Laman

Jumat, 18 November 2011

Hak Perempuan dalam Keluarga (Bagian kedua)



Sebagaimana yang kami paparkan dalam pertemuan sebelumnya, menurut Islam, lelaki dan perempuan dari sisi dimensi kemanusiaannya, memiliki posisi yang sama pada tataran akidah, akhlak, dan fiqh. Namun ketika berkaitan dengan dimensi jender, lelaki dan perempuan memiliki hukum yang berbeda. Dalam beberapa isu seperti pembayaran nafkah dan tanggung jawab sebagai suami-istri, lelaki dan perempuan memiliki posisi dan tugas hukum yang berbeda. Seperti kita ketahui bersama, memperoleh nafkah merupakan hak finansial seorang istri yang mesti diberikan suaminya. Namun hak itu tidak bersifat mutlak. Karena untuk memperoleh nafkah, perempuan juga mesti memenuhi beberapa persyaratan seperti kewajiban untuk melayani dan menaati suami.




Dari sisi hukum, hubungan suami-istri memiliki dua sisi umum dan khusus. Pada sisi umumnya, selain sebagai istri yang wajib menjalankan tanggung jawabnya di hadapan suami, seorang istri juga harus menerima kepemimpinan suami dalam mengelola keuangan dan ekonomi rumah tangga dalam batas-batas wajarnya. Di samping itu, istri juga harus berkoordinasi dengan suaminya dalam hubungan sosial dan di luar rumah. Sementara dari sisi khususnya, hubungan suami-istri merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan biologis. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah apa yang selama ini kita kenal sebagai pekerjaan sehari-hari perempuan di dalam rumah, sebenarnya muncul dari sisi kasih-sayang seorang istri atau ibu dan bukan tugas utamanya.
Sejumlah mazhab pemikiran, seperti feminisme, menganggap ketaatan istri kepada suami sebagai bentuk dari diskriminasi jender. Mereka memandang, kewajiban menaati suami bakal menjadikan istri sebagai budak kebutuhan biologis suami yang menjadi hak milik dan kuasa suami.
Tentu saja, sesuai dengan perbedaan karakteristik natural lelaki dan perempuan, hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Diskriminasi bisa terjadi jika dua atau beberapa pihak memiliki kondisi yang sama, namun memiliki hak dan posisi yang berbeda. Di mata Islam, lelaki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dari sisi dimensi kemanusiaannya dan tidak mengenal diskriminasi dalam hal ini. Namun jika dilihat dari sisi perbedaan fisik, fisiologi, dan psikologis lelaki dan perempuan, maka hak dan kewajiban yang ditetapkan Islam terhadap mereka memiliki perbedaan.
Adanya perbedaan fisiologis dan psikologis antara lelaki dan perempuan merupakan hal yang tidak bisa diingkari oleh siapapun, bahkan kalangan feminis radikal sekalipun. Filosof Perancis, Immanuel Kant mengakui adanya perbedaan dalam struktur psikologis dan fisik antara lelaki dan perempuan. Ia meyakini, peran masing-masing pihak di tengah keluarga dan masyarakat ditentukan oleh perbedaan tersebut.
Dalam kehidupan berumah tangga, baik istri maupun suami harus mengenal hak dan kewajiban masing-masing. Mereka juga mesti saling mengenal karakteristik fisiologis dan biologis diri mereka sehingga bisa memahami kebutuhan masing-masing dan ketenangan hidup berumah tangga pun bisa dicapai.
Dengan demikian, hubungan suami-istri dalam ikatan rumah tangga bukan berarti perbudakan ataupun penguasaan terhadap perempuan. Namun mereka adalah sepasang mitra hidup. Kalangan psikolog berpendapat, jika tugas seorang istri diabaikan, maka kehidupan berumah tangga pun bakal menemui masalah serius, seperti: dinginnya hubungan suami-istri, maraknya perselingkuhan, dan hancurnya bangunan rumah tangga. Menurut sosiolog Iran, Dr. Rahmatollah Sadiq, tidak adanya sikap saling pengertian antara suami-istri merupakan faktor laten yang bisa melahirkan perceraian.
Salah satu hak lain perempuan adalah hak menjadi ibu. Hak ini mendapat perhatian khusus Islam. Islam senantiasa mengajak untuk menghormati dan memuliakan ibu, sebagaimana yang ditegaskan Al-Quran dalam surat Luqman, ayat 14 yang berbunyi: "...dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu".
Seorang ibu memberikan air susunya kepada si anak supaya tumbuh sehat. Menurut Al-Quran, bayi sebaiknya diberi air susu ibu hingga berumur dua tahun. Syariat Islam juga menetapkan bahwa seorang ibu yang menyusui anaknya, maka ia pun berhak untuk meminta imbalan dari suami. Namun, lantaran kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sangat langka sekali seorang ibu meminta imbalan materi dari suami lantaran menyusui anak.
Di sisi lain, Islam memandang bahwa mendidik dan membesarkan anak merupakan tugas dan kewajiban ayah. Seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri untuk membiayai dan mendidik anak-anak. Karena itu, peran ibu dalam mendidik anak memegang peranan yang sangat penting. Lingkungan keluarga merupakan ranah dasar yang sangat menentukan kehidupan anak di masa selanjutnya. Sebab sebelum terjun ke lingkungan yang lebih luas, seorang anak mesti mendapat pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Karena itu, peran ibu di tengah keluarga memiliki posisi sentral.
Peran khusus ibu dalam mendidik anak bisa kita tinjau dalam dua perspektif. Pertama, masa-masa awal pembentukan kepribadian seorang anak dilalui dalam buaian dan kasih sayang seorang ibu. Pada masa-masa awal itulah pondasi pendidikan dini anak dimulai. Kebiasaan dan pola tindakan seorang ibu akan menjadi model perilaku dan kepribadian anaknya.
Kedua, kasih sayang seorang ibu merupakan tumpuan hangat seorang anak. Tiap kali seorang anak merasa tidak nyaman, ia pun akan lari ke pangkuan dan pelukan ibunya untuk memperoleh rasa aman. Psikiater Inggris John Balby sangat menekankan masalah tadi. Ia bahkan meyakini, landasan kepribadian anak dibangun dari hubungan ketergantungan anak dengan ibunya. Balby memaparkan, "Kita terlambat mengetahui bahwa jika seorang anak, khususnya lelaki, tidak memiliki ikatan ketergantungan kepada seorang ibu, maka si anak akan memiliki kepribadian yang membuatnya sulit untuk menjalin hubungan baik dengan yang lain".
Kini, pengabaian terhadap posisi dan peran ibu dalam mendidik anak telah membuat masyarakat Barat mengalami krisis sosial yang serius. Sosiolog AS, Davis Kingsley menulis, "Tampaknya, salah satu kinerja utama sistem pendidikan di Barat adalah mengasingkan anak dari orang tuanya". Dalam masyarakat modern, ibu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan lingkungan kerja, sementara anak-anak diserahkan pada pusat-pusat penitipan anak. Ketika sampai di rumah, sang ibu pun merasa letih dan tidak mampu lagi memainkan peran keibuannya dengan baik. Seorang ahli dari Universitas Harvard, Dr. Burton White menyatakan, "Mustahil, tempat penitipan anak bisa memproduksi cinta keibuan dengan tingkat tinggi".
Dr. Elliot Barker, psikiater Barat yang lebih dari dua dekade mengfokuskan penelitiannya tentang kepribadian para penjahat dan pembunuh, mengungkapkan keheranannya terhadap sikap sebagian besar orang tua yang tidak mendampingi anak-anaknya ketika mereka diperlukan. Ia juga mengungkapkan bahwa para pasien gangguan mental yang ditanganinya juga memiliki latar belakang yang sama, yaitu dikarenakan tidak memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tua. Dr. Elliot menjelaskan, "Saya baru memahami bahwa orang-orang seperti mereka, tak lama setelah dilahirkan mereka berpisah dengan ibunya dan diserahkan kepada orang lain. Sehingga ibu memiliki waktu yang lebih sedikit di samping mereka".
Oleh karena itu, Islam memandang keluarga sebagai institusi sosial yang paling mendasar dan menilai ibu sebagai arsitek generasi mendatang. Islam menganggap ibu memiliki peran yang menentukan dalam mendidik jiwa dan mental anak-anak. Sebab, anak yang saleh akan lahir dari buaian dan pendidikan seorang ibu yang baik. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar