(Oleh: Ayatullah Dasteghib)
Pertanyaan:
Dalam surat Ali Imran ayat 54, Allah berfirman: Orang-orang kafir itu berbuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. Lantas, apa beda tipu daya Allah dengan tipu daya hamba?
Jawaban:
Tipu daya manusia adalah tipuan yang dilakukan untuk menjaga dirinya dan menguasai apa yang terdapat pada orang lain, juga untuk mewujudkan tujuan-tujuannya yang sesat.
Tipu daya Allah Swt merupakan sejenis pembalasan dendam dan amarah, yang berlaku pada hamba, sebagai balasan atas perbuatan buruk mereka. Tipu daya Allah ini bekerja secara tersembunyi pada orang yang berbuat buruk, tanpa diketahuinya. Atau, mungkin juga dipahami bahwa itu merupakan balasan atas perbuatan-perbuatan zalim dan tak terpuji yang pernah dilakukannya. Tipu daya Allah yang tersembunyi adalah seperti ketika Allah Swt membiarkan kaum kafir dan fasik semakin berbuat zalim dan aniaya, agar balasan mereka bertambah: Sesungguhnya Kami membiarkan mereka agar bertambah dosa-dosa mereka. Sebagaimana pula dikatakan oleh Imam (Ali) al-Ridha, "Demi Allah, Allah tidak mengazab dengan sesuatu yang lebih pedih dari membiarkan mereka."
Dan contoh tipu daya Allah adalah istidrâj, yaitu Allah Ta'ala selalu memberikan kenikmatan kepada hambanya yang zalim, dengan kenikmatan yang satu pada kenikmatan lainnya, sehingga mereka sibuk dengan kenikmatan-kenikmatan tersebut dan lalai akan maksiat yang dilakukannya serta tidak bertaubat ataupun sadar; tidak pula meminta ampunan atas dosa mereka. Ini adalah istidrâj yang merupakan salah satu bentuk tipu daya Allah yang tersembunyi.
Adapun kebalikan dari istidrâj adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Shadiq bahwa pabila menginginkan kebaikan dari hamba-Nya, Allah akan memberikan balasan siksa setelah hamba tersebut berbuat dosa, guna mengingatkan dan menyadarkannya, serta agar ia memohon ampunan. Keseluruhan hadis itu adalah sebagaimana beliau berkata, "Jika Allah menginginkan kebaikan dari hamba-Nya yang telah berbuat suatu dosa, maka Ia akan memberinya balasan siksa dan mengingatkannya untuk meminta ampun. Dan jika Allah menginginkan suatu keburukan dari hamba-Nya yang telah berbuat suatu dosa, maka Ia akan memberikan kenikmatan guna melalaikannya untuk meminta ampun dan akan selalu memberikan kenikmatan-kenikmatan itu. Dan Allah 'Azza wa Jalla berfirman: Dan Kami akan selalu memberi mereka kenikmatan-kenikmatan hingga mereka tidak merasakannya ketika mereka bermaksiat."
Sedangkan penamaan balasan Allah ini dengan sebutan tipu daya adalah lantaran balasan tersebut menyerupai tipu daya seorang hamba terhadap hamba yang lain. Namun, tipu daya seorang hamba terhadap hamba lainnya itu tidak lain hanyalah untuk menjaga kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya saja dengan melakukan kezaliman kepada selainnya. Ini berbeda dengan balasan (tipu daya) Allah, yang diberikan untuk memerangi orang zalim dan berbuat keji. Dengan dengan demikian tipu daya Allah termasuk perwujudan keadilan, karena hal itu merupakan pemberian balasan bagi siapapun yang berhak untuk menerimanya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tipu daya Ilahi menyerupai tipu daya manusia dalam bentuk perbuatannya, tetapi berbeda dalam tujuannya. Di antara perbedaan lainnya adalah bahwa tipu daya hamba muncul dari diri mereka untuk menutupi kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan kemampuannya. Oleh karena itu, tipu daya tersebut acapkali tidak dapat mewujudkan tujuan dan keinginannya. Namun, manakala berlaku sebagai tipu daya, balasan Allah muncul dari kemampuan yang mutlak dan meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, tipu daya tersebut selalu dapat mewujudkan tujuan-tujuannya dan mencapai apa yang diharapkan darinya. Atas masalah ini, Allah berfirman:
Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Demikian pula, di tempat lain Allah Ta'ala berfirman: Katakanlah: Allah lebih cepat pembalasannya (atas tipu daya itu).
Dan firman Allah pula: Dan Aku memberi tangguh kepada mereka, sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.
Adakalanya, penamaan tersebut dikembalikan pada perbandingan awal antara suatu perbuatan dengan balasannya; jika balasan Allah didapat oleh seorang hamba yang berbuat makar, maka balasan tersebut termasuk kategori makar Allah dalam menghadapi makar sang hamba. Dengan kata lain, suatu pelanggaran memiliki balasan yang serupa (sepadan). Sebagaimana firman Allah Ta'ala: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Meskipun balasan bagi seorang hamba merupakan sesuatu yang buruk, tetapi hal itu tidak termasuk dalam kategori pengertian buruk yang hakiki. Sebaliknya, itu untuk melaksanakan keadilan dan memberikan balasan bagi yang berhak menerimanya. Namun, dapat kita katakan—dengan kiasan—secara lafdhi (harfiah) bahwa balasan terhadap kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Demikian pula halnya dengan tipu daya; balasan untuk tipu daya seorang hamba adalah tipu daya yang serupa juga. Tipu daya yang dibalaskan tidaklah tergolong sebagai sesuatu yang tercela ataupun buruk, bahkan itu dikatakan sebagai sebuah keadilan. Adapun tipu daya yang buruk adalah tipu daya seorang hamba itu sendiri yang kembali pada dirinya, seperti difirmankan Allah Ta'ala: Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya itu sendiri.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa tipu daya dalam artian penipuan, atau rencana tersembunyi, maupun mengambil perantara sesuatu dengan maksud-maksud tertentu guna meraih manfaat atau menghindari bahaya, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu tipu daya Rahmani yang merupakan tipu daya yang terpuji, serta tipu daya Syaithani yang merupakan tipu daya yang buruk dan tercela. Yang dimaksud dalam pembagian ini adalah bahwa tipu daya itu terpuji jika bertujuan untuk memperoleh manfaat yang halal, dengan cara halal dan sesuai syariat. Atau, bila tipu daya itu untuk menghindari bahaya maupun kezaliman terhadap diri ataupun orang selainnya. Sementara, pabila tipu daya itu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang haram, atau untuk tujuan menciptakan kezaliman dan menyakiti orang lain, atau untuk penipuan tanpa memunculkan kebenaran, maka ini merupakan salah satu bentuk dari tipu daya Syaithani.
Kesimpulan pembahasan ini adalah bahwa tipu daya yang terpuji dari sudut pandang akal dan syariat adalah ketika ia berlandaskan pada tujuan yang benar dan dengan cara yang disyariatkan. Sebaliknya, jika itu berlandaskan pada tujuan yang jahat atau pelakunya menggunakan cara yang salah dan diharamkan.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa pembahasan yang kita jelaskan tadi berkait dengan tipu daya manusia. Adapun tipu daya Allah, tanpa keraguan, merupakan tipu daya yang benar dan terpuji, yang tidak akan terjadi selain untuk menyingkirkan tipu daya-tipu daya Syaithani. Juga, untuk mengusir kebatilan kaum zalim dan aniaya—yang telah dikuasai tipu daya—serta menolak fondasi bangunan mereka. Ini untuk menegakkan agama Islam sekaligus memenangkan para pengikutnya.
Di antara ciri-ciri tipu daya Allah adalah bahwa tipu daya itu merupakan tipu daya balasan. Maksudnya, tipu daya tersebut tidak lain adalah untuk menghadapi kaum zalim dan tidak diberlakukan kecuali kepada orang-orang yang berbuat dosa saja. Untuk menjelaskan arti tipu daya Allah, hendaknya kita berporos pada dua contoh dalam al-Quran yang menjelaskan tentang bukti-bukti tipu daya Allah dalam memerangi tipu daya manusia.
Orang-orang kafir itu berbuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Yang dimaksud ayat di atas adalah apa yang telah direncanakan oleh kaum Yahudi dan para musuh al-Masih as dengan cara menipu dan mengundang beliau. Tetapi Allah mendahului mereka dengan tipu daya-Nya; Allah mengganjar dengan keadilan atas tipu daya mereka dan menyelamatkan hamba-Nya, al-Masih, serta menjaga risalah dan agama-Nya. Dengan begitu, lenyaplah rencana-rencana mereka. Permainan dan tipu daya apapun yang mereka gunakan pun hilang diterpa angin.
Ringkasan cerita tentang tipu daya mereka terhadap al-Masih adalah bahwa seorang di antara kaum Yahudi, yang dahulunya merupakan salah seorang yang dekat dengan Nabi Allah tetapi juga seorang munafik, secara sembunyi memata-matai al-Masih. Di suatu sore, orang yang bernama Yahudha tersebut mendapati al-Sayyid al-Masih seorang diri, tanpa ditemani orang dekat beliau. Kaum Yahudi pun mengetahui hal itu. Mereka lalu sepakat untuk menyuruh masuk teman mereka, Yahudha, agar ia membunuh al-Masih. Ketika ia masuk, Allah menyelamatkan al-Masih dari tipu daya mereka dengan mengirimkan ke hadapan Yahudha orang yang serupa dengan Al-Masih. Kemudian, ketika ia keluar dari tempat tersebut untuk menuju kaum Yahudi dengan membawa kembaran al-Masih, merekapun bergegas membunuhnya; dengan sangkaan bahwa orang itu adalah al-Masih. Orang tersebut terbunuh di tangan mereka. Sebelum dibunuh, orang itu selalau berseru kepada mereka, "Saya bukanlah al-Masih as."
Sedangkan sebagian riwayat mengatakan bahwa Yahudhalah orang yang dimiripkan dengan al-Masih. Ketika kaum Yahudi dan musuh-musuh al-Masih ingin melakukan tipu daya dan membunuh beliau, Allah memiripkan Yahudha (dengan al-Masih) dalam pandangan mereka, sehingga mereka membunuh Yahudha sebagai ganti al-Masih.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Penafsiran kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan kisah Dâr al-Nadwâ. Di tempat ini pernah berkumpul 40 tokoh senior Quraisy, sebuah tempat di mana belum pernah ada orang yang memasuki tempat tersebut melainkan yang sudah berusia 40 tahun lebih. Di katakan bahwa mereka sering membicarakan tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap Rasulullah saww. Sekali waktu, iblis pernah datang dengan penampilan sebagai orang tua. Sang penjaga pintu pun bertanya, "Siapakah engkau?" Ia menjawab, "Saya orang tua di antara penduduk Najd. Kalian akan beroleh jalan keluar melalui saya." Penjaga pintu berkata padanya, "Masuklah!" Maka masuklah Iblis bersama mereka. Dalam majlis kaum Quraisy itu, setelah mengajak untuk melawan Rasulullah saww, Abu Jahal berkata, "Saya pikir kita harus mengutus seseorang untuk membunuhnya. Andaikan bani Hasyim menuntut diyat (kompensasi)nya, maka kita akan beri mereka sepuluh (orang sebagai) diyat (yang menggantikan darahnya)."
Iblis dengan tampang sebagai orang tua kaum Najdy itu berkata, "Itu adalah pendapat yang sangat licik. Sebab, pembunuh Muhammad juga akan terbunuh secara sia-sia. Karenanya, siapakah di antara kalian yang bersedia untuk mengorbankan dirinya sebagai tumbal?"
Salah seorang di antara mereka berkata, "Kita tempatkan saja ia di dalam rumah, lalu kita biarkan ia tanpa apa-apa sehingga ia kelaparan dan kemudian mati."
Iblis pun berkata, "Pendapat ini lebih licik dari yang lain, karena bani Hasyim tidak akan rela dengan hal itu. Ketika datang waktu berkumpulnya bangsa Arab, mereka pasti akan meminta bantuan hingga mereka mendatangi kalian untuk mengeluarkannya."
Orang yang lain pun ikut berkata, "Bukan demikian, tetapi kita akan keluarkan ia (Rasul saww) dari kota ini agar kita dapat selalu beribadah kepada tuhan kita."
Iblis pun menjawab, "Ini pun lebih licik dari dua pendapat sebelumnya, karena kalian akan dengan sengaja melakukan hal itu terhadap orang yang wajahnya paling bercahaya dan paling didengar lisannya serta paling fasih ucapannya. Kemudian, bila kalian bawa ia ke bangsa Arab badui, ia akan menipu dan menyihir mereka dengan lisannya. Karena itu, tidak akan datang kepada kalian kecuali bangsa tersebut telah dipenuhi oleh para lelaki dan pasukan berkuda."
Setelah sesaat berada dalam kebingungan, mereka berkata kepada Iblis, "Lalu, apa pendapatmu, wahai orang tua?"
Ia berkata, "Hendaknya lelaki dari setiap suku di antara suku-suku kaum Quraisy berkumpul. Usahakan di situ terdapat pula orang dari bani Hasyim. Mereka harus mengambil pisau atau besi ataupun pedang, kemudian masuk ke rumahnya (Rasul saww) untuk memukulnya secara serempak dengan satu pukulan, sehingga darahnya tepercik ke semua orang Quraisy. Dengan begitu, bani Hasyim tidak akan menuntut apapun atas darahnya."
Lalu, mereka pun berkata, "Pendapat kita adalah pendapat orang tua Najdi itu."
Oleh karena itu, Jibril pun turun kepada Rasulullah saww dan memberitahu beliau bahwa kaum Quraisy telah berkumpul di Dâr al-Nadwâ untuk merencanakan sesuatu terhadap beliau. Kemudian, Allah Ta'ala menurunkan ayat berikut kepada beliau:
Dan mereka akan berbuat tipu daya terhadapmu…
Ketika itu, datanglah perintah kepada Rasulullah saww untuk meninggalkan Mekah dan hijrah ke Madinah. Akan tetapi, sebelum keluar untuk berhijrah, beliau saww memerintahkan agar menyiapkan tempat tidur untuk beliau dan mengatakan pada Imam Ali bin Abi Thalib, "Tinggallah engkau sendirian." Beliau pun menjawab, "Baiklah, wahai Rasulullah." Rasulullah saww berkata, "Tidurlah di ranjangku dan pakailah selimutku." Imam Ali kemudian tidur di atas ranjang Rasulullah saww dan memakai selimut beliau.
Tak lama kemudian, Jibril merengkuh tangan Rasulullah saww dan mengeluarkan beliau. Ia memerintahkan agar beliau melalui jalan gunung Tsur.
Ketika kaum Quraisy mendatangi kamar tersebut dan langsung menuju tempat tidur, Imam Ali segera melompat menghadapi mereka dan berkata, "Apa yang kalian inginkan?" Mereka berkata, "Di manakah Muhammad?" Beliau menjawab, "Apakah kalian menjadikanku sebagai pengintai beliau?" Maka, keluarlah kaum Quraisy itu untuk mencari Rasulullah saww. Hingga, sampailah mereka di sebuah gua yang di dalamnya terdapat Rasulullah saww. Namun, Allah telah mengutus seekor laba-laba untuk menutupi pintu gua itu. Kemudian, orang-orang Quraisy itu merasa putus asa dan mereka pun berpencar. Allah menjauhkan mereka dari Rasulullah saww dan menyelamatkan beliau dari tipu daya serta dari apa yang telah mereka rencanakan. Jelaslah, bahwa dua cerita ini mengungkapkan arti dari sesuatu yang telah kita singgung sebelumnya; bahwa tipu daya kaum musyrik bersifat syaithani dan prematur. Lain halnya dengan tipu daya Allah yang bersifat balasan dan pada hakikatnya merupakan inti dari keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar