Oleh Saleh Lapadi
Al-Qathifi, salah seorang guru hadis al-Hurr al-‘Amili penulis buku al-Wasail as-Syiah sebuah ensiklopedia hadis fikih Syiah, berkata:
“Ketahuilah bahwa Usul Fiqih tidak berdiri sendiri namun terbentuk dari beberapa disiplin ilmu dan terdiri dari beragam masalah yang sebagiannya benar sementara lainnya tidak benar dan batil. Usul Fiqih disusun pertama kali oleh Ahli Sunah disebabkan adanya kekurangan akan hadis-hadis yang terkait dengan masalah hukum fiqih.”[1]
Pada kesempatan lain beliau berkata:
“Ulama Syiah, pada awalnya, tidak menulis buku yang berhubungan dengan Usul Fiqih karena belum merasa perlu. Alasannya sederhana karena semua yang mereka butuhkan, baik itu terkait dengan ushuluddin atau furu’uddin, telah disebutkan dalam hadis-hadis yang dinukil dari para Imam. Semua ini bertahan hingga sampai pada masa Ibnu Junaid. Ibnu Junaid mulai melakukan kritik terhadap para perawi dan matan hadis sekaligus menulis buku tentang itu. Bahkan Ia juga sempat mengamalkan qiyas.”[2]
Penjelasan dari al-Qathifi, salah seorang guru al-Hurr al-‘Amili, yang dikenal sebagai seorang Akbari dapat dikategorikan dalam tiga klaim besar:
Pertama, Usul Fiqih tidak mandiri melainkan himpunan dari berbagai macam disiplin ilmu. Kedua, Usul Fiqih untuk pertama kalinya disusun oleh ulama Ahli Sunah dan Ibnu Junaid adalah orang pertama yang menyusunnya di lingkungan Syiah bahkan ia beramal dengan qiyas. Dan ketiga, Usul Fiqih tidak diperlukan karena prinsip-prinsip dan cabang masalahnya telah disebutkan dalam hadis-hadis para Imam.
Tiga klaim besar di atas tidak berdiri sendiri-sendiri namun muncul dari permasalahan klasik yang dikenal dengan konfrontasi kontekstual dan tekstual atau lebih akrabnya ta’aqqul dan ta’abbud. Sebuah masalah yang cukup mengakar lama setua umur Islam itu sendiri. Permasalahan itu menyangkut seberapa besar peran akal sebagai salah satu elemen penting dalam proses memahami dan menafsirkan agama—yang dalam hal ini diwakili oleh teks-teks (bukan akal sebagai salah satu sumber agama yang disandingkan dengan Kitab dan Sunah).
Buah pikiran al-Qathifi adalah ekspresi yang mewakili sebuah aliran pemikiran yang pernah ada dalam sejarah intelektual Syiah. Dan yang perlu diperhatikan adalah sekalipun sebagai aliran pemikiran, Akhbariyun telah punah akibat juang usaha tak kenal lelah bapak Usul Fiqih modern Syiah Wahid Bahbahani, namun gaya berpikir literal-tekstualis tidak bisa dengan mudah dihapuskan begitu saja dalam ranah jurispridensi syiah. Mengaingat, secara zahir hal itu lebih mendapat justifikasi oleh kehadiran hadis-hadis dalam Syiah, baik dari Nabi atau para Imam. Sebab, hadis-hadis tersebut adalah tuturan orang-orang yang dianggap maksum. Sehingga sabda-sabda mereka pun luput dari pelbagai kemungkinan salah. Di sisi lain, metodologi penyimpulan hukum dalam Syiah sekalipun telah mengalami perkembangan yang luar biasa, tapi masih saja menjadi barang di puncak menara gading. Di mana untuk sementara ini sebatas dijangkau oleh para mulla di hauzah-hauzah ilmiah[3].
Oleh karena itu, sekaitan dengan soalan kita kali ini, ada baiknya jika saya nukilkan ucapan al-Qathifi, salah seorang guru hadis al-Hurr al’Amili untuk dianalisa lebih jauh. Sengaja saya mengambil ucapan al-Qathifi sebagai sampel dari madrasah Akhbariyun dengan alasan bahwa untuk mengenal cara berpikir Akhbariyun, ucapan al-Qathif lebih umum sekaligus juga bisa memberikan selayang pandang mengenai Usul Fiqih.
Penjelasan untuk klaim pertama
Dengan mudah ditemukan bahwa beberapa kajian yang dibahas dalam Usul Fiqih tidak memiliki tempat pada disiplin ilmu yang lain. Sebagai contoh, kajian pertentangan dalil-dalil dan solusinya, pembahasan tentang sejauhamana hadis ahad, syuhrat dan ijma’ dapat dijadikan dalil, begitu juga sejumlah pembahasan mengenai lafaz seperti pertentangan antara lafad yang sifatnya umum dengan khusus dan lain-lain. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas bukan menjadi bahasan ilmu bahasa, ilmu fiqih, ilmu rijal atau juga ilmu-ilmu yang lain. Satu-satunya disiplin ilmu yang mengkaji masalah-masalah seperti ini hanyalah Usul Fiqih.
Hal ini ditambahkan lagi dengan perkembangan Usul Fiqih pada masa kini. Usul Fiqih mengalami kemajuan yang sangat pesat sekaligus perbaikan dalam metodologi dan kronologi pembahasan disesuaikan dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu. Akhirnya, Usul Fiqih dibagi menjadi dua. Bahasan yang menjadi pengantar dalam mengkaji Usul Fiqih dan bahasan inti fiqih itu sendiri. Bahkan dalam dekade terakhir oleh beberapa ilmuwan Usul Fiqih sedang dirintis sebuah disiplin baru yang disebut filsafat Usul Fiqih.
Usul Fiqih, oleh al-Qathifi, yang dianggap tidak mandiri melainkan dibangun dari pelbagai ilmu adalah pernyataan yang tidak berdasar. Seandainya ditemukan bahwa ada bahasan yang dimasukkan dan bukan dari masalah Usul Fiqih itu sendiri maka dengan mudah dipahami bahwa hal itu termasuk pengantar Usul Fiqih itu sendiri.
Penjelasan untuk Klaim Kedua
Untuk klaim kedua yang disampaikan oleh al-Qathifi memiliki dua poin. Pertama, berkenaan dengan sejarah pembukuan Usul Fiqih. Dan kedua, Usul Fiqih untuk pertama kalinya dipraktekkan oleh Ibnu Junaid bahkan ia dianggap mengamalkan qiyas yang secara tegas dilarang dalam hadis-hadis Imam Syiah.
Pada kesempatan ini saya hanya akan menjelaskan poin kedua, mengingat bahwa perkara ini memerlukan adanya penjelasan yang proporsional mengenai benar tidaknya anggapan di atas, kalau tidak dikatakan sebagai sebuah tuduhan, bahwa Ibnu Junaid mengamalkan qiyas. Tentang poin pertama sengaja saya tidak bahas dalam artikel ini mengingat mengkaji masalah tersebut membutuhkan tempat tersendiri dan insyallah dalam kesempatan lain akan saya kaji.
Penisbatan yang dilakukan oleh para ulama bahwa Ibnu Junaid adalah pemikir Syiah yang berusaha menyingkap hukum syariat dengan menerapkan metode qiyas merupakan perkara yang patut dirunut ulang. Mengenai hal ini, Syaikh Mufid secara terang-terangan dalam judul bukunya mencantumkan nama Ibnu Junaid selaku mujtahid Syiah penerap ra’yu yang notabenenya berasal dari qiyas (an-Naqdhu ‘ala Ibnil Junaid fi Ijtihadi ar-Ra’yu). Setelah Syaikh Mufid, hampir semua ulama selalu menyebut nama Ibnu Junaid sambil dibarengi dengan dakwaan sebagai praktikus qiyas di kalangan Syiah. Dengan kata lain, hampir semua ulama sepakat akan penisbatan di atas.
Kendati demikian, Ayatullah Sistani bisa dianggap sebagai orang pertama yang mencoba menyangkal penisbatan yang hampir disepakati oleh para ulama tersebut. Beliau dikenal dengan usaha kerasnya menelusuri makna istilah-istilah kunci dan perkembangannya dalam proses penyimpulan hukum. Dan salah satunya adalah mengenai masalah qiyas yang disinggungkan kepada Ibnu Junaid.
Menurut keyakinan beliau, kata qiyas yang dipergunakan oleh Ibnu Junaid bukan bermakna sebagai sebuah metodologi ijtihad. Terminus qiyas yang dipakai oleh Ibnu Junaid, tidak semaksud dengan makna umumnya di kalangan ulama yang lain. Malahan, Ayatullah Sistani memaknainya sebagai kesesuaian dengan semangat al-Quran. Artinya, ketika Ibnu Junaid dalam ucapannya “Faqishu ‘Ala Kitabillah” (qiyaskan ini kepada Kitab Allah), ia ingin menunjukkan bahwa dalam memaknai sebuah hadis hendaknya sesuai dengan semangat al-Quran. Dengan kata lain, kata qiyas yang dipergunakan adalah sebuah sikap keberhati-hatian dalam menerima hadis yang bukan sekedar dengan melihat kelayakan sanad tapi makna yang dimaksud dalam matan hadis pun perlu dikaji pula. Sehingga jangan sampai lepas dari semangat al-Quran.[4]
Pemaknaan qiyas yang dipergunakan oleh Ibnu Junaid seperti di atas lebih bisa diterima karena beliau adalah salah seorang ulama besar Syiah yang memahami benar bagaimana para Imam berusaha memerangi qiyas (sebagai sebuah metodologi berijtihad) dengan pernyataan yang cukup keras dan tegas.
Ayatullah Sistani juga dalam bukunya menukil dari sebuah buku lain: bahwa Syaikh Shaduq menceritakan di banyak tempat bagaimana para ulama hadis terkenal seperti Zurarah bin ‘Ayan, Jami bin Durraj dan Abdullah bin Bukair beramal dengan qiyas. Dan pada saat yang sama mereka tidak dipermasalahkan karena memang yang dimaksud dengan qiyas fiqih di sini adalah intensitas penerimaan hadis yang lebih diperketat dengan bersandar pada kritik matan hadis.[5]
Penjelasan untuk klaim ketiga
Untuk menjawab klaim ketiga ada dua poin penting yang dapat disebutkan di sini: Pertama, Adanya sekelompok kaidah-kaidah dalam riwayat-riwayat (hadis) Ahli Bayt yang tidak dengan sendirinya mementahkan fungsi Usul Fiqih. Karena usaha untuk mempergunakan kaidah-kaidah yang telah ada dalam riwayat tidak terlepas dari Usul Fiqih itu sendiri. Di samping itu, satu pembahasan penting yang dilakukan dalam Usul Fiqih adalah legalitas sebuah usaha untuk memahami secara lahiriah makna sebuah proposisi. Dan bila ini diterima dengan maksud bahwa lahiriah sebuah proposisi yang dipahami memiliki legalitas dalam syariat Islam, maka usaha untuk memahami teks-teks riwayat menjadi legal. Artinya, pemahaman seseorang akan sebuah hadis akan mendapat legalitas langsung dari syariat. Begitu juga dengan masalah-masalah Usul Fiqih lainnya. Dengan demikian, adanya kaidah-kaidah Usul Fiqih dalam riwayat-riwayat tidak dengan sendirinya menafikan Usul Fiqih itu sendiri.
Kedua, Keberadaan sebagian kaidah-kaidah Usul Fiqih dalam riwayat-riwayat malah memberikan legitimasi baru bahwa ilmu Usul Fiqih memiliki sumber yang murni dari teks-teks agama itu sendiri. Bahkan dengan menelusuri riwayat-riwayat yang menjelaskan kaidah Usul Fiqih justru hal itu akan memberikan nilai tambah bagi urgensi keberadaan Usul Fiqih.
Pungkas kata, Usul Fiqih dalam sistem intelektual Syiah memang terlambat melakukan start dibandingkan dengan Ahli Sunah. Namun, setelah kegaiban Imam yang keduabelas terjadi lompatan yang luar biasa. Hal itu selain kecemerlangan ulama Syiah sendiri, yang lebih penting lagi adalah bahwa dengan meyakini para Imam maksum sebagai penerus Nabi dan ucapan mereka ditegaskan pula sebagai hadis (hujjah), banyak kaidah-kaidah Usul Fiqih yang telah dirumuskan oleh para Imam maksum, menjadikan gerak ijtihad Syiah semakin laju melangkah sehingga kemudian dapat kembali memegang tongkat estafet mendahului saudaranya Ahli Sunah dalam proses penyimpulan hukum syariat.
Rujukan:
__________________________________
[1] . Dinukil dari buku Hidayah al-Abrar karangan Muhaqqiq al-Karaki, hal 234.
[2] . Idem, hal 333.
[3] . Penulis tidak ingin mengatakan bahwa kondisi ini hanya disebabkan oleh dua sebab ini namun meyakini ada sebab-sebab lain yang turut melindungi cara berpikir Akhbariyun. Sebagaimana tekanan penulis tidak pada usaha menganalisa sebab-sebab terjadinya fenomena ini.
[4] . Sayyid Munir Sayyid ‘Adnan, Taqrirat Li as-Sayyid as-Sistani, ar-Rafid Fi ‘Ilmi al-Ushul, 1414, Qom, hal 11-12.
[5] . Sayyid Munir Sayyid ‘Adnan, Taqrirat Li as-Sayyid as-Sistani, ar-Rafid Fi ‘Ilmi al-Ushul, 1414, Qom, hal 12 menukil dari buku Kasyf al-Qina’ hal 830.
Al-Qathifi, salah seorang guru hadis al-Hurr al-‘Amili penulis buku al-Wasail as-Syiah sebuah ensiklopedia hadis fikih Syiah, berkata:
“Ketahuilah bahwa Usul Fiqih tidak berdiri sendiri namun terbentuk dari beberapa disiplin ilmu dan terdiri dari beragam masalah yang sebagiannya benar sementara lainnya tidak benar dan batil. Usul Fiqih disusun pertama kali oleh Ahli Sunah disebabkan adanya kekurangan akan hadis-hadis yang terkait dengan masalah hukum fiqih.”[1]
Pada kesempatan lain beliau berkata:
“Ulama Syiah, pada awalnya, tidak menulis buku yang berhubungan dengan Usul Fiqih karena belum merasa perlu. Alasannya sederhana karena semua yang mereka butuhkan, baik itu terkait dengan ushuluddin atau furu’uddin, telah disebutkan dalam hadis-hadis yang dinukil dari para Imam. Semua ini bertahan hingga sampai pada masa Ibnu Junaid. Ibnu Junaid mulai melakukan kritik terhadap para perawi dan matan hadis sekaligus menulis buku tentang itu. Bahkan Ia juga sempat mengamalkan qiyas.”[2]
Penjelasan dari al-Qathifi, salah seorang guru al-Hurr al-‘Amili, yang dikenal sebagai seorang Akbari dapat dikategorikan dalam tiga klaim besar:
Pertama, Usul Fiqih tidak mandiri melainkan himpunan dari berbagai macam disiplin ilmu. Kedua, Usul Fiqih untuk pertama kalinya disusun oleh ulama Ahli Sunah dan Ibnu Junaid adalah orang pertama yang menyusunnya di lingkungan Syiah bahkan ia beramal dengan qiyas. Dan ketiga, Usul Fiqih tidak diperlukan karena prinsip-prinsip dan cabang masalahnya telah disebutkan dalam hadis-hadis para Imam.
Tiga klaim besar di atas tidak berdiri sendiri-sendiri namun muncul dari permasalahan klasik yang dikenal dengan konfrontasi kontekstual dan tekstual atau lebih akrabnya ta’aqqul dan ta’abbud. Sebuah masalah yang cukup mengakar lama setua umur Islam itu sendiri. Permasalahan itu menyangkut seberapa besar peran akal sebagai salah satu elemen penting dalam proses memahami dan menafsirkan agama—yang dalam hal ini diwakili oleh teks-teks (bukan akal sebagai salah satu sumber agama yang disandingkan dengan Kitab dan Sunah).
Buah pikiran al-Qathifi adalah ekspresi yang mewakili sebuah aliran pemikiran yang pernah ada dalam sejarah intelektual Syiah. Dan yang perlu diperhatikan adalah sekalipun sebagai aliran pemikiran, Akhbariyun telah punah akibat juang usaha tak kenal lelah bapak Usul Fiqih modern Syiah Wahid Bahbahani, namun gaya berpikir literal-tekstualis tidak bisa dengan mudah dihapuskan begitu saja dalam ranah jurispridensi syiah. Mengaingat, secara zahir hal itu lebih mendapat justifikasi oleh kehadiran hadis-hadis dalam Syiah, baik dari Nabi atau para Imam. Sebab, hadis-hadis tersebut adalah tuturan orang-orang yang dianggap maksum. Sehingga sabda-sabda mereka pun luput dari pelbagai kemungkinan salah. Di sisi lain, metodologi penyimpulan hukum dalam Syiah sekalipun telah mengalami perkembangan yang luar biasa, tapi masih saja menjadi barang di puncak menara gading. Di mana untuk sementara ini sebatas dijangkau oleh para mulla di hauzah-hauzah ilmiah[3].
Oleh karena itu, sekaitan dengan soalan kita kali ini, ada baiknya jika saya nukilkan ucapan al-Qathifi, salah seorang guru hadis al-Hurr al’Amili untuk dianalisa lebih jauh. Sengaja saya mengambil ucapan al-Qathifi sebagai sampel dari madrasah Akhbariyun dengan alasan bahwa untuk mengenal cara berpikir Akhbariyun, ucapan al-Qathif lebih umum sekaligus juga bisa memberikan selayang pandang mengenai Usul Fiqih.
Penjelasan untuk klaim pertama
Dengan mudah ditemukan bahwa beberapa kajian yang dibahas dalam Usul Fiqih tidak memiliki tempat pada disiplin ilmu yang lain. Sebagai contoh, kajian pertentangan dalil-dalil dan solusinya, pembahasan tentang sejauhamana hadis ahad, syuhrat dan ijma’ dapat dijadikan dalil, begitu juga sejumlah pembahasan mengenai lafaz seperti pertentangan antara lafad yang sifatnya umum dengan khusus dan lain-lain. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas bukan menjadi bahasan ilmu bahasa, ilmu fiqih, ilmu rijal atau juga ilmu-ilmu yang lain. Satu-satunya disiplin ilmu yang mengkaji masalah-masalah seperti ini hanyalah Usul Fiqih.
Hal ini ditambahkan lagi dengan perkembangan Usul Fiqih pada masa kini. Usul Fiqih mengalami kemajuan yang sangat pesat sekaligus perbaikan dalam metodologi dan kronologi pembahasan disesuaikan dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu. Akhirnya, Usul Fiqih dibagi menjadi dua. Bahasan yang menjadi pengantar dalam mengkaji Usul Fiqih dan bahasan inti fiqih itu sendiri. Bahkan dalam dekade terakhir oleh beberapa ilmuwan Usul Fiqih sedang dirintis sebuah disiplin baru yang disebut filsafat Usul Fiqih.
Usul Fiqih, oleh al-Qathifi, yang dianggap tidak mandiri melainkan dibangun dari pelbagai ilmu adalah pernyataan yang tidak berdasar. Seandainya ditemukan bahwa ada bahasan yang dimasukkan dan bukan dari masalah Usul Fiqih itu sendiri maka dengan mudah dipahami bahwa hal itu termasuk pengantar Usul Fiqih itu sendiri.
Penjelasan untuk Klaim Kedua
Untuk klaim kedua yang disampaikan oleh al-Qathifi memiliki dua poin. Pertama, berkenaan dengan sejarah pembukuan Usul Fiqih. Dan kedua, Usul Fiqih untuk pertama kalinya dipraktekkan oleh Ibnu Junaid bahkan ia dianggap mengamalkan qiyas yang secara tegas dilarang dalam hadis-hadis Imam Syiah.
Pada kesempatan ini saya hanya akan menjelaskan poin kedua, mengingat bahwa perkara ini memerlukan adanya penjelasan yang proporsional mengenai benar tidaknya anggapan di atas, kalau tidak dikatakan sebagai sebuah tuduhan, bahwa Ibnu Junaid mengamalkan qiyas. Tentang poin pertama sengaja saya tidak bahas dalam artikel ini mengingat mengkaji masalah tersebut membutuhkan tempat tersendiri dan insyallah dalam kesempatan lain akan saya kaji.
Penisbatan yang dilakukan oleh para ulama bahwa Ibnu Junaid adalah pemikir Syiah yang berusaha menyingkap hukum syariat dengan menerapkan metode qiyas merupakan perkara yang patut dirunut ulang. Mengenai hal ini, Syaikh Mufid secara terang-terangan dalam judul bukunya mencantumkan nama Ibnu Junaid selaku mujtahid Syiah penerap ra’yu yang notabenenya berasal dari qiyas (an-Naqdhu ‘ala Ibnil Junaid fi Ijtihadi ar-Ra’yu). Setelah Syaikh Mufid, hampir semua ulama selalu menyebut nama Ibnu Junaid sambil dibarengi dengan dakwaan sebagai praktikus qiyas di kalangan Syiah. Dengan kata lain, hampir semua ulama sepakat akan penisbatan di atas.
Kendati demikian, Ayatullah Sistani bisa dianggap sebagai orang pertama yang mencoba menyangkal penisbatan yang hampir disepakati oleh para ulama tersebut. Beliau dikenal dengan usaha kerasnya menelusuri makna istilah-istilah kunci dan perkembangannya dalam proses penyimpulan hukum. Dan salah satunya adalah mengenai masalah qiyas yang disinggungkan kepada Ibnu Junaid.
Menurut keyakinan beliau, kata qiyas yang dipergunakan oleh Ibnu Junaid bukan bermakna sebagai sebuah metodologi ijtihad. Terminus qiyas yang dipakai oleh Ibnu Junaid, tidak semaksud dengan makna umumnya di kalangan ulama yang lain. Malahan, Ayatullah Sistani memaknainya sebagai kesesuaian dengan semangat al-Quran. Artinya, ketika Ibnu Junaid dalam ucapannya “Faqishu ‘Ala Kitabillah” (qiyaskan ini kepada Kitab Allah), ia ingin menunjukkan bahwa dalam memaknai sebuah hadis hendaknya sesuai dengan semangat al-Quran. Dengan kata lain, kata qiyas yang dipergunakan adalah sebuah sikap keberhati-hatian dalam menerima hadis yang bukan sekedar dengan melihat kelayakan sanad tapi makna yang dimaksud dalam matan hadis pun perlu dikaji pula. Sehingga jangan sampai lepas dari semangat al-Quran.[4]
Pemaknaan qiyas yang dipergunakan oleh Ibnu Junaid seperti di atas lebih bisa diterima karena beliau adalah salah seorang ulama besar Syiah yang memahami benar bagaimana para Imam berusaha memerangi qiyas (sebagai sebuah metodologi berijtihad) dengan pernyataan yang cukup keras dan tegas.
Ayatullah Sistani juga dalam bukunya menukil dari sebuah buku lain: bahwa Syaikh Shaduq menceritakan di banyak tempat bagaimana para ulama hadis terkenal seperti Zurarah bin ‘Ayan, Jami bin Durraj dan Abdullah bin Bukair beramal dengan qiyas. Dan pada saat yang sama mereka tidak dipermasalahkan karena memang yang dimaksud dengan qiyas fiqih di sini adalah intensitas penerimaan hadis yang lebih diperketat dengan bersandar pada kritik matan hadis.[5]
Penjelasan untuk klaim ketiga
Untuk menjawab klaim ketiga ada dua poin penting yang dapat disebutkan di sini: Pertama, Adanya sekelompok kaidah-kaidah dalam riwayat-riwayat (hadis) Ahli Bayt yang tidak dengan sendirinya mementahkan fungsi Usul Fiqih. Karena usaha untuk mempergunakan kaidah-kaidah yang telah ada dalam riwayat tidak terlepas dari Usul Fiqih itu sendiri. Di samping itu, satu pembahasan penting yang dilakukan dalam Usul Fiqih adalah legalitas sebuah usaha untuk memahami secara lahiriah makna sebuah proposisi. Dan bila ini diterima dengan maksud bahwa lahiriah sebuah proposisi yang dipahami memiliki legalitas dalam syariat Islam, maka usaha untuk memahami teks-teks riwayat menjadi legal. Artinya, pemahaman seseorang akan sebuah hadis akan mendapat legalitas langsung dari syariat. Begitu juga dengan masalah-masalah Usul Fiqih lainnya. Dengan demikian, adanya kaidah-kaidah Usul Fiqih dalam riwayat-riwayat tidak dengan sendirinya menafikan Usul Fiqih itu sendiri.
Kedua, Keberadaan sebagian kaidah-kaidah Usul Fiqih dalam riwayat-riwayat malah memberikan legitimasi baru bahwa ilmu Usul Fiqih memiliki sumber yang murni dari teks-teks agama itu sendiri. Bahkan dengan menelusuri riwayat-riwayat yang menjelaskan kaidah Usul Fiqih justru hal itu akan memberikan nilai tambah bagi urgensi keberadaan Usul Fiqih.
Pungkas kata, Usul Fiqih dalam sistem intelektual Syiah memang terlambat melakukan start dibandingkan dengan Ahli Sunah. Namun, setelah kegaiban Imam yang keduabelas terjadi lompatan yang luar biasa. Hal itu selain kecemerlangan ulama Syiah sendiri, yang lebih penting lagi adalah bahwa dengan meyakini para Imam maksum sebagai penerus Nabi dan ucapan mereka ditegaskan pula sebagai hadis (hujjah), banyak kaidah-kaidah Usul Fiqih yang telah dirumuskan oleh para Imam maksum, menjadikan gerak ijtihad Syiah semakin laju melangkah sehingga kemudian dapat kembali memegang tongkat estafet mendahului saudaranya Ahli Sunah dalam proses penyimpulan hukum syariat.
Rujukan:
__________________________________
[1] . Dinukil dari buku Hidayah al-Abrar karangan Muhaqqiq al-Karaki, hal 234.
[2] . Idem, hal 333.
[3] . Penulis tidak ingin mengatakan bahwa kondisi ini hanya disebabkan oleh dua sebab ini namun meyakini ada sebab-sebab lain yang turut melindungi cara berpikir Akhbariyun. Sebagaimana tekanan penulis tidak pada usaha menganalisa sebab-sebab terjadinya fenomena ini.
[4] . Sayyid Munir Sayyid ‘Adnan, Taqrirat Li as-Sayyid as-Sistani, ar-Rafid Fi ‘Ilmi al-Ushul, 1414, Qom, hal 11-12.
[5] . Sayyid Munir Sayyid ‘Adnan, Taqrirat Li as-Sayyid as-Sistani, ar-Rafid Fi ‘Ilmi al-Ushul, 1414, Qom, hal 12 menukil dari buku Kasyf al-Qina’ hal 830.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar