Cinta-Nya memberiku iman dan keraguan
Cinta-Nya adalah nyala api di hatiku
kalau tak seorang bersamaku dalam duka
cukuplah bagiku mengadu kepada Cinta
(Fariduddin Attar)
Kubah keemasan itu berkilau indah diterpa cahaya lampu, menguning melambangkan keanggunan sekaligus keagungan. Anggun di antara dua menara yang melesat ke angkasa, namun kuat menaungi pilar-pilar besar di dalamnya. Bisa jadi, warna kuning pada kubah adalah penanda cahaya, saat gemintang tak menampakkan dirinya. Apapun alasannya, selalu kukagumi kubah keemasan yang indah itu. Apalagi, bila di bawahnya bernaung seorang abid solehah seperti Hazrat-e Masumeh, kerinduan akan selalu memanggil kuat.
Duduk di bawah naungan kubah yang bersih dan luas, bagaikan mencicipi aroma serambi surga, tenang dan bahagia. Sejak masih tinggal di kota Qom dulu, selalu kusempatkan untuk singgah di tempat ini. Seusai menunaikan shalat dan berdoa, biasanya aku masih senang berlama-lama duduk di atas hamparan permadani sambil memirsa aura spiritual yang terpancar dari orang-orang di sekitar. Suara lantunan Quran yang mengalun lirih, butir-butir tasbih yang berbulir pelan, doa-doa yang dilantunkan juga irama ruku dan sujud menghadiahkan ketenangan tersendiri. Anak-anakpun seperti menemukan kebebasannya, bisa menjelajah ruangan yang luas juga teduh.
Mungkin ini juga yang dirasakan Laurent Booth saat menjejakkan kakinya di tempat ini. "Waktu itu Selasa petang, saya duduk dan merasakan suntikan semangat spiritual, yang ada hanya kebahagiaan mutlak dan suka cita" Tuturnya sebagaimana dikutip puluhan media di akhir bulan Oktober 2010 lalu. Dan Booth, kembali ke negeri asalnya dengan menggenggam sebuah asa baru. Sebagai seorang jurnalis ternama dan ipar Tony Blair, keputusannya ini cukup membuat cengang berbagai kalangan.
Kesadaran yang dicerap Booth memang bukan sim salabim, sejak lama ia mendedikasikan dirinya dalam kegiatan kemanusiaan. Ia tak segan-segan menyambangi langsung para korban perang di Palestina. Pada bulan Agustus 2008 bersama 46 aktivis lainnya, ia pernah berlayar mendekati perairan Gaza, namun dihalangi oleh pasukan Israel. Ia juga penentang keras penyerangan negara-negara adikuasa ke wilayah Timur Tengah. Bahkan, tak sedikit dana pribadinya yang digelontorkan untuk kegiatan amal.
Barangkali, ketulusan inilah yang mempertemukannya dengan perempuan musafir Salehah, hazrat-e Fatimah Masumeh, yang dimakamkan di area kompleks ini. Masyarakat biasanya memanggilnya dengan sebutan Bibi Masumeh, sebuah panggilan kecintaan dan penghormatan. Bibi Masumeh, seperti halnya Booth datang dari negeri jauh Madinah untuk menyambangi sang kakak yang tengah berdakwah di wilayah Khurasan, cucunda Nabi yaitu Imam Ali ar-Ridha as .
Di pertengahan jalan, Bibi jatuh sakit lalu singgah di kota Qom. Warga setempat menyambut sang musafir dengan penuh kebahagiaan dan menyediakan sebuah tempat peristirahatan. Sampai sekarang, setiap tanggal 23 Rabiul Awal peristiwa penyambutan ini terus dikenang dan diperingati, para perempuan yang masing-masing membawa setangkai bunga, berjalan di sekitar rute penyambutan dan berakhir di Holy Shrine.
Kebaikan dan uluran tangan tuan rumah ini tak dapat menyembuhkan sakit yang dideritanya. Bibi Masumeh hanya tinggal selama 17 hari di kota Qom, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tahun 201 Hijriah. Sebuah kisah yang amat dramatis tentang cinta tak sampai antara kakak beradik. Sang adik dengan kerinduan membuncah melintasi ribuan kilometer sahara untuk mengunjungi serta mendukung kakanda yang sendiri dan terpisah jarak dari negeri kelahirannya. Cerita ini, diabadikan dan diwariskan secara turun temurun oleh warga setempat.
Lebih dari itu, kecintaan masyarakat pada bibi Masumeh lantaran berbagai keutamaannya yang tercatat dalam buku-buku sejarah, ia dikenal dengan kesalehannya dalam menjaga diri dan beribadah kepada Allah. Bahkan, konon diyakini bahwa berziarah ke tempat Bibi Masumeh ini sama dengan menziarahi makam Sayidah Fatimah sa, putri Rasul. Itulah sebabnya, sampai kini Holy shrine Masumeh menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi, setelah makam Imam Ridha di Mashhad. Setiap tahunnya, ribuan peziarah yang datang dari berbagai penjuru Iran dan negera tetangga membanjiri tempat ini. Apalagi, di hari-hari besar keagamaan dan liburan musim Panas.
Setelah pindah ke kota Tehran, kerinduan kerap menderaku untuk berada di bawah naungan kubah keemasan itu. Dulu, selain mampir untuk berdoa dan shalat berjamaah, aku kerap melewatkannya bersama teman-teman kelas untuk sebuah tugas diskusi. Lokasinya yang berada tepat di pusat kota, memang memudahkan siapa saja untuk menjangkaunya. Kompleks itu juga dikitari oleh halaman luas dengan kolam-kolam air yang jernih dan balkon-balkon mungil. Di balkon itulah, biasanya kami duduk berbincang ditemani lantunan ayat Quran dan gemercik air mancur, sungguh keindahan yang sulit dilukiskan kata-kata.
Sejujurnya, keindahan itu tak semerta-merta datang. Bahkan, di hari pertama kedatangan sekitar akhir tahun 2002, masih terasa biasa saja. Saat itu, aku datang di musim dingin, terpaan angin yang menusuk-nusuk, ditambah balutan chador yang terasa aneh, membuatku merasa berada di negeri antah berantah. Apalagi, saat menyaksikan lautan perempuan yang ditudungi kain hitam serta suasana berdesakan di area dalam, seleraku segera hilang untuk memasuki ruang inti Holy Shrine.
Hari itu, setelah shalat dan berdoa seperlunya, segera kucari pintu keluar tempat janjian bertemu suami, tanpa pergi ke ruang zarih, besi kuning emas yang memagari makam. Biasanya pengunjung laki-laki dan perempuan memang dipisah, belakangan baru kutahu ternyata ada ruangan yang diperbolehkan untuk keluarga. Anehnya, saat itu aku seperti berputar-putar hampir tiga kali di tempat yang sama. Perasaan cemas dan panik mulai menghampiri, apalagi aku tak membawa tiket bus juga handphone.
Sambil berusaha menenangkan diri dan terus bermohon pada-Nya, kurenungkan peristiwaa yang baru saja terjadi, barangkali hikmah kejadian ini mengharuskanku singgah di ruang inti Holy Shrine. Kuterobos barisan manusia, meski harus berdesakan. Di ruangan tengah itulah tersaji indah zarih berwarna keemasan. Para perempuan yang berada di sekitar tempat itu, terlihat sendu sedak, haru dan khidmat. Ada yang duduk, berdiri juga meraba. Tiba-tiba jiwaku seperti tertarik dalam sebuah pusaran yang sulit terjelaskan.
Peristiwa ini mengingatkanku pada cerita-cerita yang dialami para jamaah haji. Meskipun belum pernah kusaksikan langsung keagungan Kabah dan masjid Nabawi, namun dari beberapa catatan perjalanan haji yang kubaca, selalu menyisakan kerinduan spiritual dan sepertinya hanya akan terpenuhi saat kaki menjejakkan langsung ke tempat suci. Tapi, saat ragaku berada di area Holy Shrine hazrat-e Masumeh, kerinduan itu sedikit terobati. Barangkali, tempat perjumpaan para pencinta Tuhan di manapun, akan membimbing hati-hati untuk menuju-Nya, karena hanya kepada-Nya lah segala cinta bermuara.
Qom, Akhir Musim Gugur, 02 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar