Laman

Selasa, 12 April 2011

"KARBALA" Adalah Motor Kemenangan Revolusi Islam Iran. ( Imam Khumeini )

Jika tak ada Imam Husain as. maka gerakan ini (revolusi Islam Iran) pun tidak akan melaju, Imam Husain as. senantiasa ada disetiap tempat dan setiap tempat adalah kehadiran untuknya “kullu ardhin karbala”. Imam Husain as. telah menolong dan meyelamatkan Islam” (Imam Khomaini).

“Terbunuhnya Imam Husain as. bukanlah kekalahan, karena keb...angkitannya adalah kebangkitan ilahiah, dan tak ada kekalahan bagi kebangkitan ilahiah. Jika tak ada Imam Husain as. maka gerakan ini (revolusi Islam Iran) pun tidak akan melaju, Imam Husain as. senantiasa ada disetiap tempat dan setiap tempat adalah kehadiran untuknya “kullu ardin karbala”. Imam Husain as. telah menolong dan meyelamatkan Islam”


Berdasarkan data historis yang termaktub didalam kitab-kitab sejarah, peristiwa pembantaian keluarga Rasulullah SAW pada zaman kekhalifahan bani umayyah (Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan) terjadi disuatu kawasan yang dikenal dengan nama Nainawa atau Karbala, secara etimologi kata karbala sesunguhnya berasal dari rangkapan kata karbun dan bala’ yang juga berarti duka dan bencana[1]. Pada masa itu nainawa atau karbala tidak lebih hanyalah suatu daerah yang kering dan tandus sebagaimana daerah-daerah lainnya yang sering kita temui ditanah arab. Tetapi pasca peristiwa mengenaskan “asyura”, tanah karbala tiba-tiba menjadi sangat penting dan menarik perhatian semesta, betapa tidak, karbala telah menjadi saksi ‘abadi’ kebangkitan dan perjuangan putra-putri bani Hasyim, padang kering dan tandus tersebut telah tergenangi dengan air mata dan darah suci para syuhada serta wali-wali Tuhan, kini tanah karbala telah berubah menjadi tanah ‘surgawi’ dan ‘pemikul’ cahaya kesucian, kecintaan, kesetiaan, pengorbanan dan kesyahidan. Cahaya atau nilai-nilai keabadian tersebut merupakan berkah dan buah manis dari ‘pohon’ kebaikan dan kesucian yaitu; pohon yang diibaratkan Rasulullah SAW sebagai “syajaratun wahidah”[2].
Syahadah Imam Husain as. beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya telah menyingkap tirai kegelapan dan mempertontonkan kepada dunia bagaimana kesucian, kemuliaan, kesetiaan, iman dan ketulusan melucuti satu persatu busana keserakahan, ketamakan, kehinaan, kekufuran dan kelicikan yang selama ini menutupi ‘tubuh kelam’ Yazid bin Muawiyah dibalik jubah khilafah.
Sebagian orang memandang peristiwa karbala tidak lebih hanya sebagai sebuah ‘dongeng’ masa lalu yang tidak penting sebagaimana halnya dengan peristiwa-peristiwa tragis lainnya yang boleh jadi lebih kejam dan lebih sadis, bahkan sebahagian lagi mempertanyakan urgensi dan relevansinya dalam kehidupan masa kini. Pandangan seperti ini tentu saja adalah pandangan yang sangat sempit dan dangkal (untuk tidak mengatakannya ‘kolot’) sebab, orang-orang berakal tentunya akan memahami bahwa sejarah adalah salah satu guru terbaik bagi manusia, sadar atau tidak setiap orang pasti belajar dari sejarah, paling tidak sejarah kehidupannya sendiri, karena tak satupun manusia yang hidup dan eksis diluar sejarah, atau sederhananya, domain sejarah selalu identik dengan ruang dan waktu sehingga segala sesuatu yang bersentuhan dengan materi (dimana ruang dan waktu adalah kekhususan zat-nya) tentunya akan masuk dalam lingkaran sejarah. Ketika manusia dalam hal-hal yang kecil saja ia belajar dan berguru dari sejarah maka bagaimana halnya dengan kejadian-kejadian yang sifatnya lebih besar dan agung.

KEAGUNGAN DAN KEABADIAN ASYURA

Tragedi karbala adalah satu diantara peristiwa-peristiwa besar nan agung yang pernah terjadi dalam sejarah,keagungan peristiwa ini dapat dinilai dengan beberapa faktor :

1).Pelaku Sejarah
Dalam peristiwa karbala telah terpilah dengan tegas kutub kebaikan dan keburukan, kemuliaan dan kehinaan, kesetiaan dan penghianatan, keimanan dan kekufuran, kesucian dan kekotoran. Disana pula telah hadir manusia agung (insan kamil) disatu sisi dan manusia licik (asfala saafilin) disisi lainnya, Imam Husain as. beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya merupakan simbol manusia-manusia yang memerankan kesetiaan, kecintaan, keadilan, keberanian dan seluruh nilai-nilai kesucian dan keabadian sementara dihadapannya telah berdiri Yazid bin Muawiyah beserta ‘antek-anteknya’ sebagai manusia-manusia yang memerankan kebencian, kedzaliman, kemunafikan, kelicikan, kehinaan, kepengecutan dan penghianatan serta seluruh nilai dan ajaran-ajaran keburukan (syaithaniah).
Hal ini dapat kita kaji melalui buku-buku sejarah, siapa dan apa yang telah mereka lakukan disana (dipadang karbala) .Tetapi dalam kaitannya dengan tokoh sentral dalam peristiwa karbala, dalam hal ini Imam Husain as., terdapat banyak riwayat yang telah mengagungkan dan meninggikannya, siapa yang tidak mengenal beliau, adakah diantara kita yang sanggup mengingkari bahwa ia bukanlah cucu Rasulullah SAW ?, bahwa ia bukan putra Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib (alaihimassalam) ?, tetapi mengapa ia mesti terbantai dan dipenggal serta dipermalukan dihadapan semesta, bukankah ia telah syahid dengan ratusan tebasan pedang dan tancapan anak panah serta tombak, bukankah tubuhnya telah tercabit-cabit dan tergeletak ditengah padang pasir tanpa busana. Jika demikian adanya lalu apa jawaban kita kepada Rasulullah SAW yang telah meminta umatnya untuk mencintai keluarganya – term Kerabat atau ahlul bayt masih menjadi perdebatan dikalangan syi`ah dan sunni dalam kaitannya dengan isteri-isteri nabi, tetapi tak satupun dari kalangan yang disebutkan mengingkari bahwa Fatimah binti Muhammad SAW beserta anak-anaknya adalah misdaq paling jelas dan badihi dari kerabat atau ahlul bayt Nabi SAW – apakah perlakuan orang-orang kufah dan para ‘penjahat’ kerajaan Yazid bin Muawiyah terhadap cucu Rasulullah SAW tidak dapat dinilai sebagai penghinaan terhadap Nabi dan Rasul Allah SWT.? Bukankah Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada umat Islam sebagaimana yang termaktub dalam surah Asy Syuura (42) ayat : 23 “Qul laa as alukum `alaihi ajran illal mawaddata fil qurba” ; Katakanlah (wahai Nabi) : Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku (risalah yang telah kubawa) kecuali kecintaan pada kerabatku (ahlul bayt)[3], apakah mereka tidak sudi mengamalkan Al Qur`an? ataukah mereka telah mengingkarinya? sementara pengingkaran atas ayat-ayat Al Qur`an adalah alamat kekufuran dari Islam itu sendiri (menurut tinjauan Teologi atau ilmu kalam)

2).Perilaku yang Terjadi didalam Sejarah
Kisah tragis pembantaian keluarga Nabi SAW dipadang karbala telah menambah kekelaman sejarah kemanusian, perlakuan tidak manusiawi terhadap manusia-manusia sempurna (Imam Husain, Imam Sajjad, Imam Baqir – `alaihimussalam) beserta keluarga dan sahabat-sahabat suci mereka telah dipertontonkan secara ‘tak seronok’ dan ‘memalukan’. Betapa tidak, kedzaliman yang dilakukan oleh khalifah Yazid bin Muawiyah bersama ‘budak-budaknya’ telah mengatasnamakan kesucian dan pembelaan atas Islam, mereka mengklaim sedang menegakkan keadilan dan kebenaran. Dengan atas nama Tuhan mereka memenggal kepala suci Imam Husain as. dan beberapa keluarga serta sahabat-sahabatnya yang kemudian ditancapkan keujung tombak lalu mengaraknya hingga ke alung-alung kota Syam (suriah), bukan hanya itu, sesunguhnya al Husain beserta keluarga dan para sahabatnya telah syahid dalam keadaan haus dengan bibir dan kerongkongan yang kering meskipun diantara mereka terdapat seorang Ali Asghar sekalipun.
Adegan lain yang sangat memilukan adalah kehadiran para gadis dan wanita-wanita suci yang kemudian ditawan serta diarak kejalan-jalan kota Syam, iffah dan kehormatan mereka segaja dilecehkan dengan mempertontonkan mereka kepada yang bukan muhrim, di dunia ini begitu banyak gadis dan wanita tetapi tak satu pun yang menyamai Aqilah bani Hasyim as. baik dalam iffah dan kesucian maupun dalam izzah dan keberanian, mungkin sebahagian kita mengatakan bahwa perlakuan semacam ini adalah wajar bagi seorang tawanan dan orang yang kalah dalam peperangan, tetapi kita lupa bahwa Sayyidah Zainab as. dan wanita-wanita lainnya adalah simbol kehormatan dan kesucian para muslimah, mereka adalah ‘tampilan’ lain dari putri Rasul Fatimah az Zahra as. kehormatan dan kemulian yang terlecehkan dijalan dan alung-alung kota Syam pada hakikatnya adalah iffah dan kehormatan Fatimah az Zahra as. yang berarti iffah dan kehormatan seluruh wanita mukmin sepanjang masa. Tentu saja segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan serta pelecehan yang dilakukan terhadap Ahlul bayt Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah kedzaliman dan pelecehan terhadap Nabi dan para Auliya Allah SWT.

3).Tujuan Pelaku Sejarah
Kebangkitan dan perlawanan Imam Husain as. atas kedzaliman dan kesewenang-wenangan khilafah ditandai dengan pembantaian dirinya secara sadis bersama sejumlah kecil keluarga dan sahabat-sahabatnya oleh puluhan ribu tentara bersenjata lengkap dibawah perintah Yazid bin Muawiyah yang saat itu sedang menduduki tahta kekhalifahan Islam. Imam Husain as. bangkit untuk menghidupkan amar ma`ruf dan nahi mungkar ketika kefasikan dan kedzaliman menggelapkan bumi kaum muslimin, ketika tak ada lagi yang takut dan risih mempertontonkan maksiat sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah sendiri yang seharusnya menjadi teladan umat Islam. Imam Husain as. bangkit untuk mengembalikan ‘hak-hak’ kaum mukminin yang terampas, beliau ingin mensucikan kehidupan umat Islam yang telah ternoda dan terkotori, lebih tinggi dari itu Imam Husain as. hendak membebaskan manusia dan semesta dari kegelapan dan mengantarkannya kepada cahaya ilahiyah, dan inilah tujuan utama kebangkitan sang Imam.

MENUJU CAHAYA KETUHANAN

Terkait dengan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari kebangkitan dan perjuangan Imam Husain as. hingga kesyahidan beliau dalam peristiwa asyura dipadang karbala, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kegigihan Imam Husain as. dalam menegakkan dan menghidupkan kembali amar ma`ruf dan nahi mungkar ditengah-tengah kaum muslimin telah mengantarkannya kepada izzah dan syahadah, tetapi jika kita menilik dan membuka kembali lembaran-lembaran suci dari catatan atau surat-surat Imam Husain as. yang dialamatkan kepada ‘kaumnya’ maka kita akan mendapati wasiat atau ucapan-ucapan beliau yang pada hakikatnya menjelaskan falsafah dan tujuan sesungguhnya dari kebangkitan beliau. Didalam surat wasiatnya Imam Husain as. mengatakan bahwa : “Aku berjalan dengan jalan (sirah) kakekku dan ayahku Ali bin AbiThalib as.” [4].Imam Husain as. menyatakan bahwa jalan yang sedang ditempuhnya adalah jalan yang juga pernah ditempuh ayah dan kakeknya, dalam hal ini Imam Husain as. berusaha merujukkan kita untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang menjadi jalan atau sirah[5] dari ayahnya, tanpa mengetahui jalan Ali bin Abi Thalib as. maka mustahil untuk dapat memahami jalan Imam Husain as., tentu saja dapat dipastikan bahwa jalan Ali bin Abi Thalib as. adalah jalan yang telah dilalui dan digariskan Rasulullah SAW sebab, Ali bin Abi Thalib as. adalah kader utama Rasulullah SAW yang senantiasa tumbuh dan besar dalam tarbiyah dan bimbingan Nabi SAW, lebih jauh dari itu Rasulullah SAW telah memposisikan dan menyamakan Ali bin Abi Thalib as. dengan dirinya sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah SWT dalam ayat “mubahala” ; “Maka katakanlah(kepadanya): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la`nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta”[6], ayat ini sendiri menghikayatkan penegasan Allah SWT atas keutamaan dan fadhilah Ali bin Abi Thalib as. dimana Rasulullah SAW tak sekalipun pernah memanggil sahabat-sahabatnya yang lain dengan “dirinya” (nafsi). Ditempat lain terdapat ayat dan riwayat-riwayat yang terkhususkan kepada Ali bin Abi Thalib as. yang sekaligus menjadi dalil atas wilayah dan imamahnya. Selaku manusia sempurna (insan kamil) maka mustahil baginya untuk memilih jalan yang berbeda dengan insan kamil lainnya (Rasulullah SAW) sebab, mereka berdua pada hakikatnya adalah satu substansi, yaitu; asma` dan tajalli ‘tertinggi’ dan ‘teragung’ Allah SWT dimuka bumi[7]. Muhammad bin Abdullah SAW dan Ali bin Abi Thalib as. adalah pengemban amanah kekhalifahan Ilahiyyah sebagaimana yang disematkan Allah SWT kepada Adam as. (tetapi tentunya dengan masa dan kaum yang berbeda).
Jalan Nabi Muhammad SAW adalah titah ketuhanan untuk mengeluarkan manusia dari dunia kegelapan menuju cahaya ilahiyyah, hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya : “Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelab gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”[8]. Para ambiya telah ditugasi untuk membimbing dan mengantar manusia kepada kesempurnaan wujudnya, yaitu dengan membawa mereka kepada cahaya ilahiyyah.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam mengomentari ayat ini mengatakan bahwa Allah SWT tidak saja menjelaskan atau menentukan tugas dan jalan para rasul yang diutusnya tetapi Dia mengajarkan pula cara bagaimana mereka harus mengeluarkan umat mereka dari kegelapan menuju cahaya, ayat 5 surah Ibrahim dengan jelas menunjukkannya ketika Allah SWT memerintahkan kepada nabi Musa as. untuk membebaskan kaumnya seraya memintanya untuk mengingatkan mereka atas hari-hari Tuhan (ayyamillah), Allah berfirman : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah” [9]. Menegakkan kekuasaan atau pemerintahan Tuhan (hukumah Islamiyah) adalah cara yang ditegaskan Allah SWT bagi para ambiya untuk membebaskan kaum mereka dari kegelapan menuju cahaya. Tanpa tegaknya pemerintahan Islam (ayyamillah), maka mustahil dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dalam surah Al Hadiid terdapat ayat yang menjelaskan tentang tujuan diutusnya para ambiya “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”[10], tetapi ayat ini oleh beliau dimaknai sebagai “tujuan antara” dan bukanlah “tujuan akhir dan utama” dari kenabian, sebab ketika umat manusia telah meraih cahaya ketuhanan (hidup dalam naungan cahaya Tuhan) maka dengan sendirinya mereka akan bangkit menegakkan keadilan, olehnya itu, dapat disimpulkan bahwa upaya ‘mencahayakan’ manusia adalah tujuan akhir dari risalah dan kenabian(imamah) [11].

HUBUNGAN IMAMAH DAN UMMAH

Dimensi kepemimpinan dalam upaya menegakkan pemerintahan Islam adalah sesuatu hal yang mesti dan sangat dibutuhkan, hal ini telah diisyarahkan Allah SWT ketika memerintahkan Musa as. untuk mengeluarkan kaumnya dari kegelapan menuju cahaya seraya mengingatkan mereka kepada “hari-hari”-Nya, tetapi faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah persoalan kesiapan umat dalam menjemput seruan para nabi, Tuhan telah menunjukkan cara bagaimana menuju cahaya tetapi Tuhan pun mengingatkan bahwa dibutuhkan kesabaran dan kesyukuran ekstra dari umat itu sendiri. Keberadaan orang-orang “bersyukur” dan “bersabar” tidak cukup untuk membumikan pemerintahan Ilahi, tetapi lebih dari itu dibutuhkan orang-orang yang “sangat banyak” bersabar dan bersyukur (sabbar dan syakur) sehingga ia menjadi kokoh dan tak mudah tergoyahkan oleh sekecil apapun ‘ujian’ dan ‘tantangan’ yang kelak menghampirinya,sebagaimana dalam firman Allah SWT melanjutkan firman sebelumnya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) kepada setiap orang yang banyak bersabar dan bersyukur”[12].
Hal ini menandakan bahwa membangun dan menegakkan pemerintahan Islam atau pemerintahan agama tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang, sebelum segala sesuatunya manusia-manusia mukmin harus bertransformasi menjadi “syakur” dan “sabbar” sehingga ia senantiasa eksis dalam ketaatan pada imam dan pemimpin mereka. Imam Husain as. telah memenuhi syarat kepemimpinan untuk sebuah revolusi “menegakkan kembali imamah dan pemerintahan Islam” sebagaimana ayahnya Ali bin Abi Thalib as., tetapi disisi lain umat belum mampu memenuhi syarat ke-“syakur”-an dan ke-“sabbar”-an kecuali segelintir kecil orang-orang yang masih menyisakan “bashirah” pada diri mereka. Tragedi karbala adalah salah satu bukti sejarah yang paling jelas untuk menjastifikasi pandangan ini, bukankah para pembunuh dan pembantai keluarga Nabi SAW adalah dari kalangan ‘umat Islam’ sendiri?
Sifat “sabbar” dan “syakur” adalah dua sifat atau malakah nafsaniah yang hanya dapat diperoleh dengan dua cara; pertama: tidak cinta dunia, yakni; mengeluarkan seluruh bentuk kecintaan terhadap dunia dari kedalaman qalbu, kedua: cinta terhadap nilai-nilai keabadian semisal syahadah dst.
Berangkat dari tafsiran diatas, maka menjadi jelas bahwa maksud dari ucapan Imam Husain as. yang mengatakan “Aku berjalan berdasarkan sirah (jalan) kakekku dan Ayahku Ali bin Abi Thalib(as)” adalah keberlanjutan jalan para ambiya khususnya Rasulullah SAW dan ayahnya Ali bin Abi Thalib as. dalam upaya menegakkan pemerintahan agama atau hukumah Islamiyah sesuai dengan apa yang dititahkan Allah SWT kepada nabi Musa as. pada zamannya. Jika pada periode kenabian, Allah SWT senantiasa me”wahyu”kan kepada para ambiya untuk bangkit membebaskan kaumnya dari ‘tirani kegelapan’ sebagaimana Nabi Musa al Kalim as. yang berhadapan dengan Fir`aun serta Nabi Ibrahim al Halil as. yang berhadapan dengan Namrud dan tentu saja Nabi Muhammad SAW yang berhadapan dengan para petinggi kabilah Qurays dan kaum kuffar, maka dizaman setelahnya “pewahyuan Ilahi” tergantikan dengan “nilai keabadian asyura Imam Husain as.”. menurut Syahid Muthahhari maktab Imam Husain as. adalah pelanjut dan penerus maktab para ambiya, kenabian telah berakhir dan pintu wahyu telah tertutup, tetapi maktab Imam Husain as. senantiasa hidup dan menjadi sumber ‘wahyu’ dan ‘ilham’ bagi orang-orang besar yang bangkit dikemudian hari sebagai mushlih dan penegak keadilan[13].
Mengakhiri coretan singkat ini, rasanya kurang lengkap jika tidak mengutip salah satu ucapan pemimpin besar revolusi Islam Iran[14] Sayyid Ruhullah Al Musawi Al Khomeini ra. dalam kaitannya dengan revolusi asyura Imam Husain as., beliau dalam beberapa kesempatan mengatakan: “Terbunuhnya Imam Husain as. bukanlah kekalahan, karena kebangkitannya adalah kebangkitan ilahiah, dan tak ada kekalahan bagi kebangkitan ilahiah. Jika tak ada Imam Husain as. maka gerakan ini (revolusi Islam Iran) pun tidak akan melaju, Imam Husain as. senantiasa ada disetiap tempat dan setiap tempat adalah kehadiran untuknya “kullu ardin karbala”. Imam Husain as. telah menolong dan meyelamatkan Islam”[15].
Imam Khomeini ra. adalah satu diantara orang-orang besar yang tampil sebagai mushlih kemanusian dipenghujung abad 20, ia adalah murid sejati dari maktab al-Husaini. Bagi Imam Khomeini ra. asyura Imam Husain as. telah menjadi ‘sumber wahyu’ dan ‘ilham’ dalam mengusung revolusi, sebagaimana yang diyakini Muthahhari.

[1]. Shahadat Nameh(Farhang-e alifba Ashura va shahadat),Mahdi Wahidi Shadr,Hal : 485-486
[2]. Bihar al Anwar,Allamah Majlisi,Jilid 3 Hal : 301,Jilid 36 Hal : 180 dan 337,Al Khishal,Jilid 1,Hal : 31 dan Mizan Al Hikmah,Ray shahri,Jilid 1,Hal : 143
[3]. Al Mizan fi Tafsiril Qur`an,Allamah Thabathabai,Jilid 18,Hal : 42-49 dan Tafsir Nur,Muhsin Qiraati,Jilid 10,Hal : 393-397
[4]. Bihar al Anwar,Allamah Majlisi,Jilid 44,Hal : 329
[5].Menurut penjelasan Syahid Muthahhari,kata “sirah” dalam bahasa arab berasal dari akar kata “seir” yang bermakna gerakan,perjalanan,berjalan.Sirah dapat dimaknai dengan “suatu jenis perjalanan” sebagaimana ketika kita membedakan antara “jalsah” yang bermakna “duduk” dan “jilsah”yang bermakna ‘suatu jenis atau bentuk duduk” ,dengan demikian jika “seir” itu adalah perjalanan atau perilaku,maka “sirah” dapat dimaknai dengan “ suatu jenis/bentuk perilaku atau perjalanan – yang sifatnya khas(penj) . (lihat : Seir-i dar sire-e nabawi,Murtadha Muthahhari,Hal : 45-46 )
[6].Tafsir Tasnim,Ayatullah Jawadi Amuli,Jilid 14,Hal : 459-469
[7]. Al Mizan fi Tafsiril Qur`an,Allamah Thabathabai,Jilid 8,Hal : 372 dan Sima-e ahl bayt dar erfan-e Imam Khomeini,Muhammad Amin Shadiqi Arzegani,Hal : 32-38
[8]. Q.S. Ibrahim,Ayat : (1)
[9]. Shukufai-e akl dar partu nehzat-e huseini,Ayatullah Jawadi Amuli,Hal : 17-18
[10]. Q.S. Al Hadiid,Ayat : (25)
[11]. Shukufai-e akl dar partu nehzat-e huseini,Ayatullah Jawadi Amuli,Hal : 16
[12]. Q.S. Ibrahim,Ayat : (5)
[13]. Majmu-e Asar,Ayatullah Syahid Muthahhari,Jilid 17,Hal : 466
[14]. Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 adalah revolusi Islam terbesar dan tersukses diabad ke-20,dipimpin oleh seorang ulama,faqih,filosof dan arif rabbani yang dijuluki dengan Imam Khomeini,revolusi Islam Iran adalah sebuah revolusi yang diklaim sebagai gerakan sosial-religius yang terilhami oleh revolusi Imam Husain as. dalam peristiwa asyura dipadang karbala sekitar 14 abad silam.
[15]. Shahifah Imam(Majmu-e Asar),Imam Khomeini,Jilid 8,Hal : 9 dan 527

Tidak ada komentar:

Posting Komentar