Laman

Jumat, 22 April 2011

Revolusi Intelektual Imam Shadiq as


undefinedRevolusi Intelektual Imam Shadiq as
Imam Jakfar Shadiq as dilahirkan pada hari Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H di kota Madinah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad al-Baqir as. Era Imam Shadiq as merupakan masa yang penuh dengan berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam. Proses peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayah ke Dinasti Abbasiyah di masa itu menyisakan beragam dampak sosial dan politik di tengah masyarakat. Di sisi lain, masyarakat Muslim di zaman itu berhadapan langsung dengan perkembangan berbagai bentuk ideologi dan aliran teologi dan filsafat. 







 Atmosfir kebangkitan intelektual terasa sangat kental sekali yang dibarengi dengan maraknya penyebaran dan penerjemahan pemikiran filsafat dan teologi dari dunia luar, seperti Yunani dan Persia. Tentu saja, kebangkitan intelektual yang demikian pesat juga memunculkan beragam penyimpangan pemikiran dan akidah. Kondisi tersebut niscaya membuat misi dakwah Imam Shadiq as semakin berat.
Dari satu sisi, masyarakat di masa itu mulai condong kepada pemikiran ateisme dan materialisme. Sementara di sisi lain, Imam Shadiq as harus mempertahankan Islam dari berbagai penyimpangan dan kesalahan interpretasi. Dalam kondisi yang sangat sensitif inilah, Imam Shadiq as melancarkan gerakan revolusi kultural Islam. Gerakan ini ditandai dengan keberhasilan mencetak lebih dari empat ribu ilmuan dan ulama terkemuka dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Salah satu ciri khas Islam adalah perhatian agama ini kepada ilmu pengetahuan dan mewanti-wanti pemeluknya untuk selalu berpikir dan bertafakur. Dengan berani dapat kita katakan bahwa tidak ada agama dan aliran kepercayaan yang menekankan pemeluknya untuk menuntut ilmu pengetahuan dan hikmah seperti Islam. Memperhatikan sekilas ayat-ayat al-Quran dan hadis, dapat kita simpulkan bahwa Tuhan dan para utusan-Nya senantiasa mengajak manusia untuk berpikir dan menggunakan akal. Seruan ini tidak hanya terbatas pada pemeluk agama Islam, tapi juga berlaku bagi seluruh umat manusia.
Dalam perspektif Islam, keimanan buta dan tanpa berpikir, tidak akan diterima di sisi Allah Swt. Akal merupakan sarana yang akan membantu kita untuk mengenal Sang Pencipta. Penghormatan al-Quran terhadap ilmu pengetahuan dan penulisan, telah mendorong kaum Muslim pada masa permulaan Islam untuk berlomba-lomba menuntut ilmu. Pada waktu itu, al-Quran dan hadis Nabi Saw merupakan dua sumber utama dan penting dalam meningkatkan level ilmu pengetahuan dan budaya.
Pada era di mana dunia tenggelam dalam lembah kegelapan dan kebodohan, peradaban Islam dibangun berkat kerja keras Rasul Saw dan secara bertahap mulai membuahkan hasil. Pasca Rasul Saw, Ahlul Bait Nabi as secara bergantian memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memperkaya peradaban itu. Fase ini merupakan masa dimulainya kebangkitan intelektual dalam Islam yang kemudian berkembang secara perlahan.
Perhatian terhadap ilmu pengetahuan pada masa kehidupan Ahlul Bait as khususnya pada era Imam Jakfar Shadiq as, mencapai kemajuan pesat. Ketika berbicara tentang pentingnya menuntut ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, Imam Shadiq as mengatakan, "Jika masyarakat mengetahui manfaat-manfaat ilmu pengetahuan, tentu mereka akan bangkit untuk mencarinya, meski darah tumpah dalam menemukannya dan mereka akan menyelami kedalaman lautan."
Sementara berkenaan dengan bahaya kebodohan dan melakukan sesuatu tanpa bekal ilmu, Imam Shadiq as berkata, "Siapa yang mengerjakan sesuatu tanpa pengetahuan dan wawasan, maka ia seperti orang yang menempuh selain jalan utama. Oleh karena itu, semakin ia melangkah ke depan, maka ia semakin menyimpang dari jalan yang lurus."
Era kehidupan Imam Shadiq as berbarengan dengan perubahan dan transformasi besar di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Masuknya beragam pemikiran dan budaya belahan bumi lain ke wilayah Islam, mencerminkan perkembangan pesat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Pada masa itu, kebangkitan intelektual dan peradaban yang dibangun oleh Rasul Saw selama 23 tahun, telah membuahkan hasil di banyak bidang dan dimensi.
Imam Shadiq as telah memulai aktivitas ilmiah sebagai kelanjutan risalah Nabi Saw dan pendahulu-pendahulunya dalam mengembangkan peradaban tersebut. Beliau as mempertimbangkan komponen dan karakteristik dalam gerakan intelektual dan masalah memproduksi ilmu pengetahuan. Menurut Imam Shadiq as, kebangkitan intelektual harus dibangun di atas dua landasan yaitu, penghambaan dan rasionalitas. Pada dasarnya, sebuah gerakan untuk membangun peradaban akan berhasil jika memandang manusia secara utuh dan tidak menganggapnya sebagai makhluk satu dimensi. Oleh karena itu, sikap mengabaikan spiritualitas dan dimensi ruh manusia sama artinya dengan kegagalan kegiatan ilmiah, sama halnya dengan sikap menganaktirikan rasionalitas dan logika.
Sejumlah ayat dan hadis menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Tuhan selain tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, tapi juga merupakan bentuk urgensitasnya. Rapor cemerlang peradaban Islam membuktikan bahwa para cendekiawan Muslim di berbagai bidang, biasanya adalah orang-orang yang bertaqwa dan menilai kegiatan ilmiah sebagai ibadah.
Pada dasarnya dalam Islam, tidak ada pemisah antara ilmu, akhlak dan ibadah dan bahkan senantiasa menegaskan korelasi di antara mereka. Ilmuan dan pemikir dalam Islam adalah manusia-manusia yang bertanggung jawab dan ulama tanpa moral akan berdampak negatif di tengah masyarakat. Masalah ini merupakan salah satu poros penting prinsip-prinsip peradaban Islam. Oleh karena itu, Imam Shadiq as sebagaimana Rasul Saw, senantiasa menegaskan rasionalitas dan pemanfaatan logika di samping spiritualitas.
Dalam perspektif manusia, akal dan agama adalah dua sejoli dan tidak dapat dipisahkan. Ulama adalah pewaris para Nabi as. Menurut Imam Shadiq as, ilmu pengetahuan harus dinamis, efektif, aplikatif dan responsif. Karena itu, bidang ilmiah Imam as tidak terbatas pada ilmu tertentu dan semua cabang ilmu pengetahuan diajarkan di sekolah beliau. Dalam perspektif Imam Shadiq as, masyarakat selalu dalam keadaan dinamis dan kebutuhan-kebutuhan mereka juga senantiasa baru.
Kebangkitan memproduksi ilmu pengetahuan harus selalu dinamis sehingga dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan kebutuhan manusia. Imam Shadiq as menekankan pada seluruh cabang ilmu pengetahuan pada masanya mulai filsafat, teologi dan yurisprudensi hingga astronomi dan kedokteran. Beliau as selalu mempelajari karya-karya para ilmuan dan memberi kritikan atas mereka. Selain itu, beliau as juga mengenalkan murid-muridnya dengan pengetahuan modern.
Imam Shadiq as juga mendirikan organisasi ilmuan dan mengorganisir kaum muda untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Langkah ini bertujuan kaderisasi dan menularkan ilmu kepada setiap generasi. Di antara murid Imam Shadiq as adalah Jabir Ibn Hayyan, yang dikenal dengan bapak kimia dan Hisyam bin Hakam, pakar ilmu yurisprudensi.
Sejarah menyebutkan bahwa murid-murid Imam Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam yang menulis 31 buku. Jabir bin Hayyan yang menghasilkan lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq as yang menulis buku "Tauhid Mufadhal".
Imam Shadiq as adalah manusia yang paling rendah hati di kalangan masyarakatnya. Kaum papa dengan mudah menyampaikan keperluannya kepada beliau dan beliaupun akan memenuhi keperluan mereka dengan kasih sayang. Sikap mulia dan merakyat Imam Shadiq as ini, makin meningkatkan kesadaran politik dan sosial masyarakat. Tentu saja hal tersebut menyulut kekhawatiran para pemimpin zalim Dinasti Abbasiyah. Khalifah Mansur pun merasakan posisinya makin terancam. Lalu, ia meracuni Imam Shadiq as hingga akhirnya beliau pun gugur syahid pada tahun 148 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar