimah dalam membela agama dan tanah airnya, sesungguhnya berakar pada budaya Islam. Masalah ini bisa dirunut hingga pada masa-masa awal sejarah Islam. Kendati, kaum perempuan tidak diwajibkan untuk berjihad, namun hal itu tak menghalangi kaum perempuan berjihad membela agama dan tanah airnya. Mereka adalah pasangan kaum lelaki untuk berjuang di jalan Allah. Pada masa-masa awal sejarah Islam, ada banyak pejuang perempuan yang ikut serta dalam pelbagai perang yang dipimpin oleh Rasulullah. Mereka berperan sebagai kelompok yang bertugas untuk memberikan pertolongan medis.
Ketika Revolusi Islam Iran bergerak, kaum perempuan memiliki peran yang luas di berbagai bidang, seperti budaya, ilmu pengetahuan, politik, dan militer. Kaum hawa Iran justru mendorong suami dan anak-anak mereka maju ke medan perjuangan membela Revolusi. Sebagian lainnya, maju ke medan perjuangan menjadi tenaga medis, seperti dokter, perawat, dan staf pembantu. Mereka adalah simbol pengorbanan dan jihad di jalan Allah. Mereka adalah kaum perempuan yang mengikuti jejak langkah perjuangan perempuan-perempuan agung seperti sayyidah Khadijah as, sayyidah Zahra as, dan sayyidah Zainab as. Mengenai perjuangan dan pengorbanan kaum perempuan Iran ini, Imam Khomeini berkali-kali memuji mereka seraya menyatakan, "Cahaya imanlah yang membuat kalian, kaum perempuan tak gentar pada kesyahidan. Para pemuda kita, lelaki dan perempuan kita siap hadir untuk syahid".
Dalam rangka mengenang dan memuliakan peran historis kaum perempuan yang berjihad, dan syahid di jalan Allah, Republik Islam Iran menggelar Konferensi Pertama Syuhada Perempuan di Tehran. Dalam konferensi berskala nasional dan internasional ini, Presiden Republik Islam Iran, Dr. Mahmoud Ahmadinejad memberikan penghargaan kepada 22 keluarga syuhada perempuan dari Iran dan berbagai negara lainnya. Dalam sambutannya, Presiden Ahmadinejad menyatakan, "Meski data resmi Iran menyebut lebih dari 6 ribu perempuan tercatat sebagai syuhada, namun saya menyatakan angka itu lebih dari 200 ribu. Karena para perempuan yang berhasil mendidik para syuhada, jauh lebih mulia ketimbang syuhada itu sendiri. Ibu-ibu syuhada jauh lebih mulia, ketimbang saya, atau yang seperti saya."
Di bagian lain sambutannya, Presiden Ahmadinejad menuturkan, "Perempuan adalah jelmaan cinta, sabar dan pengorbanan. Tuhan menciptakan manusia untuk dijadikan sebagai cermin dan lokus manifestasi sifat-sifatnya. Dia menciptakan perempuan, dan meletakkan seluruh keindahan padanya. Syuhada juga merupakan manifestasi ilahi, kepahlawanan, pengorbanan, kesabaran, dan perjuangan. Ketika perempuan gugur syahid, sejatinya ia telah menundukkan puncak keindahan dan peringkat yang paling luhur. Ia memiliki posisi yang lebih mulia ketimbang lelaki yang syahid. Di Iran, perempuan memilih jalan perjuangan dan kemuliaan dengan kesadaran, kebebasan, dan ikhtiarnya sendiri."
Ibu-ibu para syuhada Iran, dengan hati yang dipenuhi cinta ilahi, melangkah dijalan Tuhan dengan merelakan anak-anak tercintanya maju ke medan jihad. Mereka sadar bahwa para syuhada memiliki peran yang vital dalam mempertahankan sebuah bangsa atau umat. Mereka adalah para ibu yang memiliki jiwa kepahlawanan. Saat berita kesyahidan anak-anaknya mereka dengar, dengan lapang hati dan penuh ikhlas, mereka menerimanya. Mereka bangga, darah daging yang mereka besarkan selama ini, gugur syahid demi meraih ridha Ilahi. Bahkan sebagian dari ibu-ibu mulia ini, dengan penuh ketabahan dan kebesaran jiwa, mereka kebumikan anak-anaknya yang syahid dengan tangannya sendiri.
Bapak Beigi, bekas seorang pejuang Iran dan salah seorang saksi hidup agresi militer Rezim Ba'ats Irak, di kota Khoramسhahr, selatan Iran, menuturkan, "Saat peristiwa perang mempertahankan kota Khoramسhahr berkecamuk, perjuangan sejumlah kaum perempuan benar-benar mengagumkan".
Maryam Hoseini, salah seorang anggota pasukan relawan Iran di Khoramshahr dalam kesaksiannya menuturkan, "Tugas kelompok pembantu perang, diserahkan pada kami. Orang-orang datang mengambil senjata. Sejumlah perempuan, mengisi karung-karung dengan pasir untuk membuat tempat perlindungan. Mereka juga turut membantu memperbaiki senjata. Di malam hari kami berjaga di atas atap bersenjatakan senapan M-1. Tiap sejam, kami bergiliran menjaga. Memberikan pertolongan pertama, menjadi perawat dan tenaga kebersihan, serta mengangkut para korban luka merupakan tugas perempuan di medan perang".
Melihat begitu luasnya peran kaum perempuan Iran dalam memperjuangkan maupun mempetahankan Revolusi Islam, Konferensi Para Syuhada Perempuan juga berupaya mengungkapkan potensi dan kemampuan kaum hawa di berbagai bidang pemikiran, politik, dan sosial. Salah satu tujuan diselenggarakannya konferensi ini adalah untuk mengenali 30 syuhada perempuan dari negara-negara lain seperti: Irak, Palestina, Bosnia, Afghanistan, dan Lebanon dengan cara memberikan penghargaan kepada para keluarga yang ditinggalkannya.
Syahid Bintul-Huda, adalah salah seorang pahlawan muslimah asal Irak. Selain pejuang, dia juga dikenal sebagai pemikir dan sastrawan yang religius. Ia banyak aktif berjuang mengangkat martabat kaum ibu, dan mencerahkan pemikiran perempuan muslim. Ia bersama saudaranya, Ayatollah Sayid Muhammad Baqir Sadr gugur syahid setelah disiksa secara sadis oleh mantan presiden diktator Irak, Saddam Husein.
Syahid Saham Musawi, istri mantan Sekjen Hezbollah, Sayed Abbas Musawi adalah tokoh syuhada perempuan lainnya dari Lebanon. Ia gugur syahid bersama suaminya saat berjuang melawan pendudukan Rezim Zionis Israel di selatan Lebanon. (IRIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar