Laman

Jumat, 18 November 2011

Agama dan Keluarga yang Sehat, Perlu Mendekatkan Persepsi



Para peneliti mengatakan bahwa perkawinan sukses adalah perkawinan yang bertujuan untuk meniti jalan kesempurnaan. Seorang pria di samping pekerjaan dan karirnya, juga ingin menjadi seorang insan yang matang secara mental dan spiritual. Demikian halnya dengan wanita, dengan didampingi suaminya, ia juga butuh untuk mengembangkan berbagai potensi dan kemampuan internalnya.

Suami-isteri yang saling memperhatikan hubungan dan selera masing-masing, pada kenyataannya mereka sedang membangun jalinan kasih sayang yang kokoh. Akan tetapi, hal ini tidak akan terwujud kecuali jeli dalam memilih pasangan hidup. 




Tentu saja dengan mengabaikan kriteria-kriteria yang tepat dalam memilih pasangan hidup, hal ini nantinya akan menjadi penyebab lahirnya berbagai kemelut dan konflik dalam rumah tangga. Para psikolog dan konsultan keluarga telah memaparkan berbagai macam kriteria dalam perkawinan, antara lain; masalah psikis, ekonomi, budaya dan sosial.

Lewat perkawinan, dua insan berbeda watak dan karakter sepakat untuk menempuh hidup baru, dan menjalani kehidupan bersama yang berbeda jauh saat masih sendiri. Dalam kehidupan bersama ini, mungkin saja perbedaan persepsi dan selera akan menggoyah bahtera rumah tangga dan menyeretnya dalam kemelut. Tabiat manusia cenderung memilih pasangan hidup yang setara dengannya. Kesetaraan dua insan tidak hanya menjadi mangnet satu sama lain, juga turut mempererat ikatan suci ini. Para peneliti mengulas keseteraan dalam kehidupan bersama meliputi tempat tinggal, strata sosial, tingkah laku, karakteristik mental, dan budaya. Ketidaksesuaian dalam hal ini berdampak gagalnya sebuah perkawinan.

Kebanyakan penggiat masalah keluarga berkeyakinan bahwa faktor-faktor budaya memainkan peranan penting dalam perkawinan. Sementara kesesuaian dalam agama, mazhab, adat istiadat, dan kepercayaan berperan dalam melestarikan sebuah rumah tangga. Dr. Kinsey seorang peneliti dari Eropa berkeyakinan bahwa dalam ranah sosial perkawinan, mazhab sangat berpengaruh pada perilaku suami-isteri.

Penelitian membuktikan bahwa nilai-nilai dan keyakinan seseorang memainkan peranan vital dalam perilaku manusia bahkan melebihi faktor lain. Tidak adanya keselarasan dan kesamaan pola pikir agamis antara suami-isteri lambat laun akan mempertajam jurang pemisah. Begitu juga kemelut dan konflik akan menjamur jika salah satu pihak tidak mematuhi nilai-nilai agama, karena iman dan ajaran-ajaran agama sebagai pandangan dasar berperan penting dalam berbagai dimensi kepribadian seseorang.

Demikian juga dengan ukuran perilaku dan etika berpengaruh dalam memilih pasangan hidup. Perilaku dan akhlak mulia sangat ditekankan bahkan menjadi salah satu syarat dalam membangun rumah tangga. Penelitian membuktikan bahwa sifat-sifat moral seperti akhlak mulia, taqwa, jujur dan pemaaf merupakan kriteria penting calon seorang pendamping dalam perkawinan.

Islam juga sangat mengedepankan masalah iman dan akhlak dalam perkawinan, Rasul Saw bersabda: "Setiap orang yang datang untuk melamar puteri Anda, dan Anda cocok dengan agama dan akhlaknya, maka jadikanlah ia sebagai pendamping puterimu."

DR. Ghulam Ali seorang psikolog Iran mengatakan, "Tanpa diragukan lagi bahwa kesepahaman dalam pandangan dan ajaran-ajaran agama, berakhlak mulia merupakan faktor penting perkawinan sukses dan damai. Oleh karena itu, orang-orang mukmin selalu mendambakan wanita salehah. Kecenderungan semacam ini berangkat dari fitrah manusia sebagai pencari kesempurnaan. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya perkawinan adalah bersandinganya dua orang mukmin, dalam surat an-Nuur ayat 26, Allah Swt berfirman, "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)."

Sifat-sifat baik manusia adalah investasi besar keberadaan manusia yang bersumber dari kepercayaan kepada Allah Swt dan ketakwaan. Minimnya perhatian terhadap masalah-masalah ini sama dengan membangun pondasi rumah tangga pada tanah yang mudah longsor. Tanpa diragukan lagi bahwa melestarikan dan mempertebal nilai-nilai agama antara suami-isteri merupakan daya tarik kuat dalam kehidupan bersama.

Keselarasan yang bersumber dari budaya dan sosial pria-wanita menjadi faktor penting dalam melestarikan perkawinan. Ketidakselarasan budaya dan sosial dapat memicu timbulnya kemelut dalam kesepahaman antara suami-isteri. Akan tetapi, terkadang juga ditemukan orang yang berbeda strata sosial dan ekonomi dapat hidup bersama dengan bahagia. Tentunya dalam kasus ini, iman dan akhlak mulia juga berperan penting. Penelitian membuktikan bahwa kesamaan relatif status sosial dan ekonomi antara keluarga pria dan wanita merupakan prinsip dasar dalam mewujudkan kesepahaman.

Kecantikan dan daya tarik luar juga bagian dari kriteria-kriteria dalam perkawinan. Jika dalam perkawinan tidak adanya cinta dan rasa suka antarpasangan, akan menjadi benih lahirnya ketidapuasan. Dalam perkawinan, masalah psikis dan rasa suka kedua belah pihak juga tidak luput dari perhatian Islam. Karena masalah ini akan melestarikan kehidupan rumah tangga.

Berkenaan dengan kriteria psikis, para peneliti juga menekankan bahwa untuk mendapatkan kepuasan dalam kehidupan bersama perlu memperhatikan kesamaan relatif tingkat kecerdasan. Penelitian membuktikan, adanya hubungan erat antara tingkat kecerdasan dan kepuasan suami-isteri. Orang yang tingkat kecerdasannya berada di bawah pasangannya, tingkat kepuasan juga rendah dalam keluarga tersebut. Menyikapi hal ini, pendidikan dan kesetaraannya dapat menjadi pemicu kedekatan persepsi antara pria dan wanita. Akan tetapi, pendidikan saja belum menjamin terciptanya hubungan rasional dan kesehatan psikis keluarga. Meskipun kesetaraan pendidikan cikal-bakal terciptanya kesepahaman maksimal di antara mereka.

sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, ajaran-ajaran agama menekankan pada prinsip kesetaraan, yaitu ada baiknya pasangan suami-isteri memperhatikan prinsip kesetaraan dalam membangun bahtera rumah tangga. Akan tetapi, kesetaraan ini bersifat relatif, oleh karena tidak ditemukan kesetaraan sempurna bukan berarti melepas tanggungjawab dalam masalah perkawinan. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar