Laman

Selasa, 08 November 2011

SERIAL GHADIR KHUM 2 (Seorang Imam itu haruslah terjaga dari dosa; konsep “Ishmah” atau kema’shuman)


Mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an tentang Ahlul Bayt Nabi atau keluarga Nabi yang berdasarkan garis darah Nabi.

Menurut Al-Qur’an, orang-orang berikut ini terjaga dari dosa atau tidak memiliki dosa sama sekali. Orang-orang yang dimaksud ialah Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Ayat pensucian yang mengenai diri mereka ialah ayat berikut ini:

 “ إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا….”

“……….. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya….” (QS. Al-Ahzab: 33)

Telah disepakati bersama secara ijma bahwa keempat nama di atas (termasuk Rasulullah tentunya) adalah orang-orang yang dimaksud dengan “Ahlul Bayt” atau keluarga Nabi dan mereka semua ma’shum atau terpelihara dari berbuat dosa baik dosa kecil apalagi dosa besar.
 
Dalam ayat itu (QS. Al-Ahzab: 33) kalimat sebelum dan sesudah ayat itu ditujukan untuk para isteri nabi dan kata ganti yang dipakai adalah kata ganti FEMINIMsedangkan untuk ayat pensucian di atas, kata ganti yang dipakai ialah kata ganti MASKULIN. Alasan mengapa ayat ini ditempatkan di tengah-tengah atau diapit dua kalimat yang berkata ganti FEMINIM sudah bisa kita tebak sebelumnya. Terlalu mudah untuk mencari alasannya. Mari kita dengarkan saja apa yang dikatakan oleh seorang ulama terkenal yang bernama Allamah Puya yang menuliskan sebuah footnote no. 1857 untuk terjemahan Al-Qur’an yang ditulis oleh S. V. Mir Ahmed Ali. Allamah Puya menulis:
“Mengapa ayat yang berkenaan dengan kesucian keluarga Ahlul Bayt ini diletakkan di sini dan dalama konteks ini memerlukan penjelasan yang sederhana. Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang terpisah secara sendirinya akan tetapi diletakkan di sini seolah-olah ayat ini berhubungan dengan para isteri Nabi. Lokasi atau tempat ayat ini—apabila kita selidiki dengan seksama—maka akan jelaslah bahwa penempatan ayat ini memiliki arti yang sangat penting dan memiliki tujuan yang penting. Ketika di awal ayat, kalimat yang digunakan menggunakan kata ganti FEMINIM, kemudian mengalami perubahan kata ganti di tengah-tengah ayat ini dari kata ganti FEMINIM ke kata ganti MASKULIN. Ketika ayat ini menceritakan tentang para isteri Nabi, kata ganti yang digunakan ialah kata ganti FEMINIM. Ketika menceritakan tentang sekumpulan orang yang terdiri dari laki-laki dan wanita, maka kata ganti yang digunakan ialah kata ganti MASKULIN. Perubahan kata ganti secara tata bahasa menggambarkan secara jelas bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang khusus untuk sekelompok orang yang khusus (yaitu anggota keluarga Ahlul Bayt—red) yang bukan kelompok orang yang disebut sebelumnya (para isteri Nabi—red). Dan ayat ini diletakkan di sini untuk menunjukkan KEDUDUKAN AHLUL BAYT dibandingkan dengan KEDUDUKAN PARA ISTERI NABI. ‘Amr bin Abi Salamah yang dibesarkan oleh Rasulullah pernah berkata:
“Ketika ayat ini turun, Rasulullah sedang berada di rumahnya Ummu Salamah. Tepat ketika ayat ini turun: “……….. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya….” Rasulullah mengumpulkan puterinya Fathimah, kemudian kedua putera Fathimah yaitu Hasan dan Husein, serta suaminya Fathimah yaitu Ali. Rasulullah menutupi mereka semuanya termasuk dirinya sendiri dengan sebuah mantel (KISA) dan kemudian berkata: “Ya, Allah! Inilah keluargaku! Bersihkanlah mereka dari segala kotoran dan dosa; bersihkanlah mereka dengan pensucian sebersih-bersihnya.” Ummu Salamah, salah seorang isteri Rasulullah yang shalehah—yang sedang melihat peristiwa menakjubkan ini—dengan segenap kerendahan hati datang kepada Nabi sambil berkata, “Ya, Rasulullah! Bolehkah aku bergabung dengan kalian semua?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Tidak. Tetaplah engkau di tempatmu. Walaupun begitu, engkau tetap berada pada kebaikan.” (Lihat: Holy Qur’an, terjemahan bahasa Inggris oleh S. V. Mir Ahmed Ali, footnote no. 1857, halaman 1261).
Di dalam tulisan sederhana ini bukanlah tempatnya untuk menuliskan semua referensi yang banyak sekali jumlahnya mengenai ayat ini. Akan tetapi perkenankanlah kami menuliskan satu saja referensi yang sengaja kami pilih, yaitu referensi yang berasal dari saudara kami dari kalangan Ahlussunnah (Sunni). 

Seorang ulama Ahlu Sunnah yang terkenal yang bernama Maulana Wahidu’z-Zaman pernah menulis tafsir Al-Qur’an dan juga menulis kitab terkenal berjudul Anwaru ‘l-lughah (kamus Al-Qur’an dan Hadits) dan keduanya adalah rujukan yang cukup dikenal luas. Ia menulis dalam tafsir Qur’an-nya mengenai ayat ini. Ia menulis sebagai berikut:
“Ada kalangan yang mengatakan bahwa ayat ini tentang keluarga Nabi yang masih memiliki hubungan darah dengan Nabi yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Para ahli tafsir itu mengatakan bahwa hadits-hadits shahih yang tersambung kepada Nabi (tidak terputus) mendukung pernyataan ini dengan kuatnya karena ketika Rasulullah sendiri menyatakan bahwa keluarganya itu hanyalah ini, maka menerima pernyataan Rasulullah itu dan meyakininya sebagai kebenaran adalah wajib hukumnya. Dan salah satu bukti lain lagi yang juga cukup kuat yang mendukung para ahli tafsir itu ialah kata ganti yang digunakan sebelum dan sesudah ayat ini semuanya adalah kata ganti FEMINIM, sementara untuk ayat ini digunakan kata ganti MASKULIN…….” (Lihat: Wahidu’z-ZAman: Tafsir Wahidi (di catatan pinggir dari terjemahan Qur’an yang ditulis oleh penulis yang sama), paragraph 22,footnote no. 7, halaman 549).
Kami mengutip dua rujukan ini hanya untuk menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ayat (QS. Al-Ahzab: 33) itu untuk Ahlul Bayt (dan bukan untuk isteri Nabi) bukan sementara pendapat dari kalangan Syi’ah saja melainkan juga pendapat dari para ulama Ahlussunnah yang terkenal seperti yang telah kami sebutkan. Para ulama Ahlussunnah itu juga memiliki pendapat yang sama dengan kami yaitu bahwa menurut aturan tata bahasa Arab yang baku dan juga menurut hadits-hadits yang bersambung kepada Rasulullah dan tak terputus, ayat itu memang untuk Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka itu tidak memiliki dosa atau terjaga dari berbuat dosa (ma’shum) dan pandangan ini juga diyakini oleh sebagian para ulama Sunni. Mereka berpendapat bahwa Ahlul Bayt itu paling tidak terjaga dari berbuat dosa kalau tidak bisa dikatakan terbebas sepenuhnya dari dosa.
Masih banyak lagi ayat lain dan hadits-hadits lain yang menyiratkan tentang kema’shuman Ahlul Bayt akan tetapi karena tempat yang sangat terbatas maka kami memilih untuk tidak menuliskannya di sini. Masih ada tempat lain untuk menuliskan itu………misalnya dengan buku-buku yang memiliki ruang yang lebih luas untuk tujuan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar