Laman

Jumat, 18 November 2011

Hak Perempuan dalam Keluarga (Bagian ketiga)



Semenjak manusia memahami konsep kepemilikan dan mengenal pola hidup bermasyarakat, maka hasrat ingin memiliki pun semakin kompleks. Sebelum datangnya ajaran Islam, hak milik masih dilandasi hukum rimba, sehingga pihak yang paling kuatlah yang berhak memiliki. Sementara yang lemah, tertindas tak berdaya. Keberadaan kaum perempuan sebagai kelompok yang lemah kerap menjadi korban dominasi kaum lelaki yang lebih kuat. Hampir di semua tradisi dan kebudayaan kuno pra-Islam, perempuan tidak diperkenankan mendapat hak waris.




Sebagai misal, di kalangan bangsa Romawi, Yunani, Mesir, dan Cina kuno, perempuan dianggap sebagai barang milik lelaki dan bahkan memiliki posisi yang sama dengan barang atau harta warisan pada umumnya. Perempuan sama sekali tidak memiliki hak waris, dan hanya anak lelaki yang berhak memperoleh warisan. Begitu juga dengan hukum waris di kalangan bangsa Eropa. Mereka meyakini, hak waris hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang memiliki ikatan darah paling dekat dengan orang yang meninggal. Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi perempuan. Sebagaimana yang terjadi di Inggris. Harta warisan hanya diperuntukkan bagi anak lelaki tertua atau pun anak lelakinya yang lain.
Islam merupakan sistem hukum pertama yang memberikan hak waris kepada perempuan dan menghapus segala bentuk diskriminasi yang zalim di era pra-Islam. Hukum waris Islam ditetapkan sesuai dengan peran dan tanggung jawab lelaki dan perempuan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sejatinya, hukum waris merupakan isu keuangan dan ekonomi yang menurut Islam dibangun di atas landasan keadilan. Dari sisi keuntungan ekonomi, perempuan berhak memiliki mahar dan nafkah. Bahkan ia diperbolehkan menyimpan seluruh jatah harta warisan yang berhak diperolehnya. Sementara lelaki diharuskan untuk membayar mahar, nafkah, dan biaya kebutuhan hidup. Bahkan jika, seorang istri meminta bayaran atas pemberian air susu ibu dan jasa mendidik anak, maka suami wajib membayarnya. Dengan demikian, sebagian besar pendapatan lelaki diperuntukkan untuk pengeluaran rumah tangga.
Sebagai contoh, Anda bisa membayangkan sepasang saudara lelaki dan perempuan. Masing-masing memperoleh jatah warisannya sesuai ketentuan syariat Islam. Setelah memperoleh warisan, saudara perempuan menikah sehingga biaya hidupnya ditanggung oleh suami. Ia pun menyimpan harta warisannya dan menggunakan harta milik suami untuk membiayai kehidupan rumah tangganya. Sementara saudara lelakinya yang mendapatkan jatah warisan lebih banyak berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarganya. Karena itu mungkin saja, harta warisan yang diperolehnya digunakan untuk menanggung kebutuhan hidup keluarganya. Karena itu, porsi hak waris yang dimiliki lelaki lebih banyak dibanding perempuan. Mengingat tanggung jawab dan kewajiban finansial lelaki jauh lebih besar. Selain itu, mayoritas lelaki menginvestasikan hartanya untuk menggerak roda perekonomian masyarakat. Sehingga kondisi ekonomi keluarga dan masyarakat pun bisa berkembang dengan lebih baik.
Tentu saja, dalam beberapa kasus, jatah warisan yang diperoleh perempuan tidak selalu lebih sedikit dari lelaki. Terkadang jatah warisan lelaki dan perempuan bisa sama. Sebagai contoh, ketika seorang anak meninggal dunia, maka baik ayah maupun ibu memilik jatah warisan yang sama dari peninggalan anaknya. Dalam kasus yang lain, jatah warisan perempuan bahkan lebih besar dari lelaki. Seperti pada saat yang meninggal tidak memiliki anggota keluarga lagi selain ayah dan anak perempuannya. Dalam kasus semacam itu, anak perempuan memperoleh harta warisan yang lebih besar dari ayah.
Masalah hukum talak merupakan isu sensitif lainnya yang tak kalah penting. Keluarga merupakan institusi sosial paling mendasar yang tak tergantikan. Peran vital keluarga dalam memenuhi kebutuhan materi dan psikologis anak tak bisa digantikan oleh institusi lain. Karena itu, Islam sangat menjunjung tinggi posisi keluarga dan sangat membenci runtuhnya bangunan rumah tangga akibat perceraian. Rasulullah saw bersabda, "Rumah yang paling dicintai Allah swt adalah rumah yang sejahtera karena terjalinnya ikatan pernikahan. Dan rumah yang paling dibenci Allah adalah rumah yang hancur karena perceraian".
Di kalangan bangsa-bangsa di dunia, isu perceraian dan talak sering disikapi secara berlebihan. Pada sebagian tradisi, perceraian dapat dengan mudah dilakukan hanya karena perbedaan kecil. Sementara bagi kalangan lain, seperti masyarakat Katolik, pasangan suami-istri dilarang cerai dan harus bertahan sampai mati, meski hubungan mereka sudah tidak dimungkinkan lagi untuk terus dipertahankan. Namun Islam selalu memilih jalan tengah dalam menyelesaikan pelbagai persoalan, termasuk dalam masalah perceraian.
Menurut Islam, keluarga merupakan bangunan penting yang harus dipertahankan keberadaannya. Namun ketika tidak mungkin lagi dipertahankan akibat perselisihan antara suami dan istri tidak bisa dicari lagi jalan keluarnya, maka tak ada paksaan bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan rumah tangganya. Sebab Islam memandang pernikahan merupakan ikatan natural dan manusiawi, bukan sekedar kesepakatan. Terkait hal ini, pemikir muslim kontemporer Iran, Ayatollah Muthahhari menyatakan, "Alam menjadikan cinta, kesatuan, dan keharmonisan sebagai landasan pernikahan. Bisa saja dengan pemaksaan, sepasang anak manusia diharuskan untuk bekerjasama dengan menaati kontrak kerjasama berdasarkan prinsip keadilan. Namun, mustahil seorang dipaksa untuk saling jatuh cinta dan mengasihi. Dan masing-masing menganggap kebahagiaan dirinya adalah kebahagiaan pasangannya".
Para sosiolog meyakini, hancurnya bangunan rumah tangga akan membuat hubungan sosial seseorang bisa terganggu dan berpengaruh negatif terhadap psikologisnya. Berdasarkan hasil riset G. Haber, pernikahan yang berakhir dengan perceraian terbukti bisa menurunkan kepercayaan diri anggota keluarga.
Islam juga menyambut positif adanya pelbagai jalan untuk menghindari terjadinya perceraian. Karena itu, syariat Islam menerapkan persyaratan dan aturan yang memperketat dan berupaya mengundur terjadinya perceraian. Bahkan terkadang dalam beberapa kasus, perceraian pun bisa dihindari. Islam mendorong perempuan untuk menjauhi perceraian. Sebab, kehidupan berumah tangga berpeluang memberikan keuntungan dan manfaat yang lebih besar.
Islam juga menyarankan kepada pasangan yang terancam bercerai untuk mencari solusi terhadap apa yang disengketakan dengan memilih wakil masing-masing sebagai penengah untuk menilai dan memutuskan persoalan yang diperselisihkan. Allah Swt dalam surat An-Nisa' ayat 35 menyarankan untuk memperbaiki hubungan suami-istri yang terancam retak dengan cara memilih seorang penengah dari masing-masing keluarga suami dan istri. Tentu saja, kalaupun terjadi perceraian, pihak lelaki masih dibebani biaya lainnya pasca perceraian sesuai dengan ketentuan syariat.
Namun demikian, Islam tetap memberikan solusi bagi pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Salah satunya dengan cara menjaga masa iddah bagi perempuan. Selama masa itu, perempuan harus tinggal di rumah suaminya selama 40 hari. Akibat diterapkannya persyaratan semacam itu, banyak pasangan yang akhirnya membatalkan perceraiannya.
Di mata Islam, talak merupakan hak lelaki. Namun demikian, dalam kondisi tertentu perempuan juga memiliki hak semacam itu ketika hak tersebut ditetapkan oleh kedua pasangan dalam perjanjian nikahnya. Dalam hukum sipil Republik Islam Iran, seorang perempuan bisa mengajukan syarat tertentu dalam akad nikah. Salah satunya permintaan untuk memiliki hak talak ketika suami berbuat hal yang tidak diinginkan seperti menerapkan tindakan kekerasan, mengidap kecanduan narkotika, tidak membayar nafkah dan masalah lain. Dengan kata lain, jika suami melakukan tindakan kriminal dan menyalahi tanggung jawabnya sebagai suami, maka istri berhak menuntut haknya ke pengadilan. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar