Laman

Jumat, 18 November 2011

Jilbab dalam Berbagai Perspektif (Bagian kedua)



Para ilmuwan muslim menilai jilbab sebagai simbol kehormatan dan identitas perempuan. Setiap hal yang berharga tentu sangat layak untuk dijaga dan dilindungi dengan baik. Di mata Islam, perempuan laksana bunga yang harus senantiasa dijaga kesuciannya dengan jilbab.
Filosof kontemporer Iran, Ayatollah Muthahhari menyatakan, "Ketika perempuan pergi ke luar dengan mengenakan busana tertutup dan santun serta menjaga kehormatannya, tentu orang-orang yang jahat tidak akan tega berlaku buruk kepadanya". Dengan kata lain, jilbab itu sendiri memberikan kehormatan bagi pemakainya. Perempuan berjilbab yang menutupi keindahan tubuhnya, akan terhindar dari pelbagai gangguan sosial. Imam Ali as berkata, "Sesungguhnya jilbab itu memberikan perlindungan kepada perempuan".




Salah satu dampak positif jilbab adalah terlindunginya kehormatan seseorang dan masyarakat dari pelbagai penyakit sosial. Karena itu, Islam menyeru kaum perempuan untuk menutupi keindahan tubuhnya di hadapan non-muhrim. Ayatollah Muthahhari menulis, "Busana muslimah yang dimaksud Islam adalah busana yang menutupi tubuh perempuan saat ia bertemu dengan kaum lelaki, dan menghindarkannya dari kesan memamerkan kecantikan."
Dalam menghadapi pelbagai penyakit sosial, Islam senantiasa melihat persoalan itu dari akar-akarnya dan mencegah munculnya kerusakan mulai dari sumbernya. Allah swt dalam surat An-Nur ayat 30 dan 31 menyeru lelaki mukmin untuk menjaga matanya dari segala hal yang bisa menggoda hawa nafsu serta memelihara kesuciannya. Di sisi lain, perempuan beriman juga diseru untuk menjaga penglihatannya dari lelaki bukan muhrim, melindungi kesuciannya, dan menutupi kecantikan tubuhnya, kecuali pada bagian tertentu saja.
Para pakar psikolog kini mulai memahami bahwa jilbab memiliki kaitan langsung dengan naluri menghargai diri. Perempuan yang memiliki rasa percaya diri dan menghargai dirinya, tentu tidak akan merasa terhina dan tidak akan tergoda untuk menarik perhatian lelaki lain. Menurut Abraham Maslom, psikolog asal Amerika, ketika seseorang merasa bahwa penghormatan terhadap dirinya telah terpenuhi, maka ia akan merasa percaya diri dan terhormat. Ia menilai dirinya sebagai manusia yang berguna dan berpengaruh. Di mata Islam, jika seorang perempuan semakin santun dan sopan, maka kehormatannya pun makin bertambah. Sachiko Murata, Islamolog asal Jepang dalam penelitiannya mengenai jilbab menyimpulkan, "Kelembutan dan kehormatan perempuan terletak pada jilbabnya. Jilbab merupakan ranah suci perempuan dan benteng ketenangannya serta mengingatkan masyarakat pada posisi dan peran penting perempuan."
Di sisi lain, jilbab merupakan kewajiban syarie bagi kaum muslimah. Para ulama meyakini, ditetapkannya aturan berbusana bagi perempuan dalam Islam merupakan jalan bagi perempuan untuk berperan aktif di lingkungan sosialnya. Mereka menilai, jilbab bukan penghalang bagi perempuan. Sebab jika perempuan hanya diharuskan untuk tinggal di rumah dan dilarang berhubungan dengan non-muhrim, tentu penetapan perintah jilbab tidak akan bermanfaat lagi. Cendikiawan Iran, Dr. Rahimpour Azghadi menyatakan, "Jika Islam memerintahkan pada perempuan untuk mengenakan jilbab, itu berarti mereka bisa hadir di tengah masyarakat. Tentu saja kehadiran yang dimaksud adalah memainkan peran yang positif dan manusiawi. Jilbab menciptakan ruang perlindungan bagi perempuan untuk turut berperan di ranah ekonomi, budaya, dan sosial".
Dengan demikian, jilbab memainkan andil penting dalam mewujudkan ranah aman bagi perempuan di pelbagai kondisi, terutama di lingkungan sosial. Islam sebagai agama yang berlandaskan pada rasionalitas dan apapun yang ditetapkan syariat selalu dilatarbelakangi alasan logis dan tidak akan memasung potensi manusia. Sebab salah satu tujuan utama hidup manusia adalah untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Perempuan sebagai unsur pembangun masyarakat, bisa memainkan peran sosialnya yang konstruktif di samping menjalankan tugas utamanya sebagai ibu dan istri.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamanei menuturkan, "Jilbab bukan berarti mengucilkan perempuan. Persepsi semacam itu tidaklah benar. Jilbab sejatinya merupakan upaya untuk mencegah seks bebas dan bercampurnya lelaki dan perempuan di masyarakat. Sebab bercampurnya perempuan dan lelaki secara bebas, selain merugikan masyarakat juga sangat merugikan kaum perempuan". Rahbar menilai, dengan mengenakan jilbab, perempuan bisa berperan aktif di tengah masyarakat dan mencapai prestasi yang tinggi dengan mengenakan jilbab.
Kini, meski di sebagian negara Barat, muncul beragam upaya untuk membatasi perempuan berjilbab, namun kita bisa temukan juga kesadaran baru kaum perempuan Barat terhadap manfaat jilbab. Aktifis dan penulis perempuan asal Amerika, Wendy Shalit mengatakan, "Kesadaran untuk kembali pada kesucian dan berbusana yang santun bukan hanya milik negara-negara muslim. Tampaknya, sejak sekitar tahun 1989, terjadi perubahan cara pandang baru dalam berbusana di AS dan negara-negara Eropa. Majalah Time mengungkap gelombang besar kesadaran untuk kembali pada keperawanan dan kesucian. Beberapa majalah busana perempuan melaporkan, permintaan terhadap pakaian dengan mode tertutup, tahun demi tahun makin meningkat. Dan peningkatan ini merupakan salah satu sinyalemen perubahan era baru".
Peneliti asal Irak, Zainab Mahdi Ghanim menandaskan, "Jilbab merupakan ihwal yang mendasar bagi pengikut seluruh mazhab-mazhab Islam dan bahkan agama-agama lain. Jilbab mencegah terjadinya penyimpangan moral, melindungi kehormatan perempuan dan manusia serta memperkuat bangunan rumah tangga. Islam merupakan agama yang moderat dan sempurna, dan jilbab dipandang lewat persepsi rasional".
Sayangnya, negara-negara Barat yang selama ini gencar menyuarakan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (HAM), lalai pada upaya perlindungan terhadap hak-hak perempuan muslim dalam berjilbab. Penulis Swedia, Anna Sofie Roald menulis, "Di mata masyarakat Barat, biarawati kristen yang mengenakan jilbab dipandang sebagai simbol ketenangan, kesucian, keikhlasan beragama. Namun bila seorang muslimah berjilbab, ia dipandang sebagai simbol politik diskriminatif terhadap perempuan dan pelecehan terhadap mereka. Karena itu, para politisi Barat mesti mengubah pandangan kontradiktif dan standar ganda semacam itu".
Tentu, efek positif jilbab bukan hanya sebatas teori. Dalam prakteknya pun, jilbab terbukti mampu meningkatkan kemampuan dan kesehatan berpikir kaum hawa. Kini, para perempuan berjilbab di Iran bebas beraktifitas di lingkungan sosialnya. Mereka memainkan peran aktif dan positif di tengah masyarakatnya lantaran memenuhi prinsip-prinsip jilbab. Kini para perempuan Iran terlihat aktif di pelbagai bidang, mulai dari birokrasi, akademi, kedokteran, hingga olahraga. Seorang penulis majalah Time AS, dalam salah satu artikelnya mengenai aktifitas perempuan Iran menulis, "Berbeda dengan apa bayangan saya sebelumnya, di Tehran, saya melihat perempuan berjilbab bebas bekerja, beraktifitas sosial, hingga berolahraga di luar rumah. Padahal di Perancis, perempuan muslim yang berjilbab, praktis kehilangan sebagian hak-hak sosialnya."
Tampaknya, dunia kini perlu mengubah pandangannya terhadap perempuan, menghargai kehormatan manusia, dan mengakui bahwa jilbab sejatinya bukan penghalang kemajuan perempuan. Tapi justru merupakan media untuk membuka jalan bagi perempuan guna memainkan peran sosialnya secara lebih aktif dan luas. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar